Você está na página 1de 34

NIKAH SIRI

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan sirri adalah perkawinan rahasia, kadang kita kenal dengan Nikah bawah tangan atau
mungkin dalam khasanah kajian hukum islam konteks nikah semacam ini mendekati istilah
nikah yang kita kenal dengan nikah misyar.
Terkadang tidak diketahui oleh orang tuanya, seperti kawin lari, tidak diketahui oleh orang
banyak dan tidak diketahui oleh pemerintah yang sah, dalam artian perkawinan yang tidak
dicatatkan di Pegawai Pencatat Nikah.
Perkawinan sirri yang terjadi di dalam masyarakat adalah kasus yang lama sekali muncul dan
hadir di tengah masyarakat, tetapi selama itu pula jeratan hukum begitu menyiksanya terutama
bagi para istri. Hak dan kewajibannya dirampas oleh hukum atau Hakim. kajian perkawinan sirri
yang terjadi di dalam masyarakat termasuk kajian etika terapan, karena perkawinan sirri
dipandang menurut norma hukum dan norma agama. Padahal mempelajari norma hukum atau
norma agama berarti mempelajari pengaruh hukum terhadap masyarakat.
Jelas bagi kita bahwa perkawinan diadakan untuk menyelamatkan moral kebudayaan, sehingga
prilaku seksual menyimpang dapat dikikis. Budaya freeseks yang sedang menjadi perhatian
orang banyak merupakan budaya barat yang sangat merugikan secara hukum pada perempuan
atau anak yang dikandungnya, karena pembelaan hak-hak anak, atau uang belanja istri menurut
hukum diakui berdasarkan adanya perkawinan. Jika mereka tidak memiliki akta perkawinan,
maka akan hilang begitu saja hak-haknya.
Menurut kajian ilmu hukum pencatatan adalah wajib, hal ini karena pencatatan menjadi alat
pembuktian, yaitu pembuktian secara otentik. Sedangkan menurut norma agama pencatatan
merupakan kesunatan, keberadaanya bukan menjadi syarat sahnya perkawinan akan tetapi
menjadi wajib apabila sudah menjadi qanun atau undang-undang.
B.Rumusan Masalah
1.Apa yang melatar belakangi seseorang melaksanakan nikah sirri?
2.Bagaimana pelaksanaan nikah sirri?
3.Apa dampak pernikahan sirri dalam keluarga dan masyarakat?

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

PENELITIAN, PELAKSANAAN DAN DAMPAK NIKAH SIRRI


A.Hasil Penelitian Yang Melatar Belakang Melaksanakan Nikah Sirri
Sebagaimana penelitian yang dilakukan melalui wawancara dengan responden yang dimulai dari
tanggal 26 Oktober sampai 7 November 2006 yang bertempat di desa Nanggalamekar kecamatan
Ciranjang Kab Cianjur dapat diketahui bahwa yang melatar belakangi mereka melaksanakan
nikkah sirih yaitu 1) hamil diluar nikah 2) tiadak dapat izin/persetujuan dari istri 3) alasan
ekonomi 4) tidak ingin diketahuai oleh istri 5) kurangnya kesadaran dan pemahaman masyrakat
tentang pencatatan perkawinan 6) sulitnya aturan hukum berpoligami.
1.Hamil Diluar Nikah
Budaya barat yang merebak dan ditelan mentah-mentah mempunyai pengaruh besar dalam
merubah prilaku dan pola pikir seseorang tanpa disaring terlebih dahulu, akibatnya pergaulan
yang mereka lakukan terkadang melampaui batas, tidak lagi mengindahakan norma dan kaidah-
kaidah agama. Akibatnya ada hal-hal lain yang timbul akibat pergaulan bebas seperti hamil
diluar nikah.
Kehamilan yang terjadi diluar nikah tersebut, merupakan aib bagi keluarga yang akan
mengundang cemoohan dari masyarakat. Dari sanalah orang tua menikahkan anaknya dengan
laki-laki yang menghamilinnya dengan alasan menyelamatkan nama baik keluarga. Dan tanpa
melibatkan petugas PPN, tetapi hanya dilakukan oleh mualim tanpa melakukan penctatan.
2.Tiadak Mendapat Izin/Persetujuan Istri
Maksudnya, seorang suami dengan sengaja meminta izin/persetujuan dari istri sebelumnya untuk
melakukan poligami. Jika kita melihat aturan hukum undang-undang perkawianan No 1 tahun
1974 pernikahan yang kedua kalinya atau lebih harus mendapat izin dan persetujuan dari istri
sebelumnya hal ini sesuai dengan syarat poligami yang dijelaskan dalam pasal 5 undang-undang
No 1 tahun 1974 yaitu adanya persetujuan dari istri-istri.
Hal senada dikemukakan oleh orang yang melakukan nikah siri di desa Nanggalamekar
kecamatan Ciranjang Kab. Cianjur, dirinya melakukan pernikahan siri karena istrinya tidak mau
dimadu atau tidak memberikan izin kepada suami untuk berpoligami. Sampai-sampai istrinya
mengancam minta bercerai kalau dirinya dimadu. Dan dari sanalah suami timbul hasrat untuk
melakukan nikah siri.
3.Alasan Ekonomi
Rukun Nikah yang telah menjadi ijma yakni Adanya mempelai laki-laki, Adanya mernpelai
perempuan, Ada Wali (bagi si perempuan), Saksi nikah (minimal dua orang laki-laki), Adanya
mahar (mas kawin), Ada aqad (ijab dari wali perempuan dan wakilnya dan qabul dari mempelai
laki-laki, atau wakilnya).
Apabila pernikahan biasa, seorang pemuda selain harus membayar mas kawin yang mahal, juga
menyediakan rumah dan menanggung biaya pesta yang tergolong besar untuk ukuran
kebanyakan.

Karena itu, banyak pria lebih memilih menikah dengan cara diam-diam yang penting halal alias
ada saksi tanpa harus melakukan pesta dengan tamu undangan seperti lumrahnya pernikahan
biasa. Salah satu sebab utamanya adalah faktor ekonomi, sebab sebagian pemuda tidak mampu
menanggung biaya pesta, menyiapkan rumah milik dan harta gono gini, maka mereka memilih
menikah dengan cara sirri yang penting halal.
4.Tidak Ingin Diketahui Oleh Istri
Alasanya tidak ingin diketahui oleh istri adalah seorang suami sengaja menikah secara siri tanpa
meminta izin sebelumnya atau karena telah terikat janji dengan istri, dengan demikian, sisuami
lebih leluasa untuk menikah dengan wanita lain tanpa adanya sepengetahuan istri. Hal ini hamir
serupa dengan kejadian diatas.
5.Kurangnya Pemahan Dan Kesadaran Masyarakat Tentang Pencatan Pernikahan
Dengan pemahaman masyarakat yang sangat minim akibatnya kesadaran masyarakat pun
mempengaruhi melaksanakan pernikahan siri. Adanya anggapan bahwa perkawinan yang dicatat
dan tidak dicatat sama saja. Padahal telah dijelaskan dalam undang-undang perkawinan yang
berbunyi sebagai berikut:
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (pasal 2 ayat 1 Undang-Undang
Perkawinan nomor 1 tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama
Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama
Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.
Namun demikian, Mahkamah Agung RI dalam perkara Nugraha Besoes melawan Desrina dan
putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam perkara Heria Mulyani dan Robby Kusuma Harta,
saat itu mengabulkan gugatan nafkah bagi anak hasil hubungan kedua pasangan tersebut.
6.Sulitnya Aturan Berpoligami
Di Indonesia, masalah poligami telah diatur dalam undang-undang No 1 Thn 1974 undang-
undang tersebut menyiratkan betapa sulitnya berpoligami hal tersebut sengaja dilakukan untuk
memperkecil kemungkinan adanya poligami dikalangan para pria yang telah menikah. Jika
ditinjau dari kacamata agama bahwasannya islam telah mengsyariatkan seorang laki-laki muslim
boleh berpoligami dengan syarat adil.
B.Pelaksanaan Pernikahan Sirri
Pelaksanaan nikah sirri yang terjadi didesa Nagalamekar sebenarnya tidak jauh berbeda dari
pelaksannan pernikahan sebagaimana mestinya hanya perbedaaannya terletak pada resmi atau
tidak resminya pernikahan itu sendiri. Dalam artian pernikahan secara resmi yaitu sesuai dengan
ketentuan undang-undang perkawinan No 1 Thn 74 sedangkan tidak resmi adalah sebaliknya.
C.Dampak Pernikahan Sirri
Sebenarnya Pernikahan sirri memiliki sisi positif dan negatifnya, hanya saja sisi positf tidak
seimbang dengan dampak negatifnya. Menurut masyarakat desa Nanggalamekar pernikahan
yang dilakukan selain cepat mudah, praktis dan ekonomis juga dapat menutupi aib dimata
masyarakat apabila terjadi hamil diluar nikah. Seperti yang akan diterangkan dibawah ini:

