Você está na página 1de 18

ANEMIA APLASTIK

Oleh ; imran S.Kep.Ns. M.Kes

BAB I
PENDAHULUAN

Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan penurunan komponen
selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan produksi di sumsum tulang. Pada
keadaan ini jumlah sel-sel darah yang diproduksi tidak memadai. Penderita mengalami
pansitopenia, yaitu keadaan dimana terjadi kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih,
dan trombosit.1,2,3
Konsep mengenai anemia aplastik pertama kali diperkenalkan pada tahun 1988 oleh Paul
Ehrlich. Ia melaporkan seorang wanita muda yang pucat dan panas dengan ulserasi gusi,
menorrhagia, anemia berat dan leukopenia. Sewaktu dilakukan autopsi ditemukan tidak ada
sumsum tulang yang aktif, dan Ehrlich kemudian menghubungkannya dengan adanya penekanan
pada fungsi sumsum tulang. Pada tahun 1904, Chauffard memperkenalkan istilah anemia
aplastik.1,2,4
Insidensi anemia aplastik bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai 6 kasus
persejuta penduduk pertahun.2 Insidensi anemia aplastik diperkirakan lebih sering terjadi
dinegara Timur dibanding negara Barat. Peningkatan insiden mungkin berhubungan dengan
faktor lingkungan seperti peningkatan paparan terhadap bahan kimia toksik dibandingkan faktor
genetik. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya peningkatan insiden pada penduduk Asia yang
tinggal di Amerika. Penelitian yang dilakukan di Thailand menunjukkan peningkatan paparan
dengan pestisida sebagai etiologi yang tersering.3,5
Ketersediaan obat-obat yang dapat diperjualbelikan dengan bebas merupakan salah satu faktor
resiko peningkatan insiden. Obat-obat seperti kloramfenikol terbukti dapat mensupresi sumsum
tulang dan mengakibatkan aplasia sumsum tulang dan mengakibatkan aplasia sumsum tulang
sehingga diperkirakan menjadi penyebab tingginya insiden.6
Diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan berdasarkan gejala subjektif, gejala objektif,
pemeriksaan darah serta pemeriksaan sumsum tulang. Gejala subjektif dan objektif merupakan
manifestasi pansitopenia yang terjadi. Namun, gejala dapat bervariasi dan tergantung dari sel
mana yang mengalami depresi paling berat. Diagnosa pasti anemia aplastik adalah berdasarkan
pemeriksaan darah dan pemeriksaan sumsum tulang. Penegakkan diagnosa secara dini sangatlah
penting sebab semakin dini penyakit ini didiagnosis kemungkinan sembuh secara spontan atau
parsial semakin besar.6,7
Hampir semua kasus anemia aplastik berkembang ke kematian bila tidak dilakukan pengobatan.
Angka kelangsungan hidup tergantung seberapa berat penyakit saat didiagnosis, dan bagaimana
respon tubuh terhadap pengobatan.8 Semakin berat hipoplasia yang terjadi maka prognosis akan
semakin jelek. Dengan transplantasi tulang kelangsungan hidup 15 tahun dapat mencapai 69%
sedangkan dengan pengobatan imunosupresif mencapai 38%.9
Mengingat kasus anemia aplastik ini memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang cukup
tinggi dan pentingnya diagnosis lebih dini diharapkan tinjauan pustaka ini dapat menjadi salah
satu sumber referensi.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Anemia Aplastik


Anemia aplastik adalah keadaan yang disebabkan berkurangnya sel hematopoetik dalam darah
tepi seperti eritrosit, leukosit dan trombosit akibat terhentinya pembentukan sel hemopoetik
dalam sumsum tulang.
(Kapita Selekta Kedokteran jilid 2 : 494)
Anemia Aplastik, adalah kondisi dimana sumsum tidak dapat berproduksi maksimal sehingga
sel darah baru tidak mencukupi untuk proses penggantian sel darah lama.
Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan
pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang.4 Pada anemia aplastik terjadi penurunan
produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga menyebabkan retikulositopenia, anemia,
granulositopenia, monositopenia dan trombositopenia.9 Istilah anemia aplastik sering juga
digunakan untuk menjelaskan anemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh sebab apapun.
Sinonim lain yang sering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia aregeneratif,
aleukia hemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik toksik.1

2.2 Epidemiologi
Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2
sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun.2 Analisis retrospektif di Amerika Serikat
memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5 kasus persejuta penduduk
pertahun.9 The Internasional Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study dan French Study
memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang pertahun.2,9 Frekuensi tertinggi anemia aplastik
terjadi pada orang berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69
tahun. Anemia aplastik lebih sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kira-kira 7 kasus
persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta
penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada di negara
Barat belum jelas.9 Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan dengan faktor lingkungan
seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik, dibandingkan dengan faktor genetik.
Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di
Amerika.5

2.3 Klasifikasi Anemia Aplastik


Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut :
Klasifikasi menurut kausa2 :
Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50% kasus.
Sekunder : bila kausanya diketahui.
Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya anemia Fanconi
Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis (lihat tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi anemia aplastik berdasarkan tingkat keparahan.3,9,10
Anemia aplastik berat - Seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50%
dengan <30% sel hematopoietik residu, dan
- Dua dari tiga kriteria berikut :
netrofil < 0,5x109/l
trombosit <20x109 /l
retikulosit < 20x109 /l
Anemia aplastik sangat berat Sama seperti anemia aplastik berat kecuali
netrofil <0,2x109/l
Anemia aplastik bukan berat Pasien yang tidak memenuhi kriteria anemia
aplastik berat atau sangat berat; dengan sumsum
tulang yang hiposelular dan memenuhi dua dari
tiga kriteria berikut :
netrofil < 1,5x109/l
trombosit < 100x109/l
hemoglobin <10 g/dl

2.4 Etiologi Anemia Aplastik


Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia. Akan tetapi,
kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti penyebabnya tidak diketahui.4,11
Anemia aplastik dapat juga terkait dengan infeksi virus dan dengan penyakit lain (Tabel 2).

