Você está na página 1de 6

TEKNOLOGI ATAP GEREJA ST.

PETRUS DAN PAULUS BABADAN


YOGYAKARTA
Nita Dwi Estika
AR5121 - 25217017
nitadwiestika@gmail.com

Abstrak

Dewasa ini, arsitektur gereja Katolik di Indonesia diharapkan mampu beradaptasi dengan
konteks lingkungan setempat. Gereja Santo Petrus dan Paulus Babadan Yogyakarta merupakan
salah satu bangunan gereja modern yang memiliki kekhasan pada elemen atap bangunan. Atap
bangunan mencerminkan citra dan teknologi untuk menaungi ruang di bawahnya. Upaya untuk
mengetahui penerapan teknologi atap bangunan modern yang berasal dari sintesis kelokalan
merupakan tujuan dari penelitian ini. Metode pengumpulan data secara primer melalui observasi,
dan pengumpulan data sekunder melalui studi pustaka. Hasil analisis menunjukkan teknologi
atap Gereja Babadan diterapkan pada aspek bentuk atap, warna atap, material atap, susunan
atap, kemiringan/ketinggian atap, dan sistem struktur atap.

Kata kunci: atap, Gereja Babadan, teknologi.

1. PENDAHULUAN 1.2. Masalah


1.1. Latar Belakang Bagaimana penerapan teknologi
Awal kehadiran di Indonesia, atap pada Gereja Santo Petrus dan Paulus
bangunan gereja merujuk pada bentuk Babadan Yogyakarta?
arsitektur barat; bentuk atap yang pipih,
lancip dan menjulang tinggi. Kini, semakin
banyak arsitektur Gereja Katolik di 1.3. Maksud dan Tujuan
Indonesia yang bernafaskan arsitektur Tujuan penelitian ini adalah untuk
lokal. (Laurens, 2013) mengetahui penerapan teknologi pada
Arsitektur Nusantara memiliki ciri khas struktur atap bangunan Gereja Babadan
pada struktur landasan, struktur badan, dan yang merupakan gereja modern. Aspek
struktur atap (Sulistijowati, 2016). yang diamati meliputi: (1) bentuk atap, (2)
Komposisi tiang, dinding, jendela, atap, dan warna dan material atap, (3) susunan atap,
sebagainya membuat sebuah bangunan (4) ketinggian/kemiringan atap, dan (5)
menjadi bangunan yang khas, bercitrakan sistem struktur atap.
kedaerahan, dan bahkan mampu sebagai
media simbolik yang sarat dengan makna 1.4. Batasan
(Prijotomo, 1988). Atap bangunan Batasan penelitian ini adalah elemen
mencerminkan teknologi pernaungan ruang selubung luar bangunan.
di bawahnya.
Gereja Santo Petrus dan Paulus 1.5. Lingkup
Babadan, Yogyakarta (Gereja Babadan) Lingkup penelitian ini berfokus pada
merupakan salah satu gereja yang memiliki atap bangunan.
kekhasan pada struktur atap. Atap
bangunan sebagai elemen yang terlihat 2. METODE
(tangible) merupakan bagian penting dalam Metode penulisan artikel ini adalah
perancangan, sehingga perlu dikaji kualitatif dengan pendekatan case study
penerapan teknologi atap bangunan Gereja (Kumar, 2005). Teknik pengumpulan data
Babadan yang berasal dari sintesis melalui kajian pustaka dan observasi.
kelokalan. Teknik analisis data secara analisis
deskriptif