A.Dampak Positf Pernikahan Sirri Dalam Keluarga Dan Masyarakat

Dengan melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi
perselisihan atau percekcokan diantara mereka atau salah satunya tidak bertanggung jawab, maka
yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-
masing dengan akta perkawinan tersebut suami istri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum
yang telah mereka lakukan.
a.Dampak Positif Dalam Keluarga
1.Hak-Hak Individu Dapat Tertutupi
Kepentingan-kepentingan orang yang melatar belakangi melaksanakan pernikahan sirri dapat
tertutupi, salah satunya di desa Nanggalamekar misalnya si a dan si b melakuakan pernikahan
sirri. Maka pernikahan sirrinya tersebut adalah upaya yang dilakukannya agar aib dalam
keluarganya tertutupi sehingga, masyarakat tidak mengetahui seputar kehamilannya diluar nikah
yang dialakukan oleh dirinya.
2.Hilangnya Kehwatiran Perjinahan
Hilangnya kehwatiran dalam perjinahan, seperti halnya yang terjadi terhadap sepasang remaja
yang berada didesa Nanggalamekar. Dikarenakan keduanya sudah memiliki kecocokan dan
daripada terjerumus kepada perjinahan. Maka, orang tua mereka segera menikahkan mereka
secara sirri, dan dengan dasar faktor ekonomilah maka pernikahan mereka dilakukan dengan cara
sirri (tidak dicatat dalam kua). Sehingga tidak ada kehawatiran dari masing-masing keluarga dan
pernikahan yang dilakukanpun tidak melanggar agama.
b.Dampak Positif Dalam Masyarakat
1.Terperiharnya Nama Baik Kampung
Masyarakat beranggapan bahwa nikah sirri merupakan sarana yang efektif untuk menutupi aib
yang terjadi dimasyarakat supaya tidak menyebar kekampung lain. Jika berita itu tersebar maka
warga lain akan mengecap jelek semua warga kampung tersebut.

B.Dampak Negatif Pernikahan Sirri Pada Keluarga Dan Masyrakat

a)Dampak Negatif Dalam Keluarga


1.Adanya Perselisihan
Yang dimaksud perselisihan disini adalah pertengkaran/percekcokan yang terjadi dalam keluarga
yang melakukan poligami. Percekcokan tersebut terjadi karena adanya ketidak adilan diantara
istri pertama ataupun kedua. Percekcokan tersebut terjadi karena salah satu istri dikarenakan
nikah sirri maka suami tidak mendaftarkan perkawian yang telah dilakukan kepada pejabat yang
berwenang.
2.Terabaikannya Hak Dan Kewajiban
Terabaikannya hak dan kewajiban, seorang suami yang melakukan poligami mengabaikan hak
dan kewajibannya sebagai seorang suami terhadap istri pertamanya. Dikarenakan si suami lebih
sering bersama istri mudanya sehingga si suami mengabaikan kewajibannya selaku suami.

3.Adanya Keresahan/Kehawatiran
Adanya keresahan/kehawatiran melaksanakan pernikahan sirri, dikarenakan tidak memiliki akta
nikah. Mereka khawatir apabila berpergian jauh atau kemalaman dijalan mereka tidak dapat
membuktikan bahwa mereka suami istri, sehubungan dengan banyaknya razia.

b)Dampak Negatif Dalam Masyarakat


1.Adanya Fitnnah
Resiko pernikahan sirri adalah timbulnya fitnah, masyarakat menggap bahwa perkawinan yang
dilakuakan secara sirri merupakan upaya dirinya (pasangan yang menikah) untuk menutupi aib
seputar kehamilan diluar nikah. Walaupun spekualsi tersebut belum tentu benar adanya.
2.Adanya Anggapan Poligami
Poligami, merupakan salah satu kecurigaan yang timbul di dalam masyarakat akibat pernikahan
yang dilakuakan secara sirri. Masyarakat mengagap bahwa pernikahan sirri merupakan upaya
untuk menutupi seputar poligami sehingga dengan demikian istri sebelumnnya atau istri
pertamanya tidak mengetahui prihal poligami tersebut. Walaupun anggapan tersebut tidak benar
adanya.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah Sirri
Sirri itu artinya rahasia, jadi nikah sirri adalah nikah yang di rahasiakan, dirahasiakan karena
takut dan malu di ketahui umum. Padahal nikah itu harus di maklumatkan, di umumkan, di
ketahui oleh orang banyak supaya menghilangkan Fitnah dan menjaga nama baik dan
kehormatan.
B. Macam-Macam Nikah Sirri
Diantaranya adalah;
Pertama, nikah yang dialakukan tanpa adanya wali. Pernikahan seperti ini jelas halnya bahwa
pernikahan yang dilakuakan tanpa wali adalah tidak sah. Sebab wali merupakan rukun sahnya
pernikahan. Seperti halnya Rasulullah SAW bersabda:

Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy,
lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla, kata laa pada hadits menunjukkan pengertian tidak sah,
bukan sekedar tidak sempurna sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini
dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah
saw pernah bersabda:
, ,
Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil;
pernikahannya batil; pernikahannya batil. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat,
Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak
menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita)
yang menikahkan dirinya sendiri. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy
Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah
pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak
mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi
bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali.
Kedua, Adalah pernikahan yang dialakukan tanpa dicatatkan oleh petugas PPN yang ada
dibawah wewenang KUA atau disebut juga nikah dibawah tangan. Pernikahan seperti ini
menurut agama hukumnya sah akan tetapi dari segi hukum formal atau undang-undang bahwa
perrnikahan tersebut tidak sah.
Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar
seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah
melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti
syariy (bayyinah syariyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika
pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah
dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan,
ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat
pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.
Adapun yang menjadi dasar hukum bahwa pernikahan itu haruslah dicatat kepada lembaga
pemerintah (KUA/catatan sipil) sebagai berikut:
Allah SWT berfirman;

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ... [QS AL-Baqarah (2):
Ketiga, Adalah pernikahan yang dilakukan tanpa adanya saksi, pernikahan seperti ini jelas
halnya bahwa perkawinanya tidak sah. Seperti halnya Rasulullah SAW bersabda:
Artinya;
Dari Aisyah bahwa rasul allah saw berkata tidak ada nikah kecuali denagan wali dan dua orang
saksi yang adil (HR. Al-Daraquthniy)
Keempat, Pernikahan yang dihadiri saksi dan wali akan tetapi tidak di Ilankan kekhalayak
(penyampaian berita kepada khlayak) atau disebut juga walimah. Sebagian ulama berkata bahwa
melaksanakan walimah di dalam pernikahan itu wajib hukumnya. Akan tetapi tidak semua
mengatakan bahwa hal tersebut wajib. Seperti halnya hadis dibawah ini:

Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing.[HR. Imam Bukhari dan Muslim].

C. DASAR-DASAR HUKUM
AL QURAN
Firman Allah surat al-Baqarah ayat 282:


Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ... .
Dari ayat al-qur'an diatas, bahwa setiap trnsaksi/akad utang piutang dalam muamalah harus
dicatat. Sesuai dengan firman Allah SWT diatas. Sedangkan, akad nikah bukanlah muamalah
biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat an-Nisa'
ayat 21:
y

Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Jelas halnya apabila akad hutang piutang dalam muamalah dicatat, mestinya akad nikah yang
begitu agung dan mulianya lebih utama lagi untuk dicatatkan.
Fatwa Tarjih Muhammadiyah Hukum Nikah Sirri
Para ulama Muhammadiyyah pada hari jumat tanggal ,8 jumadal ula 1428 hijriah/ 25 mei 2007
M seiring dengan maraknya pernikahan sirri yang terjadi di lingkungan masyarakat pada waktu
itu, organisasi masyarakat muhammadiyah melakukan sidang tarjih atas solusi terjadinya
pernikahan sirri. Muhammadiyah mengeluarkan fatwa bahwa nikah sirri tanpa dicatat di kantor
urusan agama atau catetan sipil tidak sah.
Atas dasar pertimbangan itu, maka bagi warga Muhammadiyah, wajib hukumnya mencatatkan
perkawinan yang dilakukannya. Hal ini juga diperkuat dengan naskah Kepribadian
Muhammadiyah sebagaimana diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35, bahwa di
antara sifat Muhammadiyah ialah "mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan,
serta dasar dan falsafah negara yang sah.
Pertanyaan dari: Pengurus salah satu BPH Amal Usaha di lingkungan Persyarikatan,
disampaikan lisan pada sidang Tarjih (disidangkan pada: Jum'at, 8 Jumadal Ula 1428 H / 25 Mei
2007 M)
Pertanyaan:
Sampai sekarang masih ada orang Islam yang melakukan nikah sirri, yaitu pernikahan yang
dilakukan oleh wali pihak perempuan dengan seorang laki-laki dan disaksikan oleh dua orang
saksi, tetapi tidak dilaporkan atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Bagaimana
hukum pernikahan seperti ini?
[Pengurus salah satu BPH Amal Usaha di lingkungan Persyarikatan, disampaikan lisan pada
sidang Tarjih]
Jawaban:
Yang menjadi persoalan adalah apakah pernikahan yang dirahasiakan, tidak diketahui oleh orang
lain sah atau tidak, karena nikahnya itu sendiri sudah memenuhi unsur-unsur dan syarat-
syaratnya. Adapun nikah sirri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini ialah
pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak
dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau perkawinan
yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan
Sipil bagi yang tidak beragama Islam, sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai Akta Nikah
yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perkawinan yang demikian di kalangan masyarakat selain
dikenal dengan istilah nikah sirri, dikenal juga dengan sebutan perkawinan di bawah tangan.
Nikah sirri yang dikenal masyarakat seperti disebutkan di atas muncul setelah diundangkannya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan
menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, disebutkan:
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan dari pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 selanjutnya diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pasal-pasal yang berkaitan dengan
tatacara perkawinan dan pencatatannya, antara lain Pasal 10, 11, 12, dan 13.
Pasal 10 PP No. 9 Tahun1975 mengatur tatacara perkawinan. Dalam ayat (2) disebutkan:
"Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya". Dalam ayat (3) disebutkan: "Dengan mengindahkan tatacara perkawinan
menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan
Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi".
Tentang pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 11:
1. Sesaat setelah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10
Peraturan Pemerintah ini kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan
oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
2. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani
pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang
mewakilinya.
3. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.
Dalam Pasal 12 diatur hal-hal apa saja yang dimuat dalam akta perkawinan, dan dalam Pasal 13
diatur lebih lanjut tentang akta perkawinan dan kutipannya, yaitu:
1. Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh Pegawai
Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor pencatatan
Perkawinan itu berada.
2. Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan.
Dari ketentuan perundang-undangan di atas dapat diketahui bahwa peraturan perundang-
undangan sama sekali tidak mengatur materi perkawinan, bahkan ditandaskan bahwa perkawinan
sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Peraturan
perundangan hanya mengatur perkawinan dari formalitasnya, yaitu perkawinan sebagai sebuah
peristiwa hukum yang harus dilaksanakan menurut peraturan agar terjadi ketertiban dan
kepastian hukumnya.
Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret
mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan
perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-
syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan yang telah dilakukan hendaknya
di'ilankan, diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui media walimatul-'ursy. Nabi
saw bersabda:
]
Artinya: Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana [HR. Ibnu Majah dari 'Aisyah].
)

