Você está na página 1de 5

ANALISIS HIPOTESIS

1. Etiologi
Thalassemia terjadi akibat adanya perubahan pada gen globin pada kromosom manusia. Gen
globin adalah bagian dari sekelompok gen yang terletak pada kromosom 11. Bentuk daripada
gen beta-globin ini diatur oleh locus control region (LCR). Berbagai mutasi pada gen atau
pada unsur-unsur dasargen menyebabkan cacat pada inisiasi atau pengakhiran transkripsi,
pembelahan RNA yang abnormal, substitusi, dan frameshifts. Hasilnya adalah penurunan
atau pemberhentian daripada penghasilan rantai beta-globin, sehingga menimbulkan sindrom
thalassemia beta.
Mutasi Beta-zero (0) ditandai dengan tidak adanya produksi beta-globin, yang biasanya
akibat mutasi nonsense, frameshift, atau splicing.Sedangkan mutasi beta-plus(+) ditandai
dengan adanya produksi beberapa beta-globin tetapi dengan sedikit cacat splicing. Mutasi
yang spesifik memiliki beberapa hubungan dengan faktor etnis atau kelompok berbeda yang
lazim di berbagai belahan dunia. Seringkali, sebagian besar individu yang mewarisi penyakit
ini mengikuti pola resesif autosomal, dengan individu heterozigot memiliki kelainan gen
tersebut, sedangkan pada individu heterozigot atau individu compound homozigot, kelainan
itu memanifestasi sebagai penyakit beta-thalassemia mayor atau intermedia.

2. Epidemiologi
Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan prevalensi nasional thalasemia adalah
0,1 persen. Ada delapan provinsi yang menunjukkan prevalensi thalasemia lebih tinggi dari
prevalensinasional.
Beberapa dari delapan provinsi itu antara lain adalah Aceh dengan prevalensi 13,4 persen,
Jakarta dengan 12,3 persen, Sumatera Selatan yang prevalensinya 5,4 persen, Gorontalo
dengan persentase 3,1 persen, dan Kepulauan Riau 3 persen.

3, Faktor Resiko
a. Riwayat Keluarga Thalasemia
Thalasemia diturunkan dari orang tua ke anak-anak melalui gen globin yang bermutasi
b. Keturunan Tertentu
Thalasemia sering terjadi pada orang-orang Italia, Yunani, Timut Tengah, keturunan Asia dan
Afrika
4. Komplikasi
a. Overload zat besi
Orang dengan thalasemia bisa memiliki terlalu banyak zat besi dalam tubuh, baik dari
penyakit itu sendiri atau dari transfusi darah yang sering dilakukan. Terlalu banyak zat besi
dapat menyebabkan kerusakan pada jantung, hati, dan sistem endokrin yang mencakup
kelenjar yang memproduksi hormon dan mengatur seluruh proses di dalam tubuh.
b. Infeksi
Orang dengan thalasemia memiliki resiko peningkatan infeksi. Hal ini terutama terjadi jika
limfa sudah dioperasi.

Dalam kasus thalasemia berat, komplikasi berikut dapat terjadi


a. Deformitas tulang
Thalasemia bisa membuat sumsum tulang berkembang yang menyebabkan tulang melebar.
Hal ini dapat mengakibatkan struktur tulang yang abnormal, terutama di wajah dan
tengkorak. Tulang ekspansi sumsum juga membuat tulang tipis dan rapuh menyebabkan
resiko patah tulang.
b. Pembesaran limpa (splenomegali)
Limpa membantu tubuh melawan infeksi dan menyaring bahan yang tidak diperlukan seperti
sel darah tua atau rusak. Thalasemia sering disertai dengan penghancuran sejumlah besar sel
darah merah , membuat limpa bekerja lebih keras dari biasanya, menyebabkan limpa
membesar. Splenomegali dapat menyebabkan anemia parah dan mengurangi umur sel darah
merah.
c. Tingkat pertumbuhan melambat
Masa pubertas mungkin tertunda pada anak-anak penderita thalasemia.
d. Masalah jantung
Masalah jantung seperti gagal jantung kongestif dan irama jantung abnormal (Aritmia)

