Você está na página 1de 55

Teknik Kimia

Universitas Diponegoro, Semarang

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Energi merupakan syarat utama agar suatu proses bisa terjadi yang mempengaruhi
besar-kecilnya biaya produksi yaitu menyangkut penggunaan bahan bakar. Oleh karena
itu, perlu selalu diusahakan pengoperasian furnace yang efisien dengan konsumsi bahan
bakar yang seoptimal mungkin.
Panas yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar harus dapat terdistribusi
dengan rata ke Crude Oil. Selain itu, panas yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar
harus selalu stabil agar temperatur proses juga stabil dan produk yang dihasilkan juga
selalu sesuai standard. Terlebih lagi karena alat ini telah beroperasi sejak tahun 1983,
maka perlu dilakukan evaluasi untuk mengetahui kondisi aktual furnace saat ini. Kerja
furnace juga berpengaruh pada faktor konsumsi pemakaian energi (bahan bakar) dan dari
segi biaya pengoperasian suatu kilang minyak dan gas bumi.
Performance suatu furnace dapat dikatakan baik jika furnace yang digunakan
mampu memberikan panas yang sebanyak-banyaknya serta efektif, dan dapat menekan
panas yang hilang seminimal mungkin sehingga dapat meningkatkan efisiensi furnace.
Jika kondisi aktual furnace pada saat ini sudah mengalami penurunan jauh dari semula,
dan hal itu berpengaruh terhadap efisiensi serta produktifitas kilang, maka perlu dilakukan
pembenahan terhadap furnace agar efisiensi dan produktifitas dapat tetap terjaga dan
beroperasi untuk jangka waktu yang lebih lama.
1.2. Perumusan Masalah
Dalam mengevaluasi furnace 011F101A/B terdapat beberapa hal diperhatikan,
yaitu:
Neraca panas (heat balance), yang meliputi: panas masuk furnace, panas keluar
furnace, panas diserap crude dan steam.
Excess air dalam setiap cell.
Efisiensi thermal secara keseluruhan.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
1
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
2
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

1.5. Tujuan
Tujuan dari penulisan laporan ini adalah:
Mengetahui evaluasi performance furnace dari furnace 011F101A/B di FOC II,
meliputi heat balance dan efisiensi.

1.6. Manfaat
Dengan mengetahui kinerja dari 011F101A/B pada saat ini, maka dapat dilakukan
evaluasi lanjutan dan pembenahan-pembenahan yang dapat meningkatkan efisiensi dan
produktifitas furnace, serta terhadap efisiensi pemakaian bahan bakar.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
3
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Furnace

Dalam industri minyak bumi maupun industri kimia lainnya sering kali dibutuhkan
suatu peralatan untuk memanaskan fluida yang biasanya disebut furnace ( refinery heater /
furnace ). Panas yang dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar akan dipindahkan
kepada fluida yang mengalir dalam tube tube yang ada dalam furnace.
Furnace terdiri dari struktur bangunan yang berdinding plat baja yang bagian
dalamnya dilapisi oleh material tahan api. Panas yang digunakan dalam furnace berasal
dari panas pembakaran secara langsung dan juga radiasi radiasi panas yag dipantulkan
kembali ke tube tube yang ada dalam furnace sehingga akan mengurangi kelebihan
panas.
Suatu pemanas berapi pada dasamya terdiri dari sebuah ruang pembakaran yang
menghasilkan sumber kalor dan pipa pemanas (tube) dimana mengalir fluida yang
menyerap kalor. Prinsip dasar kerja alat ini sebenarnya termasuk alat pemindah panas
(Heat Transfer Equipment). Alat pemindah panas lainnya yang juga banyak digunakan di
industri adalah alat penukar panas (Heat Exchanger), berbeda dengan furnace, kalor yang
dipindahkan bukan dari pembakaran langsung melainkan dari suatu fluida panas.
Pipa pemanas dalam furnace, biasanya dipasang dalam barisan sejajar vertical atau
horizontal dan merapat pada dinding bagian dalam.Perpindahan panas yang terjadi di
ruangan pembakaran terutama terjadi karena radiasi, dan disebut dengan seksi radiasi
(Radiant Section), sedang di saluran gas hasil bakar, terutama oleh konveksi dan disebut
dengan seksi konvekdsi(Convection Section). Untuk mencegah supaya gas buangan tidak
terlalu cepat meninggalkan ruang konveksi pada cerobong seringkali dipasang penyekat
(damper). Perpindahan panas melalui pipa pemanas (tube) dikenal sebagai konduksi.
Untuk memperoleh efisiensi yang tinggi pada permukaan bagian dalam ruang
bakar dilapisi dengan isolator atau material refraktori yang memiliki stabilitas thermal
yang sangat baik, sehingga kehilangan panas dari ruang pembakaran dapat dihalangi,
sedangkan permukaan luar dan bagian dalam pipa dijaga agar selalu bersih, sehingga

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
4
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

perpindahan panas berlangsung tanpa hambatan. Lapisan refraktori ini akan melindungi
dinding pelat baja serta berfungsi sebagai struktur penguat atau penyangga serta
memantulkan panas radiasi ke permukaan pipa pemanas (tube).
Untuk mengetahui dan mengontrol kesempurnaan proses pembakaran, furnace
dilengkapi dengan instrumentasi, antara lain alat pengukur tekanan furnace, analisa karbon
dioksida, karbon monoksida, nitrogen oksida (NOx), oksida belerang dan oksigen
kelebihan udara yang semuanya merupakan hasil pembakaran. Selain itu furnace juga
dilengkapi dengan lubang intip (peep hole) untuk ruang pembakaran dan proses
pembakaran.
Bahan bakar yang digunakan di furnace biasanya diambil dari fraksi-fraksi
minyak, seperti residu atau refinery gas. Sumber panas yang dihasilkan dari pembakaran
bahan bakar (fuel) dapat berupa hidrokarbon cair dan gas. Dalam hal ini berupa refinery
fuel gas, natural gas, LPG, dan fuel oil dengan menggunakan udara sebagai sumber
oksigen. Dalam pembakaran bahan bakar dikabutkan (atomized) oleh sebuah pembakar
(burner), dengan tujuan membuat diameter partikel semakin halus sehingga memudahkan
reaksi pembakaran dengan udara dalam proses pembakaran.
Fluida kerja yang dipanaskan umumnya dialirkan terlebih dahulu melalui seksi
konveksi yang terletak diantara ruang bakar dan cerobong untuk memanfaatkan panas
yang terkandung dalam gas hasil pembakaran. Selanjutnya, fluida dialirkan ke dalam
ruang bakar dimana perpindahan panas terjadi secara radiasi (radiant fire box) melalui
bagian dalam pipa pemanas (tube) yang terletak pada bentangan horisontal atau vertikal di
sepanjang lantai dinding samping atau atas ruang pembakaran, tergantung pada
konfigurasi tata letak yang memungkinkan pada penerimaan secara langsung radiasi panas
dari nyala api pembakaran serta pemantulan kembali panas dari permukaan di dinding
refractory ke permukaan pipa pemanas (tube).

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
5
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

II.2. Klasifikasi Furnace (Furnace)


Klasifikasi furnace dapat juga dibagi menurut cara pemasokan udara dan
pembuangan gas hasil pembakaran (Flue Gas), sebagai berikut :
- Furnace dengan Draft Alami (Natural Draft).
- Furnace dengan Draft Induksi (Induction Draft).
- Furnace dengan Draft Paksa (Forced Draft).
- Furnace dengan Draft Berimbang (Balance Draft).
1. Furnace dengan Draft Alami (Natural Draft)
Kondisi gas hasil pembakaran yang berada di dalam ruang bakar dan cerobong
mempunyai temperature yang lebih tinggi dari udara disekitarnya, sehingga densitasnya /
kerapatan massanya lebih kecil. Keadaan ini akan menyebabkan gas tersebut mengalir ke
atas dengan sendirinya sehingga menimbulkan gaya angkat (lifting) secara alami.
Gaya angkat dari gas hasil pembakaran tersebut menimbulkan kevacuman / draft
yang mengakibatkan terjadinya beda tekanan antara di ruang bakar dengan atmosfir,
sehingga aliran udara akan masuk dari atmosfer ke dalam ruang pembakaran furnace
tersebut.
Furnace dengan system Natural Draft akan menyedot udara pembakaran masuk ke
ruang bakar dan gas hasil pembakaran naik ke atas melalui cerobong (stack).

Temp flue gas to stack

Stack Damper Stack Damper

Convection section Convection section

13-F-101 12-F-101
Radiant Section Radiant Section

Fuel Air comb. Fuel Air comb.


30 - 40oC 30 - 40oC
NATURAL DRAFT SYSTEM

Gambar II.1. Furnace ARHDM dengan System Natural Draft.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
6
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

Kondisi di ruang pembakaran vacum / negative pressure sekitar -25 s/d -2


mmH2O, besarnya kevacuman hasil Natural Draft adalah fungsi dari tinggi cerobong
dan pengaturannya berdasarkan bukaan stack damper.
Tingkat kevacuman di beberapa titik ruang pembakan berbeda-beda dengan
kondisi yang paling rendah di arch (top radiant), maka pada titik ini dijadikan sebagai
tolok ukur pengaturan kevacuman, apabila di arch kondisinya vacum maka di titik lain
akan lebih vacum lagi.
Untuk mengetahui tingkat kevacuman di Furnace maka dilengkapi dengan Draft
Indicator dengan range 25 s/d - 25 mmH2O.
Beberapa titik kondisi kevacuman di Furnace Natural Draft sbb :
1. Bottom Furnace (at burner)
2. Arch (top radiant)
3. Before damper (posisinya di bawah stack damper)
4. After damper (posisinya di atas stack damper)

Gambar II.2 Typical draft propile pada Furnace Natural Draft.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
7
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

2. Furnace dengan Draft Induksi (Induction Draft )


Pada Furnace jenis ini digunakan blower / fan untuk membantu mengeluarkan gas
hasil pembakaran dari cerobong / stack. Cerobong yang digunakan tidak terlalu tinggi,
sehinggga perlu dibantu dengan isapan blower pada jalur cerobongnya. Karena volume
gas hasil pembakaran relatif besar, maka kapasitas dan harga blower juga besar dan mahal.

