Você está na página 1de 12

ASKEP GLOMERULONEFRITIS

BAB I
PENDAHULUAN

Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak
jelas tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus.
Glomerulonefritis ditandai dengan reaksi radang pada glomerulus dengan adanya leukosit dan
proliferasi sel, serta eksudasi eritrosit, loukosit dan protein plasma dalam ruang Bowman. Selain
itu tampak pula kelainan sekunder pada tubulus, interstitium dan pembuluh darah.
Glomerulonefritis bukan merupakan infeksi ginjal oleh jasad renik, bukan pula suatu
penyakit tersendiri oleh etiologi tertentu, melainkan sebiknya dianggap sebagai suatu pola reaksi
ginjal terhadap berbagai factor yang belum seluruhnya jelas. Glomerulonefritis (juga disebut
sindrom nefrotik), mungkin akut, dimana pada kasus seseorang dapat meliputi seluruh fungsi
ginjal atau kronis ditandai oleh penurunan fungsi ginjal lambat, tersembunyi, dan progresif yang
akhirnya menimbulkan penyakit ginjal tahap akhir. Ini memerlukan waktu 30 tahun untuk
merusak ginjal sampai pada tahap akhir.
Glomerulonefritis adalah suatu sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glomerulus
diikuti pembentukan beberapa antigen yang mungkin endogenus (seperti sirkulasi tiroglobulin)
atau eksogenus (agen infeksius atau proses penyakit sistemik yang menyertai). Hospes (ginjal)
mengenal antigen sebagai suatu benda asing dan mulai membentuk antibody untuk
menyerangnya. Respon peradangan ini menimbulkan penyebaran perubahan patofisiologi,
termasuk menurunnya perubahan laju filtrasi glomerulus (LFG), peningkatan permiabilitas dari
dinding kapiler glomerulus terhadap protein plasma (terutama albumin) dan SDM, dan retensi
abnormal Na dan H2O yang menekan produksi rennin dan aldosteron (Glassock, 1988).
Berbgai macam glomerulofati dapat terjadi, masing-masing dengan penampilan klinis yang
berbeda. Jadi penyakit diklasifikasikan menurut morfologi, etiologi, patogenesis, sindrom klinis,
atau kombinasi dari semuanya. Masing-masing tipe dari glomerulopati akan menunjukan
manifestasi dari gagal ginjal dalam tiga bulan awitan. Ini kemudian disebut glomerulonefritis
yang berkembang dengan cepat, memerlukan intervensi medis awal yang berbeda.

BAB II
TINJAUAN TEORI
A. GLOMERULONEFRITIS AKUT

I. Defenisi

GNA adalah inflamasi glomeruli yang terjadi ketika kompleks antigen-antibodi terjebak
dalam membran kapiler glomerular.
II. Etiologi
Penyakit ini ditemukan pada semua usia, tetapi sering terjadi pada usia awal sekolah dan
jarang pada anak yang lebih muda dari 2 tahun, lebih banyak pria dari pada wanita (2 : 1).
Timbulnya GNA didahului oleh infeksi ekstra renal, terutama di traktus respiratorius bagian atas
dan kulit oleh kuman streptokokkus beta hemolitikus gol A. Faktor lain yang dapat
menyebabkan adalah factor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan factor alergi.
III. Gambaran Klinik
Hasil penyelidikan klinis immunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan
adanya kemungkinan proses immunologis sebagai penyebab. Beberapa penyelidik mengajukan
hipotesis sebagai berikut :
1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membran basalis glomerulus dan
kemudian merusaknya.
2. Proses autoimmune kuman streptokokkus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan badan
autoimmune yang merusak glomerulus.
3. Streptokokkus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai komponen antigen yang
sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membran basalis ginjal.

