Você está na página 1de 7

Sanitasi dapat diartikan sebagai upaya untuk menciptakan dan memelihara

kondisi yang bersih dan sehat. Penerapan sanitasi dimaksudkan untuk praktik-
praktik higienis yang didesain untuk mempertahankan kondisi lingkungan yang
bersih dan sehat, misalnya dalam proses produksi, pengolahan, persiapan, dan
penyimpanan makanan. Kontaminasi silang pada bahan pangan merupakan
peristiwa terjadinya perpindahan mikroorganisme dari satu makanan ke makanan
lain melalui permukaan non-pangan, seperti melalui peralatan, perabot, tangan
manusia, atau udara. Kontaminasi silang juga dapat terjadi pada saat penyimpanan
bahan pangan, misalnya karena tempat atau wadah yang digunakan untuk
menyimpan sudah terkontaminasi bakteri merugikan. Upaya yang dapat dilakukan
untuk mencegah agar tidak terjadi kontaminasi silang diantaranya ialah dengan
menggunakan wadah dan peralatan yang terpisah untuk bahan pangan yang masih
mentah, menyimpan bahan pangan pada wadah tertutup, membersihkan peralatan
yang biasa digunakan untuk pembersihan secara teratur, dan lain sebagainya
(Marriott dan Gravani, 2006).
Di sisi lain, para pekerja merupakan sumber kontaminasi terbesar diantara
semua faktor yang dapat menyebabkan tercemarnya makanan oleh
mikroorganisme, terutama para pekerja yang tidak mengikuti prosedur sanitasi
dengan baik dan benar. Para pekerja tersebut dapat menyebabkan kontaminasi pada
makanan yang mereka sentuh. Hal ini dapat terjadi karena adanya mikroorganisme
pembusuk ataupun patogen yang mereka dapatkan saat bekerja atau berada pada
kondisi lingkungan lainnya. Tangan, rambut, hidung, dan mulut merupakan tempat
yang aman bagi mikroorganisme sekaligus menjadi tempat yang memudahkan
mikroorganisme berpindah pada makanan. Tubuh manusia yang hangat juga
menyebabkan mikroorganisme dapat menyebar dengan cepat, terutama saat
prosedur sanitasi tidak dilakukan (Marriott dan Gravani, 2006).
Selain para pekerja, ada pula beberapa sumber lain yang dapat menyebabkan
kontaminasi pada makanan. Sumber-sumber tersebut diantaranya ialah peralatan
yang digunakan, udara, air, dan lain sebagainya. Kontaminasi melalui peralatan
dapat terjadi selama proses produksi. Sementara udara dan air merupakan dua
faktor yang sangat erat kaitannya dengan lingkungan produksi. Oleh karenanya
mikroorganisme yang terdapat pada udara dan air sangat mudah untuk berpindah
dan mengontaminasi makanan selama proses produksi (Marriott dan Gravani,
2006).
Untuk mengetahui kondisi sanitasi pekerja, udara, ataupun ruangan, dapat
dilakukan beberapa pengujian. Beberapa metode pengujian yang dapat digunakan
untuk mengetahui kondisi sanitasi udara dan ruangan meliputi metode cawan
terbuka, metode RODAC (Replicate Organism Direct Agar Contact), dan metode
oles. Metode cawan terbuka, biasanya digunakan untuk mengetahui kondisi
kebersihan udara, dilakukan dengan meletakkan cawan petri yang telah berisi media
agar beku di beberapa titik dengan kondisi tutup cawan terbuka. Metode RODAC,
umumnya digunakan untuk pengujian sanitasi pada meja dan lantai, dilakukan
dengan menempelkan (mengadakan kontak langsung) media agar pada cawan petri
dengan permukaan meja atau lantai yang akan diuji. Sedangkan metode oles
dilakukan dengan menyeka atau mengoles permukaan meja atau lantai pada luasan
tertentu. Metode ini dilakukan untuk menguji sanitasi pada meja yang sering
digunakan atau lantai yang sering dilalui (Hadi, 2011). Sementara itu, kondisi
sanitasi pekerja dapat diketahui dari bagian-bagian tubuh pekerja yang rentan
terhadap pertumbuhan mikroorganisme, misalnya tangan dan rambut.
Mikroorganisme dari bagian-bagian tersebut ditumbuhkan pada media agar dengan
menempelkan bagian tersebut secara langsung pada media agar, baik untuk tangan
maupun rambut. Setelah inkubasi, dapat diketahui tingkat sanitasi dari pekerja dan
mikroorganisme apa saja yang kemungkinan ada dan dapat mengontaminasi (Hadi,
2011).
DAFTAR PUSTAKA