Temp flue gas to stack


165 - 200oC

Stack damper

Temp flue gas inlet Exchanger


400 - 500oC
Temp flue gas out Exchanger
165 - 200oC
Combustion Chamber
vacuum

Induce Draft Fan

Fuel Air comb.


30 - 40oC
INDUCE DRAFT SYSTEM

Gambar II.3 Induce Draft system

3. Furnace dengan Draft Paksa ( Forced Draft )


Pada furnace jenis ini digunakan blower untuk membantu memasukkan udara ke
dalam ruang pembakaran. Pada umumnya kondisi draft di ruang pembakaran (combustion
chamber) positive pressure sekitar 100 300 mmH2O tergantung dari differential
pressure alat yang dilalui (air pre heater, air register dan tingginya stack).
Terdapat dua system forced draft yang biasanya diaplikasikan yaitu Forced draft
system dengan dan tanpa APH (air preheater).
Untuk forced draft system yang tanpa APH biasanya dilengkapi dengan
economizer seperti yang ada di Boiler Kilang UP-IV.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
8
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

Temp flue gas to stack


165 - 200oC

Stack damper

Combustion Chamber
(positive pressure)

Temp flue gas inlet APH Temp flue gas outlet APH
400 - 500oC 165 - 200oC

APH

Air inlet APH


Air outlet APH 30 - 40oC
200 - 400oC Force Draft Fan
Fuel

FORCED DRAFT SYSTEM WITH AIR PRE-HEATER

Gambar II.4 Forced Draft system yang dilengkapi APH (air preheater).

Temp flue gas to stack

Ecomizer

Combustion Chamber
(positive pressure)
100 - 300 mmH2O

Force Draft Fan


34oC
o
Fuel Air Comb. (30 - 40 C)

FORCED DRAFT SYSTEM WITHOUT AIR PRE-HEATER

Gambar II.5 Forced Draft system tanpa APH (air preheater).

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
9
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

4. Furnace dengan Draft berimbang ( Balance Draft System)


Pada furnace tipe ini dipasang dua buah blower / fan yang masing-masing
berfungsi sebagai induced draft fan (IDF) dan forced draft fan (FDF). Flue gas hasil
pembakaran yang temperaturnya masih tinggi di tarik oleh IDF yang sebelumnya panas
tersebut dimanfaatkan untuk memanaskan udara pembakaran yang disupply oleh FDF dan
masuk ke dalam ruang pembakaran melalui ducting dan air register setiap burner.
Pertukaran panas antara flue gas dan combustion air di dalam Air preheater (APH).
Walaupun biayanya relatif lebih mahal, tetapi mempunyai keuntungan aliran udara dan
gas buang (draft) dapat diatur atau dibuat seimbang (balance) serta efisisensi furnace lebih
tinggi mencapai 80 90%, karena temperature flue gas to stack dapat direduce hingga
mencapai 190oC dan excess air sekitar 10 15% eqiv dg O2 excess 2 2,5% vol in flue
gas yang ditunjukan oleh online O2 analyzer atau hasil analisa Orsat / portable flue gas
analyzer.

Temp flue gas to stack


180oC

Stack damper

Temp flue gas


400 - 500oC

Temp flue gas outlet APH


Temp flue gas inlet APH 165 - 200oC
580 - 600oC

IDF
APH

Air inlet APH


Air outlet APH 30 - 40oC FDF
o
Fuel Air comb. 150 - 300 C

BALANCE DRAFT SYSTEM WITH AIR PREHEATER

Gambar II.6 Balance draft system dengan APH (air preheater).

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
10
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

II.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Desain Furnace


Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam furnace, diantaranya :
Furnace jenis cabin tidak dapat digunakan jika dikehendaki pemanasan fluida
pd suhu tinggi serta waktu alir fluida yang singkat.
Furnace vertical cylindrical mempunyai kemampuan / kekurangan yang sama
dengan cabin Furnace tetapi cukup ekonomis untuk beban kalori di bawah
60 80 MM BTU / jam.
Harga furnace yang menggunakan bahan bakar minyak (fuel oil) lebih mahal 5
15% dibandingkan dengan bahan bakar gas.
Jika menggunakan bahan bakar minyak (fuel oil) maka kelebihan jumlah udara
( excess air ) yang diperlukan sekitar 20 s/d 25%, jika bahan bakar gas yang
digunakan maka kelebihan udara yang diperlukan adalah sekitar 10 - 20%.
Furnace vertical cylinderical biasanya tidak dilengkapi dengan air preheater (
pemanas udara pembakaran ), karena membutuhkan duct ( saluran gas buang
) yang panjang, kecuali bila dilakukan penggabungan 2 atau lebih dalam satu
saluran gas buang.
Furnace type balance draft dengan air APH (air preheater) dilengkapi dengan
IDF dan FDF, apabila terjadi trouble APH furnace harus bisa dioperasikan
dengan by pass APH dengan kapasitas 100% dan jika terjadi trouble FDF / IDF
furnace beroperasi dengan system natural draft dengan kapasitas 80% (contoh
furnace CDU dan reformer yang ada di UP-VI Balongan).
Cabin furnace dan high temperatur furnace membutuhkan daerah yang lebih
luas dibanding dengan vertical cylinderical curnace.
Untuk Cabin Furnace yang menggunakan susunan tube mendatar, perlu
dipertimbangkan daerah untuk mencabut tube.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
11
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

II.4. Komponen Komponen Utama Furnace

Gambar II.7 Komponen utama & accesories Furnace.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
12
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

Furnace terdiri dari beberapa komponen utama dan accesories yang meliputi :
1. Burner
Burner atau sering disebut burner assembly adalah peralatan untuk memasukkan
bahan bakar (fuel) dan udara pembakaran (air combustion) ke dalam ruang pembakaran
(combustion chamber) dengan kecepatan (velocity), pengadukan (turbulence) serta
pengaturan ratio bahan bakar / udara yang sesuai untuk menjaga stabilitas pembakaran.
Bagian bagian burner terdiri dari :
- Burner tip,
- Pipe & connections assy,
- Burner throat,
- Burner tile (muffle block),
- Burner casing,
- Pilot burner,
- Air register assy (primary & secondary), dsb.
Jenis jenis burner sesuai dengan bahan bakar yang digunakan, yaitu :
Burner Bahan Bakar Gas (Fuel Gas Burner)
Fuel Gas burner dapat dibagi menjadi dua type yaitu :
a. Inspirating gas burner
Type burner ini memanfaatkan energi kinetic yang dihasilkan dari ekspansi
bahan bakar yang melalui orifice untuk menghisap dan mencampurkan 50 - 60%
udara pembakar (primary air) sebelum proses pembakaran pada ujung nozzle
burner.
Keunggulan dari tipe ini :
- Fleksibilitas operasi sangat baik
- Nyala api pendek dan pattern - nya tajam.
- Ukuran lubang-lubang pada nozzle burner amat kritikal, di mana
pembesaran pada lubang tersebut menyebabkan nyala api tidak stabil.
Kelemahan dari tipe ini :
- Tekanan fuel gas yang digunakan harus besar, yaitu 10 psig (0,5 1,5
kg/cm2)

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
13
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

- Jika tekanan gas kurang dari 10 psig atau kandungan Hydrogen dalam
bahan bakar tinggi, maka api dapat menjilat balik orifice pencampur.
- Orifice gas dan lubang-lubang (drill) nozzle burner terletak di zone yang
panas, sehingga relatif mudah tersumbat.
- Tingkat kebisingan (noise level) relatif tinggi.

Primary air
Register

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
14
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

Gambar II.8 Burner assembly Furnace ARHDM.


b. Raw gas burner
Pada type ini fuel gas langsung dibakar tanpa pencampuran terlebih dahulu
dengan udara di dalam burner, tapi pencampuran udara langsung di ruang
pembakaran.
Keunggulan dari tipe ini :
- Turn down ratio besar, yaitu kemudahan dan kesinambungan pengaturan
laju pengapian diantara laju minimum dan maksimum adalah paling besar.
- Dapat bekerja pada tekanan gas yang rendah tanpa jilatan balik (flash back)
sekitar 0,2 0,5 kg/cm2.
- Tingkat kebisingan relative lebih rendah, karena tekanan rendah.
Kelemahan dari tipe ini :
- Fleksibilitas terbatas.
- Ukuran lubang-lubang relative lebih besar sehingga tidak mudah tersumbat
dan lubang pada burner terletak pada zone dingin.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
15
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

Burner Bahan Bakar Cair (Fuel Oil Burner)


Burner yang menggunakan bahan bakar minyak (fuel oil), dilengkapi dengan
atomizing device yaitu suatu alat pendispersi massa cairan menjadi butiran sangat halus,
untuk mempercepat proses pemanasan dan penguapan bahan bakar sehingga terbakar
lebih sempurna. Fungsi utama Fuel Oil Burner adalah untuk pengkabutan bahan bakar cair
dan mencampurnya dengan udara sehingga terjadi proses pembakaran yang optimal dan
efisien.
Pengkabutan fuel oil (atomising) dapat dilakukan dengan cara :
- Menggunakan pompa tekanan tinggi (mechanical atomizing).
- Menggunakan tekanan steam (steam atomizing), atau
- Menggunakan tekanan udara (air atomizing).
Yang lazim digunakan di Kilang Pertamina adalah steam yang bertekanan (steam
atomizing) menggunakan MP steam.

Burner Bahan Bakar Kombinasi (Fuel Oil & Gas Burner).


