Você está na página 1de 11

Aspek - Aspek Penunjang yang Harus Diterapkan Pada Sistem Pendidikan

Dasar di Indonesia

Indonesia memiliki 3 klasifikasi pendidikan yang wajib menurut jenjangnya


, yaitu pendidikan dasar yang menjadi awal dan dilaksanakan selama 6 tahun,
kemudian dilanjutkan dengan pendidikan menengah pertama 3 tahun , dan
menengah atas yang juga 3 tahun. Ketiga jenjang tersebut memiliki suatu acuan
yang sering kita sebut sebagai kurikulum. Sejak reformasi hingga sekarang
kurikulum telah beberapa kali mengalami perubahan yaitu pada tahun 2004
menggunakan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), pada tahun 2006
menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), pada tahun 2013
menggunakan kurikulum 2013 (K-13), dan yang terakhir sekarang ini
menggunakan kurikulum nasional sebagai revisi dari kurikulum K-13.

Pendidikan dasar menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan


kondisi dan perkembangannya oleh pemerintah dan masyarakat. Karena pada
pendidikan dasar inilah seorang siswa ditanamkan nilai - nilai dari tujuan
pendidikan nasional untuk pertama kalinya oleh lembaga formal di bawah perhatian
pemerintah. Sejauh ini partisipasi dalam pendidikan dasar / SD / MI di Indonesia
memiliki jumlah peserta yang paling banyak dari pada jenjang SMP & SMA,
menurut data badan statistik nasional jumlahnya pada tahun 2013/2014 sebesar
26.504.160 siswa. Itu menandakan bahwa pendidikan dasar ini dianggap penting
juga oleh masyarakat. Kepercayaan dari masyarakat ini juga harus dibarengi dengan
kualitas pendidikan yang bagus pula. Selama ini, pendidikan dasar dianggap belum
cukup mampu untuk mencetak siswanya menjadi siswa yang berkarakter sesuai
identitas bangsa yaitu sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditandai dengan kasus-
kasus yang marak terjadi di kalangan siswa sekolah dasar seperti kasus yang
dilansir dari Jateng Tribun News bahwa pada bulan november 2016 telah terjadi
tawuran yang melibatkan 3 sekolah dasar, saksi sempat melihat beberapa siswa SD
membawa senjata tajam dan terlibat perkelahian. Dalam hal ini tidak sepantasnya
anak usia sekolah dasar melakukan hal seperti itu. Berarti dapat kita asumsikan
bahwa ada sesuatu yang salah dalam proses pendidiakan selama ini. Bahkan guru
yang harusnya menjadi contoh bagi siswanya dengan tega melakukan pelecehan
pada siswanya, diusut dari berita regional liputan 6 di Semarang, pada bulan
oktober 2016 seorang guru Bahasa inggris melakukan tindakan pelecehan seksual
terhadap 21 muridnya. Sejumlah orang tua yang mendapati laporan dari anaknya
langsung melapor pada pihak yang berwenang dan lalu kasusnya terkuak.

Untuk itu, kami menawarkan dan menekankan tiga aspek yang menurut
kami penting dalam penerapan sistem pendidikan dasar di Indonesia. Aspek yang
pertama adalah pendidikan moral yang mencakup kebudayaan dan nilai moral itu
sendiri. Kemudian adalah pendidikan formal yang mencakup kecerdasan seorang
anak. Serta lingkungan yang mendukung keduanya hingga dapat berjalan secara
efektif.

Berbicara tentang moral, mungkin itu adalah kata sederhana yang sangat
diperhitungkan dalam menilai seseorang. Namun, darimanakah kita mendapatkan
pelajaran moral. Apakah di sekolah diajarkan dengan sepenuhnya? Atau apakah
pendidikan moral hanya tanggungjawab orangtua yang harus diajarkan di rumah ?
Ternyata terbentuknya moral seseorang sangat dipengaruhi oleh bagaimana
pendidikan dasar yang ia dapatkan. Menurut penelitian, anak balita hingga usia
sekolah dasar, otaknya diibaratkan sebagai sponge. Dimana dapat menyerap dengan
cepat apapun yang ia lihat dan melakukan apapun yang dicontohkan oleh oranglain.
Betapa dahsyatnya otak anak pada usia tersebut untuk merekam segala sesuatu.
Namun seringkali para orangtua atau guru di sekolah tidak memperhatikan hal ini.
Momen di masa tersebut seharusnya digunakan untuk mengajarkan moral-moral
untuk bekal kehidupan di masa mendatang.

