Você está na página 1de 9

B.

PEMBAHASAN
A. Pengajaran Bahasa

1. Pengajaran Tradisional

Pengajaran bahasa tidak lepas sama sekali daripada pertumbuhan ilmubahasa


pada umumnya. Kaum Brahma di India beberapa abad sebelum Masehi mendapat
pelajaran bahasa Sangsekerta dari ahli-ahli tatabahasa mereka. Biarpun tujuannya
berbeda daripada pelajaran bahasa pada umumnya yaitu karena kaum Brahma itu
mengusahakan kemurnian ucapan dan pembentukan frasa dan kalimat, supaya
mantera-mantera yang mereka ucapkan tiada kehilangan hikmahnya, pengajaran
bahasa bagi kaum Brahma itu merupakan pengajaran bahasa yang sesuai dengan
ilmubahasa murni (Samsuri 1987:40).

Tatabahasawan-tatabahasawan Sangsekerta India mempelajari struktur bahasa


mereka melalui observasi, analisis dan penyimpulan-penyimpulan umum daripada
analisis itu, serta menuliskan kaidah-kaidah bahasa yang diperoleh daripada ketiga
kegiatan yang pertama itu. Dapatlah di katakan bahwa cara mempelajari bahasa para
ahli itu sesuai dengan ilmu bahasa modern sekarang ini, malahan di dalam hal yang
berkecil-kecil mereka tidaklah kurang tepat penelitiannya, sehingga di perlukan suatu
tafsir, yaitu buku Mahabhasa, yang ditulis oleh Patanjali, mengenai tatabahasa
sangsekerta hasil karya panini itu (Samsuri 1987:40).

Hal yang berlainan ialah yang terdapat di Yunaini kuno. Pada waktu itu studi
tentang bahasa tidaklah di kerjakan oleh ahli-ahli bahasa, melainkan oleh filsuf-filsuf,
yang mendasarkan studinya atas spekulasi, atau suatu angan-angan belaka, dan bukan
atas observasi pemakaian bahasa dan analisis. Tidaklah mengherankan, orang-orang
seperti Aristoteles dan Plato mengeluarkan pendapat-pendapat tentang bahasa melalui
kacamata filsufnya. Mereka menyangka, bahwa bahasa itu terdiri atas kata-kata
melulu tanpa ada aturan-aturan atau kaidah-kaidah yang menguasai pembentukan
kata-kata dan penyusunan frasa dan kalimat, sehingga mereka mengeluarkan
penggolongan kata-kata sesuai dengan dasar-dasar filsafat, tetapi tidak sesuai dengan
penggolongan menurut susunan kalimat-kalimat di dalam bahasa itu sendiri (Samsuri
1987:40).
Pengajaran bahasa sudah barang tentu mengikuti cara penyelidikan bahasa
atau ilmu bahasa yang berlaku pada waktu itu. Perkembangan bahasa di Yunani kuno,
Romawi dan Eropa sampai abad kesembilan belas tidak ada kemajuannya, dan karena
itu pengajaran bahasapun tidak mengalami kemajuan pula, dalam arti bahwa cara
mengajarkan itu tetap mengajarkan cara-cara kuno yang salah, tidak praktis, dan
membuang-buang waktu, serta tidak efisien. Apabila orang-orang Romawi meniru
tanpa kritik sedikitpun ilmubahasa Yunani kuno, orang-orang eropa menjadi peniru
ilmu bahasa latin, dan pengajaran bahasa tidak lebih daripada menghafalkan
penggolongan kata-kata, paradigma-paradigma, kata-kata, tanpa bisa menyususn
kalimat-kalimat yang berlaku. Bagi pengajaran bahasa pertama cara ini keburukannya
memang tidak berapa dirasakan, karena pelajar-pelajar itu sudah tahu memperguna-
kan bahasanya sendiri, biarpun sering kali kurang efektif dan tidak jarang pula
menyimpang daripada aturan-aturan pembentukan kalimat-kalimat bahasa. Tetapi bag
pengajaran bahasa asing, hal itu merupakan kekurangan yang besar sekali. Hanya ada
satu dua orang saja yang dapat menguasai bahasa-bahasa asing yang diajarkan dengan
cara klasik (Greko-Latin) itu, yaitu orang-orang yang biasa disebut mempunyai bakat
bahasa. Orang-orang Indonesia yang tahu mempergunakan bahasa Belanda, umpa-
manya, sebenarnya inteligensi dalam mempergunakan bahasa Belanda itu tidak lebih
dari pada intelegensi anak-anak Belanda yang berumur 6-7 tahun, dan demikian pula,
orang-orang Belanda yang tahu mempergunakan bahasa Indonesia tidak lebih
daripada inteligensi anak-anak Indonesia yang berumur 6-7 tahun. Jadi, seseorang
yang pandai mempergunakan bahasa asing itu tidak selayaknya diberi predikat
berbakat atau istimewa karena memang sebenarnya tiap orang itu mempunyai
potensi untuk menguasai bahasa apapun di dunia ini (Samsuri 1987:41).