Tabel 2. Klasifikasi Etiologi Anemia aplastik.6,12


Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia)
Anemia aplastik sekunder
Radiasi
Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
Efek regular
Bahan-bahan sitotoksik
Benzene
Reaksi Idiosinkratik
Kloramfenikol
NSAID
Anti epileptik
Emas
Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya
Virus
Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa)
Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)
Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)
Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat)
Penyakit-penyakit Imun
Eosinofilik fasciitis
Hipoimunoglobulinemia
Timoma dan carcinoma timus
Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi
Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
Kehamilan
Idiopathic aplastic anemia
Anemia Aplatik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)
Anemia Fanconi
Diskeratosis kongenita
Sindrom Shwachman-Diamond
Disgenesis reticular
Amegakariositik trombositopenia
Anemia aplastik familial
Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)
Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)

2.4.1 Radiasi
Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi dimana stem sel dan
progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana jaringan-jaringan dengan mitosis yang
aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat sensitif.4,12 Bila stem sel hematopoiesis yang
terkena maka terjadi anemia aplastik. Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma sumsum
tulang dan menyebabkan fibrosis.2
Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis dan luasnya paparan
sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi dapat digunakan sebagai terapi dengan
dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan sumsum tulang asalkan lapangan penyinaran tidak
mengenai sebagian besar sumsum tulang. Pada pasien yang menerima radiasi seluruh tubuh efek
radiasi tergantung dari dosis yang diterima. Efek pada sumsum tulang akan sedikit pada dosis
kurang dari 1 Sv (ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk sinar X). Jumlah sel darah dapat
berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1 dan 2,5 Sv (100 dan 250 rads).
Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis radiasi yang lebih tinggi. Bahkan pasien
dapat meninggal disebabkan kerusakan sumsum tulang pada dosis radiasi 5 sampai 10 Sv
kecuali pasien menerima transplantasi sumsum tulang. Paparan jangka panjang dosis rendah
radiasi eksterna juga dapat menyebabkan anemia aplastik.13

2.4.2 Bahan-bahan Kimia


Bahan kimia seperti benzene dan derivat benzene berhubungan dengan anemia aplastik dan akut
myelositik leukemia (AML). Beberapa bahan kimia yang lain seperti insektisida dan logam berat
juga berhubungan dengan anemia yang berhubungan dengan kerusakan sumsum tulang dan
pansitopenia.13

2.4.3 Obat-obatan
Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat berlebihan. Praktis
semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada seseorang dengan predisposisi genetik.
Yang sering menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga
sering dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas, dan antikonvulsan, obat-obatan
sitotoksik misalnya mieleran atau nitrosourea.2
Tabel 3. Obat-obatan yang menyebabkan Anemia Aplastik.
Kategori Resiko Tinggi Resiko Resiko Rendah
Menengah

Analgesik Fenasetin, aspirin,


salisilamide

Anti aritmia Kuinidin, tokainid

Anti artritis Garam Emas Kolkisin

Anti Karbamazepin, Etosuksimid,


konvulsan hidantoin, Fenasemid,
felbamat primidon,
trimethadion,
sodium valproate

Anti histamin Klorfeniramin,


pirilamin,
tripelennamin

Anti hipertensi Captopril,


methyldopa

Anti inflamasi Penisillamin, Diklofenak,


fenilbutazon, ibuprofen,
oksifenbutazon indometasin,
naproxen, sulindac

Anti mikroba

Anti bakteri Kloramfenikol Dapsone, metisillin,


penisilin,
streptomisin, -
lactam antibiotik

Anti fungal Amfoterisin,


flusitosin

Anti protozoa Kuinakrine Klorokuin,


mepakrin,
pirimetamin

Obat Anti neoplasma

Alkylating Busulfan,
agen cyclophosphamide,
melphalan,
nitrogen mustard

Anti Fluorourasil,
metabolit mercaptopurine,
methotrexate

Antibiotik Daunorubisin,
Sitotoksik doxorubisin,
mitoxantrone

Anti platelet Tiklopidin

Anti tiroid Karbimazol,


metimazol,
metiltiourasil,
potassium perklorat,
propiltiourasil,
sodium thiosianat
Sedative dan Klordiazepoxide,
tranquilizer Klorpromazine (dan
fenothiazin yang
lain), lithium,
meprobamate,
metiprilon

Sulfonamid dan turunannya

Anti bakteri Numerous


sulfonamides

Diuretik Acetazolamide Klorothiazide,


furosemide

Hipoglikemik Klorpropamide,
tolbutamide

Lain-lain Allopurinol,
interferon,
pentoxifylline
Catatan : Obat dengan dosis tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang disebut resi

2.4.5 Faktor Genetik


Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik konstitusional dan sebagian dari padanya
diturukan menurut hukum mendell, contohnya anemia Fanconi. Anemia Fanconi merupakan
kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh hipoplasia sumsung tulang disertai pigmentasi
coklat dikulit, hipoplasia ibu jari atau radius, mikrosefali, retardasi mental dan seksual, kelainan
ginjal dan limpa.2

