Você está na página 1de 21

STANDARD

PELAYANAN MEDIS
KESEHATAN ANAK

ALERGI IMUNOLOGI
ALERGI SUSU SAPI

PENGERTIAN :
Alergi susu sapi adalah suatu penyakit akibat reaksi imunologik, timbul setelah pemberian susu
sapi atau makanan yang mengandung susu sapi. Reaksi ini dapat terjadi melalui reaksi hipersensitivitas
tipe I fase cepat maupun fase lambat.

INSIDENS :
Angka kejadian pada bayi di negara Barat sekitar 2%-2,5%. Di Indonesia belum ada angka pasti,
tetapi menurut hasil penelitian di poliklinik Alergi Imunologi Anak RSCM Jakarta, dari seluruh anak
yang menderita alergi, sekitar 2,4% mengalami alergi susu sapi.
Hasil penelitian Hide (1997) menunjukkan adanya penurunan angka alergi susu sapi sesuai
dengan bertambahnya usia, yaitu 44% pada usia 1 tahun, 1.9% pada usia 2 tahun dan 0,4% pada usia 4
tahun. Studi prosfektif lainnya menunjukkan separuh dari anak yang menderita alergi susu sapi akan
kehilangan gejala-gejalanya pada usia 1 tahun, 70% pada usia 2 tahun dan 85% saat mereka berusia 3
tahun.

LANGKAH PROMOTIF/PREVENTIF

Bayi yang memiliki resiko tinggi yaitu mempunyai riwayat atopi pada ibu dan ayah, sebaiknya
dilakukan pengindaran terhadap paparan protein susu sapi sejak dini (minimal 6 bulan), dengan cara:
ASI eksklusif
Diet pengnindaran susu sapi pada ibu menyusui bayi yang mempunyai risiko atopi
Pemberian formula hipoalergenik, casein free, protein hidrolisat.
Pemberian formula susu kedelai

LANGKAH DIAGNOSTIK
Anamnesis
Jangka waktu timbulnya gejala setelah minum susu sapi atau makanan yang mengandung susu sapi
Jumlah susu atau makanan yang mengandung susu yang diminum atau dimakan
Riwayat penyakit atopi seperti asma, rinitis alergi, dermatitis atopik, urtikaria, alergi makanan, dan
alergi obat pada keluarga maupun pasien sendiri
Gejala klinis pada kulit (urtikaria, dermatitis atopik), saluran nafas (asma, rintitis alergi) serta saluran
cerna (muntah, diare, berak berdarah, kolik, obstipas).

Pemeriksaan fisis
Kulit kering, urtikaria, dermatitis atopik (lihat manifestasi klinis SPM masing-masing gejal alergi
tersebut).
Alergi Schiners, nasal crease, geografhictongue, mukosa pucat, mengi.

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah
darah tepi: hidung jenis eosinofil > 3%, eosinofil total >300/ml
kadar IgE total (menurut umur)
kadar IgE spesifik susu sapi
Radioallergosorbent Test (RAST) yang dinyatakan positif bila hasilnya 1 dan hasil yang
positif berkolerasi baik dengan uji tusuk kulit. Pemeriksaan RAST untuk susu sapi dilakukan
dengan memeriksakan darah terhadap baik susu sapi secara keseluruhan maupun fraksi-fraksi
dari susu sapi tersebut. Pemeriksaan RAST yang telah tersedia yaitu:
Susu sapi 12 keju tipe mould f82
Alfa laktalbumin f76 Susu bubuk Rf228
Betalaktoglobulin f77 Whey Rf236
Kasein f78 Susu Kuda Rf286
Keju tipe chedder f81 Susu kambing Rf300
Pharmacia CAP System, yaitu suatu pemeriksaan yang sama dengan ELISA; dinyatakan
positif bila hasilnya > 32kUa/L dan berkolerasi baik dengan double blind placebo
controlled food challenge (DBPCFC).
b. Uji kulit.
Terdapat beberapa cara uji kulit yaitu uji tusuk kulit, uji gores serta uji intradermal. Akurasi hasil
positif kurang dari 50%, sedangkan bila halnya negatif dapat memprediksi tidak terjadinya reaksi
alergi IgE mediated sebesar 95%. Hasil yang positif akan berkorelasi dengan uji DBPCFC.
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada uji tusuk kulit yaitu:
Hasil ui tusuk kulit dapat negatif pada anak usia <1 tahun.
Timbulnya indurasi sebesar >6 mm pada anak berusia <2 tahun, atau >8 mm pada anak
berusia >2 tahun dianggap positif.
c. Provokasi susu sapi
Suatu cara pemeriksaan lanjutan bila hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan salah satu dari
pemeriksaan IgE total, IgE spesifik atau uji kulit menunjukkan hasil yang positif.
Buku emas diagnosis alergi susu sapi adalah DBPCFC, tetapi karena cara ini sulit dan mahal
maka dibuat modofikasi dengan cara double blind placebo controlled cows milk challenge
(DBPCCMC) dengan langkah-langkah di bawah ini.
Cara melakukan uji double-blind placebo controlled cows milk challenge (DBPCFC) :
Eliminasi susu sapi atau makanan yang mengandung susu sapi minimal 14 hari sebelum
dilakukan tes.
Anthisistamin tidak boleh diberikan sejak 3 hari sebelumnya, serta tidak boleh
mengkonsumsi steroid dan bronkodilator sejak 1 hari sebelumnya.
Besarnya dosis awal harus kurang dari dosis yang diperkirakan akan menimbulakan
reaksi, bila tidak diketahui dimulai dengan dosis 400 mg.
Dosis kumulatif 8-10 g bahan bubuk harus dicapai untuk mrnyatakan bahwa hasil negatif.
Lamanya periode observasi tergantung dari reaksi yang timbul (minimal 2 jam setelah
provokasi selesai)
Persiapkan peralatan dan obat-obatan untuk menangani reaksi anafilaktik.
Bila tidak timbul gejala saat observasi, orang tua diberi catatan harian untuk mengamati
dan mencatat timbulnya gejala alergi yang muncul kemudian.
Elimination challenge test dilakukan untuk membuktikan adanya perbaikan dari gejala
setelah tidak minum susu sapi dan berulangnya gejala bila tidak diberikan susu sapi
kembal. Uji ini harus dilakukan dalam pengawasan dokter. Kesulitan dari uji ini adalah
keberhasilannya tergantung pada kemampuan pasien untuk menghindari semua makanan
yang mengandung susu sapi dan tidak terdapatnya faktor-faktor lain yang dapat memicu
terjadinya manifestasi klinis yang sama.

