Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal
yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan
disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau
mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata
culture juga kadang diterjemahkan sebagai kultur dalam bahasa Indonesia.
Rasa Sayange atau Rasa Sayang-Sayange adalah lagu daerah yang berasal dari
Maluku, Indonesia. Lagu ini merupakan lagu daerah yang selalu dinyanyikan
secara turun-temurun sejak dahulu untuk mengungkapkan rasa sayang mereka
terhadap lingkungan dan sosialisasi di antara masyarakat Maluku.
Lagu ini digunakan oleh departemen Pariwisata Malaysia untuk mempromosikan
kepariwisataan Malaysia, yang dirilis sekitar bulan Oktober 2007. Sementara
Menteri Pariwisata Malaysia Adnan Tengku Mansor mengatakan bahwa lagu Rasa
Sayange merupakan lagu kepulauan Nusantara (Malay archipelago)[1], Gubernur
Maluku Karel Albert Ralahalu bersikeras lagu Rasa Sayange adalah milik
Indonesia karena ia merupakan lagu rakyat yang telah membudaya di provinsi
Maluku sejak leluhur, sehingga klaim Malaysia itu adalah salah.[2].
Indonesia adalah negara yang memiliki banyak berbagai budaya. Keragaman budaya
ini terjadi karena negara Indonesia terdiri dari ratusan pulau-pulau di mana masing-
masing pulau memiliki budayanya sendiri. Namun, saat ini budaya Indonesia terancam
hilang karena terkikis oleh waktu. Ada begitu banyak faktor yang menyebabkan budaya
Indonesia berada dalam bahaya. Faktor-faktor tersebut berasal dari dalam dan luar.
Melalui tulisan ini, penulis akan menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan
terancamnya budaya asli Indonesia. Berikut adalah dua paragraf membahas faktor-
faktor tersebut:
Yang pertama adalah faktor dari dalam. Penurunan keberadaan budaya Indonesia di
rumahnya sendiri disebabkan oleh rakyatnya sendiri yang mengabaikan budaya mereka
terutama untuk remaja. Mereka terbuai oleh kehidupan modern dan mulai melupakan
nilai-nilai yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Sebagai contoh, bahasa daerah,
upacara budaya, adat dan tradisi Indonesia telah hilang di masyarakat. Sekarang, kita
bisa melihat tidak ada yang mau menggunakan bahasa lokal karena mereka malu
disebut kampungan. Selain remaja yang sudah tidak peduli lagi dengan budaya,
pemerintah juga kurang responsif dalam menangani masalah ini. Tidak ada upaya yang
nyata dari pemerintah untuk mempertahankan budaya Indonesia.
Yang kedua adalah faktor eksternal. Derasnya arus informasi yang datang ke Indonesia
juga mempengaruhi terkikisnya budaya Indonesia. Banyak budaya asing, khususnya
budaya Barat telah datang dan tumbuh di Indonesia. Budaya-budaya barat itu tidak
sesuai dengan nilai-nilai Indonesia sebagai negara timur. Hal ini juga memberikan efek
buruk dalam norma Indonesia sebagai bangsa timur. Saat ini, kita bisa melihat mode
pakaian yang tidak sesuai dengan norma-norma, kebiasaan mabuk, dan gaya hidup
yang buruk telah berkembang di Indonesia.
Bahkan semua orang di negeri ini pernah mendengar pemimpin bangsa berpidato
dengan bahasanya yang khas. Sebut saja Soekarno atau presiden baru kita, Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY). Beliau pernah menerima penghargaan sebagai pejabat
yang menggunakan bahasa paling santun se-Indonesia pada tahun 2003. SBY patut
menjadi teladan bagi para pejabat di negeri ini yang senang berkoar-koar di hadapan
publik. Belum lagi gelar yang disandang sebagai wakil rakyat yang memang
mengharuskan mereka berbahasa yang baik dan yang lebih penting bukan sekadar
retorika tanpa makna.
Bahasa yang santun... di manapun kita berada menjadi salah satu modal yang sangat
penting dalam menjalin komunikasi dengan orang lain. Komunikasi dengan orang di
sekitar kita, entah pribumi ataupun warga negara asing. Kesantunan berbahasa menjadi
mutlak kita perlukan. Kalau kesantunan berbahasa yang setidaknya dimiliki oleh semua
orang pada semua kelas atau level, maka menjadi tugas bersama untuk menjadikannya
sebagai ciri khas bangsa yang benar-benar terealisasi. Sehingga, para tourist yang
datang di Indonesia tidak hanya merasa bahwa kesantunan berbahasa yang kita
gunakan bukan hanya sekadar terori yang dibuat-buat atau sekadar rekayasa
berbudaya.