2. Keadaan Pengajaran Bahasa di Indonesia

Pengajaran bahasa pertama atau bahasa kedua yang merupakan bahasa nasio-
nal seperti bahasa Indonesia, pengajaran secara Greko-Latin itu tidak terlalu meng-
ganggu. Namun demikian pertanyaan yang segera timbul ialah: Apakah tujuan
pengajaran bahasa nasional itu? Apakah tujuannya mengetahui TENTANG bahasa itu,
ataukah tujuannya mempertinggi kemahiran murid-murid dalam MEMPERGU-
NAKAN bahasa itu. Karena murid-murid itu tidaklah diharapkan akan menjadi ahli
bahasa pada waktu mereka di SD, SMP, SMA, tujuannya yang logis adalah yang
kedua yang menjadi dasar pengajaran bahasa di sekolah-sekolah yang berada di
Indonesia (Samsuri 1987:41).

Seandainya tujuan ini telah kita sepakati, hendaklah pengajaran bahasa per-
tama atau bahasa nasional itu berbeda bentuknya daripada cara mengajarkannya se-
cara Greko-Latin yang masih berlaku di sekolah-sekolah yang ada di Indonesia saat
ini. Tidak pada tempatnya lagi murid-murid itu dipaksakan mengetahui soal-soal yang
tidak akan mereka pakai di luar sekolah, dan tidak pada tempatnya lagi pada masa ini
membuang-buang waktu dan tenaga untuk sesuatu yang tidak berguna. Yang mesti di-
usahakan ialah, betapa mempergunakan bahasa pertama atau bahasa nasional itu
sebai-baiknya di dalam menyusun laporan-laporan singkat maupun panjang, lisan
maupun tertulis. Hendaklah mereka itu dilatih untuk menyusun kalimat-kalimat yang
baik, terang dan jelas, bagaimana mengemukakan buah pikiran dengan kalimat-
kalimat yang pendek, tegas, dan jelas, serta tidak membingungkan; bagaimana
menerangkan hal-hal yang terjadi sehari-hari, sesuai dengan urutan kejadian, atau
kepentingan daripada peristiwa dan keadaan itu, secara logis. Betapa menyususn dan
atau mengucapkan pidato-pidato singkat, terang, umpamanya, di dalam suatu
perpisahan, ulang-tahun, perkawinan, dan lain sebagainya. Karena kekurangan
pendidikan bahasa yang terpimpin semacam ini, banyak sekali terdapat pidato-pidato
di masyarakat kita ini yang bertele-tele, tanpa urutan yang sesuai, dan penggunaan
kata-kata yang tidak pada tempatnya. Banyaklah hal-hal yang bisa dikemukakan di
sini di dalam cara mengajarkan murid-murid memakai bahasa pertama atau bahasa
atau bahasa nasional. Di dalam pengetahuan pasif, artinya di dalam mendengarkan
orang lain berbicara dan di dalam membaca banyak pula soal-soal yang bisa
diutarakan di dalam rangka pendidikan bahasa. Pendeknya, keempat kemahiran
bahasa, yaitu: berbicara, menulis, mendengarkan/menyimak, dan membaca hendaklah
ditanamkan sebaik-baiknya pada murid-murid di sekolah-sekolah, baik untuk ke-
perluan sehari-hari, maupun untuk keperluan menuntut ilmu pengetahuan selanjutnya
(Samsuri 1987:42).

