Você está na página 1de 9

ANALISIS HUKUM TERHADAP KASUS BANK

CENTURY BERDASARKAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN

ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN

1992 TENTANG PERBANKAN

BAB I

KASUS POSISI DAN PERMASALAHAN HUKUM

A. Kasus Posisi

Kasus Bank Century berawal dari kegagalan bank tersebut dalam memenuhi prefund kliring (transaksi

antar bank) di Bank Indonesia pada 13 November 2008 (Kontan, 14/11/2008), seperti yang diakui oleh

manajemen bank tersebut. Dalam pengakuannya, Manajemen Bank Century menyampaikan bahwa

bank tersebut hanya terlambat 15 menit saat harus memenuhi dana prefund kliring sebesar Rp. 5 miliar

yang seharusnya ditransfer pada pukul 08.00 WIB. Sehingga manajemen Bank Century mengumumkan

bahwa pihaknya mengalami kalah kliring karena tingginya intensitas transaksi dana masuk dan dana

keluar nasabah sehubungan dengan ketatnya likuiditas saat ini (Kompas, 13/11/2008).

Pada tanggal 21 November 2008, akhirnya Gubernur Bank Indonesia Boediono mengumumkan bahwa

BI melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) memutuskan pengambilalihan Bank Century oleh

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), terhitung sejak tanggal tersebut. Boediono menyatakan bahwa

pengambilalihan ini untuk lebih meningkatkan keamanan dan kualitas pelayanan bagi para nasabah

(Kompas, 21 November 2008). Keputusan pemerintah untuk mengambil alih Bank Century ternyata

juga menuai kontroversi yang salah satunya adalah dari ICW (Indonesian Corruption Watch). LSM ini

mengajukan beberapa pertanyaan kepada Gubernur BI terkait pengambilalihan itu, diantaranya adalah

apakah Bank Indonesia telah melakukan penyelidikan secara seksama terhadap kondisi keuangan Bank

Century. Padahal, menurut ICW, berdasarkan laporan keuangan Bank Century yang sudah dipublikasi

pada 30 September 2008, 29,7% aktiva bank tersebut diinvestasikan dalam bentuk surat berharga,

valuta asing dan rupiah. ICW menilai bahwa sebagian asset Bank Century tidak bisa dijual (non-

tradable) dan kemungkinan bodong (Detik News, 26 November 2008). Kedua, ICW berpendapat

seharusnya BI juga mempertimbangkan larinya salah seorang pemilih saham pengendali Bank Century

Robert Tantular ke luar negeri. ICW merujuk kepada pengalaman kasus BLBI, pemilik yang telah

melarikan diri dari Indonesia membuat penyelesaian kasusnya berlarut-larut dan sebagai

konsekuensinya negara harus menanggung beban kerugian. Ketiga, dari segi asset dan operasionalnya,

ICW menilai bahwa kolapsnya Bank Century tidak akan mempengaruhi perekonomian Indonesia dengan
significan. Oleh sebab itu, ICW menganggap pengambilalihan Bank Century sebagai perlindungan dan

subsidi kepada segelintir orang kaya di Indonesia.

Meskipun Bank Indonesia menyadari bahwa kondisi kesehatan Bank Century dalam keadaan buruk, LPS

meminta nasabah tak perlu panic karena lembaga tersebut akan menjamin seluruh kebutuhan likuiditas

Bank Century dengan alokasi dana sebesar Rp. 1 trilliun. Kondisi kesehatan Bank Century yang buruk

terlihat dari rasio kecukupan modal alias capital adequacy ratio (CAR) yang sudah minus 2.3%, saat

diambil alih oleh LPS. Angka tersebut jauh dari persyaratan BI yaitu 8%, dan jauh dari angka CAR Bank

Century pada September 2008 yaitu 14.76%. Siti Fadjriah, Deputi Gubernur BI, mengakui bahwa koleksi

surat berharga valuta asing Bank Century adalah penyebab anjloknya angka CAR bank itu. Menurutnya,

surat berharga itu tidak masuk dalam kategori layak investasi (Kontan, 23 November 2008). Nilai surat

utang berkualitas rendah tersebut berjumlah US$. 140 juta, dan per November 2008 sejumlah US$. 56

juta telah gagal bayar.