Tipe ini memungkinkan burner dipakai untuk bahan bakar fuel oil atau fuel gas
atau kombinasi keduanya. Udara primer (untuk fuel oil) dan udara sekunder (untuk fuel
gas) dapat dikendalikan secara terpisah, sehingga dapat memberikan hasil pembakaran
yang efisien.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
16
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

Fuel Oil Fuel Gas


Burner tip Burner tip

Gambar II.9 Type Burner Combinasi Fuel Oil & Gas.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
17
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

2. Dinding Furnace
Pada umumnya dinding furnace terdiri dari beberapa lapisan tergantung
keperluannya.
- Lapisan sebelah luar, berupa dinding baja yang berfungsi sebagai penahan
struktur furnace.
- Lapisan sebelah dalam, terdiri dari satu atau dua lapisan
Lapisan yang langsung terkena api adalah fire brick atau batu tahan api
(refractory), sedangkan lapisan yang tidak langsung terkena api dipasang
insulation brick atau batu isolasi untuk menahan adanya kehilangan panas
melalui dinding tersebut. Lapisan sebelah dalam furnace modern,
umumnya terdiri dari satu lapis yang berfungsi sekaligus sebagai fire brick
dan insulation brick.
Pada pemasangan batu tahan api, maka antara batu tahan api dengan batu tahan api
lainnya diberi jarak 1-2 inch dan diisi dengan fire asbestos (rock wool / ceramic wool)
untuk memberikan ruang pada proses pemuaian. Agar batu tahan api tidak mudah rontok,
maka pada dinding baja dipasang tulang / anker (anchor) yang berfungsi untuk
mengkaitkan batu tahan api tersebut ke dinding baja.
Pada pemasangan refractory baru atau pemasangan furnace baru, maka sebelum
furnace tersebut dioperasikan, diperlukan prosedur dry out yaitu suatu prosedur
pemanasan secara bertahap untuk menghilangkan moisture dan pemuaian refractory secara
perlahan-lahan, sehingga refractory tersebut tidak rontok dan siap untuk dioperasikan
pada temperature yang diinginkan.

3. Pipa-pipa Pembuluh (Tube Coil)


Tube coil merupakan bagian terpenting dari furnace. Tube-tube tersebut terpasang
secara parallel (pass) di convention maupun radiation section.
Fluida yang dipanaskan dialirkan di dalam tube-tube, di mana mula-mula masuk di
convection section, kemudian ke radiation section dengan tujuan agar diperoleh proses
perpindahan panas secara bertahap.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
18
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

Pengaturan aliran fluida di dalam pass merupakan hal yang sangat penting untuk
diperhatikan. Fluida yang mengalir di dalam tube tidak boleh di bawah desain minimum
pass flow. Minimum pass flow adalah jumlah minimum fluida yang diperbolehkan
mengalir di dalam pass, sehingga tidak menimbulkan kerusakan tube karena
overheating. Minimum pass flow dapat dimonitor dan dihitung sesuai dengan Turn
Down Ratio (TDR), di mana TDR biasanya lebih dari 50% kapasitas desain.
Bagian dari tube yang memerlukan perhatian khusus pada saat furnace
dioperasikan adalah plug header atau return bend berupa potongan pipa U yang
disambungkan dengan cara pengelasan. Plug header adalah suatu fasilitas yang dipakai
pada saat overhaul atau inspeksi, sedangkan welded return bend adalah fasilitas welding
dari pass yang menghubungkan aliran fluida dari pass satu ke pass lainnya.
Plug header maupun welded return bends merupakan bagian yang terbuat dari besi
tuang atau besi tempa yang mempunyai potensi terjadinya kebocoran, maka bagian ini
ditempatkan di luar combustion chamber atau ruang pembakaran, sehingga terhindar
dari pemanasan langsung. Pada tempat ini dilengkapi snuffing steam untuk mematikan
api bila terjadi kebocoran yang menimbulkan kebakaran.
Menurut API Recommended Practice 530, ada lima parameter yang harus
diperhatikan untuk pemilihan pipa-pipa/tube :
1. Desain life time = 100.000 jam
2. Desain metal temperature dari tube harus didasarkan pada maksimum metal
temperature.
3. Desain tube metal temperature harus di atas calculated temperature sebesar
min. 14oC (temperature allowance).
4. Corrosion allowances harus disesuaikan dengan jenis materialnya.

5. Elastic range thermal stress limit.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
19
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

Proses pertukaran panas yang terjadi di dalam furnace di bagi menjadi dua section
yaitu:
a. Radiant Tube, yaitu pipa-pipa yang menerima panas langsung dari nyala api di ruang
pembakaran maupun pantulan panas dari batu tahan api. Karena pipa-pipa di daerah
radiant section ini menerima panas yang cukup tinggi, maka untuk mengukur
panasnya dipasang Thermocouple, sehingga tube skin temperatur dapat dideteksi dan
dikendalikan agar pada operasinya tidak melebihi maksimum tube skin temperatur.
b. Convection Tube, yaitu pipa-pipa yang menerima panas dari flue gas hasil
pembakaran yang melalui dinding luar pipa-pipa di daerah convection section.
Agar proses pertukaran panas dari flue gas ke pipa-pipa mejadi lebih efisien, maka
selain dengan mengatur aliran flue gas sedemikian rupa, pada permukaan luar pipa-
pipa tersebut dilengkapi dengan sirip-sirip atau fins sehingga akan memperbesar luas
permukaannya. Tetapi karena flue gas hasil pembakaran tersebut membawa jelaga
(terutama jika menggunakan fuel oil) yang mungkin akan menempel pada sirip-sirip
pipa, maka untuk membersihkan jelaga yang dapat menyebabkan terhambatnya
proses pertukaran panas dipasang soot blower yang dioperasikan setiap periode waktu
tertentu.
Ada tiga jenis fins yang sering digunakan, yaitu :
- Serated fins, dengan kisaran ketebalan sekitar 1-5 mm dan ketinggian 0.25 mm dan
kerapatan 2-7 sirip per inchi
- Solid fins, dengan ukuran yang sama dengan serated fins, lebih kuat, tetapi laju
perpindahan panas lebih kecil
- Stud, sirip yang berbentuk seperti paku yang melekat tegak lurus pada permukaan
pipa. Ukuran berkisar 10-13 mm diameter, 0.5-0.2 tinggi dan kerapatan maksimum
3 sirip per inchi.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
20
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

Gambar II.10 Jenis fins tube yang sering dugunakan di furnace.


Pada tabel berikut contoh material dari fins & temperatur maximum operasi :
Extended Surface Material Temperatur oF

Fins : Carbon Steel 850


5 % Cr steel 1100
11-13 % Cr steel 1200
18 % Cr 8% Ni steel 1500
Studs : Carbon Steel 850
5 % Cr steel 1100
11-13 % Cr steel 1200
18 % Cr 8% Ni steel 1500

4. Combustion Air Preheater (APH)


Furnace-furnace modern, biasanya dilengkapi dengan Combustion Air Preheater.
Peralatan ini berfungsi untuk memanfaatkan sisa panas dari flue gas setelah melewati tube
di dalam convention section, kemudian dimanfaatkan untuk memanasi udara pembakaran
yang akan masuk ke masing-masing burner dan selanjutnya ke ruang pembakaran.Dengan
demikian, panas yang seharusnya dibuang lewat stack atau cerobong furnace dapat
dipindahkan ke udara pembakar, sehingga efisiensi furnace menjadi lebih baik dari 70 %
menjadi 90 %.
Pertukaran panas dari flue gas ke udara pembakar dilakukan pada tubular heat
exchanger atau sekarang ini sudah ada compact plate exchanger yang dilengkapi dengan
damper dan by-pass untuk mengendalikan temperature flue gas keluar stack.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
21
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

Temperatur flue gas yang keluar stack dikendalikan pada kisaran > 160 oC (dew
point), di mana pada temperature lebih kecil dari 160oC, SO2 hasil dari reaksi pembakaran
yang terkandung di dalam flue gas akan terkondensasi sehingga menyebabkan korosi asam
pada saluran flue gas (duct) atau stack.

Gambar II.11 APH type tubular dan aplikasinya di Furnace CDU

Pemeliharaan pada system APH dipasang by pass damper, sehingga apabila terjadi
kendala pada APH atau pekerjaan cleaning, furnace by pass damper masih bisa beroperasi
dengan kapasitas 100%. Apabila yang terkendala IDF atau FDF maka furnace masih bisa
dioperasikan dengan system Natural Draft, udara masuk dari wind door (pintu udara
masuk) yang dapat dibuka pada saat kondisi furnace operasi natural draft. Pada kondisi ini
furnace dapat beroperasi sampai kapasitas 80%

Gambar II.12 Furnace dengan APH yang dilengkapi wind door

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
22
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

5. Soot Blower
Pada penjelasan sebelumnya, jelaga hasil pembakaran di dalam flue gas akan
menempel pada dinding luar pipa-pipa di daerah convection section, sehingga proses
perpindahan panas pada daerah tersebut akan terganggu dan menyebabkan efisiensi
menjadi turun, hal ini ditandai dengan naiknya temperature flue gas to stack.
Pengotoran pada convection section tersebut harus diperhatikan, terutama pada
pipa-pipa dengan sirip / fins dan pembakaran dengan menggunakan flue oil, karena
pembakaran yang menggunakan fuel oil akan menghasilkan lebih banyak jelaga (ash,
deposit, slag dll). Sedangkan untuk furnace yang hanya menggunakan fuel gas tidak
direkomendasikan menggunakan soot blower.
Untuk membersihkan jelaga tersebut dipergunakan soot blower, yaitu peralatan
elektro mekanik yang dipergunakan secara on-line untuk menembakan steam atau air
melalui nozzle, tepat pada pipa-pipa di daerah convection yang dilakukan pada periode
waktu tertentu, untuk menghilangkan jelaga, kerak dan deposit lainnya, sehingga efisiensi
furnace tetap terjaga.
Pada furnace modern pengoperasian soot blower sudah di setting dengan
menggunakan system instrumentasi sequence time yang dikendalikan dari panel, sehingga
operator tinggal menekan tombol start dan soot blower akan bekerja sesuai dengan
settingnya. Pada furnace atau boiler yang berukuran besar dipasang soot blower lebih dari
satu, sehingga setiap area tube convection dapat terjangkau oleh semburan steam untuk
menghilangkan jelaga.
Ada 3 type soot blower yang diaplikasikan di furnace dan boiler yaitu :
- Type Retractable (keluar masuk).
- Type rotary (berputar).
- Water wall & air heater soot blower

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
23
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

Gambar II.13 Aplikasi soot blower di convection section furnace & boiler.