Artinya: Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing
[HR. al-Bukhari dari 'Abdurrahman bin 'Auf].
Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan, pembuktiannya
cukup dengan alat bukti persaksian.
Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan
pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat
aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban
pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi
pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan,
seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain.
Dalam hal ini, Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi
perselisihan di antara sumai isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain
dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing,
karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara
mereka. Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya Undang-
undang atau peraturan lainnya, adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan
bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini adalah sah
sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
.
Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.
Ibnu al-Qayyim menyatakan :
.

Artinya: Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan,
niat dan adat istiadat [I'lam al-Muwaqqi'in, Juz III, hlm. 3].
Selain itu pencatatan perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga
mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat
perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan. Tidak
terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya dilarang melakukan
akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti
laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak. Tindakan
preventif ini dalam peraturan perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan
perkawinan oleh Pegawai Pencatat, seperti yang diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975.
Keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan, dalam hukum Islam,
diqiyaskan kepada pencatatan dalam peroalan mudayanah yang dalam situasi tertentu
diperintahkan untuk mencatatnya, seperti disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat
282:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ... .
Seperti yang sudah terlebih dahulu diterangkan,. Bahwa, akad nikah bukanlah muamalah biasa
akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat
21:


Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad
nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.
Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan
yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas
melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang
melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama
isteri dan anak-anak. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip
dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam qaidah:


.
Artinya: Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan
rakyatnya
Pandangan Ulama
Selain itu, di antara ulama terkemuka yang membolehkan pernikahan dengan cara siri itu adalah
Dr. Yusuf Qardawi, salah seorang pakar Muslim kontemporer terkemuka di dunia Islam. Ia
berpendapat bahwa nikah ini adalah nikah syar`i (sah) selama ada ijab-qabul dan saksi.
Tetapi menurut mazhab Hanafi dan Hambali, wali itu syarat perkawinan dan bukan rukun
perkawinan. Jika sy'arat dan rukun nikah ini dipenuhi ketika nikah siri digelar, maka sah menurut
agama (Islam). Namun apabila sebuah perkawinan tidak didaftarkan pada Pegawai Pencatat
Nikah Kantor Urusan Agama (PPNIKUA), maka perkawinan itu tidak mendapat perlindungan
hukum. Pencatatan perkawinan merupakan tindakan administratif, bahkan merupakan salah satu
syarat sahnya perkawinan.

BAB IV
KESIMPULAN
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan tanpa wali.
Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak
setuju, atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali, atau hanya karena ingin
memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat. Kedua,
pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara.
Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga
pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi
pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang
pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan
karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif
dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri, atau karena pertimbangan-
pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya (tanpa
mengadakan walimah). Keempat, tanpa dihadirkannya saksi.
DAFTAR PUSTAKA

Dimayati, Ayat dan M, Saran, Hadits Ahkam Keluarga, Bandung: 2008

Ghojali, Abdul Rahman, Fiqih Munakahat, Kencana, Jakarta: 2008

Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Satria, Bandung: 2000

H.S.A Alhamdani, Risalah Nikah, Pustaka Asmani.,Jakarta: 1989

Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1998

Yunus, Muhamad, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: 1958

NIKAH SIRI

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Tugas

Mata Kuliah Fiqh 2

Dosen Pengampu : Nurul Afifah, M.Pd.I

Disusun Oleh :

Fandi Israwan 1290155


Novi Atika Sari 1290475

Program Studi :

Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI)

KEMENTERIAN AGAMA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

JURAI SIWO METRO

2013

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah yang maha pengasih. Segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang dengan
rido-Nya kita dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar. Sholawat serta salam tetap kami
haturkan kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW yang dengan rido-Nya dan
bimbingannya makalah ini dapat terselesaikan dengan lancar.

Sebagai mahasiswa kami mengharapkan bimbingan dan bantuan, saran serta dukungan dari
bapak dan ibu dosen serta pihak lain agar makalah ini bisa berhasil dan berguna bagi kita semua.

Tidak ada gading yang tak retak, demikian pula makalah ini. Oleh karena itu, saran dan kritik
yang membangun tetap kami nantikan dan kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Metro, Oktober 2013

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN
JUDUL. i

KATA
PENGANTAR.. ii

DAFTAR
ISI.. iii

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Masalah 1
2. Rumusan
Masalah. 2
3. Tujuan
Penulisan 2

BAB II LANDASAN TEORI

1. Fenomena Nikah Siri di Indonesia.. 3


2. Definisi Nikah
Siri 5
3. Tata Cara Pernikahan
Siri. 5
4. Hukum Pernikahan
Siri.. 7
5. Pengesahan Pernikahan Siri.
16

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan
.. 19
2. Pendapat
Kelompok 20

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Manusia pada hakekatnya merupakan Makhluk Ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang diberi
kelebihan berupa akal dan fikiran. Sudah menjadi kodrat alam, sejak dilahirkan manusia selalu
hidup bersama dengan manusia lainnya di dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama di sini,
untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari baik jasmani maupun rohani. Pada umumnya seorang
pria maupun seorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama. Hidup bersama antara
seorang pria dan seorang wanita mempunyai akibat yang sangat penting dalam masyarakat, baik
terhadap kedua belah pihak maupun keturunannya serta anggota masyarakat yang lainnya. Oleh
karena itu dibutuhkan suatu peraturan yang mengatur tentang hidup bersama antara lain syarat-
syarat untuk peresmian hidup bersama, pelaksanaannya, kelanjutannya dan berakhirnya
perkawinan itu.[1]

Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Bagi
Bangsa Indonesia yang memiliki alam pikiran magis (percaya pada hal-hal gaib), ritual
perkawinan tidak hanya dipandang sebagai peristiwa sakral. Setelah selesai ritual sakral,
timbullah ikatan perkawinan antara suami isteri. Seorang pria dan wanita yang dulunya
merupakan pribadi yang bebas tanpa ikatan hukum, namun setelah perkawinan menjadi terikat
lahir dan batin sebagai suami isteri. Ikatan yang ada di antara mereka merupakan ikatan lahiriah,
rohaniah, spiritual dan kemanusiaan. Ikatan perkawinan ini, menimbulkan akibat hukum
terhadap diri masing-masing suami isteri yang berupa hak dan kewajiban.

Pada prinsipnya perkawinan adalah suatu akad, untuk menghalalkan hubungan serta membatasi
hak dan kewajiban, tolong menolong antara pria dengan wanita yang antara keduanya bukan
muhrim. Apabila di tinjau dari segi hukum, jelas bahwa pernikahan adalah suatu akad yang suci
dan luhur antara pria dengan wanita, yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami isteri dan
dihalalkan hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, mawadah serta saling
menyantuni antara keduanya. Suatu akad perkawinan menurut Hukum Islam ada yang sah ada
yang tidak sah. Hal ini dikarenakan, akad yang sah adalah akad yang dilaksanakan dengan
syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap, sesuai dengan ketentuan agama. Sebaliknya akad
yang tidak sah, adalah akad yang dilaksanakan tidak sesuai dengan syarat-syarat serta rukun-
rukun perkawinan. Akan tetapi pada kenyataan ada perkawinan-perkawinan yang dilakukan
hanya dengan Hukum Agamanya saja. Perkawinan ini sering disebut Perkawinan Siri, yaitu
perkawinan yang tidak terdapat bukti otentik, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana fenomena nikah siri yang terjadi di Indonesia?


2. Apa pengertian/definisi dari nikah siri?
3. Bagaimana tata cara pernikahan siri?
4. Bagaimana kekuatan hukum pernikahan siri ditinjau dari hukum Islam dan hukum yang
berlaku di Indonesia?
5. Bagaimana cara melegalkan pernikahan siri?