TERAPI
Tata Laksana
Pemberian ASI eksklusif dengan pengnhindaran susu sapi pada ibu
Jika tidak mungkin memberikan ASI, diberikan susu formula yang bebas susu sapi pada bayi
berisiko tinggi yanng diketahui mempunyai riwayat atopi.
Melakukan eliminasi susu sapi serta produknya dari diet ibu menyusui yang berisiko atopi. Tidak
dianjurkan untuk menggantikan susu sapi dengnan susu kambing atau hewan lainnya karena adanya
reaksi silang.
Pemberian terapi medika mentosa sesuai dengan manifestasi klinis yang timbul (lihat SPM
masingn-masing gejala alergi)

Suportif
Pada bayi dengan alergi susu sapi harus dipertimbangkan pemenuhan kebutuhan nutrisi lain yang
dapat menggantikan kandungan nutrisi dari susu sapi.

Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialis lainnya dll)


Bila terjadi gangguan gizi, pasien perlu dirujuk kepada ahli gizi.

PEMANTAUAN (MONITORING)
Terapi
Perbaikan gejala klinis (lihat SPM masing-masingn gejala alergi)
Efek samping penggunaan medikamentosa
Kemungkinan alergi terhadap kacang kedelai bila pasien mendapat formula kacang kedelai
(sekitar 30-40% pada pasien alergi susu sapi)
Bila gejala klinis mennghilang dilakukan rechallenge terhadap susu sapi setiap 6 bulan, dengan
jumlah dan frekuensi sesuai dengan usia pasien. Prosedur dilakukan seperti pada challenge di
atas.
Tumbuh kembang
Pemantauan tumbuh kembang pada pasien.
URTIKARIA

PENGERTIAN :

Urtikaria adalah erupsi kulit yang terbatas tegas dan menimbul (maculopapular, bentol), berwarna
memutih berlangsung secara akut, kronis atau berulang. Urtikaria dapat berlangsung secara akut, kronis
atau berulang. Urtikaria akut biasanya berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari dan umumnya
penyebabnya dapat diketahui. Urtikaria kronik yaitu urtikaria yang berlangsung lebih dari 6 minggu dan
biasanya tidak diketahui pencetusnya, dapat berlangsung sampai beberapa tahun, dan umumnya
ditemikan pada orang dewasa.

LANGKAH PROMOTIF/PREVENTIF

Kelainan ini disebabkan oleh mediator; terutama histamin, yang dilepaskan sel mast melaui
proses degranulasi akIbat ikatan antara IgE spesifik dengan alergen pencetusnya. Untuk melakukan
pencetus perlu dilakukan anamnesis yang teliti dan rinci.

LANGKAH DIAGNOSTIK
Anamnesis
Anamnesis diarahkan terhadap faktor lingkungan seperti debu, tungau debu rumah (terdapat pada
karpet, kain sofa, kasur kapuk, tirai, boneka berbulu dan lain-lain), binatang peliharaan, tumbuhan,
senatan binatng, serta faktor makanan termasuk zat warna, zat pengawet, obat-obatan, faktor fisik seperti
dingin, panas, dan sebagainya. Selain itu juga dinyatakan riwayat atopi pada keluarga.

Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisis didapatkan erufsi kulit yang berbatas tegas dan menimbul (bentol),
berwarna memutih bila ditekan disertai rasa gatal. Pada lesi yang menunjukkan bentuk khas seperti lesi
linier, lesi kecil-kecil di daerah berkeringat dan lesi hanya bagian tubuh yang terbuka dapat diduga
penyebabnya. Apabila dari anamnesis dan pemeriksaan fisik belum dapat ditentukan faktor pencetusnya,
dapat dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah perifer lengkap, urin dan feses dilakukan untuk mencari penyebab infeksi,
autoimun, atau keganasan sebagai faktor pencetus.
Pemeriksaan hitung eosinofil total dan kadar IgE total dapat digunakan untuk menunjang adanya
atopi pada pasien
Pemeriksaan uji kulit terhadap alergen dilakukan untuk menentukan adanya atopi serta
identifikasi makanan atau obat.
Uji provokasi diolakukan terhadap makanan atau obat.
Pemeriksaan IgE spesifik dilakukan bila uji kulit tidak dapat dilakukan (misalnya ada
kontraindikasi atau pasien tidak bisa bebas dari penggunaan anthistamin).
Uji es tempel untuk menentukan urtikaria dingin.