6. Cerobong (stack)
Stack adalah bagian furnace yang berfungsi untuk mengalirkan gas hasil
pembakaran (flue gas) dari convection section ke atmosfir. Material stack biasanya terbuat
dari carbon steel yang pada bagian dalamnya dilapisi dengan refractory (castable) dan
bagian luarnya di pasang tangga untuk sarana pemeriksaan.
Penentuan tinggi stack dapat dihitung berdasarkan desain draft ruang pembakaran
dari furnace tersebut dan mempertimbangkan berdasarkan peraturan tentang Keselamatan
Kerja dan Lindungan Lingkungan (KKLL) yang berlaku. Temperatur keluar stack
diupayakan lebih besar dari 150oC (dew point sulfur) untuk menghindari adanya
kondensasi SO2 pada dinding-dinding bagian luar stack dan peralatan lainnya sehingga
menyebabkan timbulnya korosi.
Temperature dew point sulfur keluar stack dipengaruhi oleh jumlah sulfur yang
tekandung dalam fuel gas atau oil yang menjadi bahan bakar furnace tersebut. Dan
temperatur keluar stack juga dijaga lebih kecil dari 500oC, hal ini selain faktor efisiensi
furnace juga adanya peraturan yang berkaitan dengan lingkungan (KKLL).

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
24
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

Gambar II.14 Grafik hubungan temp dew point vs sulfur content fuel

7. Stack Damper
Stack damper berfungsi untuk mengatur draft di dalam ruang pembakaran. Pada
pengoperasiannya, bukaan stack damper diatur sedemikian rupa sehingga dicapai keadaan
optimal antara kesempurnaan pembakaran dan efisiensi. Pada bukaan damper yang terlalu
lebar, maka udara pembakaran yang masuk ke ruang bakar akan melebihi kebutuhan,
sehingga pembakaran akan sempurna tetapi efisiensi menjadi turun.Apabila terlalu rapat,
maka kondisi tekanan di ruang bakar menjadi cenderung positive, sehingga dapat
menimbulkan potensi bulging pada sekitar peep hole, potensi hot spot dan unsafe
condition terhadap operator.
Pada operasinya stack damper dilengkapi dengan tali penarik yang dihubungkan
ke bawah furnace sehingga mudah ditarik / dioperasikan oleh operator (manual), namun
pada furnace modern sudah diperasikan dengan motor secara remote dari DCS dengan
dilengkapi beberapa indikasi lainnya yaitu draft dan O2 excess analyzer yang secara on
line dapat dimonitor dari control room.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
25
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

Gambar II.15 Stack damper dengan tali pengatur pada Furnace Natural Draft.
8. Lubang Pengintip (Peep hole)
Lubang Pengintip adalah lubang kecil yang dibuat pada dinding ruang pembakaran
untuk mengamati keadaan di dalam ruang pembakaran seperti nyala api, warna pipa dan
batu tahan api. Peep hole dilengkapi dengan penutup dari baja dan harus selalu tertutup
setelah digunakan. Jumlah peep hole tergantung dari ukuran dan tipe furnace, yang
penting semua titik di ruang pembakaran dapat diamati dari peep hole.

Gambar II.16 Peep hole negative dan positive pressure furnace, untuk mengamati
ruang pembakaran.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
26
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

9. Instrumentasi & Control system


Umumnya yang terpasang pada suatu furnace adalah thermometer, pressure gauge,
dan on line analyzer.
a) Termometer :
Instrumen pengukur temperature ini terdapat beberapa tipe tergantung dari
kebutuhannya, diantaranya :
TI ( Temperature indicator ) untuk memantau temperature.
TR ( temperature recorder ) untuk mencatat perubahan temperature.
TC ( temperature controller ) untuk mengontrol / menjaga pada suhu tertentu atau
supaya constant
TA ( temperature alarm ) untuk memberi isyarat / peringatan bila suhu menyimpang
dari setpoint.
TS (temperature shutdown) untuk memberi peringatan bahwa penghentian alat (
shutdown ) sudah harus dilakukan.
Dalam praktek sering pula dijumpai alat-alat yang merupakan gabungan dari
padanya, seperti TIC,TRC,TRCA,TICA dsb. Lokasi termometer ini biasanya, pada jalur
udara pembakaran, di ruang pembakaran, pipa pemanas di ruang pembakaran (tube skin
temperature), ruang konveksi, ruang air preheater, jalur gas buang di cerobong, dinding
furnace, aliran fluida dalam pipa pemanas pada waktu masuk dan keluar ruang
pembakaran CIT dan COT (coil inlet & oulet temperature).

Gambar II.17 Distribusi temperature di Furnace

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
27
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

b) Manometer / pressure gauge dan draft indicator.


Banyak digunakan untuk mengukur kevacuuman / draft di ruang pembakaran
(bottom furnace, top radiant/arch, sebelum dan setelah damper), tekanan pasokan udara
pembakaran, tekanan bahan bakar gas, cair, tekanan aliran fluida masuk dan keluar ruang
bembakaraan.
Untuk pengukur tekanan (manometer / pressure gauge) biasanya menggunakan
satuan kg/cm2, bar, psi dsb, tetapi khusus untuk draft indicator dan pressure gauge di
ruang pembakaran furnace menggunakan satuan yang lebih rendah yaitu mmH2O, karena
kondisi tekanan dan kevacuuman sangat rendah.
Range draft indicator biasanya antara 25 s/d -25 mmH2O.

Gambar II.18 Pressure gauge dan draft indicator di Furnace

c ) Flue Gas On Line Analyzer


Fungsi alat ini untuk melakukan analisa kandungan oxygen, carbon dioxide,
carbon monoxide, dalam gas buangan. Cara analisanya dilakukan kontinyu serta hasil
analisanya dapat diketahui setiap saat,sehingga dari pembacaan hasil analisa tersebut dapat
diketahui mengenai kesempurnaan pembakaran yang berlangsung di ruang pembakaran.
Alat analisa yang terpasang di furnace adalah Oxygen analyzer, untuk CO dan
CO2 analyzer hanya dipasang pada furnace yang khusus seperti CO analyzer di boiler.
Pada furnace Kilang yang lama,biasanya flue gas di analisa secara rutin dengan
menggunakan Orsat atau portable flue gas analyzer. Kesempurnaan pembakaran dan

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
28
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

efisiensi furnace dapat ditentukan salah satunya dengan mengetahui kandungan O2 di flue
gas dan sebagai parameter udara excess proses pembakaran.
Pengaturan O2 excess yang optimum akan dibahas pada sesi Combustion.

Gambar II.19 Oxygen analyzer indicator di local panel dan display monitor di DCS

10. Batu tahan api (Refractory)


Refractory / batu tahan api dipasang pada bagian dalam dinding
furnace.Pemasangan refractory dilengkapi dengan anchor (pengait) supaya tidak mudah
lepas / rontok.
Refractory berfungsi :
1. Penahan panas pembakaran sehingga heat loss dari radiant section dapat
diminimize.
2. Pelindung material penahan bagian luar (plat logam dinding furnace atau boiler).

11. Kelengkapan Furnace (Accecories)


Plattform, adalah lorong tempat operator berjalan di sekeliling dinding furnace
dalam pemeriksaan kondisi operasi furnace.
Acces door (man way), digunakan pada saat pemeriksaan atau perbaikan furnace.
Explotion door, dipasang pada bagian atas radiant section sebagai pengaman
terhadap kemungkinan ekses tekanan di dalam ruang pembakaran.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
29
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

Wind box, terpasang pada dudukan burner assy, selain untuk mengatur udara
pembakaran, juga untuk mengurangi kebisingan operasi furnace.
Snuffing steam conection, terpasang pada daerah convection dan radiant, untuk
injeksi steam guna mengusir sisa fuel gas di dalam furnace pada start up maupun
shut down.

II.5. BAHAN BAKAR


Bahan bakar adalah bahan yang apabila dibakar dapat meneruskan proses
pembakaran tersebut dengan sendirinya, disertai dengan pengeluaran panas.
1. Jenis jenis Bahan Bakar
Bahan bakar yang biasa digunakan di Industri Kilang minyak adalah sebagai
berikut:
a. Gas
Gas sebagai bahan bakar bisa diperoleh dari product Refinery (Refinery Off
gas) dan dari gas alam (Natural gas).
b. Naphtha
Pada umumnya dipakai sebagai bahan bakar di Hydrogen Plant disamping
Refinery Off gas dan Natural gas.
c. LPG
Dapat dipakai sebagai bahan bakar dengan cara diuapkan terlebih dahulu di
Vaporizer dan biasanya digunakan sebagai back up / cadangan / alternative
terakhir jika Refinery Off gas dan Natural gas tidak mencukupi atau pada saat
start up Kilang.
d. Diesel / Kerosene
Pada umumnya dipakai untuk Boiler, pembangkit listrik, mesin turbin dan
biasanya dipakai pada saat initial start up mesin gas turbin.
e. Fuel Oil
Biasanya terdiri dari fraksi berat (Residue, Slurry atau Decant Oil) baik secara
individual maupun campuran dengan fraksi yang lebih ringan (distillate),
biasanya digunakan di furnace dan Boiler.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
30
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

2. Komposisi Bahan Bakar


Bahan bakar umumnya tersusun dari unsur-unsur :
C (karbon),
H (hidrogen),
O (oksigen),
N (nitrogen),
S (belerang),
Abu, dll
combustible matter : unsur-unsur kimia yang penting adalah C, H dan S, yaitu
unsur-unsur yang jika terbakar menghasilkan panas,
non-combustible matter : Unsur-unsur lain yang terkandung dalam bahan bakar
namun tidak dapat terbakar adalah O, N, bahan mineral atau abu dan air.