C. TUJUAN PENULISAN

Dalam penulisan makalah yang berjudul Nikah Siri, memiliki tujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui fenomena nikah siri yang terjadi di Indonesia.


2. Untuk mengetahui definisi dari nikah siri.
3. Untuk mengetahui tata cara pernikahan siri.
4. Untuk mengetahui kekuatan hukum pernikahan siri dari perspektif hukum Islam dan
hukum Indonesia.
5. Untuk mengetahui prosedur pengesahan pernikahan siri.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. FENOMENA PERNIKAHAN SIRI DI INDONESIA

Akhir-akhir ini, fenomena nikah siri memberikan kesan yang menarik. Pertama, nikah siri
sepertinya memang benar-benar telah menjadi trend yang tidak saja dipraktekkan oleh
masyarakat umum, namun juga dipraktekkan oleh figur masyarakat yang selama ini sering
disebut dengan istilah kyai, dai, ustad, ulama, atau istilah lainnya yang menandai kemampuan
seseorang mendalami agama (Islam). Kedua, nikah siri sering ditempatkan menjadi sebuah
pilihan ketika seseorang hendak berpoligami dengan sejumlah alasannya tersendiri.

Mengapa nikah siri menjadi trend di Indonesia? Padahal jelas pihak wanita yang paling
dirugikan, kalau calon suami hanya berniat melampiaskan hasrat dengan halal. Sayangnya masih
banyak wanita yang mau diperlakukan semena-mena. Mungkin faktor ekonomi atau
ingin hidup senang tanpa harus kerja keras. Apalagi kalau yang mengajak nikah seorang pejabat
atau orang terkenal, banyak wanita manggut-manggut saja. Mereka baru menyesal setelah
dicampakkan lalu berteriak cari perhatian dimedia. Sebaliknya tak dapat dipungkiri bahwa
banyak juga wanita muslim Indonesia nikah siri dengan orang asing, lalu menikah resmi dan
pernikahan mereka hanya terdaftar di negara suaminya. Mereka hidup rukun dan damai hingga
beranak cucu.

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan salah satu wujud aturan
tata tertib pernikahan yang dimiliki oleh negara Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, di
samping aturan-aturan tata tertib pernikahan yang lain yaitu Hukum Adat dan Hukum Agama.
Agar terjaminnya ketertiban pranata pernikahan dalam masyarakat, maka Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menentukan bahwa setiap
perkawinan harus dicatat oleh petugas yang berwenang. Namun kenyataan memperlihatkan
fenomena yang berbeda. Hal ini tampak dari maraknya pernikahan siri atau pernikahan di bawah
tangan yang terjadi di tengah masyarakat.

Negara Republik Indonesia, sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila yang
pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan dianggap mempunyai hubungan
yang erat sekali dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mengandung
unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang sangat
penting. Keharusan pencatatan perkawinan walaupun bukan menjadi rukun nikah, akan tetapi
merupakan hal yang sangat penting terutama sebagai alat bukti yang dimiliki seseorang, apabila
terjadi suatu permasalahan di kemudian hari.[2]

Berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Perkawinan adalah sah apabila sah
menurut agama dan kepercayaannya masing-masing, serta perkawinan tersebut harus dicatatkan.
Namun dalam kompilasi hukum islam perkawinan adalah sah apabila sah menurut agama islam,
kemudian syarat pencatatan yang ada agar menjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat
Islam. Berdasarkan kedua aturan tersebut dapat diketahui bahwa suatu perkawinan itu tetap harus
dicatatkan demi terciptanya suatu ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Meskipun suatu
perkawinan itu sudah disebut sah apabila sudah sah secara agama apabila tidak dicatatkan dapat
dikatakan perkawinan tersebut adalah perkawinan secara siri.

Penyebab yang menimbulkan masyarakat melakukan pernikahan siri sebenarnya kembali kepada
pribadinya masing-masing. Namun yang terjadi belakangan ini hal-hal yang menyebabkan
timbulnya nikah dilihat dari faktor sosial dikarenakan adanya kesulitan pencatatan pernikahan
yang kedua kalinya, batasan usia yang layak nikah berdasarkan peraturan perundang-undangan,
tempat tinggal yang berpindah-pindah membuat orang kesulitan untuk mengurus administrasi
dan prosedur pencatatan pernikahan. Kemudian ada faktor ekonomi dimana masyarakat yang
kurang mampu biasanya akan kesulitan untuk membayar biaya-biaya untuk mencatatkan
pernikahannya sehingga lebih memilih nikah siri. Selanjutnya ada juga faktor agama dimana
nikah siri dilakukan untuk menghalalkan suatu hubungan agar dijauhkan dari zinah dan dosa.

B. DEFINISI NIKAH SIRI

Secara harfiah sirri itu artinya rahasia. Jadi, nikah sirri adalah pernikahan yang dirahasiakan
dari pengetahuan orang banyak. Secara umum Nikah Siri adalah sebuah perbuatan dalam
melakukan pernihakan sesuai aturan agama dalam hal ini Ajaran Islam namun karena berbagai
hal yang menghalanginya menjadikan tidak terjadinya pencatatan secara sah atau legal oleh
aparat yang berwenang dalam hal ini Pemerintah yang diwakili Departemen Agama. Nikah siri
dalam konteks masyarakat sering dimaksudkan dalam beberapa pengertian.

Pertama, nikah yang dilaksanakan dengan sembunyi-sembunyi, tanpa mengundang orang luar
selain dari kedua keluarga mempelai. Kemudian tidak mendaftarkan perkawinannya kepada
Kantor Urusan Agama (KUA) sehingga nikah mereka tidak mempunyai legalitas formal dalam
hukum positif di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam undang-undang perkawinan. Banyak
faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga
pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi
pencatatan, ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang
pegawai negeri nikah lebih dari satu, dan lain sebagainya.

Kedua, nikah yang dilakukan sembunyi-sembunyi oleh sepasang laki-perempuan tanpa diketahui
oleh kedua pihak keluarganya sekalipun. Bahkan benar-benar dirahasiakan sampai tidak
diketahui siapa yang menjadi wali dan saksinya.

Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya


karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu
pernikahan siri, atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk
merahasiakan pernikahannya.

C. TATA CARA PERNIKAHAN SIRI

Kehidupan bersuami istri yang dibangun melalui lembaga perkawinan, sesungguhnya bukanlah
semanta-mata dalam rangka penyaluran hasrat biologis. Maksud dan tujuan nikah jauh lebih luas
dibandingkan sekedar hubungan seksual. Bahkan apibila dipandang dari aspek religius, pada
hakekatnya nikah adalah salah satu bentuk pengabdian kepada Allah. Karena itu, nikah yang
sarat nilai dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah
wa rahmah, perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu agar tujuan disyariatkannya nikah
tercapai. Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut
dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung
arti yang sama dalam hal keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan.[3]

Sahnya suatu nikah dalam Islam adalah dengan terlaksananya akad nikah yang memenuhi rukun
dan syarat-syaratnya. Untuk sahnya perkawinan, para ulama telah merumuskan sekian banyak
rukun dan syarat, yang mereka pahami dari ayat-ayat al-Quran maupun hadis Nabi SAW.
Adanya calon suami isteri, wali, dua orang saksi, mahar serta terlaksananya ijab kabul
merupakan rukun atau syarat sahnya suatu pernikahan. Tata cara menikah siri tidak jauh beda
dengan menikah secara resmi di KUA, dimana dalam pernikahan itu harus dipenuhi syarat dan
rukunnya.

1. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.


2. Adanya ijab qabul.

Ijab artinya mengemukakan atau menyatakan suatu perkataan. Qabul artinya menerima. Jadi Ijab
qabul itu artinya seseorang menyatakan sesuatu kepada lawan bicaranya, kemudian lawan
bicaranya menyatakan menerima. Dalam perkawinan yang dimaksud dengan ijab qabul adalah
seorang wali atau wakil dari mempelai perempuan mengemukakan kepada calon suami anak
perempuannya/ perempuan yang di bawah perwaliannya, untuk menikahkannya dengan lelaki
yang mengambil perempuan tersebut sebagai isterinya. Lalu lelaki bersangkutan menyatakan
menerima pernikahannya itu.

3. Adanya Mahar (mas kawin)

Islam memuliakan wanita dengan mewajibkan laki-laki yang hendak menikahinya menyerahkan
mahar (mas kawin). Islam tidak menetapkan batasan nilai tertentu dalam mas kawin ini, tetapi
atas kesepakatan kedua belah pihak dan menurut kadar kemampuan. Islam juga lebihmenyukai
mas kawin yang mudah dan sederhana serta tidak berlebih-lebihan dalam memintanya. Dari
Uqbah bin Amir, bersabda Rasulullah SAW : Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan
(HR.Al-Hakim dan Ibnu Majah, shahih, lihat Shahih Al-Jamius Shaghir 3279 oleh Al-Albani)

4. Adanya Wali

Dari Abu Musa ra, Nabi SAW bersabda: Tidaklah sah suatu pernikahan tanpa wali. (HR. Abu
Daud dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud). Wali yang
mendapat prioritas pertama di antara sekalian wali-wali yang ada adalah ayah dari pengantin
wanita. Kalau tidak ada barulah kakeknya (ayahnya ayah), kemudian saudara lelaki seayah seibu
atau seayah, kemudian anak saudara lelaki. Sesudah itu barulah kerabat-kerabat terdekat yang
lainnya atau hakim.