TERAPI
Medikamentosa
Mediator utama adalah histamin, maka obat yanng paling sering digunakan adalah antihistamin H 1

(misalnya klorfeniramin maleat 0,35 mg/ kg BB/ hari). Untuk mengnhindarkan efek samping
menngantuk(pada pemberian jangka panjang misalnya urtikaria berulang atau pada anak sekolah)
dapat diberikan antihistamin non-sedatif atau antihistamin generasi baru seperti setirizin 0,25
mg/kgBB/kali, 1-2 kali per hari.
Bila tidak berhasil dapat dicoba dengan menambahkan antihistaminb H2 , misalnya simetidin20-40
mg/kgBB/hari.
Bila terjadi urtikaria yang sangat luas dapat diberikan suntikan ardenalin dilanjutkan dengan
kortikosteroid
Kostikosteroid diberikan bila diduga reaksi yang terjadi adalah reaksi alergi fase lambat (misalnya
bila tidak berespons terhadap antihistamin).

Supportif
Selain mennghindari alergen, dilakukan terapi suportif seperti suhu lingkungan harus optimal,
pakain jangan terlalu ketat, baju harus dibilas bersih dari deterjen serta memperhatikan nutrisi yang
seimbang sebagai pengganti diet terhadap beberapa jenis makanan hiperalergenik. Kuku harus dipotong
pendek dan selalu bersih untuk mencegah infeksi skunder akibat garukan.
PEMANTAUAN (MONITORING)

Terapi
Pemantauan perbaikan gejala klinis
Pemantauan terhadap komplikasi yang terjadi akibat garukan (infeksi sekunder)
Pemantauan terhadap efek samping obat.

Tumbuh kembang
Pengaruh terhadap tumbuh kembang terutama akibat penghindaran beberapa jenis protein
makanan serta pengobatan steroid sistemik pada pasien urtikaria kronik yang berat.
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

PENGERTIAN :
Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan penyakit sistemik evolutif yang mengenai satu
atau beberapa organ tubuh, ditandai oleh inplamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, dan
bersifat episodik yang diselingi oleh periode remisi.
Manifestasi klinis SLE sangat bervariasi dengan perjalanan penyakit yang sulit diduga, tidak
dapat diobati dan seringa berakhir dengan kematian. Kelainan ini merupakan sindrom klinis disertai
kelainan imunologis, diantaranya yang terpenting ditandai adanya antibodi antinuklear. Penyebab SLE
belum diketahui.

LANGKAH PROMOTIF/PREVENTIF
Untuk mencegah keadaan yang dapat mengindukasi gejala lupus dilakukan beberapa tindakan
antara lain mennghindari pemakain obat tertentu (misalnya sulfa, isoniazid), pajanan langnsung sinar
matahari, kelelahan, serta mencegah infeksi dan mempertahankan fungsi organ tubuh secara optimal.

LANGKAH DIAGNOSTIK
Anamnesis
Gejala yang timbul merupakan manifestasi adanya autoantibodi dan/ atau depot kompleks imun
dengan vaskulitis.
Gejala penyakit tersering adalah demam dan asteria. Demam atau tanpa menggigil dapat timbul pada
semua tipe, seringkali diagnosis SLE diketahui pada saat dilakukan eksplorasi pasien demam yang
tidak diketahui penyebabnya.
Astenia seringn menyertai gejala demam dan merupakan petanda bahaya pada penyakit lupus.
Kelainan kulit dan mukosa yang dikenal dengan nama lupus terdapat pada sepertiga jumlah SLE pada
anak dan tidak bersifat patognomonik. Kelainan ini predominan pada daerah yang terkena sinar
matahari.
Gejala lain adalah gejala kelainan yang dapat terjadi pada semua organ pada suatu saat atau pada
tahap evolusi penyakit yangn berbeda.

Pemeriksaan fisis
Secara klinis terdapat 2 unsur penting SLE yaitu,
1. SLE adalah penyakit episodik, biasanya terjadi pada anak yang lebih besar, dengan gejala
intermiten artritis, pleuritis, dermatitis, atau nefritis.
2. SLE adalah penyakit multisitemik, pasien biasanya memperlihatkan kelainan pada lebih dari satu
organ akibat vaskulitis, misalnya pada kulit, ginjal, dan gambaran saraf pusat.

Erupsi pada kulit berbentuk sayap kupu-kupu, paling sspesifik terdapat di daerah muka, dapat
berupa eritema simpel berwarna kemerahan. Erupsi ini dapat juga mengenai daerah kuping hidung dan
pangkal hidung, sering juga disertaierupsi di daerah leher atau bahu yng terbuka, periorbita, frontal atau
daerah telinga luar. Dapat juga ditemui lupus diskoid berupa eritema berbatas tegas dengan tepi meninggi
dan berkembang menjadi papuloskuamosa. Kelainan kulit lain yang sering ditemukan pada pasien SLE
adalah:
1. Erupsi papuloeritematosa diseminata, non-spesifik, dapat terlihat terutama di daerah anggota
gerak
2. kulit fotosensitif; pajanan sinar matahari dapat menimbulakan lesi bentuk lupus
3. Alopesia non-sikatrikal sering menyertai lupus aktif
4. sindrom Raynaud, apabila timbul gejala lain walaupun sedang dalam pengobatan, terkadang
terjadi komplikasi ulserasi digital atau akrosklerosis, bahkan gangren jari.

Manifestasi selaput mukosa berupa ulserasi anal dan oral dapat menyertai perkembangan
progresivitas penyakit lupus. Secara ringkas gejala manifestasi klinis SLE berupa nefritis, hipertensi,
artritis, dermatitis, eritema malar, fotosensitifitas, alopesia, ulserasi oral atau nasofarings, fenomena
Raynaud, perikarditis, pleuritis, kelainan SPP, hepatomegali, dan pucat.

