Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Aristoteles (384-322 s.M.) lahir di Stagira, Yunani Utara dari ayah seorang dokter di
Macedonia. Pada usia 18 tahun Aristoteles belajar di Akademi Plato di Athena dan tetap di
akademi ini sampai meninggalnya Plato, kemudian kembali ke Athena mendirikan sekolah
Lyceum. Karya Aristoteles antara lain tentang logika (Organon): Kategoriai; Peri
Hermeneias; Analytika Protera; Analytika Hystera; Topika; dan Peri Spohistikoon.
Realitas adalah universal. Ia merupakan obyek yang dipilahkan dalam form (bentuk)
dan matter (materi). Menurut Aristoteles, objek-objek adalah partikular sebagai substansi
yang nyata: (i) meteri mengandaikan bentuk-bentuk yang berbeda tetapi bentuk permulaan
tidak berubah; (ii) materi merupakan asas kebolehjadian sedangkan bentuk merupakan asas
kenyataan atau actual: materi dan bentuk itu menyatu. Aristoteles menyatukan materi dan
bentuk ini. Ia memasukkan sebab ke dalam tindakan (estelechy) pendekatan terhadap
kesatuan dari semua benda menjadi tujuan (teleology) dari alam semesta; bentuk-bentuk
adalah kekuatan yang bertujuanyang diciptakan oleh pikiran itu sendiri; setiap organisme
menjadi suatu hal melalui tindakan dari idea tujuan; bentuk dan materi merupakan suatu yang
abadi.3 Karenanya haruslah materi tunduk pada hukum kausalitas, yang mutlak berlaku pada
ciptaan tuhan, tetapi tidak berlaku pagi sang pencipta. Dengan demikian sebab (causa) itu
sarat (padat) dengan nilai-nilai (values loaded).
1
Mudhofir, Kamus Filsafat Barat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta, 2001:24-25.
2
Gordon, The History and Philosophy of Social Science, 1993: 213.
3
Mudhofir, Kamus Filsafat Barat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta, 2001:26-27.
madib.blog.unair.ac.id/philosophy/tiga-paradigma-filsafat-ilmu-pengetahuan-sosial/
1
Realitas makhluk di alam semesta ini, telah menjadi anggapan aksiomamtik bagi
Aristoteles yang dipahaminya sebagai suatu keteraturan atau suatu tertib (disebut nomos atau
order dalam bahasa Inggris) yang sudah pre-establihed, dalam arti sudah tercipta dan
menjadi ada sejak awal mulanya. Paradigma Aristotelian ini bertolak dari anggapan
aksiomatik bahwa seluruh kenyataan alam semesta itu pada hakikatnya adalah suatu totalitas
kodrati yang telah tercipta secara final dalam bentuknya yang sempurna, dan serba
berkeselarasan (harmony) sejak awal mulanya. Rancang bangun ontologik Aristotelian
didasarkan atas satu kausa utama (kausa prima) yang diimplementasikan dalam empat kausa.
Kausa prima ada pada diri Tuhan sedangkan empat kausa lainnya berada dalam realitas selain
tuhan (makhluk). Keempat kausa atau sebab itu adalah4: (i) sebab bahan (material) berupa
materi yakni bahan-bahan untuk membuat bangunan konstruksi rumah misalnya; (ii) sebab
bentuk (forma) berupa ide tentang benda-benda alam dan juga yang dipahami oleh pikiran;
(iii) sebab kerja (efisien) berupa aktivitas manusia; dan (iv) sebab tujuan (final) berupa target
yang hendak dicapai atas suatu rencana kegiatan. Kaualitas ini berlaku bagi semua realitas
makhluk kecuali sang causa prima. Causa prima yang menciptakan empat kausa tersebut,
tetapi ia sendiri tidak perlu tunduk kepada kausalitas yang ia ciptakan.
4
Mudhofir, 2001, Ibid, 26.