Menurut kami, sebagian besar sistem pendidikan dasar yang diterapkan di


Indonesia kurang menerapkan nilai moral pada prakteknya. Kebanyakan sistem
pendidikan dasar saat ini, lebih mengedepankan nila-nilai kompetitif agar siswa
tersebut bisa menjadi lebih unggul dibandingkan dengan siswa yang lain. Hal ini
memang tidak sepenuhnya salah namun alangkah baiknya jika sebelum
menanamkan nilai kompetitif, perlu ditanamkan nilai moral dasar agar nantinya
siswa tersebut tidak menghalalkan segala cara untuk menjadi unggul dari yang
lainnya.

Menurut penelitian yang dilakuakn oleh Piaget, dapat disimpulkan bahwa


pemikiran mengenai moral anak-anak dicapai melalui dua tahap. Yakni pada usia 4
hingga 7 tahun, anak-anak memperlihatkan moralitas heteronom, pada usia ini,
pikiran anak-anak terhadap aturan-aturan dibayangkan sebagai sesuatu yang tidak
boleh dirubah dan akan melekat pada. Sedangkan pada usia 7-10 tahun, anak-anak
mulai menunjukkan ciri-ciri dari penerapan moral yang sudah mereka rekam di
memorinya. Pada usia 10 tahun ke atas, mereka dapat memutuskan dan menerapkan
apa yang mereka anggap benar dan apa yang telah mereka pelajari hingga
digunakan untuk pegangan hidupnya.

Anak-anak sangat mempercayai hal-hal yang telah diajarkan pada usia


tersebut. Mereka sangat memegang teguh terhadap konsekuensi/hukuman yang
akan mereka hadapi jika melakukan sebuah kesalahan. Itulah yang akan mengatur
mereka nantinya. Namun dalam pemberian hukuman perlu dilakukan dengan hati-
hati dan secara adil.

Dalam pandangan perilaku moral, perilaku juga dipengaruhi oleh situasi itu
sendiri. Penelitian yang telah dilakukan lebih dari setengah abad lalu menyatakan
bahwa, tidak ada anak yang sepenuhnya jujur dan tidak ada pula anak yang
sepenuhnya curang dalam semua situasi (Hartshone & May, 1928-1930). Untuk itu,
seorang anak harus mampu mengendalikan dirinya agar dapat melakukan dan
menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Proses pengendalian diri ini
juga tidak serta merta bisa dilakukan sendiri oleh anak-anak. Namun harus
mendapat bimbingan dari orangtua maupun guru di sekolahnya.

Oleh karena itu, perlu adanya sistem pendidikan dasar yang lebih
mementingkan pendidikan moral terlebih dahulu untuk pondasi hidup para siswa.
Tidak bermaksud untuk membandingkan sistem pendidikan dasar antara Indonesia
dengan negara lain. Namun kita juga harus belajar dan sedikit banyak mengadopsi
sistem pembelajaran di negara maju yang sudah terbukti negaranya memiliki
peringkat sistem pendidikan yang baik di dunia. Sebagai contoh adalah negara
Jepang. Di Jepang, pendidikan moral sangat ditekankan pada anak-anak yang
duduk di bangku SD. Moral menjadi pondasi yang ditanamkan secara sengaa pada
ana-anak di Jepang. Bahkan, ada satu mata pelaaran khusus yang mengajarkan anak
tentang moral. Namun nilai moral juga dapat diserap dalam mata pelajaran yang
lain dan nilai kehidupan. Anak-anak diajarkan untuk memiliki harga diri, rasa malu,
dan jujur. Mereka juga dididik untuk menghargai aturan, sistem nilai dan melihat
sesuatu bukan dari segi materi ataupun harta.

