Você está na página 1de 22

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
karunianya penulis dapat menyelesaikan laporan dengan judul Analisis Persoalan
Ekonomi Kota Sektor Informal: Studi Kasus tentang Pedagang Kaki Lima di Kota
Bandung. Tugas ini merupakan syarat wajib bagi mahasiswa dalam penyelesaian mata
kuliah Ekonomi Kota. Laporan ini memaparkan deskripsi persoalan sektor informal
untuk dianalisis dan diberikan rekomendasi penanganan persoalan sektor informal
tersebut, dalam studi kasus ini tentang Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung.
Dalam proses penulisan laporan, penulis turut dibantu oleh dosen pembimbing
mata kuliah. Oleh karena itu penulis berterimakasih kepada seluruh pihak yang telah
terlibat dalam pembuatan laporan. Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari
bahwa penulisan dan penyusunan laporan masih jauh dari sempurna. Kritik dan saran
sangat diperlukan untuk dijadikan sebagai acuan tugas-tugas selanjutnya.
Demikianlah laporan penelitian ini disusun, semoga bermanfaat bagi berbagai
pihak dan dapat memberikan kontribusi pada peningkatan kualitas pembelajaran mata
kuliah Ekonomi Kota.

Surabaya, 26 Mei 2016

Penulis

Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung i


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................................................... 1
1.2. Tujuan ............................................................................................................................................... 2
1.3. Sistematika Penulisan ................................................................................................................. 2
BAB II IDENTIFIKASI PERSOALAN EKONOMI KOTA ....................................................................... 3
2.1. Identifikasi Persoalan Ekonomi Kota ................................................................................... 3
2.2. Gambaran Umum Persoalan Ekonomi Kota ....................................................................... 4
BAB III REVIEW LITERATUR ..................................................................................................................... 8
3.1. Sektor Informal: PKL ................................................................................................................... 8
3.2. PDRB .................................................................................................................................................. 8
3.3. Legalitas Kebijakan Relokasi .................................................................................................... 9
3.4. Squatter .......................................................................................................................................... 10
3.5. Eksternalitas ................................................................................................................................. 11
BAB IV ANALISA ........................................................................................................................................... 12
4.1. Analisis Persoalan Ekonomi Kota ........................................................................................ 12
4.1.1. Analisis Legalitas Kebijakan Relokasi ........................................................................ 12
4.1.2. Analisis Squatter ................................................................................................................ 13
4.1.3. Analisis Eksternalitas ....................................................................................................... 15
4.2. Konsep Penanganan Persoalan Ekonomi Kota ............................................................... 15
BAB V LESSON LEARNED ......................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................................... 19

Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung ii


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sejak tahun 1970-an, isu ketenagakerjaan telah menarik perhatian bayak ahli
perkotaan. Isu ketenagakerjaan ini sering dikaitkan dengan urbanisasi, keragaman
peluang kerja di kota dengan tingkat upah yang relatif lebih tinggi dari tingkat upah di
desa menstimulasikan penduduk desa untuk melakukan urbanisasi ke kota.
Peningkatan urbanisasi ke kota tidak diimbangi dengan perluasan lapangan kerja, di
kota terjadi kesenjagan kapasitas keahlian dan tuntutan kerja formal yang modern. Para
urban sulit untuk menembus sektor formal yang menuntut keahlian yang tinggi.
Ketika para urban dihadapkan dengan kondisi tuntutan sektor formal terhadap
keahlian yang tinggi, mereka memilih alternatif yang sampai saat ini berhasil dimasuki
tanpa ada tuntutan keahlian yaitu sektor informal. Di Indonesia dalam tiga dekade
terakhir ini, jumlah pekerja informal terus menunjukkan peningkatan di setiap
tahunnya. Sumbangan sektor informal dalam perkembangan perekonomian Indonesia
sangat memegang peranan penting, setidaknya ketika program pembangunan kurang
mampu menyediakan peluang kerja bagi angkatan kerja, sektor informal mampu
berperan sebagai penampung dan alternatif peluang kerja bagi para urban.
Aktivitas sektor informal perkotaan di area publik kota secara khusus terlihat pada
kasus perdagangan di jalanan yang lebih dikenal sebagai PKL (Pedagang Kaki Lima).
PKL dengan kemandiriannya dalam menciptakan lapangan kerja dan menyediakan
barang dan jasa murah serta reputasinya sebagai katup pengaman yang dapat
mencegah merajalelanya pengangguran dan keresahan sosial (Simanjuntak, 1985:99).
Hanya saja selama ini PKL lebih sering dianggap sebagai faktor negative dalam
pembangunan ekonomi perkotaan, pandangan negative tersebut lahir karena anggapan
PKL sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya kemacetan, merusak tatanan kota
karena berjualan di lokasi yang tidak seharusnya, membuat lingungan menjadi kumuh,
dan lain-lain.
Melihat bagaimana pentingnya peranan dari sektor informal namun sering
mendapatkan pandangan negatif, Firnandy (2002) merekomendasikan bahwa arah

Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung 1


kebijakan pengembangan sektor informal memerlukan intervensi dari pemerintah.
Maka diperlukan evaluasi terhadap kebijakan penanganan pedagang kaki lima.

1.2. Tujuan
Dalam penulisan laporan telah ditetapkan beberapa tujuan diantaranya:
1. Mengidentifikasi latar belakang timbulnya persoalan sektor informal di
perkotaan.
2. Menganalisis dampak dan implikasi dari persoalan sektor informal di perkotaan
untuk dapat menyusun upaya dan rekomendasi untuk mengatasi persoalan
tersebut.