5
Wignjosoebroto, Tentang Teori, Konsep, dan Paradigma dalam Kajian tentang Manusia, Masyarakat, dan
Hukumnya. Makalah. 2010:9. http://blog.unila.ac.id/pdih/files/2009/04/babi_teori-dan-paradigma.pdf. diakses 1
Februari 2011 jam 23.23 wib.
6
Hitti, History of the Arabs. Macmillan Press. London:1974:363. Nakosteen, History of Islamic Origins of
Western Education. University of Colorado Press, 1964:207.
madib.blog.unair.ac.id/philosophy/tiga-paradigma-filsafat-ilmu-pengetahuan-sosial/
2
Mahakuasa dan Mahasempurna itu ada, dan Dialah pencipta semesta ini (Baca: causa prima
dari Aristoteles). Penciptaan tentulah didasari oleh suatu intensi dan alasan yang
mengisyaratkan adanya suatu tujuan final (causa finalis) yang Illahi. Bagi Leibniz,7
keteraturan yang berkeselarasan tanpa pertentangan ini dapat digambarkan sebagai suatu
orkestra sebagai suatu pre-established harmony sebagaimana dimaksudkan oleh Leibniz.
Sekian banyak pemusik (ialah satuan-satuan yang oleh Leibniz disebut monad yang
independen) telah memainkan bagian masing-masing yang sekalipun masing-masing
bertindak sendiri-sendiri secara mandiri, namun secara total lalu menjadi berkeselarasan.
7
Wignjosoebroto, Opcit; Gordon, Opcit. 1993:28.
8
Gordon, The History and Philosophy of Social Science, 1993: 52, 69, 72, Mudhofir, Kamus Filsafat Barat.
Pustaka Pelajar. Yogyakarta, 2001:124-125; Flew, Dictionary of Philosophy. Pan Book. London, 1983:89-91.
9
Harianto, Paradigma Holistik. Teraju, Jakarta: 2010:34.
10
Gordon, Ibid, 1993:69, dan 72
11
Ibid.
madib.blog.unair.ac.id/philosophy/tiga-paradigma-filsafat-ilmu-pengetahuan-sosial/
3
Pada garis besarnya, fokus kajian rasionalisme Descartes adalah (i) menekankan akal
budi (rasio) sebagi sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas
(terlepas) dari pengamatan inderawi. (ii) Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal
yang memenuhi syarat semua pengetahuan ilmiah. (iii) Pengalaman hanya dipakai untuk
mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal. Akal tidak memperoleh pengalaman. Akal
dapat menurunkan kebenaran dari dirinya, yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti.
Adapun ciri-ciri rasionalisme adala (i) tidak mengingkari nilai pengalaman, melainkan
pengalaman hanya dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran; (ii) keyakinannya
bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu;
(iii) kebenaran bermakna sebagai keberadaan ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk
kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat
diperoleh dengan akal saja.
Cara kerja rasionalisme adalah (i) memulai dengan sebuah pernyataan yang sudah
pasti; (ii) aksioma dasar yang dipakai membangun sistem pemikirannya diturunkan dari ide
yang menurut anggapannya adalah jelas, tegas dan pasti dalam pikiran manusia; (iii) Pikiran
manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui ide tersebut, namun manusia tidak
menciptakannya, maupun tidak mempelajari lewat pengalaman; dan (iv) Ide tersebut sudah
ada "di sana" sebagai bagian dari kenyataan dasar dan pikiran manusia, karena ia terlihat
dalam kenyataan tersebut, pun akan mengandung ide pula. Adapun tiga asumsi paradigma
Cartesian adalah (i) subjektif-antroposentrik; (ii) dualisme; dan (iii) mekanistik-
deterministik12. Pertama, subjektif-antroposentrik merepresentasikan modus khas kesadaran
modernisme bahwa manusia merupakan pusat dunia. Descartes mengembalikan skema
pendekatan metafisis dengan menolak cara-cara yang bersifat tradisional.