3. Sifat sifat Bahan Bakar


a. Nilai Bakar atau Heating Value
Nilai bakar adalah panas yang dihasilkan oleh pembakaran sempurna 1
kilogram atau satu satuan berat bahan bakar padat atau cair atau 1 meter kubik atau 1
satuan volume bahan bakar gas, pada keadaan standard.
Nilai bakar atas atau gross heating value GHV atau higher heating
value (HHV) adalah panas yang dihasilkan oleh pembakaran sempurna satu
satuan berat bahan bakar padat atau cair pada tekanan tetap, suhu 25oC, apabila
semua air yang mula-mula berwujud cair setelah pembakaran mengembun
menjadi cair kembali.
Nilai bakar bawah atau net heating value NHV atau lower heating
value (LHV) adalah panas yang besarnya sama dengan nilai panas atas
dikurangi panas yang diperlukan oleh air yang terkandung dalam bahan bakar
dan air yang terbentuk dari pembakaran bahan bakar.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
31
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

Berikut table HHV dan LHV komponen penyusus fuel gas system.
Bahan bakar Spesific Gravity HHV LHV
(udara = 1.0) kcal/kg kcal/kg

H2 0.069 34,400 29,000


CH4 0.55 13,100 11,800
C2 H4 0.975 11,900 11,100
C2 H6 1.05 12,300 11,200
C3 H6 1.50 11,600 10,800
C3 H8 1.56 11,900 10,900
C4 H8 2.03 11,500 10,700
C4 H10 2.07 11,700 10,800
C3 H12 2.63 11,600 10,700
CO 0.967 2,430 2,430
CO2 1.528 - -
N2 0.967 - -
H2O 0.621 - -

Nilai bakar dari bahan bakar di kilang utamanya ditentukan oleh ratio
carbon/hydrogen. Unsur hidrogen memiliki nilai bakar yang lebih tinggi dari unsur
karbon. Maka, jika ratio C/H lebih rendah berarti nilai bakar yang lebih tinggi. Berikut
curve hubungan antara H/C ratio dengan nilai kalor.

b. Kandungan Air di dalam Bahan Bakar

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
32
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

Air yang terkandung dalam bahan bakar padat terdiri dari :


Kandungan air internal atau air kristal, yaitu air yang terikat secara kimiawi.
kandungan air eksternal, yaitu air yang menempel pada permukaan bahan dan terikat
secara fisis. Air dalam bahan bakar cair merupakan air eksternal, berperan sebagai
pengganggu. Air dalam bahan bakar gas merupakan uap air yang bercampur dengan bahan
bakar tersebut. Air yang terkandung dalam bahan bakar menyebabkan penurunan mutu
bahan bakar karena:
Menurunkan nilai bakar dan memerlukan sejumlah panas untuk penguapan,
Menurunkan titik nyala,
Memperlambat proses pembakaran, dan menambah volume gas buang.
Keadaan tersebut mengakibatkan:
Pengurangan efisiensi heater / boiler
Menambah biaya perawatan
Menambah biaya transportasi, merusak saluran bahan bakar cair (fuel line)
dan ruang bakar.
b. Titik Nyala (flash point temperature)
Titik nyala adalah temperatur terendah di mana uap-uap yang terbentuk dari
suatu bahan bakar dapat terbakar tanpa bahan tersebut sendiri terbakar.

c. Titik Bakar (fire point temperature)


Titik bakar adalah temperatur di mana bahan bakar yang dinyalakan akan
terbakar terus menerus (biasanya kira-kira 30 - 40C lebih tinggi dari titik nyala).
d. Titik Sulut (Auto-igntion temperature)
Apabila campuran bahan bakar dimasukkan kedalam ruang bakar dan secara
bertahap dipanasi, maka akan terbakar dengan sendirinya pada suhu tertentu, suhu ini
disebut self ignition temperature atau titik sulut
Titik sulut adalah suhu terendah di mana bahan dapat terbakar dengan
sendirinya. Biasanya "temperatur operasi" lebih rendah dari titik sulut suatu bahan yang
mudah terbakar .

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
33
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

Berikut tabel flash point dan autoignition beberapa komponen fuel gas.
Flash Point Autoignition
Bahan Bakar
oC oC

Methan - 188 537


Ethan -135 472
Propan -104 470
Butan -60 365
n-Oktan 10 206
I - Oktan -12 418
n-Cetan 135 205
methanol 11 385
Ethanol 12 365

e. Viskositas atau Kekentalan


Viskositas merupakan sifat bahan bakar (fuel oil) yang sangat penting yaitu
memungkinkan bahan bakar tersebut dapat dipompakan atau tidak dan mudah
dinyalakan atau tidak (flamable). Fuel oil dijaga viskositasnya sekitar 25 44 cSt.
Untuk menjaga viskositas tersebut dengan cara mengkondisikan temperatur tanki fuel
oil tetap terjaga dengan coil pemanas dan menjaga temperatur supply (100 110oC)
menggunakan heat exchanger dengan media pemanas steam.
f. Kadar Belerang (sulfur content)
Di dalam bahan bakar terdapat sulfur yang ikut bereaksi pada proses
pembakaran dengan reaksi sbb :
S + O2 SO2
2 SO2 + O2 2 SO3
Selanjutnya SO2 dan SO3 bereaksi dengan uap air (H2O) yang berasal dari
udara pembakaran maupun dari bahan bakarnya sendiri .
SO2 + H2O H2SO3
2 SO3 + H2O H2 SO4

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
34
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

Hasil reaksi tersebut di atas terikut dalam flue gas hasil pembakaran sehingga
mempunyai sifat korosi asam. Namun tingkat korosi flue gas tersebut tergantung dari
- Konsentrasi SO3 dan H2O.
- Temperatur flue gas to stack, selalu dijaga lebih tinggi dari dew point
temperatur.
Kemudian sifat sifat bahan bakar yang lainnya seperti :
- Berat Jenis (Spesific Gravity)
- Kandungan volatile matter (VM)
- Kandungan Abu (Ash Content), dll

II.6. Proses Pertukaran Panas


Proses pertukaran panas antara sumber kalor hasil pembakaran (flue gas) dengan
fluida di dalam pipa pemanas (tube) berlangsung dengan cara radiasi, konveksi dan
konduksi.
a. Radiasi
Proses perpindahan secara radiasi adalah perpindahan panas dari sumber panas ke
penerima panas dengan pancaran gelombang panas, tanpa adanya kontak kontak langsung
yang terjadi antara kedua benda tersebut, bahkan pada suatu jarak dalam suatu ruang
vakum. Umumnya benda hanya akan menyerap sebagian dari energi radiasi yang
mencapainya dan sisanya akan dipantulkan lagi.
Antara sumber panas dengan penerima panas tidak terjadi kontak langsung. Bagian
furnace yang terkena radiasi adalah ruang pembakaran. Di ruang ini terjadi nyala api di
mana panasnya dipancarkan ke pipa pemanas (tube) yang terdapat di sekeliling secara
radiasi.
Sebenarnya tidak hanya dengan cara radiasi perpindahan panas terjadi di daerah
tersebut, tetapi perpindahan panas ini dominan, maka daerah ini biasa disebut daerah
radiasi (radiant zone). Banyaknya radiasi panas yang dipancarkan oleh suatu benda akan
sangat meningkat dengan naiknya temperatur.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
35
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

b. Konveksi
Perpindahan panas secara konveksi adalah perpindahan panas antar dua fluida
dengan jalan pencampuran langsung sehingga terjadi perpindahan panas secara langsung
dari suatu molekul lainnya
Perpindahan panas secara konveksi seperti ini amat jarang terjadi sendirian,
umumnya pada waktu yang bersamaan sejumlah kalor akan juga dipindahkan secara
konduksi. Pertukaran panas yang terjadi di daerah ini sebenarnya adalah antara dua fluida
yang masing-masing mengalir menelusuri suatu dinding bahan padat pemisah (pipa
pemanas atau tube) antara keduanya.
Jika suatu fluida mengalir menelusuri suatu permukaan yang diam, suatu lapisan
tipis (film) yang tidak mengalir dari fluida tersebut bayangkan terbentuk menempel ke
permukaan tersebut. Seluruh tahanan terhadap perpindahan panas antara fluida dengan
permukaan itu (konveksi dan konduksi) diandaikan seluruhnya terkumpul pada lapisan ini.
Di ruang pembakaran furnace, perpindahan panas secara konveksi terjadi di ruang
konveksi. Sebenarnya di ruang konveksi terjadi perpindahan panas secara konveksi dan
konduksi secara serentak. Perpindahan panas secara konveksi terjadi antara gas bakar
buangan dengan dinding luar pipa pemanas (tube) dan dinding dalam pipa pemanas
dengan fluida yang mengalir dalam pipa. Sedangkan perpindahan panas antara bagian luar
dan dinding bagian dalam berlangsung secara konduksi.

c. Konduksi
Konduksi adalah suatu proses perpindahan panas dari suatu bagian benda yang
suhunya Iebih tinggi ke bagian lain yang suhunya lebih rendah, tanpa adanya perpindahan
atau pencampuran molekul dari benda yang mengalami perpindahan panas. Menurut teori,
perpindahan panas semacam ini berlangsung karena vibrasi molekul dan menularkan
vibrasinya kepada molekul yang lain yang kemudian bervibrasi lebih cepat dan menjadi
panas. Proses perambatan ini berlangsung ke seluruh panjang batang sehingga ujung lain
yang tidak ada dalam sumber panas akan menjadi panas juga. Dalam peristiwa ini
perpindahan panas ini berlangsung dimana bahannya tidak bergerak, molekul-molekulnya
bervibrasi pada lokasinya masing-masing, dan memindahkan energi atau kalor secara
serentak.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
36
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

II.7. Teori Pembakaran


Proses pembakaran pada dasarnya adalah oksidasi antara bahan bakar
(hidrokarbon) dengan oksigen dari udara yang menghasilkan panas (heat of reaction).
Bahan yang terbakar atau bereaksi dengan udara bukanlah hidrokarbon langsung
melainkan gas atau uap hidrokarbon pada titik nyalanya.
Reaksi pembakaran berlangsung pada suhu tertentu dan pada perbandingan jumlah
hidrokarbon dan oksigen (udara) tertentu pula. Jadi, walaupun terdapat campuran gas
hidrokarbon dan udara pada temperatur nyalanya, reaksi pembakaran tidak akan terjadi
jika perbandingannya tidak tepat. Jika syarat terjadinya pembakaran telah dipenuhi, maka
reaksi pembakaran akan berlangsung, panas reaksi yang terjadi antara lain digunakan
untuk memanaskan hodrokarbon hingga dapat menjadikan dalam bentuk gas dan
menguraikannya menjadi karbon dan gas hydrogen serta menaikkan suhunya sampai
mencapai suhu nyala dan kemudian terbakar. Proses tersebut berlangsung kontinyu sampai
pembakaran dihentikan atau sampai habis hidrokarbon.
Dari komponen yang ada di dalam bahan bakar fuel oil atau fuel gas pada
pembakaran di furnace, menghasilkan kemungkinan reaksi pembakaran sebagai berikut :
Pembakaran Lengkap dan Sempurna
Reaksi :
C + O2 CO2 + Kalor (i)
Pada reaksi pembakaran ini semua atom C (karbon) yang terdapat dalam bahan bakar
seluruhnya habis terbakar membentuk karbondioksida (CO2). Sedangkan oksigen (O2)
yang digunakan jumlahnya tepat (tidak kurang atau tidak lebih).