Pemeriksaan penunjang
Berbagai indikator fase akut inflamasi yang menggambarkan aktivitas penyakit sistematis
ditemukan meningkat pada SLE, antara lain LED, hipergamaglobulinemia poliklonal, alfa-2 globulin, dan
CRP. Pemeriksaan darah perifer menunjukkan anemia, leukopenia, hitung trombosit. Pemeriksaan uji
Coombs dapat dilakukan untuk mrngetahui adanya hemoloisis. Pemeriksaan labolatorium ditunjukkan
untuk mendeteksi kerusakan organ yang terlibat, disamping mendeteksi berbagai proses yang
berhubungan dengan penyakit otoimun.
Beberapa diantara pemeriksaan tersebut mempunyai nilai diagnostik, prognostik, surveilans, atau
mempunyai arti patofisiologi khusus dan bukan merupakan prosedur rutin. Pemeriksaan tersebut meliputi
pemeriksaan otoantibodi (ANA, anti ds DNA, antifosfolipid , faktor reumatoid), krioglobulin, dan
komplemen serum. Secara ringkas pemeriksaan labolaturium pada pasien SLE mencakup analisis darah
tepi lengkap termasuk laju endap darah, sel LE, ANA, anti da DNA, autoantibodi lain (anti sm, RF,
antifospolifid, antihiston dll), titer komplemen C3, C 4 dan CH50, titer lgG dan lgA, krioglobulin, masa
pembekuan, serologi sifilis, uji Coombs, elektroforesis protein, kreatinin dan ureum darah, protein urin
total dalam 24 jam, biakan kuman terutama dalam urin serta pemeriksaan lain yaitu foto rontgen dada.
Criteria diagnosis lupus menurut ARA (American Reumatism Association) yaitu :
1. eritema malar (butterfly rash)
2. lupus discoid
3. fotosensitivitas
4. ulserasi mukokutaneus oral atau nasal
5. arthritis nonerosif
6. nefritis, proteinurin > 0,5 mg/24 jam dengan silinder sel
7. ensefalopati, konvulsi, psikosis
8. pleuritis atau pericarditis
9. sitopenia
10. imunoserologi postif anti ds DNA, anti Sm, sel LE
11. ANA positif

TERAPI
Medikamentosa
1. Salisilat
Merupakan terapi simtomatis atau artralgia dan mialgia. Dosis 75-90 mg per kg bb/ hari untuk
anak dengan berat badan <25 kg. pada anak besar diberikan dosis lebih rendah (maksimum 1000
gram/ x)
2. Antimalaria
Digunakan untuk membantu penyepihan kortikosteroid atau untuk pengobatan dermatitis lupus.
[erlu diperhatikan efek toksik pada mata, maka harus dilakukan pemeriksaan oftalmologis setiap
4- bulan. Obat yang biasanya digunakan adalah hidroksikloroquin sulfat, dengan dosus awal 6-7
mg/kgbb/hari dibagi 1-2 dosis selama 2 bulan, kemudian diturunkan menjadi 5 mg/kgbb/hari
3. Kortikosteroid
-dosis rendah <0,5 mg/kgbb/hari diberikan untuk mengatasi gejala klinis seperti demam,
dermatitis, arthritis, efusi pleura, dll. Dosis insial dipertahankan minimal 4 minggu sebelum
dilakukan penyapihan.
-dosis tinggi 1-2 mg/kgbb/hari untuk mengatasi krisis lupus, gejala neurologis SSP, anemia
hemolitik akut atau beberapa bentuk nefritis tertentu. Indikasi kontra relatif adalah hipertensi,
azootemia, dan gejala awal psikosis. Dosis inisial dipertahankan 6-8 minggu.
-dosis untuk beberapa bentuk nefritis diberikan berdasarkan gambaran patologis anatomi. Untuk
nefritis lupus dengan gambaran PA mesangeal biasanya hanya diberikan terapi simtomatik. Untuk
kelainan glomerulus fokal, diberikan prednisone dosis rendah 0,5 mg/kgbb/hari untuk kelainan
difus dosis tinggi 1 mg/kgbb/hari, sedangkan untuk bentuk membranosa diberi dosis tinggi,
disertai terapi simtomatik dan siklofosfamid 1 mg/kgbb/hari.

Penyapihan kortikosteroid
Bila klinis baik dan gambaran laboratorium dlam batas normal, mulai dilakukan penyapihan
bertahap. Apabila tidak dapat dilakukan pemantauan seperti itu, makan pemeriksaan konversi negative sel
LE dan titer ANA dapat dipakai sebagai pegangan untuk memulai penyapihan kortikosteroid. Setiap dosis
insial harus diberikan dalam dosis terbagi 3-4 x sehari, setelah itu dapat diberikan dosis tunggal pada pagi
hari.
Bila terdapat suatu stress (infeksi, trauma, luka pembedahan, tekanan kejiwaan, dll) pengobatan
diberikan dalam dosis terbagi. Bila pada saat penyapihan gejala kambuh kembali, dosis dinaikkan 25-50
% kembali dari terapi saat itu, dalam dosis terbagi yang diperthankan beberapa lama sebelum diputuskan
untuk meneruskan penyapihan atau meningkatkan dosis kembali. Patokan untuk penyapihan adalah
sebagai berikut:
1. Jika dosis awal kurang 10 mg/hari, turunkan 0,5-1 mg setiap 2-4 minggu
2. Jika dosis awal 10-20 mg/hari, turunkan 1-2,5 mg setiap minggu
3. Jika dosis awal 20-0 mg/hari, turunkan 2,5-5 mg setiap minggu
Pada dosis > 30 mg/hari, masih harus diberikan dosis terbagi 2-3 x sehari. Apabila gejala telah
terkontrol dengan dosis tunggal, dapat dicoba pemberian obat selang sehari, tetapi harus diingat bahwa
dosis selang sehari dilaporkan sering menimbulkan eksaserbasi. Terapi kortikosteroid secara bolus hanya
diberikan pada keadaan darurat atau krisis lupus dengan manifestasi akut dan pada kasus tak terkontrol.
Dianjurkan untuk memberikan metilprednisolon 10-30 mg/kgbb/kali intravena selama 1-3 hari. Pilihan
preparat kortikosteroid berdasarkan potensi dan masa paruh disesuaikan dengan kondisi klinis pasien
4. Imunosupressan/ sitostatik
Imunosupresan atau sitostatik diberikan jika terdapat gangguan neurologi SSP, nefritis tipe
proliferative difus dan membranosa, anemia hemolitik akut, dan kasus resisten steroid. Obat yang
diberikan adalah azatioprin atau siklofosfamid. Dosis azatioprin oral 1-2 mg/kgbb/hari,
siklofosfamid oral 1-2 mg/kgbb/hari untuk terapi bolus 500-750 mg/m2 intravena tiap bulan