1
3. KAJIAN TEORI ATAP atap menciptakan beberapa jenis atap: (1)
Y.B. Mangunwijaya (1980) dapat bernafas, (2) berongga, (3) berbahan
berpendapat; (1) dari segi fisika bangunan kedap air, dan (4) diselaputi bahan kedap
air. Atap panas terdiri dari beberapa lapisan
atap berfungsi sebagai pelindung panas,
yang data terbuat dari berbagai macam
silau matahari, kelembaban dan hempasan bahan dan saling melekat langsung yang
hujan (faktor dari luar), (2) dari segi ruang secara prinsip berfungsi sebagai kulit luar,
dalam, atap berfungsi sama dengan dinding isolasi kalor, isolaso penahan uap air/air,
sebagai sisi atas sehingga harus mampu konstruksi pendukung, dan lapisan dalam
memenhi syarat-syarat dinding meskipun penyerapan kelembaban. (Mangunwijaya,
1980)
memiliki pengecualian.
3.4. Atap Dingin
3.1. Atap sebagai Pernaungan Atap dingin merupakan bentuk atap
Atap adalah penaung, yakni daerah yang terdiri dari dua lapisan yang terpisah
bayangan terjadi oleh penaung menjadi oleh bantalan atau rongga. Rongga dan
ruang-ruang dasar yang muncul (Bakhtiar, saluran-saluran dalam sistem atap dingin
Waani, & Rengkung, 2014). Atap yang berpotensi menjadi sarang tikus sehingga
tidak menguntungkan. Langit-langit bukan
lebar merupakan pengertian kebutuhan
sebatas penutup kuda-kuda demi
perlindungan terhadap matahari dan hujan keindahan ruang, namun memiliki fungsi
yang relatif banyak (Hidayatun, Prijotomo, yang bersatu dengan penutup atap dan
& Rachmawati, 2013). keseluruhan konstruksi.

3.2. Atap sebagai Pelindung


Upaya mengurangi radiasi panas
matahari dapat tercapai dengan
penggunaan bahan atap (berhubungan
dengan daya penghantar panas), sebagai
contoh atap dengan bahan besi seng atau
beton tipis mudah menyerap dan
mengalirkan panas, sedangkan sirap kayu
atau alang-alang relatif tidak mudah
menghantarkan dan menyerap panas. Gambar 1: Prinsip sistem atap dingin; ruang
Masalah konveksi udara di atas maupun di antara dua lapis atap harus bebas
hujan.
bawah penutup atap diusahakan selalu
(Sumber : (Mangunwijaya, 1980))
terdapat arus udara untuk mengalirkan
udara panas. 3.5. Bahan Penutup Atap
Atap berfungsi sebagai pelindung saat Penutup atap; (1) terbuat dari unsur-
hujan terhadap tampias dan daya mekanis unsur bidang yang kecil dan pembuatannya
hempasan air hujan yang dapat merusak mudah dengan resiko yang minim, (2)
rumah. Oleh karena itu, atap dengan pengangkutannya mudah dari tempat
beragam bentuk harus memiliki sistem pembuatan ke tempat pembangunan, (3)
pokok : (1) menangkis radiasi matahari, (2) pemasangannya mudah, serta (4)
menjamin kerapatan terhadap hujan dan pembaharuan mudah apabila rusak.
kelembaban, serta (3) menahan hempasan Penutup atap merupakan bidang yang
hujan. (Mangunwijaya, 1980)
cukup luas dan berperan sebagai pelindung
bangunan. Bidang luas yang mengalami
3.3. Atap Panas
pemuaian-pengerutan menurut pasang-
Atap merupakan bidang pembatas surut panas-dingin menentukan konstruksi
antara ruang dalam dan ruang luar. dan bentuk atap. Terdapat atap yang luas
Perhatian khusus pada perbedaan suhu, tanpa pengepingan sehingga menimbulkan
kadar uap air pada luar dan dalam keretakan. Semakin luas bentangan
bangunan serta timbulnya air kondensasi
penutup atap maka perlu didukung dengan
pada masalah pernafasan pada dinding
2
konstruksi atap yang mampu menahan
beban atap. 3.7. Konstruksi Peletakan secara Titik,
Material penutup atap terbaik adalah Garis, dan Bidang
kayu ulin atau kayu lain yang tahan air. Atap harus dipikul dan diletakkan di
Kayu memiliki sifat-sifat kemampuan rapat- atas pemikul. Peletakan beban atap dapat
air; memungkinkan difusi uap air, isolaso
melalui tiga cara: (1) peletakan di atas
panas, dan kekuatan fisik yang elastis. Ijuk
dan ilalang juga memenuhi syarat fisikalis, suatu titik, (2) peletakan di atas suatu
namun cenderung berlumut, mengundang garus, dan (3) peletakan pada bidang yang
serangga lain yang dapat membahayakan, cukup lebar dan panjang. (Mangunwijaya,
dan rawan kebakaran. Material asbes- 1980)
semen muah menjadi panas dan sumber
panas. Bahan seng atau logam lain
4. GEREJA BABADAN
mempermudah kondensasi di sisi
bawahnya. Genting keramik sangat rapat- YOGYAKARTA
air, namun masih memungkinkan difusi Gereja Babadan dirancang oleh Ir. F.
uap-air di bawahnya. Pemasangan genting Christian J. Sinar Tanudjaja, MSA. Gereja
yang tidak seragam menyebabkan air hujan Babadan terletak di Dolo, Wedomartani,
mudah masuk yang didorong angin. Bahan Ngemplak, Sleman, Daerah Istimewa
beton bertulang masif kurang
Yogyakarta 55584. Gereja Babadan
menguntungkan di daerah tropis lembab
kaena tidak murah dan akan retak. berbatasan langsung dengan beberapa
Penggunaan material beton tulang bangunan dan jalan. Sisi utara, timur dan
membutuhkan tenaga ahli dan tukang yang selatan berbatas dengan permukiman. Sisi
cermat dalam pekerjaannya. Upaya barat berbatasan langsung dengan Jl.
mengurangi keretakan dapat tercapat Tajem.
melalui beberapa cara : (1) pengecatan
permukaan di atasnya dengan cat putih
atau dikapur putih, (2) perlindungan dengan
suatu lapisan krikil yang tebal, (3)
perlindungan dengan suatu lapisan air, (4)
pemayungan dengan satu bidang atap lagi,
dan (5) memiringkan bagian atas unutk
mengalirkan air. (Mangunwijaya, 1980)