IV. Gejala Klinik


Gejala yang sering ditemukan :
1. Hematuri
2. Edema
3. Hipertensi
4. Peningkatan suhu badan
5. Mual, tidak ada nafsu makan
6. Ureum dan kreatinin meningkat
7. oliguri dan anuria
V. Komplikasi
1. Oliguri sampai anuria sebagai akibat berkurangnya filtrasi glomerulus.
2. Esefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat gejala
berupa gangguan pada penglihatan, pusing, muntah, dan kejang-kejang. Hal ini disebabkan
spasme pembuluh darah local dengan anoksia dan edema otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dispneu, orthopneu, terdapat ronchi basah, pembesaran jantung dan
meningkatnya TD yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah, tetapi juga disebabkan
oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat membesar dan terjadi Gagal Jantung akibat
HT yang menetap dan kelainan di miocardium.
4. Anemia karena adanya hipervolemia disamping adanya sintesis eritropoetik yang menurun.
VI. Evaluasi Diagnostik
1. Urinalisis :
a. Hematuria (mikroskopis atau makroskopis)
b. Proteinuria (3 + sampai 4+)
c. Sedimen : silinder sel merah, SDP, sel epitel ginjal
d. BJ : peningkatan sedang

2. Pemeriksaan darah :
a. Komplemen serum dan C3 menurun
b. BUN dan kreatinin meningkat
c. Titer DNA ase antigen B meningkat
d. LED meningkat
e. Albumin menurun
f. Titer anti streptolisin O (ASO) meningkat
3. Biopsi ginjal untuk menunjukkan obstruksi kapiler glomerular dan memastikan diagnosis.
VII. Manajemen Kolaboratif
1. Intervensi Terapeutik
a. Batasi masukan cairan, kalium dan natrium
b. Pembatasan protein sedang dengan oliguri dan peningkatan BUN; pembatasan lebih drastis bila
terjadi gagal ginjal akut.
c. Peningkatan karbohidrat untuk memberikan energi dan menurunkan katabolisme protein.
2. Intervensi Farmakologis
a. Anti HT dan diuretic untuk mengontrol HT dan edema.
b. Penyekat H2 untuk mencegah ulkus stress pada penyakit akut.
c. Agens ikatan fosfat untuk mengurangi kadar fosfat dan meningkatkan kalsium.
d. AB bila infeksi masih ada.

B. Glomerulonefritis Kronik

I. Defenisi
Adalah glomerulonefritis tingkat akhir (and stage) dengan kerusakan jaringan ginjal akibat
proses nefrotik dan hipertensi sehingga menimbulkan gangguan fungsi ginjal yang irreversible.
II. Etiologi
1. Lanjutan GNA, seringkali tanpa riwayat infeksi.
2. Dibatas mellitus
3. Hipertensi kronik
4. Penyebab lain yang tidak diketahui yang ditemui pada stadium lanjut.
III. Gambaran Klinik
1. Kadang-kadang tidak memberikan keluhan sama sekali sampai terjadi gagal ginjal.
2. Lemah, nyeri kepala, gelisah, mula, coma dan kejang pada stadium akhir.
3. Edema sedikit -> bertambah jelas jika memasuki fase nefrotik.
4. Suhu subfebril.
5. Kolestrol darah naik.
6. Penurunan kadar albumin.
7. Fungsi ginjal menurun.
8. Ureum meningkat + kreatinin serum.
9. Anemia.
10. Tekanan darah meningkat -> mendadak meninggi.
11. Kadang-kadang ada serangan ensefalopatihipertensi.
12. Gagal jantung -> kematian.
13. Berat badan menurun.
14. Selalu merasa haus dan miksi pada malam hari (nokturia)
15. Hematuria.
IV. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pada urine ditemukan :

