Você está na página 1de 15

ALIZARIN RED

Oleh:
Nama : Isna Fitriana
NIM : B1A015024
Rombongan : III
Kelompok :5
Asisten : Anastasia Sintanora Elizabeth

LAPORAN PRAKTIKUM PERKEMBANGAN HEWAN

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2016
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tulang merupakan alat gerak pasif yang tersusun dari jaringan ikat khusus
yang digerakkan oleh otot. Tulang mempunyai matriks yang mengalami proses
mineralisasi oleh garam organik terutama oleh kalsium fosfat. Tulang sebagai sistem
rangka pasif berfungsi sebagai penyokong. Proses pembentukan tulang terjadi setelah
terbentuk tulang rawan (kartilago). Kartilago dihasilkan dari sel-sel mesenkim.
Setelah kartilago terbentuk, bagian dalamnya berongga dan terisi osteoblas.
Osteoblas juga menempati jaringan seluruhnya dan membentuk sel-sel tulang. Sel-sel
tulang dibentuk terutama dari arah dalam keluar, atau proses pembentukannya
konsentris. Satuan-satuan sel tulang mengelilingi suatu pembuluh darah dan saraf
membentuk suatu sistem yang disebut sistem Haversi. Sel-sel tulang yang terbentuk,
disekelilingnya terdapat senyawa protein yang akan menjadi matrik tulang. Kapur
dan fosfor terdapat pada senyawa protein yang menyebabkan matriks tulang akan
mengeras. Proses penulangan disebut osifikasi. Tulang merupakan satu fitur kunci
yang dapat mengetahui evolusi hewan bertulang belakang, fitur ini diperoleh dari
rangka atau ukuran tulang yang mengalami perubahan pada ukuran, dimensi
keseluruhan dari satu tulang dan bentuk tulang (Kimmel, 2005).
Tulang maupun tulang rawan adalah bentuk jaringan penyambungan padat
yang terspesialisasi yang matriksnya lentur dan luwes. Kedua jaringan itu melakukan
fungsi kerangka yang bersifat struktural dan menanggung beban di dalam tubuh.
Tulang secara arsitektur direncanakan sebagai jaringan yang ringan tapi luar biasa
kuat untuk menanggung beban yang garis kekuatannya mengikuti
garis tekanan yang diakibatkan oleh dukungan beban. Tulang rawan sel sel batangna
proliferasi dan membentuk kondrosit kondrosit yang cepat mengelilingi mereka
dengan matriks. Pada tulang sel sel batangnya mula mula berkembang menjadi
osteoblas, sel pembentuk matriks yang luar biasa aktif yang lambat laun mengurung
diri sendiri dalam suatu lakuna dan menjadi osteosit. Matriks tulang
mengandung unsur yang sama seperti jaringan - jaringan penyambung yang lainnya.
Pengendapan ini oleh osteoblas disebut osifikasi (Soeminto, 2002).
Pengendapan garam garam kalsium dalam matriks ini disebut kalsifikasi
(pengapuran), suatu proses yang terjadi normal pada tulang tetapi dapat terjadi
patologis dalam jaringan penyambungan lain, seperti tulang rawan dan dinding
pembuluh darah. Daerah yang belum terjadi kalsifikasi dalam matriks tulang, disebut
osteosit (Karyadi, 2003). Tulang merupakan komponen utama dalam rangka tubuh
yang dari sudut pandang teknologi merupakan penggabungan ketegaran
dan kekuatan dengan berat terkecil yang memberi ciri yang unik. Sifatnya yang
keras dan kaku,tulang mempunyai sifat elastis tertentu; ada tiga sifat yang bersama-
sama membuat tulang sangat cocok dengan fungsinya sebagai rangka. Tulang
membantu rangka tubuh dengan kekuatan yang penting untuk fungsinya sebagai
tempat perlekatan dan pengungkit otot dan tegar serta menyokong tubuh melawan
gravitasi (Bevalender, 1988).
Alizarin red merupakan suatu metode untuk mengetahui pembentukan tulang
pada embrio atau metode untuk mendeteksi proses kalsifikasi pada tulang embrio.
Tulang embrio yang terwarnai alizarin red akan terlihat berwarna merah tua. Warna
merah tersebut muncul karena zat warna yang diberikan terikat oleh kalsium pada
matriks tulang. Pemberian alizarin red dapat dilakukan secara bertahap pada
berbagai jenjang umur embrio, pada umumnya tulang yang terbentuk secara intra
membran mengalami osifikasi lebih cepat dibandingkan tulang yang terbentuk secara
endrokondral (Mardanung, 1985). Alizarin merupakan senyawa yang dapat larut
dalam air, menyintesis bentuk yang tidak dapt larut air dari suatu indicator, Alizarin
Red S-CTAB merupakan pengikat ion liphophilic yang membuat dapat digunakan
dalam sensor PVC (Gupta et al., 2009).
Alizarin Red merupakan senyawa yang mempunyai rumus molekul C14H8O4
dengan warna orange-merah. Senyawa ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi
proses kalsifikasi yang terjadi pada tulang embrio atau proses mineralisasi pada
matriks tulang. Tulang yang terwarnai Alizarin Red akan berwarna merah tua apabila
tulang tersebut telah mengalami kalsifikasi. Warna tersebut muncul karena zat warna
yang diberikan terikat oleh kalsium pada matrik tulang (Soeminto, 2002). Matriks
yang termineralisasi terlihat setelah sebelumnya terjadi pentransparanan kulit dan
otot ikan (Thanh To, 2015).
Metode mikroteknik untuk mengamati proses perkembangan organ tertentu
dapat digunakan pewarnaan khusus, misalnya pewarnaan Alizarin Red untuk
mendeteksi pengendapan mineral kalsium pada proses pembentukan tulang keras.
Kandungan kalsium dalam tulang dapat membentuk kekuatan tulang serta membuat
tulang menjadi kokoh. Mineralisasi matriks sel sangat mempengaruhi proses
pertumbuhan dan perkembangan jaringan tulang. Metode pewarnaan dengan Alizarin
Red memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya yaitu lebih praktis dan hemat
karena dengan menggunakan bahan kimia yang lebih sedikit sudah dapat tulang-
tulang pada embrio secara utuh tanpa merusaknya. Kelemahan dari metode ini yaitu
hanya tulang keras saja yang terwarnai sehingga tidak dapat mengamati tulang rawan
yang terbentuk. Proses pengerjaanya cukup lama sehingga tidak efisien waktu.
Embrio yang diwarnai dengan metode Alizarin Red akan sangat lunak dan mudah
hancur jika terkena getaran yang cukup keras (Villee, 1998).