3.6. Kemiringan Atap


Gambar di bawah ini menjelaskan
praktik perancangan dan perencanaan atap
berdasarkan penggunaan material.

Gambar 3: Gereja Babadan


(Sumber : (Gereja Katolik St. Petrus dan Paulus
Babadan, 2011))

Gereja Babadan merupakan pemekaran


dari Paroki Marganingsih Kalasan.
Kompleks Gereja Babadan terdiri atas
gedung gereja, gedung pastoran, dan
gedung sekolah. Misa mingguan di Gereja
Babadan terselenggara dua kali, yaitu pada
sabtu sore pukul 17.00 WIB dan minggu
pagi pukul 07.00 WIB.

Gambar 2: Diagram kemiringan atap


(Sumber : (Mangunwijaya, 1980))
3
Gambar 6: Tampak belakang (timur) Gereja
(Sumber: Dokumentasi penulis, 2017)

Bentuk dasar atap pelana


memungkinkan sirkulasi udara dari arah
depan dan belakang bangunan (Purwanto,
2005). Penelitian oleh Purwanto,
Hermawan, dan Sanjaya (2016) mengenai
perhitungan temperatur udara menunjukkan
bahwa tipe atap rumah kampung memiliki
temperatur udara dalam paling rendah,
yaitu sebesar 360C, sedangkan rentang
temperatur rongga dalam atap antara 320C-
Gambar 4: Tampak atas seluruh tapak
(Sumber : Dokumentasi pribadi, 2017)
340C. Distribusi temperatur rongga atap
sebagai berikut.
5. HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
5.1. Bentuk Atap
Secara tampilan, bangunan Gereja
Babadan merupakan perpaduan antara
elemen-elemen arsitektur barat dan
elemen-elemen arsitektur Nusantara
(konsep bangunan tradisional Jawa. Gambar 7: Distribusi panas di roangga rumah
Elemen arsitektur barat terwujud pada Kampung Trajumas
bentuk atap yang pipih, lancip, dan (Sumber : (Purwanto, Hermawan, & Sanjaya,
2016))
menjulang tinggi. Elemen arsitektur
Nusantara terwujud pada bentuk atap yang
5.2. Warna dan Material Atap
menerapkan bentuk atap pelana. Pemilihan
bentuk atap pelana didasari oleh faktor Atap Gereja Babadan berwarna
keamanan dan kemudahan pemeliharaan cokelat gelap. Material atap Gereja
apabila terjadi kebocoran (Nugroho, 2016). Babadan adalah alumunium. Penggunaan
Atap pelana tersebut terdiri atas dua bidang bahan penutup atap modern yang presisi
miring yang atasnya bertemu pada satu mengakibatkan tidak adanya pergerakan
garis yang disebut bubungan.
udara di dalam atap, sehingga panas di
rongga atap mempengaruhi ruang di
bawahnya. Oleh karena itu, perlu adanya
modifikasi yang benar sehingga sirkulasi
dalam atap baik. (Purwanto, Hermawan, &
Sanjaya, 2016)