Pembakaran Lengkap Tetapi Tidak Sempurna


Reaksi :
C + 2O2 CO2 + 02 (ii)
Semua karbon habis terbakar membentuk karbon dioksida, akan tetapi oksigen yang
digunakan untuk pembakaran berlebihan, sehingga pada hasil reaksi masih terdapat
oksigen. Pembakaran jenis ini umumnya terjadi di furnace di kilang. Membakar karbon
dengan oksigen tidak dapat dilakukan secara tepat, karena singkatnya waktu reaksi
sehingga reaksi pembakaran harus dilakukan dengan jumlah oksigen yang berlebih
untuk membakar semua karbon yang terdapat di dalam bahan bakar.Oksigen yang

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
37
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

berlebihan berarti memberikan udara pembakaran lebih dari kebutuhan untuk


pembakaran sempurna. Kelebihan udara ini disebut excess air dan sangat memegang
peranan penting pada efisiensi furnace. Excess air harus ditekan serendah mungkin
karena excess air yang tinggi akan menyebabkan suhu nyala api akan turun atau rendah
dan banyak panas yang terbuang melalui cerobong furnace yang terbawa flue gas.
Kelebihan udara yang digunakan berkisar antara 20-25%.

Pembakaran Tidak Sempurna


Reaksi:
C + 1,5O2 CO2 + O2 (iii)

Pada reaksi pembakaran di atas terlihat bahwa karbon dengan oksigen tidak
membentuk karbon dioksida (CO2), akan tetapi membentuk karbon monoksida (CO).
Umumnya reaksi pembakaran ini terjadi karena kekurangan udara pembakaran atau
atomisasi bahan bakar yang tidak baik atau tidak sempurna. Reaksi pembakaran tidak
sempurna harus dihindari pada operasi furnace karena sangat merugikan.

Pembakaran Lain
Karena pembakaran fuel oil atau fuel gas tidak hanya terdiri dari hidrokarbon saja,
maka beberapa reaksi pembakaran lain yang mungkin terjadi adalah :
2H2 + O2 2H2O (iv)
2H2S + 3O2 2SO2 + 2H2O (v)
2CO + O2 2CO2 (vi)
Terbentuknya oksida belerang tidak dinginkan di dalam furnace. Karena dengan
adanya uap air dalam flue gas akan dapat memungkinkan terjadinya asam belerang.
Sedangkan sisa karbon yang tidak terbakar ini akan menghasilkan warna merah
kehitam-hitaman pada nyala api.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
38
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

II.8. Efisiensi Furnace


Sistem pembakaran dan perpindahan panas yang terjadi di dalam furnace
diharapkan sempurna sehingga dapat dicapai efisiensi yang tinggi. Dengan kata lain,
diharapkan terjadi heat loss sekecil mungkin dengan mengoperasikan furnace pada
kondisi yang sesuai.
1. Heat Loss (Kehilangan Panas)
Panas hasil pembakaran pada furnace tidak semuanya bisa diserap oleh fluida
dalam tube, sebab ada panas yang hilang. Panas yang hilang pada furnace melalui :
a. Panas yang hilang lewat dinding furnace, yang dipengaruhi oleh adanya panas
konduksi dari dinding refraktori. Panas yang hilang lewat dinding furnace bagian
radiasi sebesar 2-3% dan bagian konveksi 1%. (Nerlson, W.L, 1969).
b. Panas yang hilang lewat stack karena terbawa flue gas, yang dipengaruhi oleh gas
buang dan udara berlebih. Semakin tinggi temperatur flue gas dan semakin banyak
kelebihan udara pembakaran maka akan semakin banyak panas yang hilang.
(Nerlson, W.L, 1969).
c. Panas yang hilang karena pembakaran tidak sempurna dari fuel, yang
mengakibatkan unsur-unsur dalam bahan bakar yang seharusnya terbakar namun
tidak terbakar secara sempurna terbawa oleh flue gas dan ada yang tertinggal
bersama abu.
2. Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Furnace
a. Temperatur Flue gas pada stack
Semakin rendah temperatur flue gas pada stack, maka efisiensi furnace
semakin tinggi. Namun demikian hal ini dibatasi oleh titik embun flue gas untuk
menghindari korosi akibat kondensasi senyawa sulfur. Salah satu cara menurunkan
temperatur flue gas adalah dengan memanfaatkan temperatur flue gas untuk
memanaskan udara pembakaran (air preheater system).

b. Kelebihan Udara Pembakaran


Jumlah udara pembakaran tidak boleh kurang ataupun berlebihan. Kekurangan
udara pembakaran dapat menyebabkan pembakaran yang terjadi tidak sempurna
sehingga panas yang dihasilkan tidak sempurna.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
39
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

c. Harga Kalor Bahan Bakar


Pada kenyataannya karena Fuel gas berasal dari berbagai sumber, maka
komposisi refinery flue gas selalu berubah setiap saat, sehingga perbandingan
kebutuhan udara pembakaran terhadap bahan bakar juga selalu berubah mengikuti
komposisi fuel gas yang digunakan. Apabila perubahan ini tidak diikuti dengan
pengendalian otomatis, maka efisiensi akan selalu berubah akibat dari excess air
yang tidak teratur.

d. Excess Air
Berfungsi untuk mencegah terjadinya pembakaran yang tidak sempurna dalam
furnace, Maka dalam proses pembakaran diberikan udara berlebih dari kebutuhan
udara teoritis.
excess air ratio = udara masuk - udara teoritis
udara teoritis
Excess air yang rendah tidak mengakibatkan pembakaran tidak sempurna tetapi
dikhawatirkan jika terjadi kekurangan udara pada furnace maka excess air yg
dimasukkan tidak akan mencukupi. Excess air yang terlalu tinggi juga akan
menurunkan efisiensi, karena akan menghasilkan flue gas yang besar serta panas
pembakaran yang akan diserap untuk menaikkan temperatur udara. Besarnya
excess air untuk natural draft sebesar 20% untuk fuel gas dan 25% untuk fuel oil,
sedangkan untuk forced draft 10% untuk fuel gas dan 10% untuk fuel oil.

a. Usaha untuk Meningkatkan Efisiensi Furnace


Peningkatan efisiensi suatu furnace adalah dengan menekan heat loss yang terjadi
dalam sistem pembakaran dan sistem perpindahan panas, seperti kehilangan panas
karena radiasi dan terbawa oleh flue gas yang keluar melalui stack. Efisiensi furnace
yang tinggi dapat dicapai dengan langkah-langkah berikut ini:
a. Pengendalian Pembakaran dengan mengatur pemasukan excess air
Sejumlah excess air diperlukan agar terjadi proses pembakaran yang sempurna.
Namun demikian, apabila terdapat dalam jumlah yang berlebihan, excess air dapat
menyebabkan heat loss yang besar. Jika kelebihan excess air, maka dapat
dikurangi dengan meningkatkan efisiensi termal. Ada 4 macam cara untuk
mengurangi excess air, yaitu:

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
40
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

1. Pengendalian stack damper dan burner air register


Pengurangan excess air dapat dilakukan dengan mengendalikan stack damper
dan burner air register. Stack damper dikendalikan untuk menjaga tekanan ruang
bakar sebesar 2,5 mmWC dan secara bersamaan burner air register dikendalikan
untuk menjaga kadar oksigen dalam flue gas sebesar 15-25%.

1) Mencegah Kebocoran Udara dalam Furnace


Terdapat banyak tempat yang memungkinkan udara dapat masuk ke furnace.
Tempat-tempat tersebut diantaranya adalah explosion door, sightdoor, peep port,
header box cover, dan tempat lain di mana tube melewati dinding furnace.
Kebocoran udara ini harus dicegah dengan sealing tape, asbestos cloth atau
asphalitic coating sehingga udara masuk ke furnace hanya melalui burner air
register.

2) Penggunaan mean air burner


Dengan menggunakan mean air burner pada conventional burner, maka fuel
gas dapat dibakar hanya dengan 15% excess air. Jenis burner yang ada diubah
sehingga memungkinkan pencampuran yang optimal antara gas/fuel oil dengan
udara untuk menghasilkan efisiensi pembakaran yang tinggi.

3) Pengendalian Oksigen secara Otomatis


Pengendalian oksigen secara otomatis dapat dilakukan dengan menempatkan
sensor dan transmitter di dalam radiant section dan di dekat stack damper untuk
mengendalikan bukaan stack damper dan burner air register. Pengendalian
dilakukan untuk menjaga tekanan ruang bakar sebesar -2,5 mmWC dan kadar
oksigen dalam flue gas sebesar 2%.

b. Mereduksi heat loss dengan menambah ketebalan dinding furnace


Peningkatan efisiensi termal dengan mereduksi heat loss dapat dilakukan dengan
menambahkan serat keramik (ceramic fibre) pada dinding dalam furnace atau pada
lapisan refraktori dari radiant wall.

c. Pemasangan air preheater


Metode efektif lain untuk meningkatkan efisiensi termal furnace dilakukan dengan
pemasangan air preheater. Pada furnace dengan sistem natural draft, ditambahkan

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
41
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

forced draft fan dan induced draft fan, sehingga burner yang ada akan menjadi
forced draft burner. Udara pembakaran dimasukkan ke dalam air preheater
dengan bantuan forced draft, sedangkan flue gas dari furnace yang masih
mempunyai temperatur tinggi (sekitar 3500C) dimasukkan ke dalam air preheater
dengan bantuan forced draft fan. Pada air preheater terjadi pertukaran panas (HE).

d. Memanfaatkan kembali Panas dari flue gas


Panas dari flue gas sebelum mencapai stack dapat dimanfaatkan kembali dengan
convection heat transfer untuk memperluas daerah konveksi atau waste heat
boiler. Ada tiga cara memperluas daerah konveksi untuk memanfaatkan panas dari
flue gas, yaitu:
1) Pemasangan convection tube tambahan
2) Rekontruksi flue section
3) Pemasangan ruang konveksi yang terpisah.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
42
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

BAB III
METODOLOGI

Metode perhitungan dilakukan berdasarkan data-data yang dikumpulkan di


lapangan (data aktual), data-data desain yang diperoleh dari manual operating book unit
011F101A/B yang diterbitkan oleh vendor furnace dan dari literatur yang relevan.
Langkah-langkah yang digunakan dalam perhitungan efisiensi ini menggunakan
metode heat balance (neraca panas).