2.4.7 Anemia Aplastik pada Keadaan/Penyakit Lain


1. Pada leukemia limfoblastik akut kadang-kdang ditemukan pansitopenia dengan hipoplasia
sumsum tulang.2
2. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH).
Penyakit ini dapat bermanifestasi berupa anemia aplastik. Hemolisis disertai pansitopenia
mengkin termasuk kelainan PNH.2
3. Kehamilan
Kasus kehamilan dengan anemia aplastik telah pernah dilaporkan, tetapi hubungan antara dua
kondisi ini tidak jelas. Pada beberapa pasien, kehamilan mengeksaserbasi anemia aplastik yang
telah ada dimana kondisi tersebut akan membaik lagi setelah melahirkan. Pada kasus yang lain,
aplasia terjadi selama kehamilan dengan kejadian yang berulang pada kehamilan-kehamilan
berikutnya.9

2.5 Patogenesis11
Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik yang diturunkan
(inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi disebabkan oleh ketidakstabilan DNA.
Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan (acquired aplastic anemia) disebabkan
kerusakan langsung stem sel oleh agen toksik, misalnya radiasi. Patogenesis dari kebanyakan
anemia aplastik yang didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel.
Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang paling sering
karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang langka. Kromosom pada penderita
anemia Fanconi sensitif (mudah sekali) mengalami perubahan DNA akibat obat-obat tertentu.
Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia,
myelodysplastic sindrom (MDS) dan akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga
mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini
menyebabkan perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi, contohnya
dengan gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara). Mekanisme bagaimana
berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik dari sensitifitas mutagen dan
kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti.
Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat disebabkan oleh paparan
radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini dapat menyebabkan rantai DNA
putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA dan RNA.
Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin merupakan
mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun mekanismenya belum diketahui
benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan dalam menghambat proliferasi stem sel dan
mencetuskan kematian stem sel. Pembunuhan langsung terhadap stem sel telah dihipotesa
terjadi melalui interaksi antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada
pada stem sel, yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis).

2.6 Gejala dan Pemeriksaan Fisis Anemia Aplastik


Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang timbul adalah
akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan anemia dimana
timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe deffort, palpitasi cordis, takikardi, pucat
dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis menyebabkan granulositopenia yang akan
menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan
gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu dapat
mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organ-organ.7 Pada
kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastik yang sering dikeluhkan adalah anemia atau
pendarahan, walaupun demam atau infeksi kadang-kadang juga dikeluhkan.1
Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin Keluhan yang
dapat ditemukan sangat bervariasi (Tabel 4). Pada tabel 4 terlihat bahwa pendarahan, lemah
badan dan pusing merupakan keluhan yang paling sering dikemukakan.

Tabel 4. Keluhan Pasien Anemia Apalastik (n=70)2


Jenis Keluhan %
Pendarahan 83
Lemah badan 80
Pusing 69
Jantung berdebar 36
Demam 33
Nafsu makan berkurang 29
Pucat 26
Sesak nafas 23
Penglihatan kabur 19
Telinga berdengung 13

Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada tabel 5 terlihat bahwa
pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan pendarahan ditemukan pada lebih
dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang sebabnya bermacam-macam ditemukan pada
sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya
splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis.2

Tabel 5. Pemeriksaan Fisis pada Pasien Anemia Aplastik2


Jenis Pemeriksaan Fisik %
Pucat 100
Pendarahan 63
Kulit 34
Gusi 26
Retina 20
Hidung 7
Saluran cerna 6
Vagina 3
Demam 16
Hepatomegali 7
Splenomegali 0

2.7 Pemeriksaan Penunjang


2.7.1 Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan Darah
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia yang terjadi bersifat
normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda regenerasi. Adanya eritrosit muda atau
leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Kadang-kadang pula dapat
ditemukan makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis.2
Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah putih menunjukkan
penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75% kasus.
Jumlah neutrofil kurang dari 500/mm3 dan trombosit kurang dari 20.000/mm3 menandakan
anemia aplastik berat. Jumlah neutrofil kurang dari 200/mm3 menandakan anemia aplastik
sangat berat.2,9
Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang secara kualitas normal. Perubahan
kualitatif morfologi yang signifikan dari eritrosit, leukosit atau trombosit bukan merupakan
gambaran klasik anemia aplastik yang didapat (acquired aplastic anemia). Pada beberapa
keadaan, pada mulanya hanya produksi satu jenis sel yang berkurang sehingga diagnosisnya
menjadi red sel aplasia atau amegakariositik trombositopenia. Pada pasien seperti ini, lini
produksi sel darah lain juga akan berkurang dalam beberapa hari sampai beberapa minggu
sehingga diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan.9
Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya memanjang dan begitu juga
dengan waktu pembekuan akibat adanya trombositopenia. Hemoglobin F meningkat pada
anemia aplastik anak dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional.2
Plasma darah biasanya mengandung growth factor hematopoiesis, termasuk erittropoietin,
trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi koloni myeloid. Kadar Fe serum biasanya
meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan inkorporasi Fe ke eritrosit yang
bersirkulasi.9

b. Pemeriksaan sumsum tulang


Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah spikula dengan daerah yang kosong,
dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel hematopoiesis. Limfosit, sel plasma, makrofag dan sel
mast mungkin menyolok dan hal ini lebih menunjukkan kekurangan sel-sel yang lain daripada
menunjukkan peningkatan elemen-elemen ini. Pada kebanyakan kasus gambaran partikel yang
ditemukan sewaktu aspirasi adalah hiposelular. Pada beberapa keadaan, beberapa spikula dapat
ditemukan normoseluler atau bahkan hiperseluler, akan tetapi megakariosit rendah.9
Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas baik secara kualitatif maupun
kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik ditemukan gambaran hiposelular. Aspirasi dapat
memberikan kesan hiposelular akibat kesalahan teknis (misalnya terdilusi dengan darah perifer),
atau dapat terlihat hiperseluler karena area fokal residual hematopoiesis sehingga aspirasi
sumsum tulang ulangan dan biopsi dianjurkan untuk mengklarifikasi diagnosis.9,12
Suatu spesimen biopsi dianggap hiposeluler jika ditemukan kurang dari 30% sel pada individu
berumur kurang dari 60 tahun atau jika kurang dari 20% pada individu yang berumur lebih dari
60 tahun.8
International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia aplastik berat bila selularitas sumsum
tulang kurang dari 25% atau kurang dari 50% dengan kurang dari 30% sel hematopoiesis terlihat
pada sumsum tulang.9