Gambar 5: Tampak depan (barat) Gereja


(Sumber: Dokumentasi penulis, 2017)
4
Gambar 11: Skematik kuda-kuda RK 14
(Sumber: Dokumentasi penulis, 2017)

Gambar 8: Perspektif Gereja Babadan


(Sumber: (Gereja Katolik St. Petrus dan Paulus
Babadan, 2011))

5.3. Susunan Atap


Penerapan modifikasi yang dimaksud
pada subbab 5.3 pada Gereja Babadan
adalah melalui modifikasi susunan penutup
atap.

Gambar 12: Rangka kuda-kuda RK 3


(Sumber: Dokumentasi penulis, 2017)

Kemiringan atap yg besar diharapkan dapat


merespon kondisi curah hujan yang cukup
Gambar 9: Tampak Samping (Selatan) Gereja dan
besar di wilayah Gereja Babadan. Air hujan
Pastoran
(Sumber: Dokumentasi penulis, 2017) dapat cepat tersalurkan ke tanah melalui
talang horisontal yang terpasang di
sepanjang bibir bidang atap (Nugroho,
2016). Semakin besar sudut kemiringan
atap maka semakin dingin suhu yang
dihasilkan di dalam ruangan (Rosadi,
Rismansyah, Fuad, & Setiyowati, 2012).
Gambar 10: Tampak Samping (Utara) Gereja dan
Pastoran 5.5. Sistem Struktur Atap
(Sumber: Dokumentasi penulis, 2017)
Struktur utama atap Gereja Babadan
Modifikasi susunan atap Gereja Babadan menggunakan material baja. Struktur
berupa atap bertingkat. Penerapan atap rangka atap baja dapat mengakomodasi
bertinggat berguna untuk penghawaan dan kebutuhan variasi bentangan (panjang atau
pencahayaan alami. lebar atap) (Pangaribuan, 2014). Struktur
atap terdiri dari susunan rangka kuda-kuda
5.4. Ketinggian/kemiringan Atap
atap baja WF, wuwung/nok, gording baja
Atap Gereja Babadan memiliki
profil C, gording baja profil L, jurai dalam,
beberapa variasi ketinggian dan
jurai luar, konsol, dan konsol beton.
kemiringan. Atap yang tinggi mengecilkan
Pengikat elemen struktur menggunakan
skala manusia dan memperkuat skala
sag-rod, baut, dan angkur. Gambar 13
monumental. Variasi sudut kemiringan atap
menunjukkan penerapan horizontal bracing
antara lain 300-780.
berupa gording pada atap yang memiliki
kemiringan yang besar.

