Você está na página 1de 7

Artikel tentang Kebudayaan

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal
yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan
disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau
mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata
culture juga kadang diterjemahkan sebagai kultur dalam bahasa Indonesia.

Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai


makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan
lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya.
Dengan demikian, kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-
petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian
model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara
selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-
laku dan tindakan-tindakannya.

Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia


sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi
lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya.
Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu
golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan
pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan
dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan
maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia).
Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan
mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota
lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena
lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.
Lagu Rasa Sayang-sayange diklaim oleh Pemerintah Malaysia

Rasa Sayange atau Rasa Sayang-Sayange adalah lagu daerah yang berasal dari
Maluku, Indonesia. Lagu ini merupakan lagu daerah yang selalu dinyanyikan
secara turun-temurun sejak dahulu untuk mengungkapkan rasa sayang mereka
terhadap lingkungan dan sosialisasi di antara masyarakat Maluku.
Lagu ini digunakan oleh departemen Pariwisata Malaysia untuk mempromosikan
kepariwisataan Malaysia, yang dirilis sekitar bulan Oktober 2007. Sementara
Menteri Pariwisata Malaysia Adnan Tengku Mansor mengatakan bahwa lagu Rasa
Sayange merupakan lagu kepulauan Nusantara (Malay archipelago)[1], Gubernur
Maluku Karel Albert Ralahalu bersikeras lagu Rasa Sayange adalah milik
Indonesia karena ia merupakan lagu rakyat yang telah membudaya di provinsi
Maluku sejak leluhur, sehingga klaim Malaysia itu adalah salah.[2].

Bagaimanapun, bukti tersebut akhirnya ditemukan. Rasa Sayange1 diketahui


direkam pertama kali di perusahaan rekaman Lokananta Solo 1962. [3] Pada
tanggal 11 November 2007, Menteri Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Budaya
Malaysia, Rais Yatim, mengakui bahwa Rasa Sayange adalah milik Indonesia [4].
Namun, ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa Malaysia menyebutkan
bahwa mereka mengakui bahwa Rasa Sayange adalah milik bersama, maksudnya
warisan milik bersama bangsa Melayu, antara Indonesia dan Malaysia[5].
Tentang bukti rekaman Rasa Sayange, bukti lagu tersebut direkam oleh PT
Lokananta, Solo, Indonesia pada tanggal 1962 dalam piringan hitam Gramophone
[6]. Rekaman master dari piringan ini masih disimpan oleh PT Lokananta. Ini
dikenal sebagai rekaman pertama terhadap lagu ini. Piringan hitam tersebut
didistribusikan sebagai souvenir kepada partisipan Asian Games ke 4 tahun 1962
di Jakarta, dan lagu Rasa Sayange adalah salah satu lagu rakyat Indonesia di
piringan tersebut, bersama dengan lagu etnis lain Indonesia seperti Sorak-sorak
Bergembira, O Ina ni Keke, dan Sengko Dainang.
Keberadaan Budaya Indonesia hampir Menghilang di Rumahnya Sendiri

Indonesia adalah negara yang memiliki banyak berbagai budaya. Keragaman budaya
ini terjadi karena negara Indonesia terdiri dari ratusan pulau-pulau di mana masing-
masing pulau memiliki budayanya sendiri. Namun, saat ini budaya Indonesia terancam
hilang karena terkikis oleh waktu. Ada begitu banyak faktor yang menyebabkan budaya
Indonesia berada dalam bahaya. Faktor-faktor tersebut berasal dari dalam dan luar.
Melalui tulisan ini, penulis akan menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan
terancamnya budaya asli Indonesia. Berikut adalah dua paragraf membahas faktor-
faktor tersebut:

Yang pertama adalah faktor dari dalam. Penurunan keberadaan budaya Indonesia di
rumahnya sendiri disebabkan oleh rakyatnya sendiri yang mengabaikan budaya mereka
terutama untuk remaja. Mereka terbuai oleh kehidupan modern dan mulai melupakan
nilai-nilai yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Sebagai contoh, bahasa daerah,
upacara budaya, adat dan tradisi Indonesia telah hilang di masyarakat. Sekarang, kita
bisa melihat tidak ada yang mau menggunakan bahasa lokal karena mereka malu
disebut kampungan. Selain remaja yang sudah tidak peduli lagi dengan budaya,
pemerintah juga kurang responsif dalam menangani masalah ini. Tidak ada upaya yang
nyata dari pemerintah untuk mempertahankan budaya Indonesia.