4. Prognosis
Talasemia beta homozigot umumnya meninggal pada usia muda dan jarang mencapai usia
dekade ke 3. Walaupun digunakan antibiotik untuk mencegah infeksi dan pemberian
Chelating agents untuk mengurangi hemosiderosis. Apabila dikemudian hari transplantasi
sum sum tulang dapat diterapkan maka prgnosis akan baik karena diperoleh
penyembuhan.
Talasemia mayor pada umumnya prognosa jelek, biasanya orang dengan talasemia mayor
jarang mencapai umur dewasa walaupun ada yang melaporkan bahwa dengan
mempertahankan kadar Hb yang tinggi dapat memperpanjang umur penderita sampai 20
tahun

LEARNING ISSUE
Anemia hemolitik adalah kurangnya kadar hemoglobin akibat kerusakan pada eritrosit yang
lebih cepat daripada kemampuan sumsum tulang untuk menggantinya kembali.
Etiologi
Berdasarkan etiologinya, anemia hemolitik ini terbagi menjadi dua klasifikasi:
1. intrakorpuskular: hemolitik akibat faktor-faktor yang ada pada eritrosit itu sendiri,
misalnya karena faktor herediter, gangguan metabolismenya, gangguan pembentukan
hemoglobinnya, dll.
2. ekstrakorpuskular: hemolitik akibat faktor-faktor dari luar yang biasanya didapat,
misalnya karena autoimun, pengaruh obat, infeksi, dsb.
Patofisiologi
Pada proses hemolisis akan terjadi dua hal berikut:
1. Turunnya kadar Hemoglobin. Jika hemolisisnya ringan atau sedang, sumsum tulang
masih bisa mengkompensasinya sehingga tidak terjadi anemia. Keadaan ini disebut
dengan hemolitik terkompensasi. Tapi jika derajat hemolisisnya berat, sumsum tulang
tidak mampu mengompensasinya, sehingga terjadi anemia hemolitik.
2. Meningkatnya pemecahan eritrosit. Untuk hal ini ada tiga mekanisme:
Hemolitik ekstravaskuler. Terjadi di dalam sel makrofag dari sistem
retikuloendotelial, terutama di lien, hepar dan sumsum tulang karena sel ini
mengandung enzim heme oxygenase. Lisis terjadi jika eritrosit mengalamai
kerusakan, baik di membrannya, hemoglobinnya maupun fleksibilitasnya. Jika
sel eritrosit dilisis oleh makrofag, ia akan pecah menjadi globin dan heme.
Globin ini akan kembali disimpan sebagai cadangan, sedangkan heme nanti
akan pecah lagi menjadi besi dan protoporfirin. Besi diangkut lagi untuk
disimpan sebagai cadangan, akan tetapi protoforfirin tidak, ia akan terurai
menjadi gas CO dan Bilirubin. Bilirubin jika di dalam darah akan berikatan
dengan albumin membentuk bilirubin indirect (Bilirubin I), mengalami
konjugasi di hepar menjadi bilirubin direct (bilirubin II), dieksresikan ke
empedu sehingga meningkatkan sterkobilinogen di feses dan urobilinogen di
urin.
Hemolitik intravaskuler. Terjadi di dalam sirkulasi. Jika eritrosit mengalami
lisis, ia akan melepaskan hemoglobin bebas ke plasma, namun haptoglobin
dan hemopektin akan mengikatnya dan menggiringnya ke sistem
retikuloendotelial untuk dibersihkan. Namun jika hemolisisnya berat, jumlah
haptoglobin maupun hemopektin tentunya akan menurun. Akibatnya,
beredarlah hemoglobin bebas dalam darah (hemoglobinemia). Jika hal ini
terjadi, Hb tsb akan teroksidasi menjadi methemoglobin, sehingga terjadi
methemoglobinemia. Hemoglobin juga bisa lewat di glomerulus ginjal, hingga
terjadi hemoglobinuria. Namun beberapa hemoglobin di tubulus ginjal
nantinya juga akan diserap oleh sel-sel epitel, dan besinya akan disimpan
dalam bentuk hemosiderin. Jika suatu saat epitel ini mengalami deskuamasi,
maka hanyutlah hemosiderin tersebut ke urin sehingga terjadi
hemosiderinuria, yg merupakan tanda hemolisis intravaskuler kronis.
Peningkatan hematopoiesis. Berkurangnya jumlah eritrosit di perifer akan
memicu ginjal mengeluarkan eritropoietin untuk merangsang eritropoiesis di
sumsum tulang. Sel-sel muda yang ada akan dipaksa untuk dimatangkan
sehingga terjadi peningkatan retikulosit (sel eritrosit muda) dalam darah,
mengakibatkan polikromasia.
Manifestasi Klinis
Gejala umum: gejala anemia pada umumnya, Hb < 7g/dl.
Gejala hemolitik: diantaranya berupa ikterus akibat meningkatnya kadar bilirubin indirek dlm
darah, tapi tidak di urin (acholuric jaundice); hepatomegali, splenomegali, kholelitiasis (batu
empedu), ulkus dll.
Gejala penyakit dasar (penyebab) masing2 anemia hemolitik tsb.
Diagnosis dan Pemeriksaan Laboratorium
Beberapa hasil pemeriksaan lab yang menjurus pada diagnosis anemia hemolitik adalah sbb:
1. Sedian hapus darah tepi pada umumnya terlihat eritrosit normositik normokrom,
kecuali diantaranya thalasemia yang merupakan anemia mikrositik hipokrom.
2. penurunan Hb >1g/dl dalam 1 minggu
3. penurunan masa hidup eritrosit <120hari
4. peningkatan katabolisme heme, biasanya dilihat dari peningkatan bilirubin serum
5. hemoglobinemia, terlihat pada plasma yang berwarna merah terang
6. hemoglobinuria, jika urin berwarna merah, kecoklatan atau kehitaman
7. hemosiderinuria, dengan pemeriksaan pengecatan biru prusia
8. haptoglobin serum turun
9. retikulositosis