Marriott, N. G. dan Gravani, R. B.. 2006. Principles of Food Sanitation: Fifth


Edition. Springer. USA
Hadi, D. K.. 2011. Sanitasi Pekerja. Laporan Praktikum. Universitas Jember:
Jember
UJI BORAKS DAN FORMALIN PADA MAKANAN

Boraks merupakan senyawa garam natrium tetraborat yang biasanya digunakan


dalam industri non-pangan. Boraks biasa berbentuk serbuk kristal, berwarna putih,
tidak berbau, dan mudah larut dalam air namun tidak dapat larut dalam alkohol.
Boraks biasanya digunakan sebagai pengawet dan antiseptik pada kayu. Kegunaan
boraks sebagai pengawet ini disebabkan oleh senyawa asam borat yang terkandung
dalam boraks. Asam borat sendiri sering digunakan dalam produk obat dan
kosmetik, misalnya pada obat cuci mata, obat kumur, salep luka kecil, dan lain
sebagainya. Senyawa asam borat tersebut tidak boleh masuk ke dalam tubuh karena
sifatnya yang berbahaya (Silva, 2014).
Keberadaan boraks dalam bahan pangan dapat diidentifikasi dengan beberapa
metode pengujian, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, diantaranya ialah
dengan menambahkan kurkumin (Silva, 2014), uji nyala (Silva, 2014), uji kertas
turmerik (Armiyanti, 2015), titrasi volumetrik, spektrofotometrik (Gandjar dkk
(2012) dan Muchtaridi dkk (2006) dalam Hartati (2017)), .
Pada uji nyala, dilakukan pembakaran terhadap sampel yang akan diuji. Adanya
kandungan boraks dapat dilihat dari warna nyala api yang terbentuk. Sampel
dinyatakan mengandung boraks apabila nyala api yang terbentuk berwarna
kehijauan. Hal ini dikarenakan nyala api yang terbentuk saat pembakaran serbuk
boraks murni ialah hijau (Silva, 2014).
Pada pengujian dengan kertas turmerik, digunakan kertas saring yang telah
dicelupkan ke dalam cairan kunyit terlebih dahulu. Sampel dinyatakan mengandung
boraks apabila saat diteteskan pada kertas turmerik menghasilkan warna yang sama
dengan kertas turmerik kontrol, yakni kertas turmerik yang ditetesi larutan boraks.
Hasil ini nantinya bisa diperkuat dengan memberikan uap ammonia pada kertas
turmerik yang telah ditetesi sampel. Apabila terjadi perubahan warna menjadi hijau
kebiruan maka sampel tersebut dinyatakan positif mengandung boraks (Winarno
dan Rahayu (1994) dalam Armiyanti (2015)).
Formalin adalah larutan formaldehid dengan kadar 37% yang biasanya
digunakan untuk pengawet. Formaldehid merupakan senyawa kimia yang tidak
berwarna, berbau menyengat, sangat reaktif (mudah terbakar), larut dalam air, dan
sangat mudah larut dalam etanol dan eter (Rachmita (2013) dalam Rachmawati
(2015)). Secara umum formalin dapat digunakan sebagai antibakteri, pengeras
lapisan gelatin dan kertas, bahan pembuatan pupuk urea, pengeras kuku, pencegah
korosi untuk sumur minyak, perekat kayu, dan lain sebagainya (Assambo (2013)
dalam Rachmawati (2015)).
Keberadaan formalin dalam bahan makanan dapat diidentifikasi dengan
melakukan beberapa metode pengujian, meliputi reaksi Schryver, reaksi cermin
perak, reaksi dengan asam salisilat, reaksi asam kromatropat, reaksi nash, reaksi
hehner-fultor, reaksi cincin, spektorfotometri, dan lain sebagainya. Secara umum,
pengujian kandungan formalin dalam bahan pangan dilakukan dengan
menambahkan reagen-reagen yang dapat dijadikan sebagai indikator adanya
formalin (Sikanna, 2016).
DAFTAR PUSTAKA

