Você está na página 1de 12

LAPORAN KASUS ETIKA KEDOKTERAN

DILEMA ETIK PEMULANGAN PASIEN STROKE DENGAN PENURUNAN


KESADARAN ATAS PERMINTAAN KELUARGA PASIEN

Oleh :
dr. Nailaa Mabruroh

Narasumber :
dr. Budi Darmayanto, Sp. A

INTERNSHIP RSUD DR. R. SOETIJONO


BLORA
2016-2017
Berita Acara Presentasi Kasus Etika

Pada hari ini, tanggal 1 April 2017, telah dipresentasikan kasus etika oleh:

Nama : dr. Nailaa Mabruroh

Judul/ topik : Dilema etik pemulangan pasien stroke


hemoragik dengan penurunan kesadaran atas
permintaan keluarga pasien

No. ID dan Nama Pendamping : dr. Indrayati

No. ID dan Nama Narasumber : dr. Budi Dharmayanto, Sp. A

No. ID dan Nama Wahana : RSUD dr. R. Soetijono Blora

Nama Peserta Presentasi No. ID Peserta Tanda Tangan


1. 1.
2. 2.
3. 3.
4. 4.
5. 5.
6. 6.
7. 7.
8. 8.
9. 9.
10. 10.
11. 11.
12. 12.
13. 13.
14. 14.
15. 15.
16. 16.
17. 17.
18. 18.
19. 19.
20. 20.
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Pendamping

dr. Indrayati
NIP 19710502 200604 2 002

2
No. ID dan Nama Peserta : dr. Nailaa Mabruroh Presenter : dr. Nailaa Mabruroh
Nama Wahana : RSUD dr. R. Soetijono Blora Pendamping : dr. Indrayati
TOPIK : Dilema etik pemulangan pasien stroke hemoragik dengan penurunan kesadaran
atas permintaan keluarga pasien

Tanggal (kasus) : Februari 2017 No. RM : 349386


Nama : Tn. S Pendamping : dr. Indrayati
Tanggal Presentasi : Maret 2017 Narasumber : dr. Budi Darmayanto, Sp. A
Tempat Presentasi : RSUD dr. R. Soetijono Blora
OBJEKTIF PRESENTASI
o Keilmuan o Keterampilan o Penyegaran Tinjauan Pustaka
o Diagnostik o Manajemen o Masalah Istimewa
o Neonatus o Bayi o Anak o Remaja o Dewasa Lansia o Bumil
o Deskripsi :
Seorang laki-laki, 66 tahun, dirawat di ICU RSUD dr. R. Soetijono Blora dengan
diagnosis stroke hemoragik. Kondisi pasien tidak sadar dan terpasang monitor serta
terapi-terapi intensif. Pada hari perawatan pertama, istri pasien menemui dokter jaga
ICU untuk menyampaikan keinginannya untuk membawa pasien pulang dan hendak
dirawat sendiri di rumah, dengan alasan tidak ada keluarga yang bisa menunggui
pasien selama dirawat di Rumah Sakit.
Bahan Bahasan Tinjauan Pustaka o Riset Kasus o Audit
Cara Membahas o Diskusi Presentasi o E-mail o Pos
dan Diskusi
DAFTAR PUSTAKA:
1. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. Kode Etik Kedokteran Indonesia
dan Pedoman Pelaksanaan Etik Kedoteran Indonesia. Jakarta : IDI
2. Samil,R.S.2001.Etika Kedokteran Indonesia.Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Prawirohardjo
3. Kaidah Dasar Moral Kedokteran Indonesia. Diunduh dari :
http://www.hukor.depkes.go.id/?art=57 .17 Januari 2012
4. Praktek Kedokteran. Diunduh dari : http://www.ilunifk83.com/t93-uu-ri-no-29-
tahun-2004-tentang-praktik-kedoktera
5. Bagian kedokteran forensik FK UI. Ilmu kedokteran forensik. Edisi 1. Cetakan ke-2
Jakarta : FK UI ; 1997.

3
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio

1. Deskripsi Kasus
a. Subjektif
Keluhan Utama : Penurunan kesadaran

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien diantar ke RSUD Blora dengan penurunan kesadaran tiba-tiba sejak 3 jam
sebelum masuk RS. Dikatakan oleh pengantar bahwa pasien sebelumnya mengeluh
sakit kepala berat dan bicara terdengar pelo. Kemudian pasien tiba-tiba terjatuh
dan pingsan saat sedang mencangkul di sawah. Pasien dibawa ke IGD rawat
ICU.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat hipertensi tidak tahu, riwayat kencing manis tida tahu, riwayat stroke
sebelumnya disangkal, alergi obat tidak tahu

Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat hipertensi tidak tahu, riwayat kencing manis tida tahu, alergi obat tidak
tahu.