IIL1 Pengumpulan Data


IIL1.1 Pengumpulan Data Primer
Pengumpulan data primer diambil dari control room (ruang control) di Fuel Oil
Complex II (FOC II) pada unit CDU II (011F101 A/B) dan di ruang ECLC ( Energy
Conservation and Loss Control ) Pertamina RU IV, Cilacap. Data data yang diambil
meliputi:
a. Laju alir reduce crude dalam volumetric rate (m3/hr) masuk dan keluar sistem
furnace dan temperature reduced crude masuk dan keluar system furnace (dalam

C)
b. Laju alir fuel oil dalam volumetric rate (m3/hr) masuk dan keluar system furnace
dan temperature fuel oil masuk dan keluar system furnace (dalam C)
c. Laju alir fuel gas dalam volumetric rate (m3/hr) masuk dan keluar system furnace
dan temperature fuel gas masuk dan keluar system furnace (dalamC) beserta
tekanan fuel gas (Pa)
d. Tekanan (Pa) dan temperature (C) atomizing steam
e. Spesific gravity reduced crude
f. Spesific gravity fuel oil
g. Gross Heating Value dari fuel oil
h. Lower Heating Value dari fuel gas

Data-data di atas diambil pada periode 01 September hingga 30 September 2011.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
43
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

III.1.2 Pengambilan Data Sekunder


Pengumpulan data sekunder berupa:
a. Enthalphi (BTU/lb)
b. Spesific heat (BTU/lb F)
c. Fuel oil density
d. Perbandingan atom C dengan H2
Data sekunder ini diambil dari text book Heat Transfer Process (Kern,1965) dan

Introduction to Chemical Engineering Thermodynamics (Smith van Ness,2001)

III.2 Langkah-Langkah Perhitungan


Parameter yang diambil untuk menentukan kinerja dari suatu furnace adalah
efisiensi dari furnace itu sendiri. Ada dua metode yang dapat digunakan dalam mencari
efisiensi furnace yaitu:
1. Metode Heat Absorbed
Efisiensi furnace dalam metode Heat absorbed secara matematis dapat ditulis sebagai:
furnace = Panas yang diserap reduced crude
panas masuk furnace

Panas yang diserap oleh reduced crude dapat diperoleh dari:


Panas diserap crude oil = Panas yang dibawa crude keluar furnace - Panas yang
dibawa crude masuk furnace
2. Metode Heat Release
Efisiensi furnace dalam metode heat release secara matematis dapat ditulis sebagai:
furnace = Panas masuk furnace - Panas keluar furnace
panas masuk furnace
Pada pengerjaan tugas khusus ini digunakan metode heat release untuk mencari
efisiensi dari furnace

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
44
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

III.2. 1 Panas Masuk Furnace


Panas yang masuk furnace terdiri atas:
a. Panas Pembakaran Fuel Gas

Q1 m fg NHV fg

Ket. : Q1 = Panas pembakaran FG (BTU/hr)


mfg = laju alir FG (lb/hr)
NHVfg = Net Heating Value FG (BTU/lb)

b. Panas Sensible Pembakaran Fuel Gas

Q2 m fg H fg
Ket. : Q2 = Panas sensible pembakaran FG (BTU/hr)
mfg = laju alir FG (lb/hr)
Hfg = Entalpi FG (BTU/lb)

c. Panas Pembakaran Fuel Oil

Q3 m fo NHV fo

Ket. : Q3 = Panas pembakaran FO (BTU/hr)


mfo = laju alir FO (lb/hr)
NHVfo = Net Heating Value FO (BTU/lb)

d. Panas Sensible Pembakaran Fuel Oil

Q4 m fo Cp fo T fo

Ket. : Q4 = Panas sensible pembakaran FO (BTU/hr)


mfo = laju alir FO (lb/hr)
Cpfo = Kapasitas panas FO (BTU/lb.oF)
Tfo = Perbedaan suhu FO (oF)

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
45
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

e. Panas Atomizing Steam

Q5 mas H as

Ket. : Q5 = Panas atomizing steam (BTU/hr)


mas = laju alir atomizing steam (lb/hr)
Has = Entalpi atomizing steam (BTU/lb)

f. Panas yang dibawa Reduced Crude


QRC = mRC Cp T
Di mana:
QFO-in : Panas yang dibawa fuel oil masuk ke system furnace (BTU/hr)
mFO : Fuel oil mass rate masuk ke system furnace (lb/hr)
Cp : Panas jenis (specific heat) crude oil (BTU/lb F)
T : Beda temperature crude oil masuk dengan temperature referensi
T = TFo-in Tref (F)

g. Panas Udara Pembakar


Qair = Qi
Qi=Ql+Q2+Q3++Qn
Qi = mi Cpi T

Di mana:
QAir : Panas yang dibawa udara pembakar masuk ke system furnace
(BTU/hr)
mi : mass rate komponen dalam udara pembakar masuk ke system
furnace (lb/hr)
Cpi : Panas jenis (specific heat) komponen udara pembakar (BTU/lb F)
T : Beda temperature udara pembakar masuk dengan temperature
Referensi (F) T = Tair-in - TRef

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
46
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

IIL2. 2 Panas Keluar Furnace


Panas keluar dari furnace terdiri atas:
a. Panas yang Dibawa oleh Flue Gas Kering
Qfg Qi
Qi=Q1 +Q2+Q3+..+ Qn
Qi = mi Cpi T
Di mana:
Qfg : Panas yang dibawa f ue gas masuk ke system furnace (BTU/hr)
mfg : Mass rate komponen dalam f ue gas keluar system furnace (lb/hr)
Cpi : Panas jenis (specific heat) komponen f ue gas (BTU/lb F)
T : Beda temperature flue masuk dengan temperature referensi
T = Tai,-in - TRef (F)

b. Panas Sensible Uap Air

Q8 mua H ua
Ket. : Q8 = Panas sensible uap air (BTU/hr)
mua = laju alir uap air atomizing steam, hasil pembakaran FO & FG,
uap air kandungan FO, uap air dalam udr pembakaran (lb/hr)
Hua = Entalpi uap air (BTU/lb)

c. Panas yang Hilang karena Radiasi


Q9 2% Qin
Ket. : Q9 = Panas hilang krn radiasi (BTU/hr)
Qin = Panas masuk Furnace (BTU/hr)

III.2. 3 Perhitungan Efisiensi Furnace

Qin Qout
100%
Qin
Ket. : = Efisiensi furnace (%)
Qin = Panas masuk Furnace (BTU/hr)
Qout = Panas keluar Furnace (BTU/hr)

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
47
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

BAB IV
HASIL PERHITUNGAN DAN PEMBAHASAN

IV. 1 Hasil Perhitungan Furnace 11F101A


Heat Balance dan efisiensi
Panas masuk :
Panas yang dibawa komponen masuk ke dalam furnace
Q1 = 77770086,25 Btu/hr
Q2 = 15,41 lb/hr
Q3 = 404893714,70 Btu/hr
Q4 = 2252980,59 Btu/hr
Q5 = 5675267,01 Btu/hr
Q yang dibawa crude = 338099079,80 Btu/hr
Q udara masuk = 2213607,34 Btu/hr
= 830904751,1 Btu/hr

Total panas masuk furnace : 830904751,1 BTU/hr

Panas Keluar
Panas yang diserap oleh crude oil : 45001516,06 BTU/hr
Panas yang terbawa flue gas : 46745123,15 BTU/hr
Panas yang dibawa oleh H2O keluar furnace : 10934958,41 BTU/hr
Panas yang hilang karena radiasi dan konveksi : 16618095,02 BTU/hr+
: 137140190,77 BTU/hr
Efisiensi
Efisiensi () = 85,64 %

Excess Air
Excess Air = 2,60 %

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
48
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

IV. 2 Hasil Perhitungan Furnace 11F101B


Heat Balance dan efisiensi
Panas masuk :
Panas yang dibawa komponen masuk ke dalam furnace
Q1 = 77770086,25 Btu/hr
Q2 = 15,41 lb/hr
Q3 = 404893714,70 Btu/hr
Q4 = 2252980,59 Btu/hr
Q5 = 5675267,01 Btu/hr
Q yang dibawa crude = 337696241,70 Btu/hr
Q udara masuk = 2213607,34 Btu/hr
= 830501913 Btu/hr

Total panas masuk furnace : 830501913 BTU/hr

Panas Keluar
Panas yang diserap oleh crude oil : 44439404,36 BTU/hr
Panas yang terbawa flue gas : 46745123,15 BTU/hr
Panas yang dibawa oleh H2O keluar furnace : 10661757,31 BTU/hr
Panas yang hilang karena radiasi dan konveksi : 16610038,26 BTU/hr+
: 118456323,1 BTU/hr

Efisiensi
Efisiensi () = 85,73 %

Excess Air
Excess Air = 4,60 %

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
49
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