Diagnosis banding
Anemia Hemolitik perlu dibedakan dengan anemia berikut ini:
1. anemia pasca perdarahan akut dan anemia defisiensi besi, disini tidak ditemukan
gejala ikterus dan Hb akan naik pada pemeriksaan berikutnya. Sedangkan hemolitik
tidak.
2. anemia hipoplasi/ eritropoiesis inefektif, disini kadang juga ditemukan acholurik
jaundice, tapi retikulositnya tidak meningkat.
3. anemia yang disertai perdarahan ke rongga retroperitoneal biasanya menunjukkan
gejala mirip dg hemolitik, ada ikterus, acholuric jaundice, retikulosit meningkat.
Kasus ini hanya dapat dibedakan jika dilakukan pemeriksaan untuk membuktikan
adanya perdarahan ini.
4. Sindrom Gilbert, disertai jaundice, namun tidak anemi, tidak ada kelainan morfologi
eritrosit, dan retikulositnya normal.
5. mioglobinuria, pada kerusakan otot, perlu dibedakan dengan hemoglobinuria dengan
pemeriksaan elektroforesis.
Pengobatan
Pengobatan tergantung keadaan klinis dan penyebab hemolisisnya, namun secara umum ada
3:
1. terapi gawat darurat; atasi syok, pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit,
perbaiki fungsi ginjal. Jika berat perlu diberi transfusi namun dengan pengawasan
ketat. Transfusi diberi berupa washed red cell untuk mengurangi beban antibodi.
Selain itu juga diberi steroid parenteral dosis tinggi atau juga bisa hiperimun globulin
untuk menekan aktivitas makrofag.
2. terapi suportif-simptomatik; bertujuan untuk menekan proses hemolisis terutama di
limpa dengan jalan splenektomi. Selain itu perlu juga diberi asam folat 0,15 0,3
mg/hari untuk mencegah krisis megaloblastik.
3. terapi kausal; mengobati penyebab dari hemolisis, namun biasanya penyakit ini
idiopatik dan herediter sehingga sulit untuk ditangani. Transplantasi sumsum tulang
bisa dilakukan contohnya pada kasus thalassemia.

Você também pode gostar