Di dalam hubungan pengajaran bahasa ini, betapa besarnya jasa majalah-


majalah anak-anak/pemuda-pemudi, yang menyediakan tempat dan kesempatan bagi
murid-murid untuk membuat laporan, menceritakan pengalaman-pengalamannya,
bahkan juga mengarang cerita-cerita. Apabila pengajaran bahasa di sekolah-sekolah
benar-benar ditunjukan untuk mencapai tujuan yang telah dikemukakan di atas, akan
tidak heranlah, apabila di dalam waktu yang singkat banyak murid-murid yang bisa
menuliskan buku-buku (fiksi maupun non fiksi). Sudah tentu pendidikan bahasa di
sekolah tidaklah dimaksudkan untuk mempersiapkan murid-murid menjadi
pengarang-pengarang, tetapi untuk pembuatan naskah-naskah singkat, laporan-
laporan yang tepat dan jelas, kegunaannya sangat berarti di masyarakat (Samsuri
1987:43).

3. Tatabahasa dan Pengajarannya

Mengenai tatabahasa, hendaklah dipahami bahwa sebenarnya ada dua macam.


Yang pertama ialah tatabahasa yang dihasilkan oleh ahli bahasa, yang bekerja atas
dasar data bahasa dan seperangkat teori bahasa, dan kemudian menghasilkan apa yang
disebut tatabahasa ilmiah. Yang kedua ialah tatabahasa yang dituliskan oleh pengajar
bahasa, yang menghasilkan apa yang disebut dengan tatabahasa pedagogis. Jadi,
sebelum ada tatabahasa ilmiah, penulisan tatabahasa pedagogis sebenarnya akan tidak
sempurna dan akan terdapat banyak kesalahannya, apabila tidak didasari dengan
tatabahasa ilmiah. Kecuali itu hendaklah pula didasari, bahwa tatabahasa pedagogis
itu dapat bermacam-macam, tergantung pada tujuan pendidikan bahasa itu sendiri
(Samsuri 1987:43).