IV.3 Pembahasan
Efisiensi furnace merupakan perbandingan antara panas yang digunakan untuk
menaikkan suhu fluida ( crude oil ) dengan panas yang masuk.Pemanasan crude oil
dilakukan sesuai dengan set point temperatur yang diinginkan yaitu berkisar pada 369 0C
kemudian akan mengalami proses pemisahan berdasarkan titik didih dari masing masing
fraksi dalam crude oil. FOC II ( Fuel Oil Complex II ) memiliki 2 furnace pada Unit
CDU II ( Crude Distilation Unit II ) yaitu Furnace 011F101A&B.
Dalam melakukan evaluasi performance furnace 011F101A&B dilakukan
perhitungan heat balance yang terdiri dari panas masuk, panas keluar dan panas yang
dihasilkan dalam furnace itu sendiri. Dalam perhitungan heat balance untuk menentukan
kandungan panas atau energi dalam satu komponen yang seringkali disebut dengan
enthalpy direferensikan dengan pada 60F.
Panas masuk merupakan panas yang terkandung dalam komponen-komponen
masuk furnace. Panas masuk terdiri atas panas yang dibawa komponen masuk ke dalam
furnace dan panas yang digenerasikan dalam furnace akibat adanya reaksi pembakaran
yang sifatnya eksothermis. Panas yang dibawa komponen masuk ke dalam furnace terdiri
atas panas yang dibawa fuel oil (FO), fuel gas (FG), crude oil, atomizing steam, dan udara
pembakar. Sedang panas yang digenerasikan dalam furnace akibat adanya reaksi
pembakaran dari FO dan FG yang bersifat eksothermis adalah panas pembakaran FO dan
FG. Panas-panas ini nantinya akan diserap oleh crude oil sehingga outlet temperature
crude memenuhi syarat untuk terjadinya pemisahan lebih lanjut pada Unit Crude
Distillation Unit (CDU II). Besarnya panas masuk yang dibawa oleh Crude Oil yang
masuk furnace 011F101A adalah : 338099079,8 BTU/hr dan 011F101B adalah :
337696241,7 BTU/hr. Karena sebelum masuk furnace, crude oil tersebut mengalami
pemanasan pada unit Pre-Heater. Pemanasan ini bertujuan untuk mengurangi beban
furnace dalam memanaskan crude oil. Dimana panas paling besar nilainya baik furnace
011F101A&B dihasilkan oleh panas pembakaran fuel oil yang mempunyai nilai
404893714,7 BTU/hr untuk furnace 011F101A dan 404893714,73 BTU/hr untuk furnace
011F101B. Hal ini disebabkan karena laju alir dari fuel oil untuk kedua furnace ini lebih
besar dari laju alir fuel gas. Dimana fuel oil memiliki laju alir 234,29 ton/day sedangkan
fuel gas hanya memiliki laju alir sebesar 42,56 ton/day.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
50
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

Panas keluar adalah panas yang dibawa oleh komponen-komponen meninggalkan


furnace. Panas keluar ini terdiri atas: panas yang dibawa flue gas kering, crude oil, uap air,
dan panas yang hilang karena faktor radiasi dan konveksi. Panas meninggalkan furnace
paling besar nilainya baik adalah panas yang terbawa flue gas yaitu 46745123,15 BTU/hr
untuk furnace 011F101A dan 46745123,15 Btu/hr untuk funace 011F101B. Ini
menunjukan bahwa transfer panas dari tube tube menuju fuida pada masing masing
furnace dalam kondisi yang baik.Faktor yang cukup berpengaruh secara signifikan atas
hilangnya panas pada furnace adalah faktor tingginya temperatur stack dan excess O2 yang
meninggalkan ruang bakar.Furnace 011F101A mempunyai temperatur stack 315,29 C
dan excess O2 sebesar 2,6% sehingga dalam perhitungan diperoleh efisiensi sebesar 85,64
%, sedangkan untuk furnace 011F101B mempunyai temperatur stack 322,79 C dan
excess O2 sebesar 4,6% sehingga dalam perhitungan diperoleh efisiensi sebesar 85,73 %.
Terlihat bahwa excess O2 dan temperature stack mempunyai peranan penting dalam
mendapatkan efisiensi pada masing masing furnace tersebut.
Panas keluar yang dibawa oleh komponen-komponen di atas menunjukan bahwa
tidak semua panas yang masuk dapat dimanfaatkan oleh crude oil untuk meningkatkan
temperaturnya. Sehingga jika dibandingkan antara panas yang diserap dengan panas
masuk akan didapatkan suatu nilai yang disebut sebagai efisiensi. Dengan demikian
efisiensi dinyatakan sebagai kemampuan crude oil dalam menyerap panas yang disediakan
(panas masuk furnace). Furnace 011F101A&B didesain mampu menyerap panas yang
diberikan sebesar 84,6% namun berdasarkan perhitungan yang dilakukan panas yang
diserap furnace 011F101A sebesar 85,64 % dan furnace 011F101B sebesar 85,73 %.
kenaikan besarnya efisiensi kedua furnace tersebut disebabkan oleh tujuh faktor.
Faktor pertama adalah lama pemakaian furnace. Lama pemakaian alat
mempengaruhi panas yang hilang karena radiasi. Semakin lama pemakaian akan
mengakibatkan kemampuan dinding furnace dalam mengisolasi panas menurun,
akibatnya panas yang dihasilkan tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk
menaikkan temperature crude oil. Secara matematis panas yang hilang karena
radiasi dinyatakan sebagai:
QRad = n Qin

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
51
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

(0.1<n<0.25). Nilai n akan semakin meningkat sebanding dengan lama pemakaian


furnace. Meningkatnya harga n sebanding dengan heat loss atau panas yang keluar
sehingga akan menurunkan nilai efisiensi.
Faktor kedua adalah kebocoran pada furnace. Kebocoran furnace ini terjadi akibat
gas meninggalkan furnace sebelum mencapai stack. Akibat lolosnya gas tersebut akan
mempengaruhi nilai efisiensi karena dengan adanya gas yang keluar sebelum mencapai
stack menyebabkan panas yang dihasilkan belum sempat digunakan untuk crude oil tetapi
sudah meninggalkan furnace.
Faktor ketiga adalah reaksi pembakaran yang tidak sempurna.Produk reaksi
pembakaran yang diinginkan adalah CO2 dan H2O. Namun dengan kurangnya suplai
udara maka akan terjadi reaksi samping yang produknya adalah CO. Permasalahannya
adalah panas pembakaran yang dihasilkan dalam pembentukkan CO lebih kecil nilainya
dibanding panas pembakaran untuk pembentukkan CO2. Dengan demikian akan
mengurangi nilai kalor yang dapat dimanfaatkan sehingga akan menurunkan nilai
efiensi.
Faktor keempat adalah adanya oil dripping atau fuel oil yang tumpah pada ujung
nozzle burner. fuel oil yang tumpah akan semakin sulit terbakar karena tidak dalam
bentuk terkabutkan atau atomized dan tentu saja ini akan ikut menurunkan panas yang
dapat dibangkitkan atau digenerasikan dalam furnace.
Faktor kelima adalah excess air. Excess air ini adalah suatu permasalahan yang
butuh perhatian khusus karena selain sebagai penyebab inefisiensi, excess air juga dapat
meningkatkan efisiensi dari furnace. Kurangnya excess air dapat mengakibatkan reaksi
samping dengan terbentuknya CO yang punya nilai kalor pembakaran lebih rendah
dibanding CO2 namun dengan terlalu besarya excess air juga akan meningkatkan jumlah
udara yang tidak ikut terbakar.Suatu massa mempunyai kandungan nilai kalor yang
dapat meningkat dengan cara menyerap panas yang terjadi dari lingkungan luar, begitu
juga dengan sisa udara yang terlalu besar akan ikut menyerap panas yang dihasilkan
sehingga panas yang seharusnya diserap oleh crude oil ikut diserap juga oleh udara
excess.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
52
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

Faktor keenam adalah kelembaban udara. Pada dasarnya kelembaban udara atau
humidity berperilaku sama seperti excess air yaitu ikut menyerap panas yang ada dalam
furnace sehingga menurunkan kinerja dari furnace itu sendiri. Selain itu semakin
banyaknya atomizing steam juga akan menurunkan harga efisiensi jika perbedaan
tekanan antara steam dengan Fuel Oil tidak sesuai dengan set point yang telah
ditentukan. Karena steam tersebut akan berubah fase dari vapor menjadi liquid sehingga
banyaknya panas yang diserap oleh uap air dari steam juga akan meningkat.
Faktor ketujuh adalah komposisi dari fuel gas dan fuel oil. Komposisi fuel gas dan
fuel oil yang berbeda akan mempunyai nilai kalor yang berbeda sehingga mempengaruhi
nilai panas yang masuk dan keluar dari furnace.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
53
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan

1. Pada furnace 011F101 A&B terjadi perbedaan efisiensi yang cukup kecil. Hal ini
dapat dilihat dari perbedaan efisiensi desain baik furnace 011F101 A&B
sebesar 84,6% dengan efisiensi actual furnace 011F101A sebesar 85,64 % dan
efisiensi actual furnace 011F101B sebesar 85,73 %
2. Semakin tinggi temperatur stack maka harga efisiensi furnace akan rendah, begitu
pula sebaliknya jika temperatur stack rendah maka harga efisiensi furnace akan
tinggi
3. Semakin tinggi % excess O2 maka heat loss juga akan semakin besar, sehingga
efisiensi furnace akan berkurang. Jika excess O 2 terlalu rendah, maka operasi
suatu pembakaran tidak sempurna yang dapat menyebabkan efisiensi furnace
akan bekurang
4. Lama pemakaian furnace tanpa diimbangi maintenance yang baik akan
mempengaruhi kinerja dari furnace

V.2 Saran
1. Penggunaan perbandingan atomizing steam sangat penting dalam upaya
peningkatan efisiensi dari furnace itu sendiri. Terlalu kecil atomizing steam rate
akan membuat FO tidak ter-atomized dengan sempurna sehingga kemungkinan
FO tidak terbakar dengan baik sehingga akan menurunkan besar panas yang dapat
digunakan untuk meningkatkan temperature Crude Oil.
2. Menjaga nilai excess O2, karena perubahan nilai excess O2 dapat mempengaruhi
efisiensi furnace.
3. Mencegah terjadinya oil dripping yaitu dengan mengganti burner yang sudah
rusak atau tidak dapat mengabutkan dengan baik. Pengabutan ini akan
membantu pembakaran dari Fuel Oil.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
54
Teknik Kimia
Universitas Diponegoro, Semarang

4. Furnace sebaiknya dilakukan maintenance secara berkala untuk menghilangkan


deposit cokes pada tubes, dinding refractory, burner, dan accessories furnace
(furnace) lainnya sehingga dapat mengurangi heat loss karena radiasi.

Laporan Kerja Praktek Arthur P.Tonggiro / L2C008017


PT. Pertamina RU IV Cilacap
55

Você também pode gostar