5. Adanya Saksi-Saksi

Rasulullah SAW bersabda: Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang
saksi yang adil. (HR. Al-Baihaqi dari Imran dan dari Aisyah, shahih, lihat Shahih Al-Jamius
Shaghir oleh Syaikh Al-Albani no. 7557). Menurut sunnah Rasulullah SAW, sebelum aqad nikah
diadakan khuthbah lebih dahulu yang dinamakan khuthbatun nikah atau khuthbatul-hajat.

D. HUKUM PERNIKAHAN SIRI

1. Nikah Siri Menurut Islam


Hukum nikah sirih secara agama adalah sah atau legal dan dihalalkan atau diperbolehkan jika
syarat dan rukun nikahnya terpenuhi pada saat nikah sirih digelar. Pada prinsipnya, selama nikah
siri itu memenuhi rukun dan syarat nikah yang disepakati ulama, maka dapat dipastikan hukum
nikah itu pada dasarnya sudah sah. Hanya saja bertentangan dengan perintah Nabi saw, yang
menganjurkan agar nikah itu terbuka dan diumumkan kepada orang lain agar tidak menjadi
fitnah. Sesuai hadis Nabi saw :

( ( :

Artinya :

Yang membedakan antara acara pernikahan yang halal dan yang haram, adalah adanya
tabuhan rebana.

Secara mendasar, tidak dilihat dari tabuhan rebananya, melainkan yang menjadi hal mendasar
adalah upaya untuk menyebarluaskan berita tentang acara pernikahan yang diselenggarakan.

Istilah nikah siri atau nikah yang dirahasiakan memang sudah dikenal di kalangan ulama. Hanya
saja nikah siri di kenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah siri dapat saat ini.
Dahulu yang dimaksud dengan nikah siri yaitu nikah yang sesuai dengan rukun-rukun nikah dan
syaratnya menurut syariat, hanya saja saksi diminta tidak memberitahukan terjadinya nikah
tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada walimah
al-Ursy. Berikut ini adalah pendapat para ulama Islam tentang nikah siri.

1. Menurut pandangna mahzab Hanafi dan Hambali suatu penikahan yang sarat dan
rukunya mka sah menurut agama islam walaupun pernikah itu adalah pernikahn siri. Hal
itu sesuai dengan dalil yang berbunyi, artinya: Takutlah kamu terhadap wanita, kamu
ambil mereka (dari orang tuanya ) dengan amanah allah dan kamu halalkan
percampuran kelamin dengan mereka dengan kalimat Allah (ijab qabul) (HR Muslim).
2. Menurut terminologi fikih Maliki, nikah siri ialah :

. ,

Artinya :

Nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk istrinya atau jamaahnya,
sekalipun keluarga setempat.

Mazhab Maliki tidak membolehkan nikah siri. Perkawinannya dapat dibatalkan, dan kedua
pelakunya dapat dilakukan hukuman had (dera rajam), jika telah terjadi hubungan seksual antara
keduanya dan diakuinya atau dengan kesaksian empat orang saksi.[4]

1. Sedangkan menurut kiayi Husein Muhamad seorang komisioner komnas prempuan


menyatakan pernikahan pria dewasa dengan wanita secara siri merupakan pernikahan
terlarang karena pernikahn tersebut dapat merugikan si perempauan, sedangkan islam
jusru melindungi perempuan bukan malah merugikannya. Menurut kalangan Ulama
Syiah memang membolehkan cara pernikahan seperti itu. Yaitu nikah siri, sebih baik
ketimbang berzinah yang sangat dilaknat oleh Allah SWT. Kalangan Ulama Suni di
Indonesia yang berpendapat bahwa Nikah siri adalah Halal berdasarkan nash Al Quran
(Anisa:3), dan bahkan tidak sedikit diantaranya yang melakukannya, bukan semata-mata
karena kebutuhan seksual, tetapi guna menunjukan ke-halalan Nikah sirih itu sendiri.

Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa ayat 3).

1. Ulama terkemuka yang membolehkan nikah dengan cara siri adalah Dr. Yusuf Qardawi
salah seorang pakar muslim kontemporer terkemuka di Islam. Ia berpendapat bahwa
nikah siri itu sah selama ada ijab kabul dan saksi.
2. Dadang Hawari, mengharamkan nikah siri, sedangkan KH. Tochri Tohir berpendapat
lain. Ia menilai nikah siri sah dan halal, karena islam tidak pernah mewajibkan sebuah
nikah harus dicatatkan secara negara. Menurut Tohir, nikah siri harus dilihat dari sisi
positifnya, yaitu upaya untuk menghindari Zina. Namun ia juga setuju dengan pernyataan
Dadang Hawari bahwa saat ini memang ada upaya penyalahgunaan nikah siri hanya demi
memuaskan hawa nafsu. Menurutnya, nikah siri semacam itu, tetap sah secara agama,
namun perkawinannya menjadi tidak berkah.
3. Menurut Prof. Wasit Aulawi seorang pakar hukum Islam Indonesia, mantan Direktur
Pembinaan Badan Peradilan Agama yang juga mantan Dekan Fakultas Syariah UIN
Jakarta, menyatakan bahwa ajaran Islam, nikah tidak hanya merupakan hubungan
perdata, tetapi lebih dari itu nikah harus dilihat dari berbagai aspek. Paling tidak
menurutnya ada tiga aspek yang mendasari perkawinan, yaitu: agama, hukum dan sosial,
nikah yang disyariatkan Islam mengandung ketiga aspek tersebut, sebab jika melihat dari
satu aspek saja maka pincang.[5]
4. Quraish Shihab mengemukakan bahwa betapa pentingnya pencatatan nikah yang
ditetapkan melalui undang-undang di sisi lain nikah yang tidak tercatat-selama ada dua
orang saksi-tetap dinilai sah oleh hukum agama, walaupun nikah tersebut dinilai sah,
namun nikah dibawah tangan dapat mengakibatkan dosa bagi pelakunya, karena
melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Al-Quran memerintahkan setiap
muslim untuk taat pada ulul amri selama tidak bertentangan dengan hukum Allah.[6]
Sesuai firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa ayat 59 :

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar
seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah
melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti
syari (bayyinah syariyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika
pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah
dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan,
ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat
pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja,
dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syari. Kesaksian
dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan
harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syari. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-
satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis.
Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti
kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini
dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang
sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-
saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syari.
Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan
pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-
hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.

Pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju,
tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang
melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari
itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga
pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum
berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat
sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa
hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami
bahwa pembuktian syari bukan hanya dokumen tertulis.

Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa
melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk
mencatatkan pernikahan mereka, walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa
muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah SWT QS. Al-Baqarah ayat
282 :

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana
Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya,
dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang
yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan,
Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang
lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun
besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah
muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara
kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah
apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu
lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan
bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan
menyelenggarakan walimatul ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai
berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda
:

Adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing. (HR. Imam Bukhari dan Muslim)

1. Nikah Siri Menurut Hukum di Indonesia

Undang-Undang (UU RI) tentang Perkawinan No. 1 tahun 1974 diundang-undangkan pada
tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan
pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan. Menurut UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU
Perkawinan). Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU
Perkawinan, yang berbunyi: (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu
perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi
umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka
perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi
sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh
negara, yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 UU Perkawinan, tentang
pencatatan perkawinan . Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam
pencatatan dilakukan di KUA untuk memperoleh Akta Nikah sebagai bukti dari adanya
perkawinan tersebut. (pasal 7 ayat 1 KHI Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta
Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah). Sedangkan bagi mereka yang beragama non
muslim pencatatan dilakukan di kantor Catatan Sipil, untuk memperoleh Akta Perkawinan.

Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975 tentang
pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam,
pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka yang
beragama dan kepercayaan selain Islam, cukup menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP
No. 9 tahun 1975. Tata cara pencatatan perkawinan dilaksanakan sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 PP No. 9 tahun 1975 ini, antara lain setiap orang yang akan
melangsungkan perkawinan memberitahukan secara lisan atau tertulis rencana perkawinannya
kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, selambat-lambatnya 10 hari
kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Kemudian pegawai pencatat meneliti apakah syarat-
syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut UU.
Lalu setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tidak ditemukan suatu
halangan untuk perkawinan, pegawai pencatat mengumumkan dan menandatangani
pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara
menempel surat pengumuman pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh
umum.