Pendidikan SD di Jepang mengajarkan siswanya bahwa hidup tidak bisa


semaunya sendiri, terutama dalam hidup bermasyarakat. Hal itu menjadikan anak-
anak di Jepang menjadi sosok yang mandiri dan menghargai oranglain. Sistem
pendidikan yang diajarkan di Jepang juga tidak berat dan tidak menuntut siswanya
untuk banyak menghafal. Kebanyakan aspek yang diajarkan adalah tentang nilai
moral. Sistem pendidikan dasar seperti ini tidak hanya diajarkan dan diterapkan
pada satu sekolah saja. Sistem tersebut merupakan sistem nasional yang diterapkan
pada seluruh sekolah dan seluruh penjuru Jepang. Kementrian pendidikan di Jepang
menyadari bahwa pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kebudayaa. Karena dalam
proses pendidikan, juga diajarkan budaya dan nilai-nilai moral. Sebab, hakikat
pendidikan dasar adalah membentuk budaya, moral dan budi pekerti. Bukan hanya
sekedar menjadikan anak-anak pintar dan otaknya hanya menguasai teknologi.

Sudah seharusnya Indonesia mengadopsi sistem pendidikan dasar dari


Jepang, untuk lebih mengedepankan nilai-nilai moral pada jenjang pendidikan
dasar. Mengingat Indonesia juga merupakan negara yang menjunjung tinggi
moralitas dan kebudayaan. Oleh karena itu, perlu adanya satu mata pelajaran khusus
tentang moral dan nantinya dapat diaplikasikan pada mata pelajaran yang lain dan
diterapkan dalam kehidupan nyata. Serta sistem ini juga harus diterapkan secara
nasional. Bukan hanya pada sekolah-sekolah tertentu saja. Namun hingga seluruh
pelosok Indonesia juga harus menerapkan sistem pendidikan moral ini. Selain itu,
kami juga kurang setuju jika pada jenjang dasar, murid di Indonesia sudah dipaksa
untuk menghafal berbagai mata pelajaran yang berat. Pendidikan formal memang
penting, namun harus digunakan sesuai porsinya dan jangan sampai menjadi suatu
tekanan bagi para siswa.

Selain pendidikan moral yang harus dilakssanakan secara baik dan efektif
sebagai dasar pembentukan karakter, harus di imbangi oleh pendidikan formal yang
tepat. Karena menurut buku Life-Span Development yang di tulis oleh seorang
Psikolog perkembangan anak bernama John W.Santrock menjelaskan bahwa ...
sebagian besar anak memperlihatkan kemajuan yang dramatis dalam
mempertahankan dan mengendalikan atensi, mereka lebih banyak menaruh
perhatian pada stimuli yang relevan dengan tugas dibandingkan dengan stimuli
yang menonjol. Perubahan-perubahan lain dalam pemrosesan informasi selama
masa kanak-kanak pertengahan dan akhir ini mencakup memori, pemikiran dan
metakognisi. Dalam hal ini memori, pemikiran dan metakognisi menjadi hal
penting dalam pengembangan pendidikan formal bagi siswa SD.

Strategi yang harus digunakan pada awal penerapan pendidikan formal sesuai
apa yang sudah kami jelaskan sebelumnya adalah dengan mengetahui kondisi
memori pada anak usia sekolah dasar. Memori memiliki 2 kategori dalam
penyimpananya di otak kita yaitu memori jangka pendek (short-term memory).
Dalam masa kanak kanak memori jangka pendek meningkat secara signifikan
sebelum usia 7 tahun dan setelah usia tersebut memori ini peningkatan nya tidak
berlangsung banyak. memori ini berhubungan dengan bagaimana seseorang
menggunakan informasi dalam memori itu untuk melakukan kegiatan yang masih
dilakukan dan dibutuhkan saja. Kemudian yang ke 2 memori jangka panjang (long-
term memory), ingatan yang relatif permanen dan merupakan tipe ingatan yang
tidak terbatas,meningkat seiring dengan bertambahnya usia di masa kanak-kanak
pertengahan dan akhir. Dalam beberapa hal, kemajuan dalam ingatan ini
mencerminkan meningkatnya pengetahuan anak-anak dan meningkatnya
kemampuan mereka dalam menggunakan strategi-strategi. Ingatlah bahwa penting
untuk tidak melihat memori dalam hal bagaimana anak-anak menambahkan
sesuatu, namun bagaimana anak anak mengonstruksikan memori tersebut
(Ornstein, Coffman, & Grammer, 2009; Ornstein dkk, 2010)

Untuk menjalankan pengajaran tentang cara bagaimana seorang menggunakan


memori nya dengan baik bukanlah hal yang otomatis terjadi dalam aktifitas
pendidikan namun membutuhkan usaha dan kerja nyata yang disengaja. Berikut
cara yang bisa digunakan agar usaha tersebut semakin efektif pelaksanaan nya:

Mendorong anak-anak untuk melakukan pencitraan-bayangan (mental


imagery).Pencitraan bayangan dapat membantu anak anak untuk mengingat
gambar atau informasi verbal (Schneider, 2004)
Memotivasi anak-anak untuk mengingat sesuatu dengan memahami alih-
alih mengingatnya.Anak anak akan mengingat informasi secara lebih baik
untuk waktu yang lama jika mereka memahami informasi daripada hanya
berlatih dan menghapalnya.
Ulangi dengan variasi terhadap informasi instruksi serta kaitkan sedari
awal dan lakukan secara berulang. Variasi dalam tema pelajaran
meningkatkan jumlah kumpulan penyimpanan memori serta cakupan
jaringannya. (Patricia Bauer, 2009)
Menambah bahasa yang relevan dengan memori ketika memberi instruksi
pada anak-anak. Pemberian contoh atau hal yang relevan kepada siswa
dalam penelitian yang dilakukan terbukti membuat prestasi seorang anak
meningkat (Ornstein dkk, 2007)

Setelah menjabarkan tentang memori sekarang kami akan menjelaskan juga


masalah berpikir. Berpikir bagi seseorang memiliki 3 aspek penting yaitu berpikir
kritis, kreatif dan ilmiah. Yang dimaksud dengan berpikir kritis (critical thinking)
adalah bagaimana seseorang dapat berpikir secara reflektif dan produktif serta
mengevaluasi fakta. Menurut Ellen Langer (2005), rasa penuh perhatian
(Mindfulness) waspada, dan fleksibel secara kognitif dalam menjalani aktivitas
dan tugas sehari-hari merupakan aspek yang penting dari berpikir kritis.
Berpikir kreatif adalah kemampuan untuk berpikir dan menemukan solusi
dalam permasalahan dengan cara cara yang baru dan terkesan unik. Anak anak yang
secara kompeten tidak hanya mampu berpikir kritis namun juga dapat berpikir
secara kreatif (Kaufman & stenberg, 2010). Yang terakhir adalah berpikir ilmiah
yaitu bagaimana seorang anak berpikir secara fundamental meskipun itu terkesan
natural. Banyak pertanyaan pertanyaan yang sering diajukan oleh anak anak yang
terkesan sepele namun tidak bisa mudah di jawab oleh beberapa orang (seperti
mengapa air itu dingin atau api itu panas) berbeda dengan ilmuan yang menjawab
itu dengan eksperimen anak anak cenderung tidak bisa berpikir sejauh itu namun
mereka dapat diyakinkan dengan konsep atau penggambaran lain yang lebih bisa
diterima oleh anak anak.

Untuk mengkoneksikan bagaimana cara berpikir yang baik itu dalam anak anak
maka ada langkah langkah yang kiranya bisa efektif dilakukan dalam proses
pendidikan:

Melibatkan anak-anak dalam proses brainstorming dan mengemukakan ide


sebanyak banyak nya dalam sebuah kelompok atau secara individu.
Kegiatan ini bisa dilakukan dengan menampilkan permasalahan
permasalahan sekitar yang kiranya bisa di perhatikan sendiri oleh anak itu
sehingga muncul cara berpikir kritis.
Menyediakan lingkungan yang dapat menstimulasi cara berpikir anak anak.
Lingkungan yang mendukung tersebut bisa diaplikasikan dengan
mengadakan kegiatan atau aktifitas yang dapat membuka wawasan dan
menghasilkan solusi solusi terhadap permasalahan yang diberikan.
Tidak mengontrol anak secara berlebihan. Hal itu akan mempermudah
seorang anak menjadi berkembang sesuai dengan dirinya dan juga dapat
dijadikan wadah eksplorasi bakat bagi anak tersebut.
Mendorong motivasi internal. Pemberian hadiah berupa nilai baik yang
mudah terhadap apa yang sudah di kerjakan oleh seorang anak sering kali
dapat mematikan kreatifitas dan daya juang anak tersebut di kemudian hari.
Mereka harus memiliki motivasi terhadap dirinya sendiri bahwa apa yang
sudah selesai dikerjakan itu adalah sebuah kepuasan tersendiri bagi dirinya.