5
/gereja-katolik-st-petrus-dan-paulus-
babadan/
Hidayatun, M. I., Prijotomo, J., & Rachmawati,
M. (2013, November 17). Architectonic
pada Arsitektur Nusantara sebagai
Cerminan Regionalisme Arsitektur di
Indonesia. In: Seminar Nasional Jelajah
Arsitektur Tradisional ke V. Mdan,
Sumatera Utara, Indonesia. Retrieved from
http://repository.petra.ac.id/17347/
Kumar, R. (2005). Research Methodology: A
Step-By-Step Guide for Beginner.
California: Sage Publications Inc.
Laurens, J. M. (2013). Memahami Arsitektur
Lokal dari Proses Inkulturasi pada
Arsitektur Gereja Katolik di Indonesia.
Gambar 13: Kuda-kuda baja RK 3 Seminar Nasional Reinterpretasi Identitas
(Sumber: Dokumentasi penulis, 2017) Arsitektur Nusantara (pp. 9-16). Bali:
Seminar Nasional Reinterpretasi Identitas
Sistem struktur atap Gereja Babadan Arsitektur Nusantara. Retrieved from
menggunakan struktur kolom beton dan Repository Petra.
Mangunwijaya, Y. (1980). Pasal-Pasal
struktur atap baja sehingga dapat disebut Penghantar Fisika Bangunan. Jakarta: P.T.
sebagai kombinasi antara sistem rangka Gramedia.
dan sistem bidang. Sistem rangka terlihat Nugroho, B. A. (2016). Karakteristik Kejawaan
pada penggunaan tiang sebagai penumpu Arsitektur Gereja Katolik Ganjuran (Tahun
1924-2013). Yogyakarta: Program Studi
atap. Sistem bidang dapat terlihat pada Pendidikan Sejarah Universitas Sanata
susunan jurai dan gording yang terangkai Dharma.
dan tersusun menjadi jalinan membentuk Pangaribuan, M. R. (2014). Baja Ringan
sebagai Pengganti Kayu dalam
bidang.
Pembuatan Rangka Atap Bangunan
6. PENUTUP Rumah Masyarakat. Jurnal Teknik Sipil
dan Lingkungan Vol.2, No. 4, 648-655.
Kesimpulan Prijotomo, J. (1988). Kalsifikasi Data
1. Bentuk atap Gereja Babadan Kategorisasi Pengkayaan dalam Morpologi
memadukan Arsitektur Barat (atap Arsitektur Klasik Indonesia. Laporan
pipih, lancip, dan menjulang tinggi) dan Penelitian. Surabaya: Puslit ITS.
Arsitektur Nusantara (atap pelana). Purwanto, L. (2005). Arsitektur Permukiman
2. Atap Gereja Babadan berwarna cokelat Tropis. Universitas Katolik Soegijapranata:
gelap dan material atap Gereja Handout Program Pasca Sarjana S2,
Babadan adalah alumunium. Magister Teknik Arsitektur.
3. Gereja Babadan menerapkan susunan Purwanto, L., Hermawan, & Sanjaya, R. (2016).
Pengaruh Bentuk Atap Bangunan
atap bertingkat.
Tradisional di Jawa Tengah untuk
4. Ketinggian/kemiringan atap Gereja Peningkatan Kenyamanan Termal
Babadan bervariasi, antara 300-780. Bangunan (Sebuah pencarian model
5. Sistem struktur atap Gereja Babadan arsitektur tropis untuk aplikasi desain
menerapkan struktur rangka atap baja. arsitektur). Dimensi Teknik Arsitektur Vol.
34, No. 2, 154-160.
DAFTAR PUSTAKA Rosadi, H. E., Rismansyah, N., Fuad, F., &
Bakhtiar, Waani, J. O., & Rengkung, J. (2014). Setiyowati, E. (2012). Pengaruh Sudut
Tipe Teori pada Arsitektur Nusantara Kemiringan Atap Bangunan dan
Menurut Josef Projotomo. Media Matrasain Orientasinya terhadap Kualitas Termal.
Volume 11, No. 2, 32-47. Temu Ilmiah IPLBI (pp. 93-96). Bandung:
Gereja Katolik St. Petrus dan Paulus Babadan. SAPPK ITB.
(2011, Juni 16). Retrieved from Bait Allah Sulistijowati, M. (2016). Struktur di Arsitektur
Nusantara. Temu Ilmiah IPLBI (pp. 19-24).
Indonesia:
https://baitallah.wordpress.com/2011/06/16 Malang: Institut Tenologi Nasional Malang.

Você também pode gostar