Kita hendaklah tahu benar apa arti mengetahui tatabahasa itu. mengetahui
tatabahasa itu ialah kepandaian membuat kalimat-kalimat yang gramatikal, baik lisan
maupun tertulis, dan bukanlah hanya sekedar mengetahui tentang arti kata tatabahasa
itu sendiri. Kepandaian itu hendaklah benar-benar merupakan suatu kebiasaan yang
kreatif, yang berarti, bahwa murid hendaklah pandai membangkitkan kalimat-kalimat
baru dengan unsur-unsur yang telah diketahuinya. Untuk menunjukan kemampuan
murid di dalam penggunaan bahasanya. Melatih dan mengajarkan anak-anak untuk
mengetahui dan memahami bahasa nasional, sehingga menjadikan bekal untuk
mereka baik di dalam kehidupan di masyarakat kelak maupun di perguruan tinggi
selanjutnya. Adalah satu-satunya tugas wajib bagi sekolah-sekolah di dalam
memelihara pelajaran dan pendidikan bahasa nasional (Samsuri 1987:44).
Di perguruan tinggi, pendidikan bahasa nasional bagi mahasiswa-mahasiswa
jurusan bahasa (dan sastra) Indonesia, mestilah berbeda daripada pelajaran ditingkat
sekolah-sekolah. Mahasiswa-mahasiswa hendaklah dilatih menganalisis bahasa itu,
yaitu dengan fonologinya, morfologinya, sintaksisnya, dan semantiknya. Di perguruan
tinggi inilah mahasiswa dilatih mengetahui dan memahami tentang bahasa nasional
itu. Tetapi semua pelajaran ini akan berhasil apabila diberikan dasar-dasarnya, yaitu
pelajaran tentang linguistik. Hanya pelajar-pelajar yang telah memahami linguistik
akan dapat mempelajari soal-soal tentang bahasa, dan tatabahasa yang diajarkan
kepada mereka itu hendaklah tatabahasa ilmiah. Pelajaran semacam ini akan sangat
banyak gunanya, karena setelah mahasiswa-mahasiswa memahami linguistik, dan
setelah diberikan tatabahasa ilmiah itu, mereka dapat mengadakan pengecekan apa-
apa yang dirangkum di dalam tatabahasa ilmiah itu, dengan mengadakan
penyelidikan-penyelidikan pemakaian bahasa nasional pada waktu itu. Dengan
demikian ada kegunaan yang timbal balik, yaitu bagi mahasiswa-mahasiswa dapat
memperoleh pengalaman menganalisis dan daya kritik, dan bagi tatabahasa ilmiah itu
sendiri dapat diadakan perubahan-perubahan sesuai dengan pemakaian bahasa
nasional pada waktu itu, sehingga pada waktu-waktu tertentu tatabahasa itu akan
dapat diperbaiki sesuai dengan pertumbuhan bahasa nasional itu. Sudah tentu cara
demikian itu akan menimbulkan dialog antara mahasiswa-mahasiswa dan dosen
pengajar (beserta penulis tatabahasa itu sendiri), dan suatu penuntutan ilmu yang sehat
akan timbul oleh karenanya (Samsuri 1987:44).

4. Pengajaran Bahasa Asing

Istilah-istilah menyebutkan, bahwa orang yang dapat menguasai bahasa asing


itu adalah orang yang istimewa masih berlaku juga sampai sekarang di dalam
pemikiran masyarakat kita (masyarakat Indonesia). Yang bertanggung jawab atas cara
berpikir semacam itu ialah pendidikan kolonial, karena pandangan/istilah itu
diwariskan dari jaman penjajahan. Pada waktu itu orang-orang yang pandai berbahasa
belanda mendapatkan kedudukan sosial yang lebih tinggi dari orang-orang yang tidak
dapat menguasai bahasa asing.

Hal yang sebenarnya tentang penguasaan bahasa asing ialah, bahwa soal itu
bukanlah soal istimewa, luar biasa, dan sebagainya, melainkan soal kebiasaan saja,
seperti juga penguasaan bahasa pertama. Siapa saja di dunia ini bisa, jika diberikan
kesempatan menguasai bahasa yang manapun juga, karena penguasaan bahasa itu
tidak merupakan keturunan atau pembawaan, melainkan sesuatu yang diperoleh dari
kebiasaan lingkungan kehidupan. Yang istimewa bila hal ini merupakan keistimewaan
juga hanyalah kesempatan dan waktunya yang tersedia baginya itu saja. Dan
kesempatan serta waktu itu dapat diusahakan oleh siapa saja yang mau belajar bahasa
yang kedua atau ketiga, jika ia benar-benar mempunyai kemauan untuk menguasai
bahasa kedua atau ketiga (Samsuri 1987:45).