2.7.2 Pemeriksaan Radiologik


Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa anemia
aplastik. Survei skletelal khusunya berguna untuk sindrom kegagalan sumsum tulang yang
diturunkan, karena banyak diantaranya memperlihatkan abnormalitas skeletal. Pada pemeriksaan
MRI (Magnetic Resonance Imaging) memberikan gambaran yang khas yaitu ketidakhadiran
elemen seluler dan digantikan oleh jaringan lemak.

2.8 Diagnosa3,9,10
Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan darah dan dan pemeriksaan sumsum tulang.
Pada anemia aplastik ditemukan pansitopenia disertai sumsum tulang yang miskin selularitas
dan kaya akan sel lemak sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Pansitopenia dan
hiposelularitas sumsum tulang tersebut dapat bervariasi sehingga membuat derajat anemia
aplastik (lihat tabel 1).

2.9 Diagnosa Banding


Diagnosis banding anemia yaitu dengan setiap kelainan yang ditandai dengan pansitopenia
perifer. Beberapa penyebab pansitopenia terlihat pada tabel 6.

Table 6 Penyebab Pansitopenia14


Kelainan sumsum tulang
Anemia aplastik
Myelodisplasia
Leukemia akut
Myelofibrosis
Penyakit Infiltratif: limfoma, myeloma, carcinoma, hairy cell
leukemia
Anemia megaloblastik
Kelainan bukan sumsum tulang
Hipersplenisme
Sistemik lupus eritematosus
Infeksi: tuberculosis, AIDS, leishmaniasis, brucellosis

Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat yaitu sindrom myelodisplastik
dimana kurang lebih 5 sampai 10 persen kasus sindroma myelodisplasia tampak hipoplasia
sumsum tulang. Beberapa ciri dapat membedakan anemia aplastik dengan sindrom
myelodisplastik yaitu pada myelodisplasia terdapat morfologi film darah yang abnormal
(misalnya poikilositosis, granulosit dengan anomali pseudo-Pelger- Het), prekursor eritroid
sumsum tulang pada myelodisplasia menunjukkan gambaran disformik serta sideroblast yang
patologis lebih sering ditemukan pada myelodisplasia daripada anemia aplastik. Selain itu,
prekursor granulosit dapat berkurang atau terlihat granulasi abnormal dan megakariosit dapat
menunjukkan lobulasi nukleus abnormal (misalnya mikromegakariosit unilobuler).9
Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia aplastik yaitu dengan adanya
morfologi abnormal atau peningkatan dari sel blast atau dengan adanya sitogenetik abnormal
pada sel sumsum tulang. Leukemia akut juga biasanya disertai limfadenopati,
hepatosplenomegali, dan hipertrofi gusi.7,14
Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan anemia aplastik. Hairy cell leukemia dapat
dibedakan dengan anemia aplastik dengan adanya splenomegali dan sel limfoid abnormal pada
biopsi sumsum tulang.14
Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya disebabkan oleh sistemik lupus
eritematosus (SLE), infeksi atau hipersplenisme. Selularitas sumsum tulang yang normoselular
jelas membedakannya dengan anemia aplastik.

2.10 Penatalaksanaan
Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat granulositopenia dan
monositopenia memerlukan tatalaksana untuk menghilangkan kondisi yang potensial
mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan pasien (lihat tabel 7).9
Tabel 7. Manajemen Awal Anemia Aplastik9
Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga menjadi penyebab
anemia aplastik.
Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan.
Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai yang dibutuhkan.
Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat.
Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme spesifik tidak dapat
diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat badan kurang dan infeksi ada
(misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur) pertimbangkan transfusi granulosit dari donor
yang belum mendapat terapi G-CSF.
Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan histocompatibilitas pasien,
orang tua dan saudara kandung pasien.

Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu transplantasi stem sel
allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG, siklosporin dan metilprednisolon) atau
pemberian dosis tinggi siklofosfamid.9 Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi
imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang. Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor
saudara yang cocok (matched sibling donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau beban
transfusi harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat terapi
imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya
mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD (Graft
Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya
ditawarkan terapi imunosupresif. Suatu algoritme terapi dapat dipakai untuk panduan
penatalaksanaan anemia aplastik.15

Pengobatan Suportif15
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red cells sampai
kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit kardiovaskular.
Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3. Transfusi trombosit
diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah 20.000/mm3 sebagai
profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak. Transfusi trombosit konsentrat
berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi
sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung).
Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak dianjurkan karena
efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang ditransfusikan
sangat pendek.