Kedua, dualisme. Prinsip ini memilahkan realitas atas subjek dan objek, manusia dan
alam yang menempatkan superioritas subjek atas subjek. Dualime memisahkan secara
mendasar antara kesadaran dan materi, ruh dan tubuh, jiwa dan benda, serta nilai dan fakta.
Gordon13 menguraikan:
Descartes made a hard categorical distinction between body and mind, which
stimulated intense efforts by metaphysicians to re-establish a monistic unity, which still
continues in the present day. Even philosophers who regard metaphysics as meaningless
nonsense, and are scornful of these early attempts to resolve the Cartesian dualism, have
nevertheless had to contend with some very difficult problems that are posed by it.
12
Harianto, Ibid. Hal 32-71.
13
Gordon, Opcit, 1993:212.
14
Gordon, Ibid, 1993:374; Mudhofir, Opcit, 2001: 125.
madib.blog.unair.ac.id/philosophy/tiga-paradigma-filsafat-ilmu-pengetahuan-sosial/
4
3. Paradigma Saintifik Galilean
Paradigma Galilean, mengacu kepada pemikir Galileo Galilei (1564-1642) yang lahir
di Pisa, Itali. Ia belajar dan kemudian mengajar di Universitas Pisa. Beberapa tahun kemudian
ia bergabung dengan Universitas Padua dan menetap di sana hingga 1610. Pada masa inilah
produktivitas temuan ilmiah Galileo tersalurkan. Karya tulis Galileo antara lain: Letter to the
Grand Duchess Christina (1636); the Assayer (1623); Dialogue in the Two Chief Word
Systems (1632); Discourse on Two New Sciences (1638).15
Galileo, amat berjasa pada ilmu fisika dan astronomi, khususnya penggunaan teleskop
untuk observasi. Ia menemukan rumus-rumus matematik untuk hukum fisika. Galileo juga
mengembangkan prinsip observasi objektif serta analisa teoritis yang rasional yang kemudian
menjadi sifat pendekatan ilmiah dalam ilmu pengetahuan, itulah yang dikenal dengan prinsip
causa effect, sebab akibat. Dari penemuannya itu Galileo membuka jalan formulasi sistematik
atas hukum mekanika fisika yang dikemukakan Isaac Newton (1642-1727) dalam kurun satu
setengah abad kemudian. Tapi ia sempat bertentangan dengan gereja Katolik, bahkan
bukunya, Dialogue on the Chief System of the World dilarang. Pertentangannya dengan
Gereja menyangkut pemihakan Galileo pada teori Copernicus, yang mengatakan, matahari
adalah pusat sistem planet, bukan bumi sebagaimana yang diyakini Gereja, dalam ajaran-
ajaran kitab sucinya.16 Melalui buku Letter on Sunpots (1613), Ia menerima teori Copernicus.
Galileo dipanggil Gereja diadili dan diminta menjelaskan pendapatnya. Pada akhirnya
Galileo mampu meyakinkan kebenaran teori Copernicus pada Gereja. Disitulah ia dianggap
mempengaruhi para agamawan untuk menerima suatu teori ilmiah yang dasarnya penelitian
empiris, bukan kitab suci. Namun kendati demikian ia tidak mengklaim bahwa ilmu
pengetahuan tidak lebih unggul dari agama. 17
15
Mudhofir, Kamus Filsafat Barat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta, 2001:188-189. Flew, Dictionary of
Philosophy. Pan Book. London, 1983:139-130.
16
Gordon, Opcit, 1993:20.
17
Gordon, Ibid, 1993:20.