5. Analisis dan Pengajaran Bahasa Asing

Penguasaan bahasa lebih dari satu, yang bisa disebut Bilingualisme untuk
penguasaan dua bahasa dan Multingualisme untuk penguasaan bahasa lebih dari dua,
mempunyai sifat-sifatnya yang khas. Telah diadakan penyelidikan-penyelidikan
tentang kewibahasaan atau kemultibahasaan itu, dan hasilnya menenjukan sifat-sifat
yang berikut. Ada kecenderungan bahwa unsur-unsur bahasa yang satu pindah ke
bahasa yang lain. Hal ini disebut Transfer (atau Pemindahan), yang merupakan
gangguan (=interference, Ing) dan bisa meliputi semua aspek bahasa, yaitu ucapan,
pembentukan morfo-sintaksik atau juga semantik. Sebuah contoh: seorang Belanda
yang menguasai bahasa Inggris di samping bahasa Belanda, mungkin mengatakan: (1)
*I have been there yesterday. Kalimat ini tidak gramatikal (diberi tanda /*/ di
depannya), karena kalimat itu tidak dipakai oleh pembicara-pembicara asli bahasa
Inggris. Orang Inggris atau pembicara bahasa Inggris asli lainnya akan mengatakan
(2) I was there yesterday di dalam situasi yang sama. Kekeliruan kalimat ( 1 satu) itu
disebabkan oleh penguasaan bahasa Belanda, yang di dalam hal yang sama pembicara
Belanda itu akan berkata: (3) Ik ben gisteren daar geweest. Struktur kalimat (1 satu)
berbeda dengan kalimat (2 dua), tetapi mirip dengan (3 tiga). Ini adalah Transfer, yaitu
pemindahan struktur bahasa Belanda ke bahasa Inggris. Transfer itu sendiri bukanlah
soal yang mengherankan, karena kalau seorang mempunyai dua macam kebiasaan,
besar sekali kemungkinan untuk menukar-nukar kebiasaan itu (Samsur 1987:46).
Contoh tersebut adalah pemindahan-pemindahan sintaksik.

Sedangkan pemindahan semantik bisa terjadi apabila untuk kata hubungan


diberikan kata Inggris Connection di dalam kalimat (1) *The teacher has a good
connection with his parents untuk kalimat (2) Guru itu mempunyai hubungan baik
dengan orang tuanya, yang mestinya (3) The teacher and his parents are good
friends. Contoh pemindahan semantik yang lain ialah apabila untuk kata ikut
diberikan kata Inggris follow di dalam kalimat (1) *May I follow you? Untuk kalimat
(2) Boleh aku ikut (engkau)?, yang mestinya (3) May I come with you?.

Jelas kiranya betapa besarnya peranan transfer itu di dalam penguasaan bahasa
kedua. Transfer yang merupakan rintangan itu berupa keseluruhan perbedaan antara
kedua bahasa itu. Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana guru dapat
mengetahui persoalan-persoalan belajar muridnya? Jawaban atas pertanyaan ini ialah
bahwa hendaknya diadakan analisis pararel terlebih dahulu tentang bahasa itu.
Kemudian diadakan perbandingan antara hasil analisis itu dan diperolehlah
pengetahuan tentang persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan antara bahasa
ibu si murid dan bahasa yang akan diajarakan disekolah. Perbedaan-perbedaan inilah
merupakan soal belajar bagi murid-murid itu kelak, dan segala hal mengenai
pengajaran bahasa kedua itu didasarkan kepada hasil perbandingan itu (Samsuri
1987:47).

Kegunaan hasil perbandingan itu banyak juga, pertama, untuk mengadakan


persiapan peajaran, yang berguna bagi guru, supaya bisa mengatur apa-apa yang harus
diberikan terlebih dahulu, yaitu, umpamanya, hal-hal yang merupakan persamaan
yang akan dengan cepat dikuasai oleh murid, sedangkan perbedaan-perbedaan akan
dipakai sebagai latihan-latihan yang akan lebih banyak memakan waktu untuk
ditanamkan benar-benar, supaya sangat menguarangi kemungkinan pemindahan itu.
Unsur-unsur fonologi, morfo-sintaksis, dan vokabulari yang mana harus diberikan
terlebih dahulu; latihan-latihan ucapan, pembentukan frasa dan kalimat, serta
penambahan kata-kata yang mana harus ditekankan; itu semua mempunyai dasarnya
pada hasil perbandingan struktur luar dan dalam kedua bahasa itu (Samsuri 1987:47)