Terapi Imunosupresif
Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte globulin (ATG) atau
antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG atau ALG diindikasikan pada15
:
Anemia aplastik bukan berat
Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok
Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat pengobatan tidak terdapat
infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih dari 200/mm3
Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin melalui koreksi
terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan stimulasi langsung atau tidak
langsung terhadap hemopoiesis.15
Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi ringan sampai
berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid.15 Siklosporin juga
diberikan dan proses bekerjanya dengan menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit
sitotoksik.15 Sebuah protokol pemberian ATG dapat dlihat pada tabel 8.11

Tabel 8. Protokol Pemberian ATG pada anemia aplastik11


Dosis test ATG :
ATG 1:1000 diencerkan dengan saline 0,1 cc disuntikan intradermal pada lengan
dengan saline kontrol 0,1 cc disuntikkan intradermal pada lengan sebelahnya. Bila
tidak ada reaksi anafilaksis, ATG dapat diberikan.
Premedikasi untuk ATG (diberikan 30 menit sebelum ATG) :
Asetaminofen 650 mg peroral
Difenhidrahim 50 mg p.o atau intravena perbolus
Hidrokortison 50 mg intravena perbolus
Terapi ATG :
ATG 40 g/kg dalam 1000 cc NS selama 8-12 jam perhari untuk 4 hari
Obat-obat yang diberikan serentak dengan ATG :
Prednison 100 mg/mm2 peroral 4 kali sehari dimulai bersamaan dengan ATG dan
dilanjutkan selama 10-14 hari; kemudian bila tidak terjadi serum sickness, tapering
dosis setiap 2 minggu.
Siklosporin 5mg/kg/hari peroral diberikan 2 kali sehari sampai respon maksimal
kemudian di turunkan 1 mg/kg atau lebih lambat. Pasien usia 50 tahun atau lebih
mendapatkan dosis siklosporin 4mg/kg. Dosis juga harus diturunkan bila terdapat
kerusakan fungsi ginjal atau peningkatan enzim hati.

Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison. Kombinasi ATG, siklosporin
dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70% pada anemia aplastik berat.
Kombinasi ATG dan metilprednisolon memiliki angka remisi sebesar 46%.15
Pemberian dosis tinggi siklofosfamid juga merupakan bentuk terapi imunosupresif. Pernyataan
ini didasarkan karena stem sel hematopoiesis memliki kadar aldehid dehidrogenase yang tinggi
dan relatif resisten terhadap siklofosfamid. Dengan dasar tersebut, siklofosfamid dalam hal ini
lebih bersifat imunosupresif daripada myelotoksis. Namun, peran obat ini sebagai terapi lini
pertama tidak jelas sebab toksisitasnya mungkin berlebihan yang melebihi dari pada kombinasi
ATG dan siklosporin.9 Pemberian dosis tinggi siklofosfamid sering disarankan untuk
imunosupresif yang mencegah relaps. Namun, hal ini belum dikonfirmasi. Sampai kini, studi-
studi dengan siklofosfamid memberikan lama respon leih dari 1 tahun. Sebaliknya, 75% respon
terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama dan relaps dapat terjadi dalam 1 tahun setelah
terapi ATG.15

Terapi penyelamatan (Salvage theraphies)


Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang, pemberian faktor-faktor
pertumbuhan hematopoietik dan pemberian steroid anabolik.15
Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertama dapat berespon terhadap siklus
imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah penelitian, pasien yang refrakter ATG kuda tercapai
dengan siklus kedua ATG kelinci.15
Pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik seperti Granulocyte-Colony Stimulating
Factor (G-CSF) bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil akan tetapi neutropenia berat akibat
anemia aplastik biasanya refrakter. Peningkatan neutrofil oleh stimulating faktor ini juga tidak
bertahan lama. Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai satu-
satunya modalitas terapi anemia aplastik. Kombinasi G-CSF dengan terapi imunosupresif telah
digunakan untuk terapi penyelamatan pada kasus-kasus yang refrakter dan pemberiannya yang
lama telah dikaitkan dengan pemulihan hitung darah pada beberapa pasien.11,15
Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin dan sel-sel induk
sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia aplastk ringan dan pada anemia
aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Androgen digunakan sebagai terapi penyelamatan
untuk pasien yang refrakter terapi imunosupresif.9,15

Transplantasi sumsum tulang


Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia aplastik berat
berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan tetapi, transplantasi
sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil pasien (hanya sekitar 30% pasien
yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Batas usia untuk transplantasi sumsum
tulang sebagai terapi primer belum dipastikan, namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih
baik bila mendapatkan terapi imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin
meningkat pula kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsum tulang donor (Graft Versus
Host Disesase/GVHD).15 Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang lebih
jelek dibandingkan pasien yang berusia muda.9,10
Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival yang lebih baik
daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif.10 Pasien dengan umur kurang dari 50
tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG) maka pemberian transplantasi sumsum
tulang dapat dipertimbangkan.15 Akan tetapi survival pasien yang menerima transplanasi
sumsum tulang namun telah mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek daripada pasien yang
belum mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali.9,10
Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan transfusi selama
beberapa bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat mungkin diambil dari donor yang
bukan potensial sebagai donor sumsum tulang. Hal ini diperlukan untuk mencegah reaksi
penolakan cangkokan (graft rejection) karena antibodi yang terbentuk akibat tansfusi.15
Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow Transplantation (EBMT) adalah
sebagai berikut15 :
- Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm3 dan trombosit
sekurang-kurangnya 100.000/mm3.
- Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah 2000/mm3 dan trombosit
dibawah 100.000/mm3.
- Refrakter : tidak ada perbaikan.