Albumin (+)
Silinder
Eritrosit
Lekosit hilang timbul
BJ urine 1,008 1,012 (menetap)
2. Pada darah ditemukan :
LED tetap meninggi
Ureum meningkat
Fosfor serum meningkat
Kalsium serum menurun
3. Pada stadium akhir :
- Serum natrium dan klorida menurun
- Kalium meningkat
- Anemia tetap
4. Pada uji fugsional ginjal menunjukan kelainan ginjal yang progresif.
V. Penatalaksanaan
1. Medik :
Pengobatan ditujukan pada gejala klinik dan gangguan elektrolit.
Pengobatan aktivitas sehari-hari sesuai batas kemampuan pasien.
Pengawasan hipertenasi -> antihipertensi.
Pemberian antibiotik untuk infeksi.
Dialisis berulang -> untuk memperpanjang harapan hidup pasien.
2. Keperawatan :
Disesuaikan dengan keadaan pasien.
Pasien dianjurkan secara teratur untuk senantiasa kontrol pada ahlinya.
Program diet ketat tetapi cukup asupan gizinya.
Penjelasan kepada pasien tentang pambatasan aktivitas sesuai kemampuannya.
Anjuran kontrol ke dokter harus ditaati untuk mencegah berlanjut ke sindrom nefrotik atau
GGK.

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN GLOMERULONEFRITIS

1. Pengkajian
Genitourinaria
Urine keruh
Proteinuria
Penurunan urine output
Hematuri
Kardiovaskuler
Hipertensi
Neurologis
Letargi
Iritabilitas
Kejang
Gastrointestinal
Anorexia
Vomitus
Diare
Hematologi
Anemia
Azotemia
Hiperkalemia
Integumen
Pucat
Edema
2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
Gangguan perfusi jaringan b/d retensi air dan hipernatremia
KE : Klien akan menunjukkan perfusi jaringan serebral normal ditandai dengan tekanan darah
dalam batas normal, penurunan retensi air, tidak ada tanda-tanda hipernatremia.

Intervensi :
1. Monitor dan catat TD setiap 1 2 jam perhari selama fase akut.
R/ untuk mendeteksi gejala dini perubahan TD dan menentukan intervensi selanjutnya.
2. Jaga kebersihan jalan nafas, siapkan suction
R/ serangan dapat terjadi karena kurangnya perfusi oksigen ke otak
3. Atur pemberian anti HT, monitor reaksi klien.
R/ Anti HT dapat diberikan karena tidak terkontrolnya HT yang dapat menyebabkan
kerusakan ginjal
4. Monitor status volume cairan setiap 1 2 jam, monitor urine output (N : 1 2 ml/kgBB/jam).
R/ monitor sangat perlu karena perluasan volume cairan dapat menyebabkan tekanan darah.
5. Kaji status neurologis (tingkat kesadaran, refleks, respon pupil) setiap 8 jam.
R/ Untuk mendeteksi secara dini perubahan yang terjadi pada status neurologis, memudahkan
intervensi selanjutnya.
6. Atur pemberian diuretic : Esidriks, lasix sesuai order.
R/ diuretic dapat meningkatkan eksresi cairan.
Peningkatan volume cairan b/d oliguri
KE : Klien dapat mempertahankan volume cairan dalam batas normal ditandai dengan urine output 1
- 2 ml/kg BB/jam.
Intervensi :
1. Timbang BB tiap hari, monitor output urine tiap 4 jam.
R/ : Peningkatan BB merupakan indikasi adanya retensi cairan , penurunan output urine
merupakan indikasi munculnya gagal ginjal.
2. Kaji adanya edema, ukur lingkar perut setiap 8 jam, dan untuk anak laki-laki cek adanya
pembengkakan pada skrotum
R/ : Peningkatan lingkar perut danPembengkakan pada skrotum merupakan indikasi adanya
ascites.
3. Monitor reaksi klien terhadap terapi diuretic, terutama bila menggunakan tiazid/furosemide.
R/ : Diuretik dapat menyebabkan hipokalemia, yang membutuhkan penanganan pemberia
potassium.
4. Monitor dan catat intake cairan.
R/ : Klien mungkin membutuhkan pembatasan pemasukan cairan dan penurunan laju filtrasi
glomerulus, dan juga membutuhkan pembatasan intake sodium.
5. Kaji warna warna, konsentrasi dan berat jenis urine.
R/ : Urine yang keruh merupakan indikasi adanya peningkatan protein sebagai indikasi
adanya penurunan perfusi ginjal.
6. Monitor hasil tes laboratorium
R/ : Peningkatan nitrogen, ureum dalam darah dan kadar kreatinin indikasi adanya gangguan
fungsi ginjal.
Perubahan status nutrisi (kurang dari kebutuhan) b/d anorexia.
KE : Klien akan menunjukan peningkatan intake ditandai dengan porsi akan dihabiskan
minimal 80%.
Intervensi :
1. Sediakan makan dan karbohidrat yang tinggi.
R/ : Diet tinggi karbohodrat biasanya lebih cocok dan menyediakan kalori essensial.
2. Sajikan makan sedikit-sedikit tapi sering, termasuk makanan kesukaan klien.
R/ : Menyajikan makan sedikit-sedikt tapi sering, memberikan kesempatan bagi klien untuk
menikmati makanannya, dengan menyajikan makanan kesukaannya dapat menigkatkan nafsu
makan.
3. Batasi masukan sodium dan protein sesuai order.
R/ : Sodium dapat menyebabkan retensi cairan, pada beberapa kasus ginjal tidak dapat
memetabolisme protein, sehingga perlu untuk membatasi pemasukan cairan.