b. Objektif
PemeriksaanFisik
Keadaan Umum : GCS E1M2V1
Vital sign
o Tekanan darah : 180/100 mmHg
o Nadi : 96 kali/ menit, isi dan tegangan cukup
o Nafas : 23X/ menit
o Suhu : 37.6oC, axila
Kepala :
Mata : CA (-/-), SI (-/-), pupil isokor 2mm/2mm, RC +/+
Mulut : asimetri (+) kelemahan nasolabial kiri
Telinga : otorhea : -/-
Leher :simetris, peningatan JVP (-), kaku kuduk (-), pembesaran kelenjar getah
bening (-)

4
Thorax
Pulmo/
Inspeksi : Simetris, jejas (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+)/(+), suara tambahan (-)
Cor/
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V LMCS,tidak kuat angkat
Perkusi : Kesan kardiomegali (-)
Auskultasi : S1-S2 regular, bising jantung (-)
Abdomen

Inspeksi : Datar, jejas (-)


Auskultasi : Bising usus normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Nyeri tekan (-), H/L tak teraba

Ekstermitas
Atas Bawah
Edema : -/- -/-

Kekuatan sulit dinilai sulit dinilai

Tonus meningkat/normal meningkat/normal

Refleks fisiologis meningkat/normal meningkat/normal

Refleks patologis +/- +/-

Sensoris sulit dinilai sulit dinilai

Pemeriksaan penunjang
GDS : 102mg/dL

c. Diagnosis
Stroke hemoragik DD/ Stroke nonhemoragik

5
d. Penatalaksanaan
- Rawat ICU monitor
- O23 lpm nasal kanul
- Pasang DC
- Pasang NGT amlodipin 1x10 mg, diet cair
- Infus NS 20 tpm
- Inj. Kalnex 4x2 ampul
- Inj. Benocetam 1x12 gram
- Inj. OMZ 2x1 ampul
- Pro CT scan kepala dan fisioterapi

2. Pembahasan
Seorang laki-laki, 66 tahun, dirawat di ICU RSUD dr. R. Soetijono Blora dengan
diagnosis stroke hemoragik. Kondisi pasien tidak sadar dan terpasang monitor serta terapi-
terapi intensif. Pada hari perawatan pertama, istri pasien menemui dokter jaga ICU untuk
menyampaikan keinginannya untuk membawa pasien pulang dan hendak dirawat sendiri di
rumah, dengan alasan tidak ada keluarga yang bisa menunggui pasien selama dirawat di
Rumah Sakit. Pasien memiliki seorang istri yang berusia 64 tahun dan tidak memiliki anak.
Saudara-saudara pasien tinggal di luar kota.
Dokter jaga ICU menilai bahwa pasien seharusnya mendapatkan terapi intensif di
ICU, tidak layak untuk dilakukan perawatan di rumah. Dokter memberikan penjelasan
mengenai risiko jika pasien dibawa pulang.
Terdapat suatu dilema di dalam penanganan pasien di atas., yakni:
1. Di satu sisi, menurut pertimbangan dokter,pasien seharusnya mendapatkan terapi
intensif di ICU, tidak layak untuk dilakukan perawatan di ruang biasa, apalagi di
rumah. Nutrisi di rumah akan sulit terpenuhi mengingat kondisi pasien yang tidak
sadar.
2. Di sisi lain, keluarga pasien memiliki keterbatasan dalam hal waktu dan biaya
yang dibutuhkan selama menunggui pasien di RS.Usia istri pasien yang juga
lanjut membuat beliau merasa tidak sanggup menginap di RS.
3. Sisi yang terakhir adalah bahwa prognosis penyait pasien sesuai ilmu kedoteran
adalah dubia ad malam. Muncul pertimbangan baru seandainya ada pasien dengan
prognosis lebih baik yang membutuhkan perawatan intensif juga.

6
Kaidah dasar Bioetik terkait dalam skenario
o Tindakan berbuat baik (beneficence)
General beneficence :
- melindungi dan mempertahankan hak yang lain
- mencegah terjadi kerugian pada yang lain,
- menghilangkan kondisi penyebab kerugian pada yang lain.
Specific beneficence :
- menolong orang cacat,
- menyelamatkan orang dari bahaya.
- mengutamakan kepentingan pasien
- memandang pasien/ keluarga/ sesuatu tak hanya sejauh
menguntungkan dokter/ rumah sakit/ pihak lain
- maksimalisasi akibat baik ( termasuk jumlahnya > akibat buruk )
- Menjamin nilai pokok : "apa saja yang ada, pantas (elok) kita
bersikap baik terhadapnya" (apalagi ada yg hidup).
Dalam kasus ini dokter jaga melakukan pemeriksaan dan
perawatan terhadap pasien sesuai keilmuan yang dimiliki serta advis dari
konsulen. Dokter juga memberikan penjelasan mengenai kondisi pasien
kepada keluarga pasien.
o Tidak merugikan ( nonmaleficence /primum non nocere )
Sisi komplementer beneficence dari sudut pandang pasien, seperti :
- Tidak boleh berbuat jahat (evil) atau membuat derita (harm) pasien
- Minimalisasi akibat buruk
Kewajiban dokter untuk menganut ini berdasarkan hal-hal :
- Pasien dalam keadaan amat berbahaya atau berisiko
hilangnya sesuatu yang penting
- Dokter sanggup mencegah bahaya atau kehilangan tersebut
- Tindakan kedokteran tadi terbukti efektif
- Manfaat bagi pasien > kerugian dokter (hanya mengalami risiko
minimal).
- Norma tunggal, isinya larangan.
Pada kasus ini, dokter menolak untuk mememulangkan pasien
karena memikirkan resikonya pada pasien yang seharusnya mendapat