Yang kedua adalah faktor eksternal. Derasnya arus informasi yang datang ke Indonesia
juga mempengaruhi terkikisnya budaya Indonesia. Banyak budaya asing, khususnya
budaya Barat telah datang dan tumbuh di Indonesia. Budaya-budaya barat itu tidak
sesuai dengan nilai-nilai Indonesia sebagai negara timur. Hal ini juga memberikan efek
buruk dalam norma Indonesia sebagai bangsa timur. Saat ini, kita bisa melihat mode
pakaian yang tidak sesuai dengan norma-norma, kebiasaan mabuk, dan gaya hidup
yang buruk telah berkembang di Indonesia.

Singkatnya, pengurangan keberadaan budaya Indonesia di rumahnya sendiri sebagai


akibat dari beberapa faktor. Mereka adalah faktor dari dalam dan luar. Untuk
mempertahankan kelangsungan Budaya Indonesia, marilah kita menjaga budaya kita
sendiri. Terutama kita sebagai pemuda jangan merasa malu untuk melestarikan budaya
kita dan juga kita harus membendung budaya barat yang datang ke negara kita. Jika
kita telah kehilangan budaya asli kita berarti kita telah kehilangan identitas nasional kita
sendiri.
ARTIKEL - BAHASA DAN BUDAYA ASPEK SINKRONISASI
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki banyak bahasa daerah
yang tersebar di pelosok tanah air. Bahkan menjadi salah satu bangsa yang
memiliki jumlah bahasa ibu terbesar di seluruh dunia. Jumlah bahasa
pribumi itu mencapai 360 b
ahasa. Tentu prestasi itu tidak serta merta menjadi penyebab banyaknya warga negara
asing yang mengacungkan jempol bagi bangsa kita. Belum lagi familiarnya dengan
kesantunan berbahasa ala Sunda.

Bahkan semua orang di negeri ini pernah mendengar pemimpin bangsa berpidato
dengan bahasanya yang khas. Sebut saja Soekarno atau presiden baru kita, Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY). Beliau pernah menerima penghargaan sebagai pejabat
yang menggunakan bahasa paling santun se-Indonesia pada tahun 2003. SBY patut
menjadi teladan bagi para pejabat di negeri ini yang senang berkoar-koar di hadapan
publik. Belum lagi gelar yang disandang sebagai wakil rakyat yang memang
mengharuskan mereka berbahasa yang baik dan yang lebih penting bukan sekadar
retorika tanpa makna.

Bahasa yang santun... di manapun kita berada menjadi salah satu modal yang sangat
penting dalam menjalin komunikasi dengan orang lain. Komunikasi dengan orang di
sekitar kita, entah pribumi ataupun warga negara asing. Kesantunan berbahasa menjadi
mutlak kita perlukan. Kalau kesantunan berbahasa yang setidaknya dimiliki oleh semua
orang pada semua kelas atau level, maka menjadi tugas bersama untuk menjadikannya
sebagai ciri khas bangsa yang benar-benar terealisasi. Sehingga, para tourist yang
datang di Indonesia tidak hanya merasa bahwa kesantunan berbahasa yang kita
gunakan bukan hanya sekadar terori yang dibuat-buat atau sekadar rekayasa
berbudaya.

Budaya dan Berbahasa

Budaya kita populer dengan keragaman dari aspek kesenian. Sedangkan bahasa kita
populer dengan keragaman dari aspek kedaerahan. Kalau keragaman berbahasa yang
pada intinya harus sinkron dengan cara kita berbudaya, maka akan menjadi sesuatu
yang sulit tercapai. Mengapa? Apa jadinya kalau masyarakat Bugis-Makassar yang
kental dengan kasarnya budaya berbahasa, harus menyesuaikan diri dengan gaya
berbahasa masyarakat sunda yang lebih halus, lebih lembut. Maka, solusinya adalah
mengembalikannya sesuai kesantunan kita berbahasa yang sesuai nilai-nilai atau norma
konvensional dalam masyarakat kita. Mengapa harus susah-susah melipat lidah kalau
budaya berbahasa kita kasar atau lebih lembut. Bukankan kesantunan dalam berbahasa
dan berbudaya itu terletak pada dan bagaimana kita mensinkronisasikan keduanya
sehingga dapat diterima dengan baik dan bijak oleh masyarakat luas.
Artikel Bahasa Daerah