Intolerance aktiviti b/d fatigue.


KE : Klien akan menunjukan adanya peningkatan aktivitas ditandai dengan adanya
kemampuan untuk aktivitas atau meningkatnya waktu beraktivitas.
Intervensi :
1. Buat jadwal/periode istirahat setelah aktivitas.
R/ : Dengan periode istirahat yang terjadual menyediakan energi untuk menurunkan produksi
dari sisa metabolisme yang dapat meningkatkan stress pada ginjal.
2. Sediakan/ciptakan lingkungan yang tenang, aktivitas yang menantang sesuai dengan
perkembangan klien.
R/ : Jenis aktivitas tersebut akan menghemat penggunaan energi dan mencegah kebosanan.
3. Buat rencana/tingkatan dalam keperawatan klien agar tidak dilakukan pada saat klien
sementara dalam keadaan istirahat pada malam hari.
R/ : Tingkatan dalam perawatan/pengelompokan dapat membantu klien dalam memenuhi
kebutuhan tidurnya.
Gangguan istirahat tidur b/d immobilisasi dan edema.
KE : Klien dapat mempertahankan integritas kulit ditandai dengan kulit tidak pucat, tidak ada
kemerahan, tidak ada edema dan keretakan pada kulit/bersisik.
Intervensi :
1. Sediakan kasur busa pada tempat tidur klien
R/ : Menurunkan resiko terjadinya kerusakan kulit.
2. Bantu merubah posisi tiap 2 jam.
R/ : Dapat mengurangi tekanan dan memperbaiki sirkulasi, penurunan resiko terjadi
kerusakan kulit.
3. Mandikan klien tiap hari dengan sabun yang mengandung pelembab.
R/ : Deodoran/sabun berparfum dapat menyebabkan kulit kering, menyebabkan kerusakan
kulit.
4. Dukung/beri sokongan dan elevasikan ekstremitas yang mengalami edema.
R/ : Meningkatkan sirkulasi balik dari pembuluh darah vena untuk mengurangi
pembengkakan.
5. Jika klien laki-laki scrotum dibalut.
R/ : Untuk mengurangi kerusakan kulit

BAB III

KESIMPULAN

1. Glomerulonefritis adalah suatu sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glomerulus
diikuti pembentukan beberapa antigen yang mungkin endogenus (seperti sirkulasi
triglobulin) atau ekgsogenus (agent infeksius atau proses penyakit sistemik yang menyertai).

Glomerulonefritis akut adalah istilah yang secara luas yang mengacu kepada
sekelompok penyakit ginjal dimana inflamasi terjadi di glomerulus, yang
menyebabkan reaksi inflamasi atau lesi nekrosis dalam glomerulus yang biasaanya
disebabkan oleh respon imunologis.