1.3. Sistematika Penulisan


Penyusunan makalah ini akan dibahas sesuai dengan sistematika penulisan yang
disajikan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang, tujuan penulisan, serta sistematika pelaporan.
BAB II IDENTIFIKASI PERSOALAN EKONOMI KOTA
Bab ini memberikan penjelasan secara umum persoalan ekonomi kota sektor
informal dengan studi kasus pedagang kaki lima di kota Bandung serta dampak dan
implikasinya bagi ekonomi perkotaan ataupun sistem perkotaan tersebut.
BAB III REVIEW LITERATUR
Bab ini berisikan review literature terkait yang dibahas pada bab identifikasi
persoalan ekonomi kota.
BAB IV ANALISA
Bab ini akan menjelaskan hasil analisa penulis terhadap kondisi persoalan
pedagang kaki lima di Kota Bandung dengan beberapa tinjauan pustaka untuk
kemudian disusun upaya dan rekomendasi untuk mengatasi persoalan ekonomi
tersebut.

Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung 2


BAB II
IDENTIFIKASI PERSOALAN EKONOMI KOTA

2.1. Identifikasi Persoalan Ekonomi Kota


Kota Bandung merupakan salah satu kota tujuan pendatang yang berasal dari
berbagai daerah baik Pulau Jawa maupun non-Jawa, kota Bandung juga telah menjadi
pusat kegiatan bukan hanya bagi penduduk setempat tetapi juha penduduk daerah
sekitarnya. Hal tersebut manjadikan Bandung sebagai salah satu kota tujuan PKL dari
berbagai daerah.
Pada tahun 2008, Kota Bandung tercatat memiliki 301 pasar modern yang mampu
menyerap puluhan ribu pekerja. Fakta tersebut tidak terlepas dari maraknya
pembangunan pasar modern beberapa tahun belakangan. Gambaran tersebut
memperlihatkan arah kebijakan pembangunan pemerintah Kota Bandung yang
cenderung tertuju pada pengembangan pasar modern dibandingkan pasar tradisional
dan perdagangan jalanan. Keberadaan pasar modern merupakan cerminan dari
perdagangan jasa yang bersih dan menunjukkan kemakmuran dan ketaatan, karena
segalanya tampak lebih teratur, terutama jika dibandingkan dengan pasar tradisional
dan perdagangan jalanan. Disamping itu pembangunan pasar modern juga akan
semakin membatasi ruang bagi perdagangan informal, sementara kenyataannya pada
tahun 2005 jumlah PKL diperkirakan mencapai 26.490 orang (Kosasih 2007).
Upaya lain yang coba dilakukan pemerintah Kota Bandung dalam penanganan PKL
dengan mengeluarkan berbagai kebijakan, pada tahun 1970-an pemerintah merelokasi
PKL dari satu tempat ke tempat lain yang memag diperuntukkan untuk PKL. Namun
tidak bertahan lama, PKL baru bermunculan kembali di kawasan tersebut. berdasarkan
penjelasan staff Bappeda Kota Bandung, hanya sedikit kebijakan relokasi yang di
terapkan di Kota Bandung yang berhasil.
Di sisi lain upaya-upaya penanganan PKL yang dilakukan pemerintah hanya
berdampak pada menurunnya taraf hidup PKL dan menambah jumlah pengangguran.
Keraguan atas penanganan PKL di Kota Bandung mulai diselesaikan dengan
dibentuknya pengorganisasian PKL, merupakan sebuah upaya dalam mengatasi
berbagai persoalan faktor internal maupun eksternal.

Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung 3


2.2. Gambaran Umum Persoalan Ekonomi Kota
Kota Bandung yang memiliki jumlah penduduk 2.296.848 jiwa telah dikenal
sebagai salah satu kota tujuan pendatang yang berasal dari berbagai daerah di pulau
Jawa maupun non-Jawa. Kota bandung sendiri merupakan pusat kegiatan dari daerah
sekitar bandung. Daya tarik ini menyebabkan jumlah orang yang berada di bandung
pada siang hari akan mencapai dua kali lipat dari angka normal.
Sebagian besar penduduk Kota Bandung, lokal maupun pendatang, terlibat dalam
sektor perdagangan (295.118 jiwa), melampaui jumlah penduduk yang terserap ke
dalam sektor industri pengolahan (224.1 38 jiwa) dan jasa (177.893 jiwa) (BPS Kota
Bandung, 2006). Dari di data di atas dapat terlihat jelas jumlah masyarakat kota
bandung yang terjun dalam ranah perdagangan cukup besar di bandingkan sektor lain
nya.
Dengan jumlah masayarakat yang terjun dalam bidang perdagangan cukup besar
dampak dalam PDRB pun terlihat. Sektor perdagangan menjadi penyumbang terbesar
bagi PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto) Kota Bandung, yaitu sekitar 38
persen. Tingginya jumlah sumbangan PDRB dan tenaga kerja yang terserap ke dalam
sektor perdagangan tidak terlepas dari maraknya pembangunan pasar modern di Kota
Bandung pada beberapa tahun belakangan ini. Sementara itu, pada tahun 2005 jumlah
PKL diperkirakan mencapai hingga 26.490 orang (Kosasih 2007).
Jika dilihat dari Visi kota Bandung yang menciptakan Kota Bandung sebagai Kota
Jasa yang Bersih, Makmur, Taat, Bersahabat bertolak belakang dengan PKL.
Pembangunan ritel modern dan pasar modern terus di laksanakan untuk mencapai visi
ini di lain sisi PKL tak mencermikan kata bersih oleh karna itu dukungan terhadap PKL
lebih sedikit di bandingkan Ritel modern dan pasar modern. PKL sendiri bagaikan dua
sisi mata pisau dimana di satu sisi berdampak positif sebagai sumber mata pencaharian,
penyedia barang-barang kebutuhan berharga murah, penambah daya tarik kota, dan
memiliki potensi ekonomi yang besar jika di kembangkan. Sementara di sisi lain,
keberadaan PKL dipandang negatif. PKL dianggap sebagai biang keladi kemacetan dan
kekumuhan wajah kota.
Namun Pemerintah kota lebih melihat PKL membawa dampak negatif oleh karna
itu di buatnya beberapa kebijakan yang mempersulit PKL. Kebijakan Relokasi Tempat
PKL di lakukan untuk menghilangkan wajah kumuh perkotaan namun di saat relokasi di
lakukan tak lama kemudian PKL baru bermunculan hal ini membuktikan bahwa

Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung 4


kebijakan Relokasi tak berkerja. Seorang pedagang DVD bajakan di BIP. Ia bersama
pedagang lainnya memutuskan kembali ke tempat jualan semula di pelataran BIP,
segera setelah direlokasi pemerintah ke Toko Ria di Tegalega. Hal ini disebabkan oleh
jauhnya jarak lokasi berjualan dari pusat keramaian dan sepinya pengunjung yang
datang (Catatan wawancara, 12 Juli 2008). Dari atas dapat di simpulkan dalam
pemilihan tempat relokasi harus lah di pikirkan secara baik untuk melihat ruang mana
yang berpotensi dalam mengembangkan PKL tersebut.
Selain relokasi, pemerintah juga melakukan strategi penggusuran atau penertiban.
Sejak tahun 1970-an, pemerintah Kota Bandung tak henti-hentinya melancarkan
operasi penertiban. Kebijakan ini hanya lah mempersulit para PKL, karena jika mereka
di gusur mata pencaharian mereka akan hilang oleh karna itu permainan kucing-
kucingan antara PKL dan Satpol PP terjadi. Kenyataan ini menggarisbawahi bahwa
tekanan ekonomi yang dialami PKL mampu mengalahkan berbagai upaya pemerintah
untuk membatasi kegiatan usaha mereka.
Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban,
Kebersihan, dan Keindahan. Perda itu memang tidak secara khusus mengatur PKL,
namun dalam pasal 37 ayat d dinyatakan larangan untuk berusaha atau berdagang di
trotoar, jalan/badan jalan, taman jalur hijau dan tempat-tempat lain yang bukan
peruntukannya tanpa mendapat ijin dari Walikota.. Sejak adanya Perda ini
penggusuran marak terjadi untuk menertibkan kota namun hal ini berdampak buruk
terhadap PKL dan Satpol PP. Dikarnakan marak nya penggusuran banyak terjadi nya
kasus penyelesaian di tempat yakni PKL akan membayar sejumlah harga agar Jualan
nya tidak di sita. Agam (32), pedagang minuman ringan di jalan Dewi Sartika, harus
menghabiskan sekitar Rp 100.000,- untuk biaya sidang perkara dan penebusan barang.
Jumlah tersebut belum termasuk biaya kerugian atas barang dagangan yang hilang saat
terjadinya penertiban (Catatan wawancara, 9 Juli 2008).
Maraknya aksi penertiban, selain membuka ruang praktek korupsi juga membuka
praktek penjualan jasa perlindungan, misalnya dengan membocorkan informasi
mengenai jadwal operasi penertiban. Sehingga PKL dapat terhindar dari operasi
penertiban. Sebagai imbalan, PKL baik secara individu maupun melalui organisasi harus
menyetorkan sejumlah uang setiap hari atau setiap bulan pada petugas15 (lihat
Bromley 1979). Dampak dari proses penertiban itu sendiri selain menurunkan

Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung 5


penurunan kualitas hidup dari PKL juga berdampak pada jumlah pengangguran yang
akan meningkat ketika banyak PKL yang di tertibkan.
Abah (76) berasal dari Garut, Jawa Barat. Pada tahun 1952, ia memutuskan pergi ke
Bandung membantu seorang temannya berjualan di pasar Cicadas. Berbekal pendidikan
dasar, ia kemudian melamar dan diterima bekerja di gudang mesiu atau PINDAD.
Tidak puas bekerja di tempat tersebut, ia pindah bekerja ke pabrik sepatu kemudian ke
pabrik es. Penghasilan minim mendorongnya untuk pindah kerja ke pabrik ban. Setelah
berhasil mengumpulkan modal, ia memutuskan berhenti kerja dan memulai usaha
sendiri, yaitu membuka kios beras di dekat RS. Santo Yusuf, Cicadas. Suatu saat, kios
tersebut terkena operasi tibum (penertiban umum). Kios beserta seluruh isinya
diangkut oleh para petugas tibum. Saat Abah mendatangi petugas penertiban di
kantornya di Pasir Impun, ia hanya mendapati kiosnya yang kosong tanpa barang
tersisa sedikit pun. Saat itu, Abah masih memiliki modal untuk memulai usaha baru. Ia
memutuskan untuk melanjutkan usaha dengan membeli 3 buah becak dan mencoba
berjualan sayur secara keliling dengan menggunakan pikulan. Setelah beberapa lama
berjualan, ia kembali terkena operasi penertiban. Ia menuturkan, saat sedang
beristirahat di trotoar, petugas tibum mengangkut diri dan barang dagangannya ke atas
truk serta meninggalkannya di luar kota, daerah ke arah Lembang. Hingga ia harus
berjalan kaki kembali ke Kota Bandung. Kerugian yang dideritanya terus berlanjut, ia
juga harus kehilangan ketiga becaknya yang terkena razia. Para petugas mempreteli
seluruh becaknya dan meninggalkannya tanpa roda. Abah merasa terpukul atas
kejadian itu. Ia mengakui bahwa penertiban terakhir itu telah membuat keadaan
ekonominya terpuruk dan tidak mampu bangkit untuk memulai usaha baru kembali.
Selama lebih dari 20 tahun terakhir ini, ia terpaksa bekerja sebagai buruh penarik becak
dan tinggal di atas becak setiap harinya. (Catatan wawancara, 2 Agustus 2008).
Kurangnya pemahaman dan dokumentasi akan keberadaan PKL disinyalir sebagai
salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kegagalan pemerintah dalam menangani
PKL (Resmi Setia dalam Opini Pikiran Rakyat, 17 Mei 2008; Sj-Sumarto, akan datang).
Keberlangsungan usaha PKL terikat dengan jaringan sosial ekonomi politik yang cukup
rumit. PKL Berhubungan dengan banyak pihak, seperti penyalur, saingan, langganan,
pemberi pinjaman, pemberi perlengkapan, petugas pemerintah, preman, dan berbagai
pranata resmi maupun privat (Bromley 1979; Cross 1998).

Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung 6


Pengorganisasian PKL merupakan sebuah upaya untuk mengatasi berbagai
persoalan, baik yang berasal dari faktor internal (misalnya konflik antar PKL) maupun
eksternal (misalnya terkait dengan kebijakan pemerintah). Organisasi PKL dapat
membantu PKL untuk mendapatkan tempat dagang yang baik dan administrasi mereka
menjadi lebih mudah. Organisasi juga berperan dalam membatasi keanggotaan dan
akses terhadap pasar informal dan konflik antar pedagang. Organisasi membatasi
keanggotaan agar jumlah pedagang tak membludak dan membuat persaingan menjadi
lebih besar dan memberikan beban kepada Pihak PKL yang berjualan pada daerah
tersebut. para pengurus organisasi itu juga mencoba menata kawasan PKL-nya
sedemikian rupa agar menjadi salah satu tujuan wisata kuliner. Langkah ini merupakan
salah satu cara untuk menjauhkan kesan pedagang jalanan yang kental dengan
kesemrawutan dan kekumuhan, sehingga diharapkan dapat melindungi mereka dari
ancaman penggusuran.

Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung 7


BAB III
REVIEW LITERATUR

3.1. Sektor Informal: PKL


Istilah sektor informal pertama kali dilontarkan oleh Keith Hart (1971) dengan
menggambarkan sektor informal sebagai bagian angkatan kerja kota yang berada diluar
pasar tenaga terorganisasi (Mulyana, 2011). Istilah sektor informal sering dikaitkan
dengan sejumlah kegiatan ekonomi berskala kecil, definisi sektor informal sendiri
merupakan sektor yang tidak terorganisasi (unorganized), tidak teratur (unregulated),
dan kebanyakan legal tapi tidak terdaftar (unregistered). Sektor informal di kota
dipandang sebagai unit-unit berskala kecil yang terlibat dalam produksi dan distribusi
barang-barang yang masih dalam suatu proses evolusi daripada dianggap sebagai
sekelompok perusahaan yang berskala kecil dengan masukanmasukan (inputs) modal
dan pengelolaan (managerial) yang besar.

Dalam hal ini sektor informal yang dipilih adalah profesi pedagang kaki lima,
seperti yang kita ketahui jenis usaha pedagang kaki lima adalah masuk kategori usaha
berskala kecil, tujuan utama mereka hanyalah sekedar untuk bisa memenuhi kebutuhan
primer mereka sehari-hari. Pedagang adalah perantara yang kegiatannya membeli
barang dan menjualnya kembali tanpa merubah bentuk atas inisiatif dan tanggung
jawab sendiri dengan konsumen untuk membeli dan menjualnya dalam partai kecil atau
per satuan (Sugiharsono dkk,2000:45). Maka definisi Pedagang Kaki Lima (Sektor
Informal) adalah mereka yang melakukan kegiatan usaha dagang perorangan atau
kelompok yang dalam menjalankan usahanya menggunakan tempat-tempat fasilitas
umum, seperti terotoar, pingirpingir jalan umum, dan lain sebagainya

3.2. PDRB
Secara umum pertumbuhan ekonomi didefenisikan sebagai peningkatan dari suatu
perekonomian dalam memproduksi barang-barang dan jasa-jasa. Dengan perkataan
lain arah dari pertumbuhan ekonomi lebih kepada perubahan yang bersifat kuantitatif
(quntitative change) dan bisanya dihitung dengan menggunakan data Produk Domestik
Bruto (PDB) atau pendapatan atau nilai akhir pasar (total market value) dari barang
akhir dan jasa (final goods and service) yang dihasilkan dari suatu perekonomian
selama kurun waktu tertentu dan biasanya satu tahun.

Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung 8


Untuk menghitung pertumbuhan ekonomi secara nominal dapat digunakan PDRB
(Produk Domestik Regional Bruto). PDRB digunakan untuk berbagai tujuan tetapi yang
terpenting adalah untuk mengukur kinerja perekonomian secara keseluruhan. Jumlah
ini akan sama dengan jumlah nilai nominal dari konsumsi, investasi, pengeluaran
pemerintah untuk barang dan jasa, serta ekspor netto.

3.3. Legalitas Kebijakan Relokasi


Definisi kebijakan publik yang dikemukakan oleh Thomas R. Dye (1975, dalam
Syafiie (2006: 105) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah apapun juga yang
dipilih pemerintah, apakah mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan
(mendiamkan) sesuatu itu (whatever government choose to do or not to do. Sementara
Carl Friedrich (dalam Winarno 2007: 17) mengemukakan bahwa: Kebijakan sebagai
suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam
suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang
terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka
mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu.