2.11 Prognosis9
Prognosis berhubungan dengan jumlah absolut netrofil dan trombosit. Jumlah absolut netrofil
lebih bernilai prognostik daripada yang lain. Jumlah netrofil kurang dari 500/l (0,5x109/liter)
dipertimbangkan sebagai anemia aplastik berat dan jumlah netrofil kurang dari 200/l
(0,2x109/liter) dikaitkan dengan respon buruk terhadap imunoterapi dan prognosis yang jelek
bila transplantasi sumsum tulang allogenik tidak tersedia. Anak-anak memiliki respon yang lebih
baik daripada orang dewasa. Anemia aplastik konstitusional merespon sementara terhadap
androgen dan glukokortikoid akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien mendapatkan transplantasi
sumsum tulang.
Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien yang berusia kurang dari
20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 20-40 tahun dan sekitar 50% pada pasien berusia
lebih dari 40 tahun. Celakanya, sebanyak 40% pasien yang bertahan karena mendapatkan
transplantasi sumsum tulang akan menderita gangguan akibat GVHD kronik dan resiko
mendapatkan kanker sekitar 11% pada pasien usia tua atau setelah mendapatkan terapi
siklosporin sebelum transplantasi stem sel. Hasil yang terbaik didapatkan pada pasien yang
belum mendapatkan terapi imunosupresif sebelum transplantasi, belum mendapatkan dan belum
tersensitisasi dengan produk sel darah serta tidak mendapatkan iradiasi dalam hal conditioning
untuk transplantasi.
Sekitar 70% pasien memiliki perbaikan yang bermakna dengan terapi kombinasi imunosupresif
(ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa pasien setelah terapi memiliki jumlah sel darah
yang normal, banyak yang kemudian mendapatkan anemia sedang atau trombositopenia.
Penyakit ini juga akan berkembang dalam 10 tahun menjadi proxysmal nokturnal
hemoglobinuria, sindrom myelodisplastik atau akut myelogenous leukimia pada 40% pasien
yang pada mulanya memiliki respon terhadap imunosupresif. Pada 168 pasien yang
mendapatkan transplantasi sumsum tulang, hanya sekitar 69% yang bertahan selama 15 tahun
dan pada 227 pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif, hanya 38% yang bertahan dalam
15 tahun.
Pengobatan dengan dosis tinggi siklofosfamid menghasilkan hasil awal yang sama dengan
kombinasi ATG dan siklosporin. Namun, siklofosfamid memiliki toksisitas yang lebih besar dan
perbaikan hematologis yang lebih lambat walaupun memiliki remisi yang lebih bertahan lama.

BAB III
RINGKASAN

Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang disebabkan oleh kegagalan produksi di
sumsum tulang sehingga mengakibatkan penurunan komponen selular pada darah tepi yaitu
berupa keadaan pansitopenia (kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan
trombosit).
Anemia aplastik merupakan penyakit yang jarang ditemukan. Insidensinya bervariasi di seluruh
dunia yaitu berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun. Frekuensi tertinggi
insidensi anemia aplastik adalah pada usia muda.
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh bahan kimia, obat-obatan, virus, dan terkait dengan
penyakit-penyakit yang lain. Anemia aplastik juga ada yang ditururunkan seperti anemia
Fanconi. Akan tetapi, kebanyakan kasus anemia aplastik merupakan idiopatik.
Tanda dan gejala klinis anemia aplastik merupakan manifestasi dari pansitopenia yang terjadi.
Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe
deffort, palpitasi cordis, takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis
(granulositopenia) menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga
mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik.
Trombositopenia dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di
organ-organ. Gejala yang paling menonjol tergantung dari sel mana yang mengalami depresi
paling berat.
Pansitopenia perifer adalah kelainan hematologis yang utama untuk anemia aplastik. Anemia
bersifat normokrom normositer dan tidak disertai tanda-tanda regenerasi. Leukopenia berupa
grnaulositopenia. Trombosit kuantitas berkurang sedang secara kualitatif normal. Sumsum
tulang akan mengandung banyak sel lemak dan menganduk sedikit sekali sel-sel hemopoisis.
Tidak terlihat penambahan sel primitif.
Anemia aplastik bukan berat memiliki sumsum tulang yang hiposelular dan dua dari tiga kriteria
(netrofil < 1,5x109/l, trombosit < 100x109/l, hemoglobin <10 g/dl). Anemia aplastik berat
memiliki seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50% dengan <30% sel hematopoietik residu,
dan dua dari tiga kriteria (netrofil < 0,5x109/l, trombosit <20x109 /l, retikulosit < 20x109 /l).
Anemia aplastik sangat berat sama seperti anemia aplastik berat kecuali netrofil <0,2x109/l.
Pengobatan anemia aplastik dapat bersifat suportif yaitu dengan transfusi PRC dan trombosit.
Penggunaan obat-obat atau agen kimia yang diduga menjadi penyebab anemia aplastik harus
dihentikan. Pemberian antibiotik bila terjadi infeksi juga harus dilakukan untuk memperbaiki
keadaan umum pasien. Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi terapi imunosupresif atau
transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi
sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host Disease). Pasien
yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif.
Prognosis dipengaruhi banyak hal, antara lain derajat anemia aplastik, usia pasien, ada tidaknya
donor dengan HLA yang cocok untuk transplantasi sumsum tulang allogenik serta apakah pasien
telah mendapatkan terapi imunosupresif sebelum tranplantasi sumsum tulang.