Glomerulonefritis kronik adalah glomerulonefritis tingkat akhir (end stage) dengan


kerusakan jaringan ginjal akibat proses nefrotik dan hipertensi sehingga menimbulkan
gangguan fungsi ginjal yang ireversibel.
2. Untuk kasus glomerulonefritis akut umumnya terjadi pada anak-anak 6-8 tahun dan pada usia
dewasa muda dengan insidensi glomerulonefrits akut 60-80 % mewakili infeksi sal.napas
bagian atas atau otitis media. Sedangkan pada glomerulonefritis kronik adalah bentuk
progresi dari G.akut. Ini memerlukan waktu 30 tahun untuk merusak ginjal sampai pada
tahap akhir.
3. Penatalaksanaan :
a. Glomerulonefritis akut.
Intervensi Terapeutik :
Batasi masukan cairan, kalium dan natrium.
Pembatasan protein sedang dengan oliguri dan peningkatan BUN; pembatasan lebih drastis
bila terjadi gagal ginjal akut.
Peningkatan karbohidrat untuk memberikan energi dan menurunkan katabolisme protein.
Intervensi Farmakologis
Anti HT dan diuretic untuk mengontrol HT dan edema.
Penyekat H2 untuk mencegah ulkus stress pada penyakit akut.
Agens ikatan fosfat untuk mengurangi kadar fosfat dan meningkatkan kalsium.
AB bila infeksi masih ada.
b. Glomerulonefritis kronik :
a. Medik :
Pengobatan ditujukan pada gejala klinik dan gangguan elektrolit.
Pengobatan aktivitas sehari-hari sesuai batas kemampuan pasien.
Pengawasan hipertenasi antihipertensi.
Pemberian antibiotik untuk infeksi.
Dialisis berulang untuk memperpanjang harapan hidup pasien.
b. Keperawatan :
Disesuaikan dengan keadaan pasien.
Pasien dianjurkan secara teratur untuk senantiasa kontrol pada ahlinya.
Program diet ketat tetapi cukup asupan gizinya.
Penjelasan kepada pasien tentang pambatasan aktivitas sesuai kemampuannya.
Anjuran kontrol ke dokter harus ditaati untuk mencegah berlanjut ke sindrom nefrotik atau
GGK.
4. Penetapan Diagnosa Keperawatan :
Diagnosa keperawatan yang didapatkan pada glomerulonefritis akut dan kronik berdasarkan
penyimpangan Kebutuhan Dasar Manusia terhadap patogenesis adalah :
Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan meningkatnya reabsorbis tubulus dan retensi
Na dan H2O.
Peningkatan volume cairan berhubungan dengan oliguria
Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan berhungan dengan anorexia.
Intolerance activity berhubungan dengan fatigue.
Intolerance activity berhubungan dengan kelemahan.
Kelebihan cairan berhubungan dengan oliguria dan anuria.
Gangguan pola tidur berhubungan dengan imobilisasi
Resiko tinggi integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi.
Peningkatan suhu tubuh berhubungan reaksi radang, pelepasan zat pirogen.
Kecemasan berhubungan dengan kurang informasi akan perubahan status kesehatan.

Daftar Pustaka
1. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah, Brunner and Suddarth edisi 8 volume 2, Sozannie,
Smeltzer and Brenda.E.Bare, penerbit EGC, Jakarta 2002.
2. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit buku 2 edisi 4, Penerbit EGC, Jakarta 1995.
3. Buku saku Keperawatan Pediatri, Cecily L.Betz dan Linda A. Sowden, Edisi 3, Penerbit EGC
Jakarta 2002.
4. Pedoman Praktek Keperawatan, Sandra M.Nettina, Penerbit EGC, Jakarta.
5. Perawatan Anak Sakit, Ngastiyah, Penerbit EGC, Jakarta 1997.
6. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah, Barbara Engram, Volume I, Penerbit EGC, Jakarta
1998.
7. Perawatan Medikal Bedah, Volume 3, Barbara C. Long, Bandung 1996.

Você também pode gostar