Kehadiran PKL di suatu kota pada dasarnya tidak direncanakan sehingga


memunculkan permasalahan bagi suatu kota karena tidak tertata dengan rapi. Untuk
mengembalikan ketertiban suatu kota muncul gagasan relokasi. Relokasi yaitu suatu
upaya menempatkan kembali suatu kegiatan tertentu ke lahan yang sesuai dengan
peruntukannya (Harianto, 2001).

Untuk menciptakan ketertiban kota yang tercantum di dalam Peraturan daerah


Kota Bandung No. 02 tahun 2004, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota
Bandung dan Peraturan Daerah (Perda) No. 11 tahun 2005 tentang penyelenggaraan K3
(Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan), maka pemerintah kemudian membatasi
kegiatan para pedagang informal tersebut. Caranya adalah dengan membatasi wilayah
dagang PKL, kemudian dengan cara merazia para PKL yang berdagang di tempat yang
mengganggu ketertiban, keindahan, dan kebersihan. Selain melakukan penertiban,
pihak pemerintah kota juga menggagas untuk merelokasikan PKL.

Ramdhani (2005) dan Harianto (2001) menerangkan hal-hal yang menjadi


pertimbangan dalam penentuan lokasi relokasi PKL, yaitu :
a. Kestrategisan lokasi, yaitu konsumen mudah menjangkau lokasi usaha PKL
karena adanya aksesibilitas yang mendukung.
Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung 9
b. Faktor visual, memberikan kesan harmonis dan asri sehingga mudah menarik
minat konsumen,

c. Hirarki pembangunan, jangkauan pelayanan yang efektif dan efisien,

d. Sewa atau penjualan tanah/ kios yang murah sehingga tidak memberatkan
pedagang.

Apriyanto (2003) memberikan tambahan bahwa lokasi untuk relokasi PKL :


1. Memperhatikan faktor lokasi dan permintaan barang.
2. Mempunyai akses masuk kedalam pasar yang memadai, minimal 2 jalan untuk
akses masuk dan akses keluar.
3. Dekat dengan terminal atau stasiun kereta sehingga memudahkan pergerakan
konsumen dan pedagang.
4. Prasarana dan sarana pendukung yang memadai. Seperti drainase, listrik, gas, air
bersih dan tempat pembuangan sampah (TPS).

Dapat disimpulkan relokasi adalah usaha memindahkan PKL dari lokasi yang tidak
sesuai ke sebuah lokasi yang dinilai layak menampung pedagang dengan
memperhatikan semua aspek. Khususnya aspek ketertiban, keindahan dan kebersihan.

3.4. Squatter
Squatter jika diartikan menurut kamus dari oxford adalah seseorang yang
menempati lahan publik tanpa ada legalitas secara hukum. BIsa dikatakan squatter
adalah penghuni liar. Oleh karena itu squatter area adalah sebuah area yang didiami
oleh para penghuni liar. Mereka biasanya membangun tempat tinggal yang tidak
permanen.

Banyak hal orang-orang menempati daerah yang tidak jelas status hukumnya,
misalnya adalah faktor ekonomi. Dimulai dari tidak ratanya perekonomian antara desa
dan kota. Kebanyakan para pendatang tidak punya modal yang cukup sehingga mereka
rela melakukan apa saja agar bisa mencari nafkah di kota. Mereka membangun tempat
tinggal ditempat- tempat yang tidak ada boleh ada bangunan seperti dibawah jembatan,
dipinggir rel kereta api, dan lain-lain. Keberanian mereka membangun rumah-rumah
disebabkan oleh faktor-faktor seperti adanya jaminan dari orang-orang pemerintah
sendiri maupun dari preman-preman setempat. Mereka ditarik biaya oeh para

Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung 10


petugas tersebut tetapi jika ada penggusuran mereka lepas tanggung jawab atas
kemanan para penghuni liar tersebut.

3.5. Eksternalitas
Dalam suatu perekonomian modern, setiap aktivitas mempunyai keterikatan
dengan aktivitas lainnya.Apabila semua keterkaitan antara suatu kegiatan dengan
kegiatan lainnya dilaksanakan melalui mekanisme pasar atau melalui suatu sistem,
maka keterkaitan antar berbagai aktivitas tersebut tidak menimbulkan masalah.Akan
tetapi banyak pula keterkaitan antar kegiatan yang tidak melalui mekanisme pasar
sehingga timbul berbagai macam masalah. Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan
lain yang tidak melalui mekanisme pasar adalah apa yang disebut eksternalitas.
Pendapat oleh Rosen (1988) menyatakan bahwa eksternalitas terjadi ketika
aktivitas suatu satu kesatuan mempengaruhi kesejahteraan kesatuan yang lain yang
terjadi diluar mekanisme pasar (non market mechanism). Tidak seperti pengaruh yang
ditransmisikan melalui mekanisme harga pasar, eksternalitas dapat mempengaruhi
efisiensi ekonomi. Menurut Guritno Mankoesoebroto (1997 : 43), eksternalitas timbul
karena tindakan konsumsi atau produksi dari satu pihak mempunyai pengaruh
terhadap pihak yang lain dan tidak ada kompensasi yang dibayar oleh pihak yang
menyebabkan atau kompensasi yang diterima oleh pihak yang terkena dampak
tersebut.
Menurut Guritno Mangkoesoebroto (1997) di dalam perekonomian terdapat
empat kemungkiinan eksternalitas, yaitu :
a. Konsumen konsumen, yaitu tindakan seorang konsumen yang menimbulkan
eksternalitas bagi konsumen lain.
b. Konsumen produsen, yaitu tindakan seorang konsumen yang menimbulkan
eksternalitas positif atau negatif terhadap produsen.
c. Produsen konsumen, yaitu dampak dari kegiatan perusahaan terhadap
masyarakat sekitar perusahaan tersebut.
d. Produsen produsen, yaitu dampak dari kegiatan suatu perusahaan terhadap
perusahaan lain.

Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung 11


BAB IV
ANALISA

4.1. Analisis Persoalan Ekonomi Kota

4.1.1. Analisis Legalitas Kebijakan Relokasi


Keberadaan PKL sering dianggap sebagai wajah buruk perkotaan oleh pihak
pemerintah. Hal ini disebabkan PKL yang ada di perkotaan tidak sesuai dengan visi
perkotaan yang menekankan pada aspek kebersihan, aspek keindahan dan aspek
kerapihan. Seringkali dalam menyelesaikan masalah PKL di perkotaan pihak
pemerintah menggunakan kebijakan seperti penggusuran dan relokasi. Di kota
Bandung kebijakan baik yang bersifat exclusion (penggusuran) maupun inclusion
(tendanisasi) dilakukan dalam menangani PKL di kota Bandung.
Arah kebijakan pemerintah di kota bandung sejak tahun 2006 masih
mendukung ke arah pembangunan pasar modern daripada mendukung pasar
traditional dan PKL. Arah kebijakan ini tampaknya merupakan salah satu wujud
dari visi pemerintah Kota Bandung, yaitu menciptakan Kota Bandung sebagai Kota
Jasa yang Bersih, Makmur, Taat, Bersahabat.
Tercatat sejak tahun 1970-an, pemerintah Kota Bandung telah mengeluarkan
berbagai kebijakan untuk menangani PKL. Saat itu, pemerintah merelokasi PKL di
jalan Dalem Kaum ke Pasar Kota Kembang. Namun tidak lama berselang, PKL baru
bermunculan kembali di kawasan tersebut. Kondisi serupa terus terulang pada
tahun-tahun berikutnya (Dirgahayani 2002 dalam Solichin 2005). Dari data di atas
menunjukkan bahwa upaya dari relokasi merupakan hal sia-sia yang di lakukan
oleh pihak pemerintah bandung. Pihak PKL punya alasan sendiri mengapa tetap
kembali kedaerah awal hal ini telah di konfirmasi oleh pihak PKL sendiri.
Seorang pedagang DVD bajakan di BIP. Ia bersama pedagang lainnya
memutuskan kembali ke tempat jualan semula di pelataran BIP, segera setelah
direlokasi pemerintah ke Toko Ria di Tegalega. Hal ini disebabkan oleh jauhnya
jarak lokasi berjualan dari pusat keramaian dan sepinya pengunjung yang datang
(Catatan wawancara, 12 Juli 2008). Kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah
menunjukkan tak memperhatikan asas keadilan melalui kebijakan ini. Dimana
pemerintah mengeluarkan kebijakan bersifat Top-Down tanpa memikirkan
pandangan dari para PKL sendiri. Hal ini terbukan dari kasus kebijakan relokasi di
atas di mana kebijakan ini dilakukan hanya untuk memenuhi asas kemanfaatan
Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung 12
yakni tak memikirkan dampak ke PKL ketika dipindahkan. Asas Kemanfaatan yang
di maksud pemerintah hanya mempertimbangkan dari sisi kebermanfaatan nya
kebijakan ini dalam menyunsung visi kota Jasa yang Bersih, Makmur, Taat,
Bersahabat.
Kebijakan relokasi ini di keluarkan sebelum keluarnya peraturan yang
mengatur dalam penanganan PKL. Peraturan yang mengatur penataan PKL di
perkotaan diatur dalam peraturan menteri dalam negeri republik Indonesia nomor
41 tahun 2012. Oleh karna itu kebijakan relokasi yang dilakukan saat itu tak sesuai
dengan asas legalitas dimana tindak relokasi yang di lakukan tanpa mengikuti
perundang-undangan yang ada.

4.1.2. Analisis Squatter


Pengembangunan di kota Bandung gencar dilakukan untuk mencapai visi
pemerintah Kota Bandung, yaitu menciptakan Kota Bandung sebagai Kota Jasa yang
Bersih, Makmur, Taat, Bersahabat. Untuk mencapai visi ini pengembangan pasar
modern, hotel, apartemen, tempat wisata, pusat hiburan, dll kerap di lakukan.
Dikarenakan semua pengembangan ini kota Bandung bangkit menjadi kota hiburan
yang dimana banyak menarik minat wisatawan untuk berkunjung ke kota ini.

Selain wisatawan banyak pendatang data ke kota Bandung untuk mencari


penghidupan lebih baik di kota ini. Pendatang yang datang kerap berasal dari
warga miskin dan memiliki pendidikan yang kurang baik oleh karna itu banyak
yang tidak dapat bekerja di sektor Formal. Sektor informal seperti PKL kerap di
lakukan para pendatang dalam mencari uang. Dengan penghasilan yang rendah
mereka seringkali tersingkirkan dalam persaingan hidup di kota Bandung. Dimana
para pekerja PKL ini seringkali tidak memiliki uang untuk menyewa perumahan
dan lebih memilih tinggal di taman, pinggiran sungai, area rel kereta api, dll. Hal ini
hanya akan meningkatkan lokasi kawasan kumuh ( Squatter ) di kota Bandung ini
sendiri.

Untuk menekan jumlah pendatang terutama kelompok pendatang miskin yang


tidak memiliki pekerjaan jelas, pemerintah kota melalui berbagai kebijakannya
berupaya mengontrol dan membatasi jumlah pendatang yang masuk ke Bandung,
misalnya melalui razia dan pengurusan kartu identitas yang cukup rumit bagi
pendatang (lihat Widyaningrum, akan datang). Sebenarnya PKL ini sendiri
Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung 13
merupakan pekerjaan yang bisa meningkatkan kualitas hidup seseorang namun
pada saat in kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah seperti penggusuran
malah berdampak pada para pekerja PKL yakni penurunan kualitas hidup. Berikut
contoh kasus nya.