B. Tujuan

Tujuan dari praktikum Alizarin Red adalah dapat mengerjakan prosedur


pewarnaan Alizarin Red dan menerangkan proses kalsifikasi tulang pada embrio.
II. MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah gelas arloji, 8 botol kecil
penampung cairan, tissue dan pinset.
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah ikan nilem (Osteochilus
vittatus), larutan alkohol 96%, larutan pewarna Alizarin Red, larutan penjernih A
(gliserin 20 bagian + KOH 4% 3 bagian + akuades 77 bagian), larutan penjernih B
(gliserin 50 bagian + KOH 4% 3 bagian + akuades 47 bagian), larutan penjernih C
(gliserin 75 bagian + akuades 25 bagian), larutan KOH 1%, larutan KOH 2%, dan
akuades.

B. Metode

Metode yang dilakukan dalam praktikum ini adalah :


1. Ikan nilem yang sudah dibius pada es diletakkan di cawan petri

2. Ikan nilem dimasukkan ke dalam akuades selama 10 menit.

3. Ikan nilem dimasukkan ke dalam alkohol 96 % dan direndam selama 12 jam.

4. Ganti larutan alkohol dengan akuades selama 10 menit.

5. Diganti dengan KOH 1 % selama 7 jam.

6. Diganti dengan pewarna Alizarin Red selama 2 jam

7. Ditambah dengan KOH 2 % pertama selama 2 jam.

8. Ditambah dengan KOH 2 % kedua selama 11 jam.

9. Diganti dengan larutan penjernih A selama 15 menit.

10. Diganti dengan larutan penjernih B selama 15 menit.

11. Diganti dengan larutan penjernih C selama 15 menit.


12. Identifikasi bagian - bagian tulang pada ikan dilakukan dan dicatat hasilnya.

Serta dilalukan proses dokumentasi. Setiap sesudah pergantian per larutan

dilakukan dokumentasi.
II. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

(j)
Keterangan :
(a) Gambar preparat setelah direndam akuades awal.
(b) Gambar preparat setelah dimasukkan alkohol 96%
(c) Gambar preparat setelah dimasukkan akuades
(d) Gambar preparat setelah dimasukkan KOH 1%
(e) Gambar preparat setelah dimasukkan Alizarin Red
(f) Gambar preparat setelah ditambahkan KOH 2% pertama.
(g) Gambar preparat setelah ditambahkan KOH 2% kedua
(h) Gambar preparat setelah dimasukkan Larutan Penjernih A
(i) Gambar preparat setelah dimasukkan Larutan Penjernih B
(j) Gambar preparat setalah dimasukkan Larutan Penjernih C