Di dalam rancangan undang-undang menjelaskan, Pasal 143 RUU yang hanya diperuntukkan
bagi pemeluk Islam ini menggariskan, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan
perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman
bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp12
juta. Selain kawin siri, draf RUU juga menyinggung kawin mutah atau kawin kontrak. Dan Pasal
144 menyebut, setiap orang yang melakukan perkawinan mutah dihukum penjara selama-
lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga mengatur soal
perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3
menyebutkan, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan
kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500 juta.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa tentang nikah di bawah tangan atau
nikah siri dengan 2 (dua) ketentuan hukum, yakni. (1) Pernikahan di Bawah Tangan hukumnya
sah karena telah terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat dampak negatif
(madharrah). (2) Pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai
langkah preventif untuk menolak hal-hal yang bersifat madharrah.[7]

E. PENGESAHAN PERNIKAHAN SIRI

1. Mencatatkan Perkawinan Dengan Istbat Nikah

Esensinya adalah pernikahan yang semula tidak dicatatkan menjadi tercatat dan disahkan oleh
negara serta memiliki kekuatan hukum. Dasar dari istbat nikah adalah Kompilasi Hukum Islam
pasal 7 yaitu :

1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai
Pencatat Nikah.
2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat
nikahnya ke Pengadilan Agama.
3. Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan :
1) Dalam rangka penyelesaian perceraian. Dalam kasus ini biasanya menggunakan gugatan
komulatif, yaitu pemohon meminta atau memohon disahkan dahulu perkawinannya, setelah itu
mohon diceraikan;

2) Hilangnya akta nikah;

3) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;

4) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang- Undang No. 1 Tahun 1974;
dan

5) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan
menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu pihak laki-laki sudah
mencapai umur 19 tahun sedangkan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun.

d. Yang berhak mengajukan permohonan istbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak
mereka, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

Permohonan itsbat nikah harus bersifat voluntair tidak ada unsur sengketa, dikatakan demikian
karena hasil dari permohonan bersifat declaratoir (menyatakan) atau constitutoire (menciptakan)
bukan bersifat menghukum. Dalam persidangannya Hakim Pengadilan Agama akan memeriksa,
dan menyatakan sah atau tidaknya perkawinan tidak tercatat tersebut, dalam bentuk penetapan
itsbat nikah. Penetapan itsbat nikah inilah yang akan dijadikan landasan hukum bagi Kantor
Urusan Agama, untuk mengeluarkan Akta Nikah dengan mencantumkan tanggal perkawinan
terdahulu. Namun apabila ternyata hakim menyatakan bahwa perkawinan terdahulu tidak sah,
maka Kantor Urusan Agama akan menikahkan kembali pasangan suami istri tersebut.

Apabila dalam perkawinan telah dilahirkan anak-anak dan jika telah memiliki akta nikah, harus
segera mengurus akta kelahiran anak-anak ke Kantor Catatan Sipil setempat agar status anak pun
sah di mata hukum. Jika pengurusan akta kelahiran anak ini telah lewat 14 (empat belas) hari
dari yang telah ditentukan, terlebih dahulu harus mengajukan permohonan pencatatan kelahiran
anak kepada Pengadilan Negeri setempat. Dengan demikian, status anak dalam akta kelahirannya
bukan lagi anak luar kawin.

1. Melakukan Perkawinan Ulang

Perkawinan ulang dilakukan layaknya perkawinan menurut agama Islam. Namun, perkawinan
harus disertai dengan pencatatan perkawinan oleh pejabat yang berwenang dalam pencatat
perkawinan (KUA). Perkawinannya harus dicatatkan di muka pejabat yang berwenang, dalam
hal ini di Kantor Catatan Sipil.

Pencatatan perkawinan ini penting agar ada kejelasan status bagi perkawinan. Namun, status
anak-anak yang lahir dalam perkawinan siri akan tetap dianggap sebagai anak di luar kawin,
karena perkawinan ulang tidak berlaku surut terhadap status anak yang dilahirkan sebelum
perkawinan ulang dilangsungkan. Oleh karenanya, dalam akta kelahiran, anak yang lahir
sebelum perkawinan ulang tetap sebagai anak luar kawin, sebaliknya anak yang lahir setelah
perkawinan ulang statusnya sebagai anak sah yang lahir dalam perkawinan.

Adapun cara yang dapat ditempuh jika dalam perkawinan siri tersebut telah lahir anak-anak,
maka dapat diikuti dengan pengakuan anak, yakni pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas
anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya, pengakuan anak
dapat dilakukan baik oleh ibu maupun bapak. Namun, berdasarkan Pasal 43 Undang undang No.
1 Tahun 1974 yang pada intinya menyatakan, bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak
mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata
yang baru, seorang ayah dapat melakukan pengakuan Anak. Namun bagaimanapun, pengakuan
anak hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu, sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUH
Perdata.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari pembahasan materi tentang Nikah Siri pada bab diatas dapat disimpulkan :

1. Akhir-akhir ini, fenomena nikah siri memberikan kesan yang menarik. Pertama, nikah siri
sepertinya memang benar-benar telah menjadi trend yang tidak saja dipraktekkan oleh
masyarakat umum, Kedua, nikah siri sering ditempatkan menjadi sebuah pilihan ketika
seseorang hendak berpoligami dengan sejumlah alasannya tersendiri. Penyebab yang
menimbulkan masyarakat melakukan pernikahan siri sebenarnya kembali kepada
pribadinya masing-masing. Namun yang terjadi belakangan ini hal-hal yang
menyebabkan timbulnya nikah dilihat dari faktor sosial dikarenakan adanya kesulitan
pencatatan pernikahan yang kedua kalinya, batasan usia yang layak nikah berdasarkan
peraturan perundang-undangan, tempat tinggal yang berpindah-pindah membuat orang
kesulitan untuk mengurus administrasi dan prosedur pencatatan pernikahan. Kemudian
ada faktor ekonomi dimana masyarakat yang kurang mampu biasanya akan kesulitan
untuk membayar biaya-biaya untuk mencatatkan pernikahannya sehingga lebih memilih
nikah siri. Selanjutnya ada juga faktor agama dimana nikah siri dilakukan untuk
menghalalkan suatu hubungan agar dijauhkan dari zinah dan dosa.
2. Secara umum Nikah Siri adalah sebuah perbuatan dalam melakukan pernihakan sesuai
aturan agama dalam hal ini Ajaran Islam namun karena berbagai hal yang
menghalanginya menjadikan tidak terjadinya pencatatan secara sah atau legal oleh aparat
yang berwenang dalam hal ini Pemerintah yang diwakili Departemen Agama.
3. Tata cara menikah siri tidak jauh beda dengan menikah secara resmi di KUA, dimana
dalam pernikahan itu harus dipenuhi syarat dan rukunnya. Yakni adanya kedua calon
mempelai, ijab qabul, wali, dua orang saksi, dan mahar.
4. Menurut hukum Islam, perkawinan di bawah tangan atau siri adalah sah, asalkan telah
terpenuhi syarat dan rukun perkawinannya. Namun dari aspek peraturan perundangan
perkawinan model ini belum lengkap dikarenakan belum dicatatkan. Pencatatan
perkawinan hanya merupakan perbuatan administratif yang tidak terpengaruh pada sah
tidaknya perkawinan.[8]
5. Hukum Indonesia melalui UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menerangkan, (1)
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Dan Pasal 143 RUU menggariskan, setiap orang yang dengan
sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana
dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda
mulai dari Rp 6 juta hingga Rp12 juta.
6. Pernikahan dibawah tangan atau siri dapat disahkan dengan 2 (dua) cara yakni
mengajukan istbat nikah atau dengan melakukan pernikahan ulang.

B. PENDAPAT KELOMPOK

Berdasarkan landasan teori yang telah kami paparkan, kami berpendapat bahwa pernikahan siri
adalah sah jika syarat dan rukunnya terpenuhi, namun kita sebagai warga negara yang baik
haruslah taat terhadap hukum dalam hal ini undang-undang perkawinan yang telah pemerintah
tetapkan. Sesuai hadis Nabi SAW :




Artinya :

Diwajibkan atas kalian untuk mendengarkan dan taat (kepada pemimpin) sekalipun kalian
dipimpin oleh seorang budak dari habasiyah.

Karena sebaiknya pernikahan itu dilaksanakan secara terbuka dan diumumkan kepada orang lain
agar tidak menjadi fitnah. Mengenai sebaian orang yang beranggapan bahwa lebih baik nikah siri
dari pada zinah itu memang benar, namun jika itu hanya untuk menyalurkan hawa nafsu saja itu
yang tidak dibenarkan. Karena pada dasarnya sesuatu yang diawali dengan niat yang tidak baik,
pada akhirnya akan menimbulkan ke-mudharratan.

Maka dari itu, menurut kami perlu ditingkatkan penyuluhan mengenai isi dari Undang-undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, penyuluhan mengenai dampak yang
ditimbulkan dari perkawinan dibawah tangan atau perkawinan siri, penyuluhan mengenai
pentingnya pencatatan perkawinan untuk kehidupan yang akan datang terhadap anak-anak
mereka maupun harta yang mereka peroleh dalam perkawinan di bawah tangan tersebut.
Penyuluhan ini diberikan kepada seluruh lapisan masyarakat terutama masyarakat pedesaaan
baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah, sehingga tujuan perkawinan untuk
membentuk keluarga yang kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA
Abd. Somad. HUKUM ISLAM: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group. 2012.

Al-Zuhaili, Wahbah. Fiqh al-Islam wa Adillatuh. Juz VIII. Cet. III. Beirut: Dar al-Fikr. 1989.

Amin, Maruf. dkk. HIMPUNAN FATWA MUI SEJAK 1975. Jakarta: Erlangga. 2011.

Aulawi, Wasit. Pernikahan Harus Melibatkan Masyarakat, Mimbar Hukum. No. 28. 1996.

Fenomena-nikah-siri-di-indonesia-jaman.html. 19/09/2013. 11:31.

Rusli, An R. Tama. Perkawinan antar agama dan masalahnya. Penerbit : Shantika Dharma.
Bandung. 1984.