Terakhir dalam pengembangan pendidikan formal adalah aspek metakognisi.


Kami mendefinisikan metakognisi merupakan pemahaman tentang pengetahuan
yang telah kita miliki atau pahami. Hubungan dengan pendidikan formal adalah
bagaimana seorang anak ini dapat merefleksikan secara sadar atau mengaplikasikan
ilmu yang telah di miliki ke kehidupan sehari hari. Metakognisi sangat berhubungan
dengan metamemori yaitu suatu pemahaman mengenai memori. Metamemori dan
metakognisi mencakup pengetahuan mengenai strategi atau apa yang harus
dilakukan seorang anak menurut pengetahuan yang dimilikinya.

Selain pendidikan moral dan formal, lingkungan pendidikan dalam


kapasitasnya juga sangat mempengaruhi proses belajar siswa, perihal ini yang kami
maksud bukan hanya lingkungan sekolah berupa bangunan dan fasilitas
pembelajaranya namun juga berupa karyawan sekolah, guru, dan orangtua siswa.
Ini berkaitan dengan bagaimana moral anak berkembang, beberapa teori dari
beberapa ahli seperti teori psikonalisis freud bahwa anak-anak beridentifikasi
lingkunganya, menganalisasi standar-standar mengenai benar dan salah, sehingga
terbentuklah superego, sebagai elemen moral dari kepribadian. Hal tersebut
menjadi sangat diperlukan untuk pengelolaan sekolah dasar, dan bersamaan dengan
pengawasan pemerintah untuk secara cermat menciptakan lingkungan pendidikan
yang kondusif untuk belajar bagi siswa sekolah dasar.

Guru menjadi bagian terpenting dari proses imitasi terhadap lingkungan


sekolah dasar, kapasitas interaksi antara siswa dengan guru menjadi sangat
dominan, maka segala bentuk tindak guru haruslah mencerminkan kebaikan untuk
selanjutnya ditiru oleh siswanya. Namun dari beberapa kasus yang sempat kami
singgung di atas, yaitu yang berupa kasus pelecehan seksual terhadap siswanya
sendiri merupakan sebuah cerminan bahwa baik pihak sekolah dan pemerintah
kecolongan terkait pendidik yang harusnya bisa menjadi tauladan bagi siswa malah
menjadi terror moral anak bangsa. Kami mempertanyakan seberapa jauh
pemerintah ataupun pihak sekolah menyeleksi guru untuk pengajaran di sekolah
dasar. Meski dalam kaitan hukum dan ketentuan dari Kemendikbud persisnya pada
undang-undang pendidikan nasional tepatnya pada UU No. 20 Tahun 2003 bahwa
kualifikasi guru sekolah dasar minimal haruslah berijasah D-IV atau S1 dengan
studi PGSD/PGMI atau bisa Psikologi dari studi yang terakreditasi. Tak berhenti
disitu kemendikbud juga menyiapkan standar kualifikasi akademik dan kompetensi
guru pada lampiran peraturan menteri pendidikan nasional nomor 16 tahun 2007
tanggal 4 mei 2017 yang juga menyampaikan minimal pendidikan guru serta
kompetensi yang harus dimiliki guru baik secara inti kompetensi maupun
kompetensi kepribadianya. Seberapa jauh fungsi peraturan tersebut berlaku? Atau
bisa jadi dalam proses penyeleksi masih ada pertimbangan sanak keluarga atau
kasus suap cpns guru yang seolah menjadi budaya bagi negri ini. Moral anak bangsa
menjadi di ujung tanduk. Pertaruhanya saat ini hanya bagaimana seorang pendidik
bisa menyelamatkan anak bangsa dari berbagai ancaman perusak moral tersebut.
Kami berharap agar pemerintah langsung ikut andil dengan minimal melakukan
pencegahan kasus buruk yang selalu menimpa lingkungan sekolah dasar,terutama
kasus guru terhadap siswa dengan cara memberikan pendidikan karakter bukan
hanya pada siswa namun pada guru terfokus lagi pada guru SD yang notabenya
sangat berpengaruh pada masa perkembangan moral anak. Karena pada dasarnya
kasus yang terjadi antara guru dan siwanya bukan berhenti pada pelecehan seksual
namun masih banyak kasus buruk lain yang terjadi.