Tabel 1. Data Pengamatan Tulang Yang Terkalsifikasi

No Kelompok Tulang yang Terwarnai

Tulang ekor, tulang operculum, tulang


vertebrae, tulang tengkorak, tulang sirip
1 1
caudal, tulang sirip abdominal, tulang sirip
pectoral, tulang sirip dorsal lepas, tulang
rusuk bagian posterior.
Tulang tengkorak, tulang sirip abdominal,
2 2
tulang sirip punggung, tulang sirip dada,
tulang sirip anal.
Tulang sirip ekor, tulang rongga mata,
3 3 tulang rongga insang, tulang tengkorak,
tulang sirip abdominal, tulang sirip
punggung, tulang sirip dada.
Tulang sirip ekor, tulang rongga mata,
tulang rongga insang, tulang tengkorak,
4 4
tulang sirip abdominal, tulang sirip
punggung, tulang sirip dada, tulang rusuk,
tulang sirip anal.
Tulang sirip ekor, tulang rongga mata,
tulang rongga insang, tulang tengkorak,
5 5 tulang sirip abdominal, tulang sirip
punggung, sebagian tulang rusuk, tulang
sirip anal, tulang sirip caudal, tulang
vertebrae.
B. Pembahasan

Praktikum kali ini diperoleh hasil bahwa ikan hancur meskipun bagian-bagian
ikan yang terkalsifikasi masih bisa diamati. Tulang yang terwarnai pada ikan dari
kelompok 5 adalah tulang sirip ekor, tulang rongga mata, tulang rongga insang,
tulang tengkorak, tulang sirip abdominal, tulang sirip punggung, sebagian tulang
rusuk, tulang sirip anal, tulang sirip caudal dan tulang vertebrae. Namun, terjadi
perbedaan hasil tulang-tulang yang terwarnai pada ikan yang berbeda. Perbedaan
penyerapan zat warna dimungkinkan kadar kalsium pada masing masing tulang
berbeda sesuai ukuran dan umur ikan. Menurut Huffman (2012), tulang merupakan
jaringan vaskuler unik yang mengalami mineralisasi sebagai bagian dari proses
perkembangannya. Selain itu, tulang yang diwarnai menggunakan alizarin red akan
berwarna merah apabila tulang tersebut telah mengalami kalsifikasi. Warna ini
muncul karena zat warna yang diberikan terikat oleh kalsium pada matriks tulang
(Jasin, 1989). Osteoklas merupakan bagian tulang yang penting dalam pewarnaan
alizarin karena bagian inilah yang mampu menyerap zat warna jika dilakukan
perlakuan pewarnaan (Thanh To, 2015)
Pembuatan preparat alizarin red diawali dengan perlakuan pertama-tama pada
pukul 13.20 WIB, ikan yang telah direndam air dingin/es sampai mati dimasukkan
kedalam larutan akuades selama 10 menit, tujuannya adalah untuk membersihkan
ikan. Selanjutnya pada pukul 13.30, ikan direndam pada larutan alkohol 96% untuk
memfiksasi sel tanpa merubah strukturnya selama 12 jam dan pada pukul 01.30 WIB
hasil perubahannya warna pada ikan menjadi putih cerah, sel-selnya mati tetapi
strukturnya tetap. Perlakuan berikutnya dilakukan pemberian akuades pada pukul
01.30 WIB untuk penetralan dengan akuades selama 10 menit dan hasil
perubahannya warna pada ikan lebih pucat dibandingkan saat setelah diberi alkohol,
selanjutnya pemberian larutan KOH 1% pada pukul 01.40 WIB untuk
mentransparankan otot selama 7 jam dan hasil perubahannya ikan semakin pucat dan
mengambang, karena sel-selnya sudah mati namun keadaan ikan secara keseluruhan
masih sama seperti awal. Pukul 08.40 WIB dilakukan pemberian larutan alizarin red
selama 2 jam dan hasil perubahannya mata mulai menghitam dan ikan dalam kondisi
yang terapung. Tahap selanjutnya penambahan KOH 2% pertama tanpa membuang
larutan alizarin red sebelumnya selama 2 jam pada pukul 10.40 WIB, bagian ventral
mulai terlihat keunguan dan sisik masih menempel dengan kuat seperti pada keadaan
awal ikan. Berikutnya tepat pukul 12.40 WIB ditambahkan larutan KOH 2% kedua
selama 11 jam dan hasil perubahannya ikan masih sama seperti keadaan sebelumnya,
sehingga waktu ditambah menjadi 15 jam perendaman KOH 2 % kedua. Setelah