Bedah
Tindakan bedah dilakukan apabila terdapat komplikasi akibat pengobatan, misalnya katarak
karena pemberian kortikosteroid jangka panjang.

Supportif
Memberikan edukasi dan pengertian mengenai penyakit pasien pada keluarga sangat penting
untuk menunjang keberhasilan terapi. Rehabilitasi bila terjadi kecacatan harus dilakukan sedini mungkin
untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.

Lain-lain (rujukan sub spesialis, rujukan spesialis lainnya)


1. Rujukan dilakukan apabila terdapat kelainan organ yang perlu penanganan subspesialistis,
konsultasi psikiatri dilakukan untuk mencegah atau mengobati gangguan jiwa akibat penyakitnya.
2. Diet rendah garam, rendah gula tidak mengandung gas dengan restriksi cairan serta supplemen
kalsium dan kalium diberikan untuk mencegah/ mengurangi efek pemberian kortikosteroid jangka
panjang

PEMANTAUAN (MONITORING)
Terapi
Selama pemberian kortikosteroid dilakukan, pemantauan titer anti ds ANA dan komplemen (
CH50, C3, C4) minimal 6 bulan sekali. Pemantauan efek samping obat (kortikosteroid, sitostatik, salisilat,
dll) juga perlu dilakukan.

Tumbuh Kembang
Pemantauan terhadap perkembangan fisik dan mental dilakukan setiap bulan untuk deteksi dini
gangguan tumbuh kembang akibat pengobatan maupun penyakitnya sendiri.
ARTRITIS REUMATOID JUVENILLE

PENGERTIAN :
Arthritis rheumatoid juvenile merupakan sekumpulan penyakit yang tidak homogen. Terdapat
banyak sekali factor etiologi yang dapat menyebabkan gejala klinis ARJ. Seperti infeksi autoimun,
trauma, stress, serta factor imunogenetik. Pathogenesis ARJ merupakan imunopatogenesis penyakit
kompleks imun. Penyakit arthritis rheumatoid pada anak berbeda dengan orang dewasa. Pada umumnya
kriteris klasifikasi dan diagnosis penyakit rheumatoid dapat dipakai untuk anak dan dewasa, kecuali ARJ.
Penyakit ARJ umumnya mudah mengalami remisi sehingga pengobatan ditujukan untuk mencegah
komplikasi dan timbulnya kecacatan terutama yang mengenai sendi.

LANGKAH PROMOTIF/ LANGKAH PREVENTIF


Pencegahan dini terhadap terjadinya cacat sangat penting dilakukan dengan deteksi dini kelainan
yang terjadi pada ARJ. Pada penderita ARJ, dilakukan tatalaksana secara terpadu untuk mengontrol
manifestasi klinis dan mencegh depermitas dengan melibatkan dokter anak, ahli fisioterapi, latihan kerja,
pekerjaan social dan bila perlu konsultasi dengan ahli bedah dan psikiater.

LANGKAH DIAGNOSTIK
Anamnesis
Dijumpai 2 gejala inflamasi sendi yaitu gerakan sendi yang terbatas, nyeri dan panas pada
pergerakan. Rasa nyeri sendi pada pergerakan biasnaya tidak begitu menonjol. Pada anak kecil yang
begitu jelas adalah kekakuan sendi pada pergerakan terutama pada pagi hari. Tipe onset sistemik, ditandai
dengan demam intermitten dengan puncak tunggal atau ganda lebih dari 30 derajat celcius selama 2
minggu atau lebih, arthritis dan biasanya disertai kelainan sistemik lain berupa ruam rheumatoid serta
kelainan visceral (hepatosplenomegali, serositis, limfadenopati).