Budaya kita populer dengan keragaman dari aspek kesenian. Sedangkan bahasa kita
populer dengan keragaman dari aspek kedaerahan. Kalau keragaman berbahasa yang
pada intinya harus sinkron dengan cara kita berbudaya, maka akan menjadi sesuatu
yang sulit tercapai. Mengapa? Apa jadinya kalau masyarakat Bugis-Makassar yang
kental dengan kasarnya budaya berbahasa, harus menyesuaikan diri dengan gaya
berbahasa masyarakat sunda yang lebih halus, lebih lembut. Maka, solusinya adalah
mengembalikannya sesuai kesantunan kita berbahasa yang sesuai nilai-nilai atau norma
konvensional dalam masyarakat kita. Mengapa harus susah-susah melipat lidah kalau
budaya berbahasa kita kasar atau lebih lembut. Bukankan kesantunan dalam berbahasa
dan berbudaya itu terletak pada dan bagaimana kita mensinkronisasikan keduanya
sehingga dapat diterima dengan baik dan bijak oleh masyarakat luas.
Artikel Bahasa Daerah
Karya sastra lahir tidak dalam kekosongan budaya (Teeuw, 1984:1112). Dalam
padangan itu dapat dimaknai bahwa karya sastra lahir dalam konteks budaya tertentu
dari seorang pengarang. Oleh karen itu, pengarang yang berasal dari Jawa atau Bali,
misalnya, akan memengaruhi gaya pengungkapan, antara lain, melalui bahasa yang
digunakannya karena sebagai anggota masyarakat tentu sulit terlepas dari nila-nilai
yang berlaku dalam masyakat. Karya satra yang mereka ciptakan sedikit banyak
mencerminkan gambaran masyarakatnya. Untuk mengungkapkan gagasan, pikiran,
dan perasaannya secara leluasa, sering kita temukan pengarang mengekspresikannya
dengan bahasa daerahnya. Dengan demikian, kita tidak heran apabila pengarang
dalam karyanya menggunaan kata, frasa, dan kalimat bahasa daerah.
A. Bahasa Daerah dalam Karya Sastra Indonesia Modern
Penggunaan kosakata bahasa daerah dalam karya sastra Indonesia modern bukan
merupakan hal yang baru. Bahasa daerah telah lama digunakan oleh banyak
pengarang Indonesia, baik dalam karya fiksi maupun puisi. Ada pengarang yang hanya
menyelipkan beberapa kosakata bahasa daerah dalam karyanya, tetapi ada juga yang
secara sadar menggunakan kosakata bahasa daerah untuk menarik perhatian
pembaca dan pengamat sastra. Misalnya, Achdiat K. Mihardja
dalam Atheis menggunkan kosakata daerah (Jawa), alon-alon,
cangkolan, dan ngelamun, Chairil Anwar dalam sajak Cerita Buat Dien Tamaela
menggunakan kosakata (Maluku): beta dan tifa; Bokor Hutasuhut dalam novel Penakluk
Ujung Dunia menggunakan kosakata (Batak): ampangngardang, ampataga,
martandang, margondang, dan parhitean; Korrie Layun Rampan dalam
novel Upacara menggunakan kosakata bahasa Dayak Iban. Linus Suryadi dalam karya
prosa liriknya, Pengakuan Pariyem, menggunakan kosakata bahasa Jawa yang begitu
dominan sehingga ada yang menyebunya sebagai centini (karya sastra Jawa).
Keadaan itu merupakan salah satu contoh permasalahan bahasa daerah. Tidak
dapat dipungkiri hal itu pasti juga terjadi pada bahasa daerah lain yang ada di
Indonesia. Dalam hal itu, Pemerintah tidak berdiam diri. Berbagai kebijakan
Pemerintah dilakukan untuk mengatasi masalah bahasa daerah, seperti Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, mengatur pembagian kewenangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan pembagian kewenangan,
pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia merupakan kewenangan
pemerintah pusat, sedangkan pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra
daerah termasuk ke dalam kewenangan pemerintah daerah. Kebijakan lain mengenai
bahasa dan sastra daerah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009
tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, Pasal 37
ayat 2, Pasal 38 ayat 2, Pasal 39 ayat 2, dan Pasal 41 ayat 1. Dengan adanya berbagai
kebijakan tersebut, berarti masyarakat cukup leluasa untuk melakukan upaya
pemertahanan bahasa daerahnya. Pemertahanan bahasa sangat penting karena dapat
mewujudkan diversitas kultural, memelihara identitas etnis, menjaga adaptabilitas
sosial, dan meningkatkan kepekaan lingusitis (Crystal, 2000).