perendaman 15 jam ini ikan terlihat sedikit hancur, namun sudah nampak bagian-
bagian tulang yang terwarnai. Sisik ikan sudah mulai mengelupas dan usus keluar
namun tidak semuanya. Kemudian larutan sebelumnya dibuang dan diganti dengan
larutan penjernih A pada pukul 05.00 WIB selama 15 menit dan hasil perubahannya
tulang dan bagian dalam tubuh terlihat jelas, warna ungu yang menempel pada tubuh
dan sisik ikan pun mulai menghilang, yang tertinggal hanya pewarnaan pada tulang
saja. Selanjutnya, penggantian dengan larutan penjernih B pada pukul 05.15 WIB
dan hasilnya adalah beberapa tulang semakin jelas karena terkalsifikasi dan mulai
bisa diamati. Langkah terakhir adalah penggantian dengan larutan penjernih C
sekaligus sebagai larutan penyimpan sebelum dibawa ke Lab untuk dipresentasikan
hasilnya. Hasil yang didapatkan pada tahap terakhir ini adalah ikan sudah
sepenuhnya dapat diamati, meskipun keadaan ikan hancur namun tulang-tulang yang
mengalami kalsifikasi nampak jelas. Untuk penyimpanan jangka panjang, larutan
diganti dengan menggunakan gliserin murni yang berfungsi sebagai fiksatif atau
pengawet sehingga ikan tidak akan mudah hancur (Soeminto, 2002). Hancurnya ikan
diindikasikan karena perendaman yang terlalu lama pada larutan KOH 2 % kedua,
serta praktikan yang tidak hati-hati ketika membawa spesimen sehingga terbentur
ataupun tergoyang, sehingga ini dijadikan pembelajaran lagi.
Berdasarkan referensi, metode alizarin ini memiliki keuntungan yaitu lebih
praktis dan hemat karena jenis bahan kimia yang digunakan hanya sedikit, dapat
mengamati tulang-tulang pada embrio atau hewan secara utuh tanpa terpisah dan
merusak bentuk bagiannya, dan juga dapat melihat bentuk kelainan tulang pada
embrio. Namun kelemahan dari metode ini adalah hanya tulang keras saja yang
terwarnai sedangkan tulang rawan tidak terwarnai sehingga tidak dapat mengamati
tulang rawan yang terbentuk dan tidak bisa membedakan tulang rawan dan tulang
keras pada embrio, proses pengerjaannya memakan waktu yang cukup lama sehingga
tidak efisien waktu, dan mudah rusak karena embrio yang diwarnai dengan metode
alizarin akan sangat lunak serta mudah hancur jika terkena getaran yang cukup keras.
Hal ini karena pada pewarnaan alizarine red menggunakan KOH 1 % dan KOH 2 %
(tingkat penggunaan KOH tinggi dan dalam rentang waktu yang lama)
(Somasundaran, 1986).
Kalium Hidroksida atau biasa disebut KOH merupakan senyawa kimia alkali
kaustik yang mudah larut dalam air dan mudah terbakar. KOH juga bersifat korosif
sehingga sering digunakan sebagai zat untuk mentransparankan sesuatu, salah
satunya dalam pewarnaan alizarin ini yaitu digunakan sebagai penjelas otot
(Genester, 1993).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi proses kalsifikasi, yaitu:
1. Hormon paratiroid, kalsitonin, dan vitamin D yang bertanggung jawab terhadap
tingkat kadar kalsium darah yang normal, yang akan mempengaruhi proses
kalsifikasi. Kalsitonin adalah hormon yang berasal dari sel-sel parafolikuler dari
kelenjar tiroid. Hormon tersebut mempunyai aksi dalam menurunkan kadar
kalsium darah dan menghambat resorpsi tulang sehingga mempengaruhi proses
kalsifikasi.

2. Makanan juga berpengaruh dalam proses kalsifikasi. Hal ini khususnya berlaku
terhadap cukupnya persediaan dan tersedianya mineral-mineral seperti kalsium
dan fosfor, yang merupakan komponen-komponen anorganik utama dari tulang.
Kekurangan kalsium atau fosfor dalam makanan mengakibatkan pelanggaran dan
kerapuhan tulang. Dalam situasi dimana kalsium cukup tetapi vitamin D kurang,
terjadilah gangguan dalam penyerapan mineral dan mineralisasi pada tulang yang
sedang tumbuh (diantaranya tahap kalsifikasi) menjadi terhambat (Geneser,
1993).