Pemertahanan Bahasa Daerah Melalui Penggunaan Bahasa Daerah dalam Karya


Sastra
Bahasa merupakan alat utama bagi pengarang untuk mengekspresikan
pengamatannya terhadap kehidupan dalam bentuk karya seni (sastra). Ragam bahasa
yang digunakan pengarang itu memerlukan proses panjang. Untuk merealisasikan
gagasan, pikiran, dan perasaannya bahasa diolah dan disajikannya sedemikian rupa
melalui proses kreatif hingga tercipta karya sastra yang imajinatif dengan unsur estetis
yang dominan. Ragam bahasa dalam karya sastra tidak dapat disamakan dengan
ragam bahasa nonkarya sastra, seperti bahasa dalam karya ilmiah, surat kabar, atau
perundang-undangan. Ragam bahasa dalam karya sastra dikenal penuh dengan
asosiasi, irasional, dan ekspresif untuk menunjukkan sikap pengarangnya sehingga
menimbulkan efek tetentu bagi pembaca, seperti memengaruhi, membujuk, dan
mengubah sikap pembacanya (Wellek dan Warren, 1990:15).

Begitu pentingnya bahasa dalam proses kreatif Damono (1980:57) mengatakan


bahwa sastra adalah dunia kata. Artinya, tokoh cerita ditampilkan melalui kata, peristiwa
terangkai dengan kata, waktu dan tempat terjadinya juga oleh kata. Sebutan kata,
memurut Damono, dapat dimaknai bahasa meskipun kata merupakan unsur bahasa.
pula, Lotman (dalam Teeuw, 1984:99) juga mengatakan, karena pentingnya peranan
bahasa, ia menyebut bahasa sebagai tanda primer. Sebagai tanda primer, bahasa
membentuk model dunia bagi penggunanya, yaitu sebagai model yang digunakan untuk
menafsirkan segala sesuatu, baik dari dalam maupun dari luar dirinya.

Karya sastra lahir tidak dalam kekosongan budaya (Teeuw, 1984:1112). Dalam
padangan itu dapat dimaknai bahwa karya sastra lahir dalam konteks budaya tertentu
dari seorang pengarang. Oleh karen itu, pengarang yang berasal dari Jawa atau Bali,
misalnya, akan memengaruhi gaya pengungkapan, antara lain, melalui bahasa yang
digunakannya karena sebagai anggota masyarakat tentu sulit terlepas dari nila-nilai
yang berlaku dalam masyakat. Karya satra yang mereka ciptakan sedikit banyak
mencerminkan gambaran masyarakatnya. Untuk mengungkapkan gagasan, pikiran,
dan perasaannya secara leluasa, sering kita temukan pengarang mengekspresikannya
dengan bahasa daerahnya. Dengan demikian, kita tidak heran apabila pengarang
dalam karyanya menggunaan kata, frasa, dan kalimat bahasa daerah.
A. Bahasa Daerah dalam Karya Sastra Indonesia Modern

Penggunaan kosakata bahasa daerah dalam karya sastra Indonesia modern bukan
merupakan hal yang baru. Bahasa daerah telah lama digunakan oleh banyak
pengarang Indonesia, baik dalam karya fiksi maupun puisi. Ada pengarang yang hanya
menyelipkan beberapa kosakata bahasa daerah dalam karyanya, tetapi ada juga yang
secara sadar menggunakan kosakata bahasa daerah untuk menarik perhatian
pembaca dan pengamat sastra. Misalnya, Achdiat K. Mihardja
dalam Atheis menggunkan kosakata daerah (Jawa), alon-alon,
cangkolan, dan ngelamun, Chairil Anwar dalam sajak Cerita Buat Dien Tamaela
menggunakan kosakata (Maluku): beta dan tifa; Bokor Hutasuhut dalam novel Penakluk
Ujung Dunia menggunakan kosakata (Batak): ampangngardang, ampataga,
martandang, margondang, dan parhitean; Korrie Layun Rampan dalam
novel Upacara menggunakan kosakata bahasa Dayak Iban. Linus Suryadi dalam karya
prosa liriknya, Pengakuan Pariyem, menggunakan kosakata bahasa Jawa yang begitu
dominan sehingga ada yang menyebunya sebagai centini (karya sastra Jawa).