Pemeriksaan fisis
Gejala klinis utama yang secara bjektif terlihat adalah arthritis, sendi yang terkena teraba hangat,
biasanya tidak terlihat eritem. Secara klinis arthritis ditentukan dengan menemukan salah satu dari gejala
pembengkakan atau efusi sendi, atau dengan menemukan paling sedikit 2 gejala iflamasi sendi yaitu
gerakan sendi yang terbatas, nyeri pada pergerakan dan panas. Rasa nyeri atau nyeri sendi pada
pergerakan tidak begitu menonjol. Pada anak kecil yang lebih jelas adalah kekakuan sendi pada
pergerakan terutama pada pagi hari. Tipe onset poliartritis terdapat pada fase yang menunjukkan gejala
artirtis pada lebih dari 4 sendi, sedangkan tipe onset oligoartritis bila mengenai 4 sendi atau kurang.
Pada tipe oligoartritis, sendi besar lebih sering terkena dan biasanya di daerah tungkai. Pada tipe
poliartritis, keluhan lebih sering terdapat pada sendi-sendi jari dan biasanya simetris, tetapi di samping itu
dapat pula pada sendi lutut, pergelangan kaki dan siku. Tipe onset sistemik ditandai oleh demam
intermitten dengan puncak tunggal atau ganda, lebih dari 39 derajat celcius selama 2 minggu atau lebih,
arthritis dan biasanya disertai kelainan sistemik lain berupa ruam rheumatoid serta kelainan visceral
(hepatosplenomegali, serositis, limfadenopati)

Pemeriksaan penunjang
Diagnosis ARJ dapat ditegakkan secara klinis, beberapa pemeriksaan imunologis tertentu dapat
menyokong diagnosis. Perlu diingat bahwa tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk ARJ.
1. Pada pemeriksaan darah tepi dijumpai anemia ringan atau sedang dengan kadar Hb 7-10 gr/dl dan
leukositosis dengan predominansi neurotrofil. Hitung trombosit dapat meningkat hebat pada tipe
sistemik berat atau poliartritis, dan sering dipakai sebagai pertanda kekambuhan atau reaktivasi
ARJ. Untuk pertanda aktifitas penyakit dapat dilakukan pemeriksaan LED dan CRV yang
biasanya sesuai dengan peningkatan aktivitas penyakit. Peningkatan kadar IgG dan IgM serum
dapat juga sesuai dengan aktivitas ARJ. Peningkatan IgM berbeda dengan rheumatoid arthritis
dewasa. Kadar komponen komplemen C3 dan komponen hemolitik pada ARJ aktif akan
meningkat. Factor rheumatoid jarang ditemukan pada ARJ, tetapi bila positif biasanya
dihubungkan dengan ARJ tipe poliartritis, anak yang lebih besar, nodul subkutan, erupsi tulang
atau pasien yang secara fungsional lebih buruk. Pemeriksaan ANA lebih berarti pada ARJ
disbanding pada SLE. Kekerapannya lebih tinggi pada anak perempuan yang lebih muda
terutama pada tipe oligoartritis dengan komplikasi uveitis. Oleh karena itu pemeriksaan ANA
perlu dilakukan untuk mengetahui resiko setiap pasien ARJ terhdapat kemungkinan uveitis.
2. Pemeriksaan pencitraan dilakukan untuk mengetahui derjat kerusakan yang terjadi pada keadaan
klinis tertentu. Kelaianan radiologis pada sendi dapat berupa pembengkakan jaringan lunak
sekitar sendi, pelebaran ruang sendi, osteoporosis dan kelaianan yang agak jarang seperti formsi
tulang baru periostar. Pada tingkat lebih lanjut ( lebih dari 2 tahun) dapat terlihat erupsi tulang
dan penyempitan daerah tulang rawan. Ankilosis dapat ditemukan terutama daerah sendi, carpal
dan tarsal. Gambaran nekrosis aseptic jarang ditemukan walaupun dengan pengobatan steroid
dosis tinggi jangka panjang. Selain dengan foto radiologi biasa, kelainan tulang dan sendi dapat
pula dideteksi dengan skintigrafi.
TERAPI
Medikamentosa
1. Dasar pengobatan ARJ adalah supportif, bukan kuratip. Asam asetil salisilat adalah obat anti
inflamasi non steroid (AINS) terpenting untuk ARJ, bekerja dengan menekan proses inflamasi
dan terbukti aman untuk pemakaian jangka panjang. Dosis yang dipakai adalah 75-90
mg/kgbb/hari dalam 3-4 x pemberian. Asam asetil salisilat diberikan terus menerus sampai 1-2
tahun setelah gejala klinis menghilang.
2. Analgetik lain, asetaminofen walaupun bukan obat anti inflamasi dapat bermanfaat mengontrol
nyeri, dan demam terutama pada penyakit sistemik. Namun asetaminofen tidak boleh diberikan
jangka panjang karena menimbulkan kelainan ginjal. Sebagian besar AINS tidak boleh diberikan
pada anak. Naproksen merupakan AINS yang dapat diberikan pada anak dengan dosis 10-15
mgkgbb dibagi 2 dengan tujuan untuk mengontrol nyeri, kekakuan dan inflamasi pada anak yang
tidak responsive terhadap asam asetil salisilat atau sebagai pengobatan inisial.
3. Obat antireumatik kerja lambat terdiri dari obat-obat anti malaria (hidrosiklokloroquin, reparat
emas oral dan suntikan, penicilamin dan sulfasalazim). Obat golongan ini hanya diberikan untuk
poliartritis progresif yang tidak menunjukkan perbaikkan dengan AINS. Hidrosiklokloroquin
dapat bermanfaat sebagai obat tambahan untuk anak besar. Dosis awal 6-7 mg/kgbb/hari setelah 8
minggu diturunkan menjadi 5 mg/kgbb/hari. Bila setelah 6 bulan pengobatan tidak diperoleh
perbaikan, maka hidrosiklokloroquin harus dihentikan.
4. Kortikosteroid diberikan bila terdapat gejala penyakit sistemik, uveitis kronik, atau untuk
suntikan intraartikuler. Untuk gejala penyakit sistemik berat yang tidak terkontrol diberikan
prednisone 0,25-1 mg/kgbb/hari dengan dosis tunggal atau dosis terbagi pada keadaan yang lebih
berat. Jika tampak perbaikan klinis maka dosis diturunkan perlahan-lahan dan prednisone
dihentikan. Perlu diingat bahwa pemberian kortikosteroid, walaupun dengan dosis tinggi tidak
akan memperpendek aktivitas penyakit, mencegah komplikasi ekstraartikuler, atau mengubah
hasil akhir. Jadi lebih baik membatasi pemakaian kortikosteroid untuk menghindari efek toksis
obat tersebut. Perlu diingat kortikosteroid tidak diindikasikan pada semua jenis ARJ karena efek
ketergantungan yang besar dan sulit dilakukan penyapihan.
5. Imunosupresan diberikan dalam protocol eksperimental untuk keadaan berat yang dapat
mengancam kehidupan, walaupun beberapa pusat reumatologi sudah mulai memakainya dalam
protocol baku. Obat yang biasa dipakai adalah azathiprin, siklofosfamid, klrambucil, dan
metotreksad. Yang paling sering digunakan adalah metrotreksad dengan indikasi untuk poliartritis
berat atau gejala sistemik yang tidak membaik dengan AINS, hidroksiklokloroquin atau garam
emas. Dosis inisial 5 mg/m2/minggu dapat dinaikkan menjadi 10mg/m2/minggu bila respon tidak
adekuat setelah 8 minggu pemberian. Lama pengobatan 6 bulan dianggap adekuat.