Armiyanti, W. M.. 2015. Pengujian Boraks dan Asam Borat dalam Bahan Pangan.
Laporan Analisis Kimia. Universitas Negeri Yogyakarta: Yogyakarta

Hartati, F. K.. 2017. Analisis Boraks Secara Cepat, Mudah dan Murah pada
Kerupuk. Jurnal Teknologi Proses dan Inovasi Industri, Vol. 2 No. 1, Juli 2017..
universitas Dr. Soetomo: Surabaya

Rachmawati, D. F.. 2015. Uji Boraks dan Formalin. Laporan Praktikum Biokimia
II. Universitas Sriwijaya: Palembang

Sikanna, Rismawaty. 2016. Analisis Kualitatif Kandungan Formalin pada Tahu


yang Dijual di Beberapa Pasar di Kota Palu. Kovalen, 2(2): 85-90, September
2016 ISSN: 2477-5398

Silva, R. V. R. D.. 2014. Identifikasi Boraks dalam Bahan Makanan. Laporan


Praktikum Kimia Makanan. Politeknik Kesehatan Kupang: Kemenkes Kupang
UJI SALMONELLA

Salmonella adalah bakteri gram negatif yang berbentuk batang tanpa spora
dengan ukuran 0,7 mikrometer-1,5 mikrometer x 25 mikrometer (BSN, 2006).
Salmonella sp merupakan bakteri penyebab Salmonellosis. Bakteri ini biasanya
hidup dalam saluran pencernaan hewan dan manusia. Keberadaan bakteri ini dapat
menyebar melalui bahan pangan, terutama produk dan turunan dari daging, susu,
dan telur. Kontaminasi Salmonella sangat berbahaya bagi manusia karena dapat
menyebabkan penyakit. Pertumbuhan dan perkembangan Salmonella pada bahan
pangan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya ialah sifat bahan
pangan itu sendiri (pH, kelembaban, dan nutrisi), kondisi lingkungan, kondisi
pengolahan atau penyimpanan bahan pangan, dan lain sebagainya (Amiruddin dkk,
2017).
Menurut BSN (2006), keberadaan Salmonella pada bahan pangan dapat
diidentifikasi dengan menumbuhkan sampel pada media pengkayaan terlebih
dahulu kemudian dideteksi dengan menumbuhkannya pada media agar selektif.
Koloni-koloni yang diduga Salmonella pada media selektif selanjutnya diisolasi
dan dikonfirmasi melalui uji biokimia dan uji serologi untuk meyakinkan ada atau
tidaknya bakteri Salmonella tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, dkk. 2017. Isolasi dan Identifikasi Salmonella sp pada Ayam Bakar di
Rumah Makan Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh. JIMVET. 01(3):
265-274 (2017) ISSN: 2540-9492. Universitas Syiah Kuala: Banda Aceh

Badan Standardisasi Nasional. 2006. Cara uji mikrobiologi-Bagian 2: Penentuan


Salmonella pada produk perikanan. SNI 01-2332.2-2006. Badan Standardisasi
Nasional. Jakarta

Você também pode gostar