Shihab, Quraish. Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhui Atas Perbagai Persoalan Umat. Cet.
VIII. Jakarta: Mizan. 1998.

Syarifuddin, Amir. Hukum Nikah Islam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan Undang-
Undang Nikah .Cet. II. Jakarta: Kencana. 2007.

http://www.google.com/Pernikahan-Siri-dari-Perspektif-Hukum-Indonesia. 19/09/2013. 11:36.

[1] Rusli, SH. An R. Tama, SH. Perkawinan antar agama dan masalahnya. Penerbit : Shantika

Dharma. Bandung, 1984, h. 10.

[2] Ibid, h. 10.

[3] Amir Syarifuddin, Hukum Nikah Islam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan Undang-
Undang Nikah (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2007), h. 59.

[4] Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Juz VIII (Cet. III; Beirut: Dar al-Fikr,
1989), h. 71

[5] Wasit Aulawi, Pernikahan Harus Melibatkan Masyarakat, Mimbar Hukum, No. 28, 1996, h.
20.

[6] Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhui Atas Perbagai Persoalan Umat (Cet.
VIII; Jakarta: Mizan, 1998), h. 204.

[7] Maruf Amin, dkk. HIMPUNAN FATWA MUI SEJAK 1975, (Jakarta: Erlangga, 2011), h.
534.
[8] Abd. Somad, HUKUM ISLAM: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 295.

A. Kesimpulan.
Pernikah siri adalah nika dibawah tangan atau nikah secara sembunyi-sembunyi. Disebut secara
sembunyi karena tidak dilaporakan kekantor urusan agama bagi muslaim atau catatan sipil non
muslim. Pendapat Imam Abu Hanifah, Yang dimaksud dengan nikah sirih adalah nikah yang
tidak bisa menghadirkan wali dan tidak mencatatkan pernikahannya.
Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan kepada pemeluknya yang akan memasuki
jenjang pernikahan, lengkap dengan tata cara atau aturan-aturan Allah Subhanallah. Penikahan
sesuai dengan Sunnah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang hanya dengan cara
inilah kita terhindar dari jalan yang sesat (bidah).
Hukum nikah sirih secara aturan agama adalah sah. Dan dihalalkan atau diperbolehkan jika sarat
dan rukun nikanya terpenuhi. Namun secara hukum yang berlaku di Negara kita tentang
perundang-undangan pernikahan itu tidak sah karena di dalam perundangan ada yang tidak
lengkap secara administrasi.
Dampak yang ditimbulkan dari nikah sirih lebih banyak faktor kerugaiannya dibandingkan faktor
keuntungannya. Kerugaian yang terbesar dari nikah siri berdampak pada pihak perempuan dan
anaknya untuk masa depannya.
Faktor yang melatarbelakangi adanya nikah sirih yaitu 1) faktor ekonomi, 2) proses admisntrasi
pernikahan yang dianggap terlalu sukar, 3) bagi pria yang yang ingin menukah lagi atau poligami
tetap tidak mendapat persetujuan atau disetujui dari istri ke pertama, 4) dari awal baik siwanita
atau pria yang melakukan nikah siri mempunyai itikad tidak baik, hanya sekedar menghalalkan
hubungan persetubuhan saja.
B. Saran
Kepada pemuda pemudi islam tidak mengikuti tata cara perkawinan sirih karena dapat
merugikan. Dan berusaha menghindari pernikahan sirih. Juga kepada pemerintah melakukan
penyuluhan dan dapat menghimbau masyarakat tentang kerugian nikah siri.

Pertama, hadis dari Abu Musa Al-Asyari radhiallahu anhu, bahwa Nabi
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,



Tidak ada nikah (batal), kecuali dengan wali. (HR. Abu Daud, turmudzi,
Ibn Majah, Ad-Darimi, Ibn Abi Syaibah, thabrani, dsb.)

Kedua, hadis dari Aisyah radhiallahu anha, bahwa nabi shallallahu alaihi
wa sallam bersabda,



Wanita manapun yang menikah tanpa izin wali, maka nikahnya batal. (HR.
Ahmad, Abu daud, dan baihaqi)
Dan masih banyak riwayat lainnya yang senada dengan keterangan di atas,
sampai Al-Hafidz Ibn Hajar menyebutkan sekitar 30 sahabat yang
meriwayatkan hadis semacam ini. (At-Talkhis Al-Habir, 3:156).

Kemudian, termasuk kategori nikah tanpa wali adalah pernikahan dengan


menggunakan wali yang sejatinya tidak berhak menjadi wali. Beberapa
fenomena yang terjadi, banyak di antara wanita yang menggunakan wali
kiyai gadungan atau pegawai KUA, bukan atas nama lembaga, tapi murni
atas nama pribadi. Sang Kyai dalam waktu hitungan menit, didaulat untuk
menjadi wali si wanita, dan dilangsungkanlah pernikahan, sementara pihak
wanita masih memiliki wali yang sebenarnya.

Jika nikah siri dipahami sebagaimana di atas, maka pernikahan ini statusnya
batal dan wajib dipisahkan. Kemudian, jika keduanya menghendaki untuk
kembali berumah tangga, maka harus melalui proses pernikahan normal,
dengan memenuhi semua syarat dan rukun yang ditetapkan syariah.

Selanjutnya, jika yang dimaksud nikah siri adalah nikah di bawah


tangan, dalam arti tidak dilaporkan dan dicatat di lembaga resmi yang
mengatur pernikahan, yaitu KUA maka status hukumnya sah, selama
memenuhi syarat dan rukun nikah. Sehingga nikah siri dengan pemahaman
ini tetap mempersyaratkan adanya wali yang sah, saksi, ijab-qabul akad
nikah, dan seterusnya.

Hanya saja, pernikahan semacam ini sangat tidak dianjurkan, karena


beberapa alasan:
Pertama, pemerintah telah menetapkan aturan agar semua bentuk
pernikahan dicatat oleh lembaga resmi, KUA. Sementara kita sebagai kaum
muslimin, diperintahkan oleh Allah untuk menaati pemerintah selama aturan
itu tidak bertentangan dengan syariat. Allah berfirman,




Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada
Rasul, dan pemimpin kalian. (QS. An-Nisa: 59). Sementara kita semua
paham, pencatatan nikah sama sekali tidak bertentangan dengan aturan
Islam atau hukum Allah.

Kedua, adanya pencatatan di KUA akan semakin mengikat kuat kedua belah
pihak. Dalam Alquran, Allah menyebut akad nikah dengan perjanjian yang
) , sebagaimana yang Allah tegaskan di surat An-Nisa: 21.
kuat (
Nah, surat nikah ditujukan untuk semakin mewujudkan hal ini. Dimana
pasangan suami-istri setelah akad nikah akan lebih terikat dengan perjanjian
yang bentuknya tertulis. Terlebih kita hidup di zaman yang penuh dengan
penipuan dan maraknya kezhaliman. Dengan ikatan semacam ini, masing-
masing pasangan akan semakin menunjukkan tanggung jawabnya sebagai
suami atau sebagai istri.

Ketiga, pencatatan surat nikah memberi jaminan perlindungan kepada


pihak wanita.
Dalam aturan nikah, wewenang cerai ada pada pihak suami. Sementara
pihak istri hanya bisa melakukan gugat cerai ke suami atau ke pengadilan.
Yang menjadi masalah, terkadang beberapa suami menzhalimi istrinya
berlebihan, namun di pihak lain dia sama sekali tidak mau menceraikan
istrinya. Dia hanya ingin merusak istrinya. Sementara sang istri tidak
mungkin mengajukan gugat cerai ke pengadilan agama, karena secara
administrasi tidak memenuhi persyaratan.

Dus, jadilah sang istri terkatung-katung, menunggu belas kasihan dari suami
yang tidak bertanggung jawab itu. Beberapa pertanyaan tentang kasus
semacam ini telah disampaikan kepada kami. Artinya, itu benar-benar
terjadi dan mungkin banyak terjadi.

Anda sebagai wanita atau pihak wali wanita, selayaknya perlu mawas diri.
Bisa jadi saat di awal pernikahan Anda sangat menaruh harapan kepada
sang suami. Tapi ingat, cinta kasih juga ada batasnya. Sekarang bilang
sayang, besok tidak bisa kita pastikan. Karena itu, waspadalah..

Keempat, memudahkan pengurusan administrasi negara yang lain.


Sebagai warga negera yang baik, kita perlu tertib administrasi. Baik KTP,
KK, SIM dst. Bagi Anda mungkin semua itu terpenuhi, selama status Anda
masih mengikuti orang tua dan bukan KK sendiri. Lalu bagaimana dengan
keturunan Anda. Bisa jadi anak Anda akan menjumpai banyak kesulitan,
ketika harus mengurus ijazah sekolah, gara-gara tidak memiliki akta
kelahiran. Di saat itulah, seolah-olah anak Anda tidak diakui sebagai warga
negara yang sempurna. Dan kami sangat yakin, Anda tidak menginginkan
hal ini terjadi pada keluarga Anda. Allahu alam. Sumber:
konsultasisyariah.com

Nikah Siri dalam pandangan masyarakat mempunyai tiga pengertian :


Pengertian Pertama : Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan secara sembunyi
sembunyi tanpa wali dan saksi. Inilah pengertian yang pernah diungkap oleh Imam SyafiI di
dalam kitab Al Umm 5/ 23,

Dari Malik dari Abi Zubair berkata bahwa suatu hari Umar dilapori tentang pernikahan yang
tidak disaksikan kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka beliau berkata : Ini
adalah nikah sirri, dan saya tidak membolehkannya, kalau saya mengetahuinya, niscaya akan
saya rajam ( pelakunya )

Atsar di atas dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah ra :

Bahwa nabi Muhammad saw melarang nikah siri ( HR at Tabrani di dalam al Ausath dari
Muhammad bin Abdus Shomad bin Abu al Jirah yang belum pernah disinggung oleh para ulama,
adapaun rawi-raiwi lainnya semuanya tsiqat ( terpecaya ) (Ibnu Haitami, Majma az-Zawaid wal
Manbau al Fawaid ( 4/ 62 ) hadist 8057 )

Pernikahan Siri dalam bentuk yang pertama ini hukumnya tidak sah.