Bedah
Tindakan bedah diperlukan untuk koreksi kecacatan sendi.

Suppotif
Edukasi pasien dan keluarga sangat penting untuk keberhasilan penyakit-penyakit ini. Pengenalan
dan tatalaksana dini kelainan ini penting untuk mencegah deformitas yang lebih luas. Pengertian tentang
penyakit ARJ pada keluarga dan lingkungannya sangat diperlukan untuk mencegah gangguan emosi pada
pasien.

Lain-lain (rujukan sub spesialis dan rujukan spesialis lainnya)


1. Rujukan ke spesialis rehabilitasi medic utnuk mencegah kekakuan dan kecacatan sendi
2. Rujukan ke ahli ortopedi
3. Konsultasi berkala ke spesialis mata (3 bulan sekali) untuk deteksi dini adanya uveitis
4. Rujukan ke psikiater untuk pencegahan atau pengobatan gangguan emosi akibat kronisitas
penyakit
5. Konsultasi ke subbagian lain bila ada keterlibatan organ lain

PEMANTAUAN (MONITORING)
Terapi
Selama pemberian asam salisilat perlu dilakukan pemantauan terjadinya gangguan
gastrointestinal, di samping pemantauan efektivitas pengobatan. Pemantauan aktivitas penyakit secara
laboratories dilakukan sesuai dengan pemeriksaan penunjang. Pemantauan efek samping obat perlu juga
dilakukan terhadap kortikosteroid, garam emas, dan imunosupresan.

Tumbuh kembang
Pemantauan terhadap perkembangan fisik dan mental dilakukan setiap bulan untuk deteksi dini
gangguan perkembangan akibat pengobatan dan penyakitnya sendiri.
RHINITIS ALERGI

PENGERTIAN :
Manifestasi letrgi pada hidung paling sering terjadi dibandingkan dengan organ lain karena fungsi
hidung sebagai penyaring vertical dan allergen hirup untuk melindungi saluran nafas bagian bawah.
Histamine merupakan mediator terpenting gejala alergi pada hidung, hal ini berbeda dengan saluran nafas
bagian bawah. Histamine bekerja langsung pada reseptor histamine seluler dan secara tidak langsung
melalui reflex yang berperan pada bersin dan sekresi.
Melalui system saraf otonom histamine menimbulkan gejala bersin dan gatal, terjadi vasodilatasi
dan peningkatan permeabilitas kapiler yang menimbulkan gejala hidung beringus encer. Newly formed
mediator adalah mediator yang dilepas setelah terlepasnya histamine, misalnya leukotrien (LTB4, LTC4),
prostaglandin PDG2 dan platelet activating factor ( PAF). Mediator ini menyebabkan gejala hidung
tersumbat (nasal blockade) meningkatnya sekresi kelenjar sehingga menimbulkan gejala beringus kental
(mucous rhinorea). Gejala rhinitis alergi fase lambat seperti hidung tersumbat, berkurangnya pembauan,
dan hiperreaktivitas diperankan oleh eosinofil.

LANGKAH PROMOTIF / PREVENTIF


Kelainan ini disebabkan oleh mediator, terutama histamine yang dilepaskan sel mast melalui
proses degranulasi akibat ikatan antara immunoglobulin E spesifik dengan allergen pada reaksi
hipersensitifitas tipe 1.mediator reaksi fase lambat, seperti leukotrien, juga berperan terutama pada rhinitis
persisten atau kronik. Oleh karena itu tindakan pencegahan yang paling penting adalah identifikasi dan
penghindari factor pencetus. Pengobatan dini dan tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi sinusitis
pada anak yang lebih besar.
Rhinitis alergi dibagi menjadi 2 yaitu rhinitis alergika intermitten yang timbul bila terpajan
dengan allergen dan gejala menghilang apabila tidak lagi terpajan dengan allergen. Sedangkan rhinitis
alergi persisten gejala terjadi sepanjang tahun dan allergennya susah diprediksi.