7
terapi intensif di RS.
o Keadilan (Justice)
Memberi perlakuan sama untuk setiap orang (keadilan sebagai
fairness) yakni :
- Memberi sumbangan relatif sama terhadap kebahagiaan diukur
dari kebutuhan mereka (kesamaan sumbangan sesuai kebutuhan
pasien yang memerlukan/membahagiakannya)
- Menuntut pengorbanan relatif sama, diukur dengan kemampuan
mereka (kesamaan beban sesuai dengan kemampuan pasien).
Dokter A memperlakukan pasien dan kelurga pasien dengan baik
meskipun pasien dari golongan menengah ke bawah dan menggunakan
BPJS PBI.
o Autonomy (self-determination)
Kebebasan bertindak, memutuskan (memilih) dan menentukan diri
sendiri sesuai dengan kesadaran terbaik bagi dirinya yang ditentukan
sendiri tanpa hambatan, paksaan atau campur-tangan pihak luar.
Dokter jaga menghormati hak pasien dengan melakukan
pemeriksaan fisik dan memberikan penjelasan mengenai resiko
pemulangan pasien dalam kondisi saat ini. Jika pasien dipulangan saat itu
juga, tindakan tersebut merupana euthanasia pasif.

3. Aspek Hukum dan Etika


Sampai saat ini, euthanasia masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat
Indonesia. Mereka yang menyetujui tindakan euthanasia berpendapat bahwa euthanasia
adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan persetujuan dan dilakukan dengan tujuan
utama menghentikan penderitaan pasien. Prinsip kelompok ini adalah manusia tidak
boleh dipaksa untuk menderita. Dengan demikian, tujuan utama kelompok ini yaitu
meringankan penderitaan pasien dengan memperbaiki resiko hidupnya.
Kelompok yang kontra terhadap euthanasia berpendapat bahwa euthanasia
merupakan tindakan pembunuhan terselubung, karenanya bertentangan dengan kehendak
Tuhan. Kematian semata-mata adalah hak dari Tuhan, sehingga manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan tidak mempunyai hak untuk menentukan kematiannya. Menurut
PP no.18/1981 pasal 1g menyebutkan bahwa: Meninggal dunia adalah keadaan insane

8
yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang, bahwa fungsi otak, pernapasan, dan
atau denyut jantung seseorang telah berhenti. Definisi mati ini merupakan definisi yang
berlaku di Indonesia.
Mati itu sendiri sebetulnya dapat didefinisikan secara sederhana sebagai
berhentinya kehidupan secara permanen (permanent cessation of life). Hanya saja, untuk
memahaminya terlebih dahulu perlu memahami apa yang disebut hidup. Para ahli
sependapat jika definisi hidup adalah berfungsinya berbagai organ vital (paru-paru,
jantung, dan otak) sebagai satu kesatuan yang utuh, ditandai oleh adanya konsumsi
oksigen. Dengan demikian definisi mati dapat diperjelas lagi menjadi berhentinya secara
permanen fungsi organ-organ vital sebagai satu kesatuan yang utuh, ditandai oleh
berhentinya konsumsi oksigen.
Meskipun euthanasia bukan merupakan istilah yuridis, namun mempunyai
implikasi hukum yang sangat luas, baik pidana maupun perdata. Pasal-pasal dalam
KUHP menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan adalah
dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Berikut adalah
bunyi pasal-pasal dalam KUHP tersebut:
Pasal 338: Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena
pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas
tahun.
Pasal 340: Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan
berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara
sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
Pasal 344: Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh dihukum penjara
selama-lamanya dua belas tahun.
Pasal 345: Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi
bunuh diri.
Pasal 359: Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan
selama-lamanya satu tahun.