Pengertian Kedua : Nikah Siri adalah pernikahan yang dihadiri oleh wali dan dua orang saksi,
tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh mengumumkannya kepada khayalak ramai.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah seperti ini :

Pendapat Pertama : menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya sah tapi makruh. Ini pendapat
mayoritas ulama, diantaranya adalah Umar bin Khattab, Urwah, Syabi, Nafi, Imam Abu
Hanifah, Imam SyafiI, Imam Ahmad ( Ibnu Qudamah, al Mughni, Beirut, Daar al Kitab al
Arabi, : 7/ 434-435 ) . Dalilnya adalah hadist Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:

Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil ( HR Daruqutni dan
al Baihaqi ) Hadits ini dishohihkan oleh Ibnu Hazm di dalam ( al-Muhalla : 9/465)

Hadits di atas menunjukkan bahwa suatu pernikahan jika telah dihadiri wali dan dua orang saksi
dianggap sah, tanpa perlu lagi diumumkan kepada khayalak ramai.

Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa pernikahan adalah sebuah akad muawadhah ( akad
timbal balik yang saling menguntungkan ), maka tidak ada syarat untuk diumumkan,
sebagaimana akad jual beli.
Begitu juga pengumuman pernikahan yang disertai dengan tabuhan rebana biasanya dilakukan
setelah selesai akad, sehingga tidak mungkin dimasukkan dalam syarat-syarat pernikahan.

Adapun perintah untuk mengumumkan yang terdapat di dalam beberapa hadist menunjukkan
anjuran dan bukan suatu kewajiban.

Pendapat Kedua : menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya tidak sah. Pendapat ini
dipegang oleh Malikiyah dan sebagian dari ulama madzhab Hanabilah ( Ibnu Qudamah, al
Mughni : 7/ 435, Syekh al Utsaimin, asy-Syarh al-Mumti ala Zaad al Mustamti, Dar Ibnu al
Jauzi , 1428, cet. Pertama : 12/ 95 ) . Bahkan ulama Malikiyah mengharuskan suaminya untuk
segera menceraikan istrinya, atau membatalkan pernikahan tersebut, bahkan mereka menyatakan
wajib ditegakkan had kepada kedua mempelai jika mereka terbukti sudah melakukan hubungan
seksual. Begitu juga kedua saksi wajib diberikan sangsi jika memang sengaja untuk
merahasiakan pernikahan kedua mempelai tersebut. ( Al Qarrafi, Ad Dzakhirah, tahqiq : DR.
Muhammad al Hajji, Beirut, Dar al Gharb al Islami, 1994, cet : pertama : 4/ 401) Mereka
berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Hatib al Jumahi, bahwasanya
Rasulullah saw bersabda :

Pembeda antara yang halal ( pernikahan ) dan yang haram ( perzinaan ) adalah gendang
rebana dan suara ( HR an Nasai dan al Hakim dan beliau menshohihkannya serta dihasankan
yang lain )

Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :

Umumkanlah nikah, adakanlah di masjid, dan pukullah rebana untuk mengumumkannya." (


HR Tirmidzi, Ibnu Majah ) Imam Tirmidzi berkata : Ini merupakan hadits gharib hasan pada
bab ini.

Pengertian Ketiga : Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan dua
orang saksi yang adil serta adanya ijab qabul, hanya saja pernikahan ini tidak dicatatkan dalam
lembaga pencatatan Negara, dalam hal ini adalah KUA .

Kenapa sebagian masyarakat melakukan pernikahan dalam bentuk ini ? Apa yang mendorong
mereka untuk tidak mencatatkan pernikahan mereka ke lembaga pencatatan resmi ? Ada
beberapa alasan yang bisa diungkap di sini, diantaranya adalah :

a. Faktor biaya, yaitu sebagian masyarakat khususnya yang ekonomi mereka menengah ke
bawah merasa tidak mampu membayar administrasi pencatatan yang kadang
membengkak dua kali lipat dari biaya resmi.
b. Faktor tempat kerja atau sekolah, yaitu aturan tempat kerjanya atau kantornya atau
sekolahnya tidak membolehkan menikah selama dia bekerja atau menikah lebih dari satu
istri.
c. Faktor sosial, yaitu masyarakat sudah terlanjur memberikan stigma negatif kepada setiap
yang menikah lebih dari satu, maka untuk menghindari stigma negatife tersebut,
seseorang tidak mencatatkan pernikahannya kepada lembaga resmi.
d. Faktor faktor lain yang memaksa seseorang untuk tidak mencatatkan pernikahannya.

Bagaimana Hukum Nikah Siri dalam bentuk ketiga ini ?

Pertama : Menurut kaca mata Syariat, Nikah Siri dalam katagori ini, hukumnya sah dan tidak
bertentangan dengan ajaran Islam, karena syarat-syarat dan rukun pernikahan sudah terpenuhi.

Kedua : Menurut kaca mata hukum positif di Indonesia dengan merujuk pada RUU Pernikahan
di atas, maka nikah siri semacam ini dikenakan sangsi hukum.

Pertanyaannya adalah kenapa Negara memberikan sangsi kepada para pelaku nikah siri dalam
katagori ketiga ini ? Apakah syarat sah pernikahan harus dicatatkan kepada lembaga pencatatan ?
Bagaimana status lembaga pencatatan pernikahan dalam kaca mata Syariat ?

Kalau kita menengok sejarah Islam pada masa lalu, ternyata tidak ditemukan riwayat bahwa
pemerintahan Islam memberikan sangsi kepada orang yang menikah dan belum melaporkan
kepada Negara. Hal itu, mungkin saja belum ada lembaga pemerintahan yang secara khusus
menangani pencatatan masalah pernikahan, karena dianggap belum diperlukan. Dan memang
pernikahan bukanlah urusan Negara tetapi merupakan hak setiap individu, serta merupakan
sunah Rasulullah saw.

Namun, beriring dengan perkembangan zaman dan permasalahan masyarakat semakin komplek,
maka diperlukan penertiban-penertiban terhadap hubungan antar individu di dalam masyarakat.
Maka, secara umum Negara berhak membuat aturan-aturan yang mengarah kepada maslahat
umum, dan Negara berhak memberikan sangsi kepada orang-orang yang melanggarnya. Hal itu
sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi :

Kebijaksanaan pemimpin harus mengarah kepada maslahat masyarakat ( As Suyuti, al


Asybah wa An-Nadhair, Bierut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1993, Cet. Pertama, hlm : 121 )

Maka, dalam ini, pada dasarnya Negara berhak untuk membuat peraturan agar setiap orang yang
menikah, segera melaporkan kepada lembaga pencatatan pernikahan. Hal itu dimaksudkan agar
setiap pernikahan yang dilangsungkan antara kedua mempelai mempunyai kekuatan hukum,
sehingga diharapkan bisa meminimalisir adanya kejahatan, penipuan atau kekerasan di dalam
rumah tangga, yang biasanya wanita dan anak-anak menjadi korban utamanya.

Oleh karenanya, jika memang tujuan pencatatan pernikahan adalah untuk melindungi hak-hak
kaum wanita dan anak-anak serta untuk kemaslahatan kaum muslimin secara umum, maka
mestinya Negara tidak mempersulit proses pencatatan pernikahan tersebut, diantaranya adalah
mengambil langkah-langkah sebagai berikut :

a. Memberikan keringanan biaya bagi masyarakat yang tidak mampu, bukan malah
memintah bayaran lebih, dengan dalih bekerja di luar jam kantor.
b. Membuka pelayanan pada hari-hari dimana banyak diselenggarakan acara pernikahan.
c. Tidak mempersulit orang-orang yang hendak menikah lebih dari satu, selama mereka
bertanggung jawab terhadap anak dan istri mereka.

Tetapi jika ada tujuan tujuan lain yang tersembunyi dan tidak diungkap, maka tentunya
peraturan tersebut harus diwaspadai, khususnya jika terdapat indikasi-indikasi yang mengarah
kepada pelarangan orang yang ingin menikah lebih dari satu, padahal dia mampu dan sanggup
berbuat adil, jika keadaannya demikian, maka rancangan undang-undang tersebut telah
merambah kepada hal-hal yang bukan wewenangnya, dan melarang sesuatu yang halal, serta
telah mengumumkan perang tehadap ajaran Islam, dan secara tidak langsung memberikan jalan
bagi perzinahan dan prostitusi yang semakin hari semakin marak di negri Indonesia ini. Wallahu
Alam.

Você também pode gostar