Abah (76) berasal dari Garut, Jawa Barat. Pada tahun 1952, ia memutuskan
pergi ke Bandung membantu seorang temannya berjualan di pasar Cicadas.
Berbekal pendidikan dasar, ia kemudian melamar dan diterima bekerja di gudang
mesiu atau PINDAD. Tidak puas bekerja di tempat tersebut, ia pindah bekerja ke
pabrik sepatu kemudian ke pabrik es. Penghasilan minim mendorongnya untuk
pindah kerja ke pabrik ban. Setelah berhasil mengumpulkan modal, ia memutuskan
berhenti kerja dan memulai usaha sendiri, yaitu membuka kios beras di dekat RS.
Santo Yusuf, Cicadas. Suatu saat, kios tersebut terkena operasi tibum (penertiban
umum). Kios beserta seluruh isinya diangkut oleh para petugas tibum. Saat Abah
mendatangi petugas penertiban di kantornya di Pasir Impun, ia hanya mendapati
kiosnya yang kosong tanpa barang tersisa sedikit pun. Saat itu, Abah masih
memiliki modal untuk memulai usaha baru. Ia memutuskan untuk melanjutkan
usaha dengan membeli 3 buah becak dan mencoba berjualan sayur secara keliling
dengan menggunakan pikulan. Setelah beberapa lama berjualan, ia kembali terkena
operasi penertiban. Ia menuturkan, saat sedang beristirahat di trotoar, petugas
tibum mengangkut diri dan barang dagangannya ke atas truk serta
meninggalkannya di luar kota, daerah ke arah Lembang16. Hingga ia harus berjalan
kaki kembali ke Kota Bandung. Kerugian yang dideritanya terus berlanjut, ia juga
harus kehilangan ketiga becaknya yang terkena razia. Para petugas mempreteli
seluruh becaknya dan meninggalkannya tanda roda. Abah merasa terpukul atas
kejadian itu. Ia mengakui bahwa penertiban terakhir itu telah membuat keadaan
ekonominya terpuruk dan tidak mampu bangkit untuk memulai usaha baru
kembali. Selama lebih dari 20 tahun terakhir ini, ia terpaksa bekerja sebagai buruh
penarik becak dan tinggal di atas becak setiap harinya. (Catatan wawancara, 2
Agustus 2008)

Dari kasus di atas dapat menjadi contoh bahwa kebijakan seperti ini hanya akan
meningkatkan jumlah warga miskin di kota bandung sendiri. Dengan meningkatnya

Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung 14


warga miskin tentunya berdampak pada meluasnya wilayah Kumuh (Squatter) di
kota Bandung sendiri.

4.1.3. Analisis Eksternalitas


Rosen (1988) menyatakan bahwa eksternalitas terjadi ketika aktivitas suatu
satu kesatuan mempengaruhi kesejahteraan kesatuan yang lain yang terjadi diluar
mekanisme pasar (non market mechanism). Ekternalitas ada dua, eksternalitas
positif dan eksternalitas negatif. Jika dilihat dari Sektor Informal khususnya PKL di
Bandung. Eksternalitas negatifnya adalah secara tidak langsung keberadaan PKL
memakan badan jalan, sehingga menjadi hambatan samping terhadap sarana
transportasi jalan di Kota Bandung. Selain itu, secara ekonomi sektor informal
menjadi bukti ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan lapangan
perkerjaan maupun meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Sehingga
eksetrnalitas negatifnya berimplikasi kepada pemerintah sendiri yang kesulitan
menertibkan PKL khususnya di Bandung. Persoalan ekonomi yang berkaitan
dengan pendapatan untuk kebutuhan hidup memang sukar dipaksa untuk berhenti.
Karena yang dipertaruhkan adalah keberlangsungan hidup. Oleh karena itu sektor
informal akan terus ada berbanding lurus dengan ketidakmampuan pemerintah
mengakomodasi pelakunya.
Eksternalitas positif dari sektor informal di Bandung adalah memberikan
alternatif lain dalam pemilihan konsumen. Dengan demikian PKL mampu menjadi
pilihan alternatif barang yang terjangkau secara harga maupun secara jarak
(akses). Secara ekonomi PKL juga secara tidak langsung menjadi ladang bagi kaum
urban dalam penyediaan lapangan kerja yang sesuai. Artinya PKL menjadi jawaban
atau menimbulkan gairah dalam perekrutan tenaga kerja perkotaan. Secara sosial
keberadaan PKL mampu memicu kebudayaan jajanan lokal di masyarakat.
Masyarakat sebagai konsumen memiliki sejarah yang dibawa oleh para PKL dalam
bentuk jajanan khas lokal sehingga PKL memicu tergeraknya kesadaran
masyarakat akan sejarah lokalnya.

4.2. Konsep Penanganan Persoalan Ekonomi Kota


Setiap kota pasti memiliki permasalahan yang sangat polemik bagi Pemerintah
Kota setempat. Masalah yang sangat mepengaruhi kota baik positif maupun negatif
antara lain demografri, pendidikan, ekonomi dan urbanisasi. Perkembangan masalah

Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung 15


masalah tersebut harus segera ditangani terlebih apabila bisa berdampak sangat buruk
bagi keberlangsungan perkembangan serta pembangunan kota. Masalah ekonomi yang
ada di wilayah studi ini harus segera di tuntaskan dan harus menemui solusi yang tepat
tanpa merugikan pihak manapun baik pemerintah, swasta dan yang terpenting
stakeholder terkait karena mengingat Indonesia mempunyai sistem demokrasi sehingga
mengharuskan pemerintah mendengar suara masyarakat. Peran masyarkaat sendiri
sangat vital dan sangat berpengaruh bagi pertumbuhan di segala aspek baik
transportasi, fasilitas, prasarana dan bahkan bisa mengubah fisik dasar dari kota
tersebut.
Permasalahan relokasi PKL sendiri penulis sudah melakukan tinjauan terhadap hal
itu dan mencoba untuk mendapatkan beberapa inovasi yang nantinya bisa menjadi
rekomendasi untuk pemerintah setempat. Hal pertama yang harus dilakukan yaitu
menentukan titik relokasi bagi PKL sendiri.
Penentuan titik relokasi sendiri harus memperhatikan aspek kenyamanan dan
keamanan bagi dari segi sarana dan prasarana. Pemerintah kota setempat juga harus
mampu menunjang dengan memberikan kemudahan dalam segi aksesbilitas bagi
konsumen yang ingin menuju pasar tradisional yang sudah di relokasi. Selain itu
pemerintah juga harus mampu mempublikasikan serta mem-branding titik relokasi
tersebut sehingga masyarakat tertarik untuk mengunjungi titik relokasi yang baru
tersebut. Masyarakat sendiri mempunyai hak suara yang pantas untuk di
pertimbangkan karna sangat penting peran masyarakat bagi pertumbuhan kota,
sehingga penulis menyarankan tidak hanya menggunakan metode top down tetapi
harus melakukan kajian sebelumnya dengan metode bottom up yang berupa FGD
stakeholder terkait dan harapannya pemerintah kota tersebut mampu paham dan peka
akan keinginan masyarakatnya.
Permukiman kumuh sendiri berangkat dari urbaniasasi yang kurang terkontrol.
Pemerintah seharusnya memaksimalkan dalam pendataan setiap tahunnya dan harus
terus di monitoring secara berkala dan sistem yang ketat agar setiap pelaku urbanisasi
tidak merugikan keindahan estetika kota. Hal ini juga didukung oleh sistem E- KTP yang
mana berguna membantu bagi pemerintah kota setempat dalam mengontrol laju
urbanisasi yang ada. Pemerintah setempat di rekomendasikan untuk melakukan
persiapan atau penanganan sejak dini dengan cara membuat rumah susun bagi pelaku
urbanisasi yang nantinya di monitoring secara berkala. Monitoring secara berkala ini

Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung 16


bertujuan untuk melihat perkembangan atau peningkatan sang pelaku urbanisasi baik
dalam segi ekonomi, pendidikan, taraf hidup, dll. Jika dalam pendataan statistik yang
dilakukan dirasa tidak ada peningkatan dan bahkan merugikan kota pemerintah
setempat dapat mengenakan sanksi bagi pelaku urbanisasi tersebut dengan cara
mengemballikan ke tempat asalnya.
MasalahPKL sendiri penulis merekomendasikan pemerintah setempat membuat
suatu kawasan tersendiri bagi centra PKL. Rekomendasi seperti ini bertujuan agar
mengurangi adanya hambatan samping bagi sirkulasi jala atau aksesibilitas dari kota itu
sendiri. Selain itu pemerintah harus membuat suatu tarikan agar masyarakat setempat
ingin mengunjungi kawasan centra PKL yang sudah di tetapkan. Tarikan tersebut bisa
berupa pasar malam yang berisi wahana atau permainan malam bagi anak anak yang
nantinya bisa berdampak pada pendapatan sang pelaku PKL itu sendiri.
Rekomendasi dari penulis yang terakhir ialah pemerintah harus lebih mengekspor
sumber daya alam agar pelaku industri maupun pihak swasta terkait mau berinvestasi
ke kota tersebut hal ini akan berdampak bagi terbukanya pintu lapangan kerja baru
yang sangat bisa berdampak positif bagi masyarakat kota sendiri.

Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung 17


BAB V
LESSON LEARNED
Dalam penulisan analisis persoalan sektor informal ini, penulis mendapatkan
lesson learned yang dijabarkan dalam poin-poin berikut.
Untuk melakukan pergerakan yang sangat mempengaruhi stakeholder
alangkah baiknya pemerintah melakukan metode Bottom Up terlebih dahulu
setelah itu di lakukan kajain yang outputannya bisa di terapkan langsung
(Top Down).
Peran PKL sangat vital bagi pertumbuhan ekonomi kota karena merupakan
lumbung lumbung kecil bagi kaum miskin.
Pemerintah lebih mengekspolr sumber daya alam yang bertujuan menarik
investor industri maupun pariwisata.
Aksesbilitas menjadi aspek penting dalam penentuan titik relokasi PKL.
Kebijakan pemerintah harus di taati oleh seluruh masyarakat karena untuk
kepentingan bersama.

Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung 18


DAFTAR PUSTAKA
http://digilib.unila.ac.id/7717/17/Bab%20II.pdf
http://digilib.unila.ac.id/255/4/BAB%20II.pdf
PKAI/Kajian Kebijakan Pengelolaan Sektor Informal Perkotaan di Beberapa
Negara ASIA/2007
Hidayati, Tuti. Pekerja Sektor Informal dan Pengembangan Wilayah di Kota Binjai.
Pekerja Sektor Informal dan Pengembangan Wilayah
Budi, Gede. Wonarso, Haryo. Sektor Informal yang Terorganisasi: Menata Kota
untuk Sektor Informal. Kelompok Keahlian Perencanan dan Perancangan Kota. SAPPK.
ITB.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28349/4/Chapter%20II.pdf
http://ugm.ac.id/id/berita/1756-peran.sektor.informal.di.indonesia
http://feridwicahyo.students.uii.ac.id/2009/03/01/squatter-area-slum/
http://elib.unikom.ac.id/download.php?id=9015

Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung 19

Você também pode gostar