II. Konsep dasar Asuhan Keperawatan Anemia Aplastik


1. Pengkajian
a. Aktivitas / Istirahat
Keletihan, kelemahan otot, malaise umum
Kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak
Takikardia, takipnea ; dipsnea pada saat beraktivitas atau istirahat
Letargi, menarik diri, apatis, lesu dan kurang tertarik pada sekitarnya
Ataksia, tubuh tidak tegak
Bahu menurun, postur lunglai, berjalan lambat dan tanda tanda lain yang menunjukkan
keletihan
b. Sirkulasi
Riwayat kehilangan darah kronis, mis : perdarahan GI
Palpitasi (takikardia kompensasi)
Hipotensi postural
Disritmia : abnormalitas EKG mis : depresi segmen ST dan pendataran atau depresi gelombang
T
Bunyi jantung murmur sistolik
Ekstremitas : pucat pada kulit dan membrane mukosa (konjungtiva, mulut, faring, bibir) dan
dasar kuku
Sclera biru atau putih seperti mutiara
Pengisian kapiler melambat (penurunan aliran darah ke perifer dan vasokonsriksi kompensasi)
Kuku mudah patah, berbentuk seperti sendok (koilonikia)
Rambut kering, mudah putus, menipis
c. Integritas Ego
Keyakinan agama / budaya mempengaruhi pilihan pengobatan mis transfusi darah
Depresi
d. Eliminasi
Riwayat pielonefritis, gagal ginjal
Flatulen, sindrom malabsorpsi
Hematemesis, feses dengan darah segar, melena
Diare atau konstipasi
Penurunan haluaran urine
Distensi abdomen
e. Makanan / cairan
Penurunan masukan diet
Nyeri mulut atau lidah, kesulitan menelan (ulkus pada faring)
Mual/muntah, dyspepsia, anoreksia
Adanya penurunan berat badan
Membrane mukusa kering,pucat
Turgor kulit buruk, kering, tidak elastis
Stomatitis
Inflamasi bibir dengan sudut mulut pecah
f. Neurosensori
Sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo, tinnitus, ketidakmampuan berkonsentrasi
Insomnia, penurunan penglihatan dan bayangan pada mata
Kelemahan, keseimbangan buruk, parestesia tangan / kaki
Peka rangsang, gelisah, depresi, apatis
Tidak mampu berespon lambat dan dangkal
Hemoragis retina
Epistaksis
Gangguan koordinasi, ataksia
g. Nyeri/kenyamanan
Nyeri abdomen samar, sakit kepala
h. Pernapasan
Napas pendek pada istirahat dan aktivitas
Takipnea, ortopnea dan dispnea
i. Keamanan
Riwayat terpajan terhadap bahan kimia mis : benzene, insektisida, fenilbutazon, naftalen
Tidak toleran terhadap dingin dan / atau panas
Transfusi darah sebelumnya
Gangguan penglihatan
Penyembuhan luka buruk, sering infeksi
Demam rendah, menggigil, berkeringat malam
Limfadenopati umum
Petekie dan ekimosis
2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan
untuk pengiriman oksigen / nutrisi ke sel.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk
mencerna atau ketidak mampuan mencerna makanan / absorpsi nutrisi yang diperlukan untuk
pembentukan sel darah merah (SDM) normal.
c. Konstipasi atau diare berhubungan dengan penurunan masukan diet; perubahan proses
pencernaan.
d. Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen
(pengiriman) dan kebutuhan.
e. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh sekunder leucopenia,
penurunan granulosit (respons inflamasi tertekan).
3. Intervensi Keperawatan
a. Dx 1 : Perubahan perusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang
diperlukan untuk pengiriman oksigen / nutrisi ke sel.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam anak menunjukkan perfusi
yang adekuat
Kriteria Hasil :
Tanda-tanda vital stabil
Membran mukosa berwarna merah muda
Pengisian kapiler
Haluaran urine adekuat
Intervensi :
1) Ukur tanda-tanda vital, observasi pengisian kapiler, warna kulit/membrane mukosa, dasar
kuku.
R/ memberikan informasi tentang keadekuatan perfusi jaringan dan membantu kebutuhan
intervensi.
2) Auskultasi bunyi napas.
R/ dispnea, gemericik menunjukkan CHF karena regangan jantung lama/peningkatan kopensasi
curah jantung.
3) Observasi keluhan nyeri dada, palpitasi.
R/ iskemia seluler mempengaruhi jaringan miokardial/potensial resiko infark.
4) Evaluasi respon verbal melambat, agitasi, gangguan memori, bingung.
R/ dapat mengindikasikan gangguan perfusi serebral karena hipoksia
5) Evaluasi keluhan dingin, pertahankan suhu lingkungan dan tubuh supaya tetap hangat.
R/ vasokonstriksi (ke organ vital) menurunkan sirkulasi perifer.
Kolaborasi
6) Observasi hasil pemeriksaan laboratorium darah lengkap
R/ mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan pengobatan/respons terhadap terapi.
7) Berikan transfusi darah lengkap/packed sesuai indikasi
R/ meningkatkan jumlah sel pembawa oksigen, memperbaiki defisiensi untuk mengurangi resiko
perdarahan.
8) Berikan oksigen sesuai indikasi.
R/ memaksimalkan transpor oksigen ke jaringan.
9) Siapkan intervensi pembedahan sesuai indikasi.
R/ transplantasi sumsum tulang dilakukan pada kegagalan sumsum tulang/ anemia aplastik.
b. Dx.2 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk
mencerna atau ketidak mampuan mencerna makanan / absorpsi nutrisi yang diperlukan untuk
pembentukan sel darah merah (SDM) normal.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam anak mampu mempertahankan berat
badan yang stabil
Kriteria hasil :
Asupan nutrisi adekuat
Berat badan normal
Nilai laboratorium dalam batas normal :
Albumin : 4 5,8 g/dL
Hb : 11 16 g/dL
Ht : 31 43 %
Trombosit : 150.000 400.000 L
Eritrosit : 3,8 5,5 x 1012
Intervensi :
1) Observasi dan catat masukan makanan anak.
R/ mengawasi masukan kalori atau kualitas kekurangan konsumsi makanan.
2) Berikan makanan sedikit dan frekuensi sering
R/ makan sedikit dapat menurunkan kelemahan dan meningkatkan asupan nutrisi.
3) Observasi mual / muntah, flatus.
R/ gajala GI menunjukkan efek anemia (hipoksia) pada organ.
4) Bantu anak melakukan oral higiene, gunakan sikat gigi yang halus dan lakukan penyikatan
yang lembut.
R/ meningkatkan napsu makan dan pemasukan oral. Menurunkan pertumbuhan bakteri,
meminimalkan kemungkinan infeksi. Teknik perawatan mulut diperlukan bila jaringan
rapuh/luak/perdarahan.
Kolaborasi
5) Observasi pemeriksaan laboratorium : Hb, Ht, Eritrosit, Trombosit, Albumin.
R/ mengetahui efektivitas program pengobatan, mengetahui sumber diet nutrisi yang dibutuhkan.
6) Berikan diet halus rendah serat, hindari makanan pedas atau terlalu asam sesuai indikasi.
R/ bila ada lesi oral, nyeri membatasi tipe makanan yang dapat ditoleransi anak.
7) Berikan suplemen nutrisi mis : ensure, Isocal.
R/ meningkatkan masukan protein dan kalori.
c. Dx. 3 : Konstipasi atau diare berhubungan dengan penurunan masukan diet; perubahan proses
pencernaan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam anak menunjukan perubahan pola
defekasi yang normal.
Kriteria hasil :
Frekuensi defekasi 1x setiap hari
Konsistensi feces lembek, tidak ada lender / darah
Bising usus dalam batas normal
Intervensi :
1) Observasi warna feces, konsistensi, frekuensi dan jumlah.
R/ membantu mengidentifikasi penyebab / factor pemberat dan intervensi yang tepat.
2) Auskultasi bunyi usus.
R/ bunyi usus secara umum meningkat pada diare dan menurun pada konstipasi.
3) Hindari makanan yang menghasilkan gas.
R/menurunkan distensi abdomen.
Kolaborasi
4) Berikan diet tinggi serat
R/ serat menahan enzim pencernaan dan mengabsorpsi air dalam alirannya sepanjang traktus
intestinal.
5) Berikan pelembek feces, stimulant ringan, laksatif sesuai indikasi.
R/ mempermudah defekasi bila konstipasi terjadi.
6) Berikan obat antidiare mis : difenoxilat hidroklorida dengan atropine (lomotil) dan obat
pengabsorpsi air mis Metamucil.
R/ menurunkan motilitas usus bila diare terjadi.
d. Dx.4 : Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen
(pengiriman) dan kebutuhan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam anak melaporkan peningkatan
toleransi aktivitas.
Kriteria hasil :
Tanda tanda vital dalam batas normal
Anak bermain dan istirahat dengan tenang
Anak melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuan
Anak tidak menunjukkan tanda tanda keletihan
Intervensi :
1) Ukur tanda tanda vital setiap 8 jam
R/ manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah oksigen
adekuat ke jaringan.
2) Observasi adanya tanda tanda keletihan ( takikardia, palpitasi, dispnea, pusing, kunang
kunang, lemas, postur loyo, gerakan lambat dan tegang.
R/ membantu menetukan intervensi yang tepat.
3) Bantu anak dalam aktivitas diluar batas toleransi anak.
R/ mencegah kelelahan.
4) Berikan aktivitas bermain pengalihan sesuai toleransi anak.
R/ meningkatkan istirahat, mencegah kebosanan dan menarik diri.
e. Dx.5 : Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh sekunder leucopenia,
penurunan granulosit (respons inflamasi tertekan).
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam infek tidak terjadi.
Kriteria Hasil :
Tanda tanda vital dalam batas normal
Leukosit dalam batas normal
Keluarga menunjukkan perilaku pencegahan infeksi pada anak
Intervensi
1) Ukur tanda tanda vital setiap 8 jam.
R/ demam mengindikasikan terjadinya infeksi.
2) Tempatkan anak di ruang isolasi bila memungkinkan dan beri tahu keluarga supaya
menggunakan masker saat berkunjung.
R/ mengurangi resiko penularan mikroorganisme kepada anak.
3) Pertahankan teknik aseptik pada setiap prosedur perawatan.
R/ mencegah infeksi nosokomial.
Kolaborasi
4) Observasi hasil pemeriksaan leukosit.
R/lekositosis mengidentifikasikan terjadinya infeksi dan leukositopenia mengidentifikasikan
penurunan daya tahan tubuh dan beresiko untuk terjadi infeksi
4. Implementasi
Implementasi disesuaikan dengan intervensi yang telah dibuat.
5. Evaluasi Keperawatan
a. Mempertahankan perfusi jaringan adekuat
b. Mempertahankan asupan nutrisi adekuat dan berat badan stabil
c. Menunjukkan pola defekasi normal
d. Mengalami peningkatan toleransi aktivitas
e. Infeksi tidak terjadi