Apabila seorang guru bahasa kedua telah memiliki hasil perbandingan analisis
kedua bahasa itu dan menghadapi sebuah buku pelajaran, ia dengan segera akan bisa
menilai buku itu dengan mempergunakan ukuran yang telah dimilikinya itu. Bagian-
bagian yang tidak sesuai dengan penilaian hasil perbandingan kedua bahasa itu
hendaklah diabaikan saja, sedangkan guru itu sendiri dapat pula menggantinya dengan
yang baru yang sesuai dengan penilaian hasil perbandinganya. Demikian hasil
perbandingan itu dapat dipakai untuk menilai buku-buku yang ada, mengurangi hal-
hal yang tidak perlu dan menanmbah hal-hal yang diperlukan, atau jika terdapat
bahwa buku itu tidak dapat dipakai sama sekali, mengesampingkannya saja dan tidak
usah dipakai (Samsuri 1987:48).

Jika diperlukan penulisan buku yang baru sama sekali, dasar-dasar telah
diberikan oleh hasil perbandingan itu. Dari perbandingan kultur kedua bahasa itu
dapat diketahui, umpamanya, pemakaian kata-kata, sehingga dengan begitu telah
tersedia data kata-kata yang mana mempunyai frekuensi tertinggi, sedang, rendah, dan
paling rendah. Hal ini semua akan diperhitungkan di dalam penulisan sebuah buku
pelajaran. Penyajian latihan-latihan ucapan, latihan pembentukan kata, frasa, kalimat,
yang mana mendapat prioritas, dan yang mana kurang, dan lain sebagainya telah
diberikan oleh hasil perbandingan itu (Samsuri 1987:48).

Hasil perbandingan itu berguna pula bagi pengukuran pengetahuan murid-


murid tentang bahasa kedua yang telah diajarkan. Ujian-ujian hendaklah didasarkan
kepada hasil perbandingan itu, jika diinginkan supaya ujian-ujian itu memenuhi syarat
dan sah. Ujian-ujian yang tidak didasarkan kepada penilaian hasil perbandingan itu
akan tidak mempunyai dasar sama sekali dan tidak mengukur kecakapan penguasaan
bahasa kedua itu, jadi tidak ada gunanya (Samsuri 1987:48).

Kegunaan yang lain ialah, bahwa hasil perbandingan itu dipakai untuk
mengadakan penelitian pengajaran bahasa kedua. Agaknya jelas juga mengapa suatu
penelitian tentang pengajaran bahasa kedua itu harus didasarkan kepada hasil
perbandingan itu, sebab tanpa mengetahui persoalan-persoalan pelajaran bagi murid,
suatu penelitian akan diajarkan secara membabi-buta dan hasilnya tentulah akan tidak
ada gunanya (Samsuri 1987:49).

Bagi pengetahuan orang banyak hasil perbandingan itu sangat bermanfaat


pula, yaitu supaya orang dapat memiliki sikap yang terdidik dalam soal
pelajaran/pengajaran bahasa kedua. Hal ini terlebih-lebih akan menghilangkan
prasangka bahwa bahasa-bahasa yang berbeda itu hanya berbeda dalam kata-katanya
saja. Umum akan memberi istilah bahwa dua bahasa atau lebih tidak saja berbeda
kata-katanya, melainkan juga intonasinya, fonem-fonemnya, tekanannya, susunan
kalimatnya, susunan frasanya, dan juga berbeda kulturnya. Pengetahuan tentang
perbedaan-perbedaan ini akan memperbesar toleransi dalam pergaulan antar-suku,
antar-bangsa, sebab apabila seseorang mengetahui perbedaan sesuatu, pada galibnya
ia akan dapat pula mengerti mengapa orang lain itu bertingkah-laku yang berlainan
daripadanya (Samsuri 1987:49).

Você também pode gostar