Dengan memahami hal itu, bahasa daerah memang diperlukan untuk


mengekspresikan budayanya. Hal itu sekaligus juga menunjukkan bahwa bahasa
Indonesia sebagai sarana ekspresi memiliki keterbatasan karena ada semacam
kesukaran menerjemahkan kosakata bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia.
Kalaupun ada kata daerah yang diterjemahkan, kata itu akan kehilangan maknanya
atau ekspresinya karena suatu kata dipilih pengarang terkadang mengandung makna
simbolis.

Pandangan tersebut dapat dibenarkan karena bahasa daerah yang sering


digunakan pengarang mengandung penekanan nonkebahasaan, seperti unsur budaya
yang ditonjolkan. Dengan memfokuskan budaya tertentu, makna penggunaan bahasa
daerah tidak sekadar bunyi bahasa dan untuk berkomunikasi, tetapi di dalamnya
tertuang nilai budaya daerah.

B. Pemertahanan Bahasa Daerah Melalui Karya Sastra

Dalam era Globalisasi keberadaan bahasa daerah menghadapi situasi yang


mengkhawatirkan. Bahasa daerah mulai ditinggalkan penuturnya dalam pergaulan atau
kegiatan antarmanusia karena dominannya bahasa asing yang menguasai berbagai
bidang. Keadaan itu banyak dirasakan oleh pengguna bahasa daerah yang, antara lain,
menyadari bahwa bahasa daerahnya kehilangan otoritas publiknya dan menjadi teks
yang terkesan eksklusif.

Bahasa Jawa, misalnya, merupakan bahasa yang jumlah penuturnya paling


banyak karena termasuk kelompok delapan besar yang dikelompokkan sebagai bahasa
yang jumlah penuturnya 2.000.000 orang atau lebih dan di antara kelompok itu bahasa
Jawa berada pada peringkat paling atas, yang kemudian diikuti oleh bahasa Sunda,
bahasa Madura, bahasa Minangkabau, bahasa Bugis, bahasa Batak, bahasa Banjar,
dan bahasa Bali (Alwi, 2001:43). Sampai saat ini bahasa Jawa juga masih digunakan
secara lisan dan tulis. Namun, hal itu tidak berarti bahwa bahasa Jawa jauh dari
ancaman kepunahan. Keadaan dan masalah yang dihadapi bahasa Jawa banyak
diungkapkan dalam tulisan dan diskusi yang bersifat keluhan. Seperti dikemukakan oleh
Rahardi, bahasa Jawa kini menempati posisi pinggiran dan hanya digunakan orang
tua. Di Daerah Istimewa Yogyakarta yang sebagian besar masyarakatnya pengguna
bahasa Jawa terasa bersikap membiarkan merana. Adanya tulisan Jawa yang
terpampang untuk nama jalan hanya dapat dibaca oleh orang tua. Ia juga menyebutkan
bahwa kepunahan bahasa Jawa mencapai 4,1 persen

Keadaan itu merupakan salah satu contoh permasalahan bahasa daerah. Tidak
dapat dipungkiri hal itu pasti juga terjadi pada bahasa daerah lain yang ada di
Indonesia. Dalam hal itu, Pemerintah tidak berdiam diri. Berbagai kebijakan
Pemerintah dilakukan untuk mengatasi masalah bahasa daerah, seperti Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, mengatur pembagian kewenangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan pembagian kewenangan,
pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia merupakan kewenangan
pemerintah pusat, sedangkan pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra
daerah termasuk ke dalam kewenangan pemerintah daerah. Kebijakan lain mengenai
bahasa dan sastra daerah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009
tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, Pasal 37
ayat 2, Pasal 38 ayat 2, Pasal 39 ayat 2, dan Pasal 41 ayat 1. Dengan adanya berbagai
kebijakan tersebut, berarti masyarakat cukup leluasa untuk melakukan upaya
pemertahanan bahasa daerahnya. Pemertahanan bahasa sangat penting karena dapat
mewujudkan diversitas kultural, memelihara identitas etnis, menjaga adaptabilitas
sosial, dan meningkatkan kepekaan lingusitis (Crystal, 2000).

Pemertahanan bahasa daerah dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti


digunakannya bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pendidikan dan digunakannya
bahasa daerah sebagai mata pelajaran tingkat sekolah dasar sampai dengan sekolah
menengah atas. Bahkan, ada pemerintah daerah yang memberlakukan penggunaan
bahasa daearah (Jawa) bagi karyawan pemerintah daerah pada hari tertentu juga
merupakan upaya pemertahanan bahasa daerah.

Você também pode gostar