18
Mudhofir, Ibid, 2001:187
madib.blog.unair.ac.id/philosophy/tiga-paradigma-filsafat-ilmu-pengetahuan-sosial/
5
siapapun, yang karena itu tak sekali-kali tunduk kepada imperativa alami yang berlaku
universal.19
Hakekat pengetahuan (episteme) Galilean berangkat dari premis dasar ontologik-
metafisika bahwa alam semestra dan isinya merupakan himpunan fragmen yang terdiri dari
variable-variabel yang jumlahnya tidak terhingga. Hubungan antar unsur dalam fragmen itu
selalu dapat disaksikan sebagai suatu yang faktual dan aktual. Hubungan antar variable
berlangsung secara kausal-mekanistik. Setiap gejala dapat diidentifikasi yang karenanya
memiliki kecenderungan-kecenderungan (trend) dalam pergerakannya. Ilmu penegetahuan
(science) manusia berlangsung di ranah yang indrawipenglihatan, pendengaran, pencecapa,
perasa, perabaan, dan penciuman. Proses hubungan antar-unsur selalu dapat disimak sebagai
sesuatu yang faktual dan aktual. Hubungan antar-variabel itu berlangsung secara kausal-
mekanististik di tengah alam objektif (yang karena itu tunduk kepada imperativa alami yang
berlaku universal serta berada di luar rencana dan kehendak sesiapapun. Kecuali objektif,
hubungan antar-fragmen itu berlangsung di ranah yang indrawi, dan yang karena itu pula
selalu dapat disimak sebagai sesuatu yang faktual dan aktual. Hubungan kausal antar variabel
itu berlangsung secara mekanististik dan dapat direproduksi, dan oleh sebab itu pula setiap
kejadian atau terjadinya peristiwa selalu dapat diprakirakan atau bahkan diramalkan.
Penguasaan atas berbagai hubungan kausal antar-faktor variabel ini dapat dilakukan untuk
memproduksi hubungan-hubungan baru dalam kombinasi antar-variabel yang akan
menghasilkan fakta-fakta baru yang sebagian besar tidak diprakirakan sebelumnya. Dari
pengetahuan tentang dan penguasaan atas berbagai kausa dan effek yang tak kunjung final
inilah lahirnya ilmu pengetahuan (science=sains) berikut berbagai metodenya untuk
memanipulasi hubungan-hubungan sebab-akibat ke arah ragam-ragamnya yang tak hanya
bernilai ilmiah/saintifik tetapi juga teknologik. Pada intinya, paradigma Galillean
berpandangan bahwa hukum alam semesta sebagai keteraturan hasil akhir proses yang acak
sebab-akibat antar-faktor.20 ***
Buku Bacaan
Adib, Mohammad
2011 Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan. Cetakan Ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Flew, Antony
1983 Dictionary of Philosophy. London: Pan Book.
Gordon, Scott
1993 The History and Philosophy of Social Science, New York: Paperback
Routledge.
19
Wignjosoebroto, 2010, Opcit. Gordon, Opcit, 1993:24.
20
Wignjosoebroto, Ibid, 2010:10. Gordon, Opcit, 1993:20.
madib.blog.unair.ac.id/philosophy/tiga-paradigma-filsafat-ilmu-pengetahuan-sosial/
6
Harianto, Husein.
2010 Paradigma Holistik, Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra
dan Whitehead. Jakarta: Teraju.
Hitti, Phillip, K.
1974 History of the Arabs. London: Macmillan Press.
Homans, George
1974 Social Behavior: Its Elementary Form. Social Behavior: Its Elementary Form.
Edisi Revisi. New York: Harcourt Bace Jovanovich.
Mudhofir, Ali
2001 Kamus Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wignjosoebroto, Soetandyo
2010 Tentang Teori, Konsep, dan Paradigma dalam Kajian tentang Manusia,
Masyarakat, dan Hukumnya. Makalah. http://blog.unila.ac.id/pdih/files/
2009/04/babi_teori-dan-paradigma.pdf. diakses 1 Februari 2011 jam 23.23
wib.
madib.blog.unair.ac.id/philosophy/tiga-paradigma-filsafat-ilmu-pengetahuan-sosial/
7