Jika matriks dan sel sudah terbentuk, jaringan mengalami kalsifikasi


(pengapuran), yaitu mineral diendapkan dalam bentuk hidroksi apatit (Ca3[PO4]2)3-
Ca(OH)2. Disamping itu, mineral tulang juga dapat mengandung kation-kation lain
seperti natrium, magnesium, karbonat dan sitrat. Mekanisme pengendapan garam-
garam tulang tidak diketahui, meskipun banyak teori telah dikembangkan untuk
menerangkan prosesnya. Kesulitan utama untuk menerangkan bagaimana tulang dan
unsure-unsur lain bermineralisasi. Kenyataan bahwa cara sebenarnya untuk
mentranspor mineral-mineral itu dari cairan jaringan ke matriks yang mengalami
mineralisasi itu, sampai sekarang belum terungkap (Junquiera & Carneiro, 1982).
Matriks tulang mengandung unsur-unsur yang sama seperti jaringan-jaringan
penyambung lainnya, serat-serat dan bahan dasar. Pengendapan matriks ini oleh
osteoblast disebut osifikasi. Pengendapan garam-garam kalsium dalam matriks ini
disebut kalsifikasi (pengapuran), suatu proses yang terjadi normal pada tulang tetapi
dapat terjadi patologis dalam jaringan penyambung lain, seperti tulang rawan dan
dinding pembuluh darah. Jika kalsifikasi belum terjadi dalam matriks tulang, daerah
itu disebut osteoid (Junquiera & Carneiro, 1982). Hal ini yang melandasi mengapa
ada beberapa tulang yang tak terwarnai, yaitu karena belum terjadinya kalsifikasi
pada tulang.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan tujuan dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai


berikut:
1. Tulang yang terwarnai (kalsifikasi) pada ikan dengan pewarnaan alizarin red
adalah tulang sirip ekor, tulang rongga mata, tulang rongga insang, tulang
tengkorak, tulang sirip abdominal, tulang sirip punggung, sebagian tulang rusuk,
tulang sirip anal, tulang sirip caudal dan tulang vertebrae.
B. Saran

Saran untuk praktikum ini adalah waktu yang digunakan untuk pewarnaan
harus lama agar terwarnai semua tulang ikan. Praktikan harus memahami secara teori
mengenai percobaan dan memahami langkah kerja yang benar.
DAFTAR PUSTAKA

Bevalender. 1988. Dasar-dasar Histologi. Jakarta: Erlangga.


Geneser, Finn. 1993. Textbook of Histology. Copenhagen: Munksgaard.
Gupta, V.K., Goyal, R.N., & Sharma, A. 2009. Novel PVC Membrane Based
Alizarin Sensor and its Application; Determination of Vanadium, Zirconium,
and Molybdenum. The Journal of Electrochem Science. Volume(4). Hal 156-
172.
Huffman, N.T., Jeff P. Gorski, T. Hillman-Marti, & Daniel Studer. 2012. Dry
Ultrathin Sectioning Combined With High Pressure Freezing/Freeze-
substitution Improves Retention and Visualization of Calcium and Phosphorus
Ions Prior to Nucleation of Mineral Crystals Within Osteoblastic Cultures.
Autumn, No. 12
Jasin, M. 1989. Sistematika Hewan (Invertebrata dan Vertebrata). Surabaya: Sinar
Wijaya.
Junquiera, L. C. & J. Carneiro. 1982. Histologi Dasar. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.
Karyadi. 2003. Pemberian Rasio Kalsium dan Fosfor Terhadap Osifikasi
Tulang Embrio Puyuh. Jurnal Penelitian UNIB vol 6(7). pp. 47-59.
Kimmel, C.B. 2005. Evolution and Development of Facial Bone Morphology In
Threespine Sticklebacks. Institut of Neuroscience and Center for Ecology and
Evolutionary Biology, Vololume(102).
Mardanung, M. 1985. Mencit Sebagai Hewan Percobaan. Jurnal Media Peternakan.
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Soeminto. 2002. Biologi Perkembangan. Purwokerto: Universitas Jenderal
Soedirman.
Somasundaran, P., Fu, E. 1986. Alizarin Red S as a Flotation of Modyfing Agent in
Calcitat-Apatite System. International Journal of Mineral Precessing, Vol. 18.
pp. 287-296.
Thanh To, Thuy, Witten, P Eckhard, Huysseune A, Winkler, Christoph. 2015. An
Adult Osteopetrosis Model in Medaka Reveals The Importance of Osteoclast
Function For Bone Remodeling in Teleost Fish. Comparative Biochemistry and
Physiology, Part C. -.
Villee, C. A., W. F. Walker, & R. D. Barnes. 1998. Zoologi Umum. Jakarta:
Erlangga.

Você também pode gostar