9
Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa tindakan perawatan medis yang tidak ada
gunanya seperti misalnya pada kasus pasien ini, secara yuridis dapat dianggap sebagai
penganiayaan. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran dapat dikatakan di luar
kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Dengan kata lain, apabila
suatu tindakan medis dianggap tidak ada manfaatnya, maka dokter tidak lagi
berkompeten melakukan perawatan medis, dan dapat dijerat hukum sesuai KUHP pasal
351 tentang penganiayaan, yang berbunyi: Penganiayaan diancam dengan pidana
penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah. Penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
Dengan mengacu pada dasar hokum di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang
dokter wajib memberikan pertolongan kepada seluruh pasien dalam kondisi apapun
sesuai dengan kemampuannya. Berdasar kasus di atas, adanya pertolongan dan
perawatan intensif yang dilakukan oleh dokter dan timnya, merupakan tindakan yang
telah sesuai dengan dasar hukum tersebut. Tindakan dokter jaga ICU untuk menjelaskan
tentang risiko jika pasien dipulangkan paksa oleh keluarga juga telah tepat. Namun,
karena keluarga adalah pihak yang paling berhak memutuskan segala tindakan terhadap
pasien, keputusan tetap diserahkan kepada keluarga pasien.
Deklarasi Lisabon 1981 mengenai penjelasan hak-hak pasien
Pasien berhak menerima atau menolak tindakan pengobatan sesudah ia
memperoleh informasi yang jelas
Salah satu hak pasien yang penting dalam hukum kedokteran adalah hak atas
informasi. Setiap manusia dewasa dan berpikiran sehat berhak menentukan
apa yang hendak dilakukan terhadapnya. Untuk itu, dokter harus menjelaskan
tindakan dengan bahasa yang dapat dimengerti pasien. Informasi tersebut
meliputi :
1. Tindakan yang akan diambil
2. Risikonya
3. Kemungkinan akibat yang akan timbul berikut jenis tindakan yang
dilakukan untuk dapat mengatasinya
4. Kemungkinan yang akan terjadi apabila tindakan tidak dilakukan
5. Prognosis

Dengan melakukan semua tindakan tadi, diharapkan seorang dokter dapat terbantu
dalam mengatasi suatu kasus dilema seperti salah satu contoh di atas. Adanya kerjasama

10
antara dokter-pasien (dalam hal ini diwakili oleh keluarga pasien) mutlak diperlukan, baik
untuk mencapai suatu hasil yang maksimal dari suatu terapi yang diberikan, maupun
untuk menghindari adanya kesalahpahaman yang tidak jarang akan berakhir dengan
sebuah tuntutan dari pasien maupun keluarga pasien.

4. Sanksi
A. Segi Etika dan Disiplin Kedokteran
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan sebaik mungkin terhadap
semua pasien. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka melanggar sumpah dokter dan
KODEKI Pasal 10 (Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup insani).
Penegakan etika profesi dokter dilakukan oleh organisasi profesi (IDI)
melalui lembaga kepengurusannya dan MKEK (Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran). Pelanggaran etika tidak menimbulkan sanksi formal bagi pelakunya,
hanya diberikan tuntutan oleh MKEK. Secara maksimal, MKEK dapat mengajukan
saran ke Kanwil Depkes setempat untuk memberlakukan sanksi administratif. Bila
terdapat bukti adanya pelanggaran disiplin, MKEK akan meneruskan kasus tersebut
ke MKDKI.
Dalam BAB VIII Pasal 55 disebutkan tugas MKDKI adalah menegakkan
disiplin bagi dokter dan dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran,
kemudian menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran
disiplin dokter, serta menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus
pelanggaran disiplin bagi dokter. Bila terbukti melanggar disiplin, dokter yang
bersangkutan dapat dikenakan sanksi oleh MKDKI berupa peringatan tertulis,
rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Izin Praktik (SIP),
atau wajib mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran.
B. Segi Hukum Pidana
Pelanggaran yang dilakukan dokter jika tidak melakukan pertolongan
terhadap pasien dalam kondisi stroke hemoragik dapat dikenakan sanksi pidana
sebab kewajiban melaksanakan praktik kedokteran sesuai kompetensi telah diatur
dalam UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal 79 yang berbunyi:
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi
yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya. Namun, dalam hal ini dokter

11
telah melakukan informed consent kepada keluarga pasien dann keluarga pasien
tetap memaksakan kehendaknya, sehingga dokter tidak dikategorikan melanggar
hokum pidana

5. Solusi
Seorang dokter sebaiknya bisa memahami, mengkhayati dan mengamalkan konsep
dasar bioetik serta menaati kode etik kedokteran dan peraturan perundang-undangan
dalam menangani pasiennya, serta memegang lafal sumpah Dokter yang telah diucapkan
sehingga dapat bersikap dan bertindak dengan tepat dalam menghadapi berbagai dilema
yang terjadi dalam melakukan praktik kedokteran

12

Você também pode gostar