LANGKAH-LANGKAH DIAGNOSTIK
Anamnesis
Riwayat atopi pada keluarga merupakan factor predisposisi rhinitis alergika pada anak. Untuk
menentukan pencetus, perlu dilakukan anamnesis yang teliti dan rinci. Anamnesis juga diarahkan
terhadap factor lingkungan seperti debu, tungau debu rumah (pada karpet, kain sofa, kasur kapuk, gorden,
boneka berbulu, dll) binatang periharaan, tumbuhan, sengatan binatang, serta factor makanan termasuk
zat warna, zat pengawet, obat-obatan, factor fisik seperti dingin, panas dan sebagainya.
Gejala rhinitis alergi yang merupakan manifestasi reaksi hipersensitifitas tipe 1 fase lambat baru
timbul sampai 6 jam pasca pajanan allergen akibat reaksi inflamasi jaringan yang berkepanjangan. Gejala
rhinitis alergi umumnya baru ditemukan pada anak usia 4-6 tahun. Sesuai dengan factor patogenesisnya
maka gejala rhinitis alergi dapat berupa rasa gatal di hidung dan mata, bersin, sekresi hidung, hidung
tersumbat dan bernafas melalui mulut. Secret hidung dapat keluar melalui lubang hidung atau berupa post
nasal drip yang ditelan. Hidung tersumbat dapat terjadi bilateral, unilateral, atau bergantian. Gejala
bernafas melalui mulut sering terjadi pada malam hari yang dapat menimbulkan gejala tenggorokkan
kering, mendengkur, gangguan tidur serta rasa kelelahan pada siang hari.
Gejala lain dapat berupa suara sengau, gangguan pembauan dan pengecapan, dan gejala sinusitis.
Gejala kombinasi bersin, beringus, serta hidung tersumbat adalah gejala yang paling dirasakan
mengganggu dan menjengkelkan.

Pemeriksaan fisis
Anak yang menderita rhinitis alergi kronik dapat mempunyai bentuk wajah yang khas. Sering
didapatkan warna gelap serta bengkak di bawah mata. Bila terdapat gejala hidung tersumbat yang berat
pada anak, sering terlihat mulut selalu terbuka yang disebut sebagai adenoid face. Keadaan ini
memudahkan timbulnya gejala lengkung palatum yang tinggi, overbite serta maloklusi. Anak yang sering
menggosok hidung karena rasa gatal, menunjukkan tanda yang disebut alergik salute.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah tepi dapat menduga adanya infeksi sebagai factor pencetus. Pemeriksaan feses
dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan peningkatan eosinofil dan IgE karena cacing.
Pemeriksaan hidung eosinofil total dan kadar IgE total dapat digunakan untuk menunjang adanya
atopi pada pasien.
Pemeriksaan apusan sekret hidung dilakukan untuk melihat adanya eosinofilia.
Pemeriksaan uji kulit terhadap alergen dilakukan untuk menentukan adanya atopi serta identifikasi
faktor pencetus .
Uji provokasi dilakukan terhadap makanan atau obat ( lihat SPM alergi makanan dan alergi obat).
Pemeriksaan IgE spesifik dilakukan bila uji kulit tidak dapat dilakukan ( ada kontra indikasi, tidak
bisa bebas dari penggunaan antihistamin).
Pemeriksaan pencitraan sinis dilakukan pada rinitis kronik pada anak usia 4 tahun ke atas untuk
melihat kemungkinan komplikasi sinusitis.

TERAPI
Medikamentosa
Pengobatan rinitis pada anak terutama dilakukan dengan menghindari alergen penyebab.
Antihistamin oral merupakan obat pilihan utama. Untuk rinitis intermiten cukup diberikan
antihistamin generasi I. Pada rinitis alergi yang memerlukan antihistamin jangka panjang digunakan
antihistamin generasi baru yang bersifat non sedatif dan mempunyai efek antiinflamasi.
Terapi topikal sulit diberikan pada anak yang tidak kooperatif.
Obat semprot hidung natrium kromoglikat sebagai stabilisator sel mast dapat diberikan pada anak
yang kooperatif. Obat ini biasanya diberikan 4 kali sehari dan sampai saat ini tidak dijumpai efek
samping. Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak dipertentangkan karena efek
sistemik pemakaian lama dan efek lokal obat ini. Namun belum ada laporan tentang efek samping
setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka panjang. Dosis steroid topikal hidung dapat
diberikan setengah dosis dewasa, dianjurkan sekali sehari pada waktu pagi hari. Obat ini diberikan
pada kasus rinitis alergi dengan keluhan hidung tersumbat yang mencolok. Pemberian
kortekosteriid sistemik tidak dianjurkan pada rinitis alergi pada anak. Demikian pula halnya
pemberian vasokonstriktor topikal dibawah usia 1 tahun karena batas antara dosis terapi dengan
dosis toksik yang sempit. Pada dosis toksik akan terjadi gangguan kordiovaskular dan sistem saraf
pusat. Dekongestan oral dapat diberikan dengan perhatian terhadap efek sentral.
Ipratropium bromida sebagai anikolinergik diberikan untuk rinitis alergi pada anak dengan keluhan
hidung beringus yang mencolok.
Imunoterapi pada anak diberikan secara selektif dengan tujuan pencegahan.

Bedah

Tindakan bedah dilakukan bila terdapat komplikasi sinisitis dengan gambaran radiologi air fluid
level.

Suportif

Selain menghindari alergen, dilakukan terapi suportif seperti optimalisasi suhu lingkungan dan
memperhatikan nutrisi yang seimbang sebagai pengganti diet terhadap beberapa jenis makanan
hiperalenergfik.
Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialis lainnya dll)
Rujukan ke spesialis THT dilakukan apabila ditemukan gejala sinusitis dengan gambaran radiologi
air fluid level.

Você também pode gostar