Terpaan media zaman ini begitu deras dirasakan. Kasus lain yang pernah
kami bahas di atas yaitu tentang aksi bentrok antar SD merupakan sebuah cerminan
bagaimana lingkungan belajar dalam konteksi ini adalah media, anak/murid harus
diawasi secara konsisten 24 jam. Dengan demikian guru dalam peran pendidik tidak
bisa mengontrol penuh hal tersebut. Maka ikut serta orang tua sangat diperlukan.
Orang tua juga menjadi bagian lingkungan belajar seorang murid. Tapi yang
menjadi permasalahanya sekarang adalah tidak semua orang tua mampu melakukan
tindak pencegahan karena factor minim pengetahuan atau gaptek. Selain itu tidak
semua murid juga mendapatkan lingkungan keluarga yang baik. Oleh karenanya
lebaga pendidikan setingkat sekolah dasar haruslah dengan gencar membangun
moral murid secara intensif dan mengikut sertakan peran orang tua. Kami berharap
pemerintah atau lembaga sekolah untuk sering mengadakan pelatihan seputar
pengendalian dan pembatasan media dalam proses perkembangan anak. Selain itu
harapan kami sangat besar terkait ketegasan pemerintah yang dirasa sangat kurang
terhadap konten media yang kurang mendidik dan cenderung merusak moral anak
bangsa. Media yang seharusnya bisa menjadi salah satu fasilitas anak sebagai
sumber belajar atau informasi malah tercemar dengan konten televisi yang kurang
mendidik.

Konsep lingkungan belajar tidak berhenti dari guru dan orang tua, namun
juga bisa jadi karyawan sekolah dan fasilitas yang ada. Karyawan sekolah yang
dalam konteks ini cendrung pada pesuruh seperti tukang kebun, satpam dll, bisa
jadi salah satu factor penyebab rusaknya moral seorang murid ketika dalam
interaksinya terjadi sebuah tindakan yang kurang baik untuk dicontoh, seperti
merokok dalam lingkup sekolah, ataupun berkata kasar yang tidak sepantasnya
dikatakan. Hal tersebut bisa dengan mudah ditiru oleh siswa. Fasilitas merupakan
pendukung yang cukup penting bagi pendidikan formal yang diperoleh siswa, ini
merupakan salah satu bentukan dari konsep lingkungan belajar. Fasilitas ini tentu
akan sulit untuk bisa merata dalam dunia pendidikan dasar di Indonesia, namun
setidaknya fasilitas untuk melakukan eksperimen terkait pembelajaran yang
dilakukan disekolah dapat secara langsung bisa dipraktekan oleh siswa sekolah
dasar seingga mampu menstimulasi daya ingat anak secara lebih baik.

Pendidikan moral dan pendidikan formal yang telah kami jelaskan di atas
kiranya hanya bisa tercapai maksud dan tujuannya jika dimasukkan ke dalam mata
pelajaran yang dibebankan kepada siswa sekolah dasar. Mata pelajaran yang di
bebankan pada siswa pun haruslah jelas maksud dan tujuannya. Seperti matematika,
ipa, ips, bahasa ataupun seni. Tidaklah benar jika hal itu dipelajari sekedar untuk
pemahaman saja atau hanya untuk mendapatkan nilai. Mata pelajaran mengenai
ilmu ilmu pasti seperti matematika dan IPA haruslah dapat membuat peserta didik
untuk lebih menghargai lingkungan alam dan dirinya sendiri secara biologis. Ilmu
ilmu sosial yang dajarkan dalam sekolah dasar juga harus berdampak baik ke dalam
kehidupan seorang dalam kehidupan sosialnya secara langsung ataupun tidak
langsung. Pemahaman pemahaman akan tujuan dari ilmu-ilmu ini diajarkan
haruslah dipahami oleh berbagai pihak yang berhubungan dengan aktifitas
pendidikan tersebut agar apa yang diterapkan dalam mata pelajaran sekolah dasar
juga dapat di dukung oleh berbagai pihak. Pihak yang kami maksud disini adalah
pemerintah sebagai penentu kebijakan pendidikan, guru sebagai pendidik, dan juga
masyarakat yang termasuk disitu keluarga sebagai lingkungan yang bertugas
mengawasi penerapan ilmu - ilmu tersebut untuk peserta didik.

Você também pode gostar