DAFTAR PUSTAKA

William DM. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In: Lee GR, Foerster J, et
al (eds). Wintrobes Clinical Hematology 9th ed. Philadelpia-London: Lee& Febiger, 1993;911-
43.
Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 2001;501-8.
Supandiman I. Hematologi Klinik Edisi kedua. Jakarta: PT Alumni, 1997;95-101
Young NS, Maciejewski J. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. Available in
URL: HYPERLINK http://content.nejm.org/cgi/content/fill/336/19/
Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds). William Hematology
7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007.
Smith EC, Marsh JC. Acquired aplastic anaemia, other acquired bone marrow failure disorders
and dyserythropoiesis. In: Hoffbrand AV, Catovsky D, et al (eds). Post Graduate Haematology
5th edition. USA: Blackwell Publishing, 2005;190-206.
Paquette R, Munker R. Aplastic Anemias. In: Munker R, Hiller E, et al (eds). Modern
Hematology Biology and Clinical Management 2nd ed. New Jersey: Humana Press, 2007 ;207-
16.
Young NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure syndromes. In:
Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrisons Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York:
McGraw Hill, 2007:617-25.
Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in Clinical Practice 4th ed. New York: Lange
McGraw Hill, 2005.
Linker CA. Aplastic anemia. In: McPhee SJ, Papadakis MA, et al (eds). Current Medical
Diagnosis and Treatment. New York: Lange McGraw Hill, 2007;510-11.
Solander H. Anemia aplastik In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK
UI, 2006;637-43.

Você também pode gostar