Berdasarkan data LPS, suntikan dana yang telah dikucurkan oleh lembaga tersebut kepada Bank

Century sebanyak empat kali yaitu: (i) Rp. 2,77 trillion (21 November 2008), (ii) Rp. 2,20 trillion (5

Desember 2008), (iii) Rp. 1,15 trillion (3 Februari 2009), (iv) Rp. 630 milliar. Sehingga total dana yang

telah dikucurkan adalah Rp. 6,77 trillion.

Sementara itu, Jusuf Kalla yang pada saat itu masih menjabat sebagai Wakil Presiden secara tegas

meminta setiap bank untuk serius menjamin dana nasabah. Sehingga beban resiko terhadap dana

nasabah, apalagi dalam krisis financial seperti sekarang, tidak saja dipikul oleh pemerintah melainkan

juga kalangan perbankan swasta. Pernyataannya secara tidak langsung berkaitan dengan kasus Bank

Century yang berstatus bank swasta, namun Pemerintah harus menanggung permasalahan yang

dihadapi oleh bank itu. Lebih dari itu, awalnya bantuan keuangan diberikan atas dasar niat baik untuk

membantu perbankan, akan tetapi dalam pelaksanaanya banyak terjadi penyimpangan. Oleh sebab itu,

apabila semua jaminan dana nasabah itu dibebankan pada pemerintah, maka risikonya nanti dibayar

lewat uang pajak, seperti yang terjadi pada kasus BLBI. Dilain pihak, Pemerintah telah membantu untuk

memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan di tengah krisis dengan meningkatkan

garansi deposito dari Rp. 100 juta menjadi Rp. 2 milliar pada 2 Februari 2008 (Kontan, November 29,

2009).

Kasus Bank Century ternyata tidak hanya sekedar masalah internal, ternyata dugaan atas lemahnya

pengawasan dan koordinasi antara Bank Indonesia (BI) dan Bapepam-LK terbukti dengan mencuatnya

masalah penggelapan dana investasi PT. Antaboga Sekuritas di Bank Century. Perusahaan yang berdiri

sejak tahun 1989 ini diadukan para nasabah ke Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
(Bapepam-LK). Beberapa manajemen perusahaan itu diduga menggelapkan uang milik investor.

Kerugian sementara yang diderita para investor adalah Rp. 233 miliar, terdiri atas nasabah dari Bali,

dua orang (rugi) Rp23 miliar. Tiga orang nasabah dari Medan Rp. 60 miliar dan 60 nasabah yang di

Kelapa Gading Rp. 150 miliar[1]).

Kisruh di Antaboga berawal dari kasus yang terjadi di PT. Bank Century Tbk. Ketika operasional Bank

Century diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), ratusan nasabah Antaboga mendatangi

kantor perusahaan tersebut. Mereka ingin menarik dananya yang diinvestasikan di reksa dana.

Pasalnya, produk investasi yang diterbitkan Antaboga, dipasarkan oleh Bank Century. Nasabah

Antaboga kebanyakan adalah nasabah Bank Century. Mereka diminta menandatangani sertifikat

reksadana di kantor Bank Century. Rata-rata nasabah ditawari tiga bulan dengan suku bunga

(keuntungan) 10,5 13 persen. Sebelum diambil alih (per September 2008) Antaboga merupakan

pemilik 7,44 persen saham Bank Century, dimana Antaboga kabarnya juga masih terafiliasi dengan

Bank Century.

B. Permasalahan Hukum

Permasalahan yang penulis kaji dalam penulisan makalah ini yaitu mengenai pandangan hukum

terhadap kasus Bank Century serta ketentuan yang dapat diterapkan terhadap mantan Direktur Utama

Bank Century.

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Perbankan

Industri perbankan di Indonesia yang semakin berkembang, masih banyak menghadapi masalah-

masalah yang apabila diamati penyebabnya adalah lemah dan tidak diterapkannya tata kelola

perusahaan yang baik (good corporate governance). Tentu saja hal ini menyebabkan industri perbankan

tidak dapat secara berhati-hati (prudent) dalam mengelola likuiditas keuangan dan resiko kreditnya.

Sementara itu tidak transparannya parktik dan pengelolaan suatu bank mengakibatkan otoritas moneter

sulit mendeteksi praktik kecurangan yang dilakukan oleh pengurus dan pejabat bank.

Masalah lain adalah ketatnya persaingan, tidak hanya secara lokal, namun juga semakin banyaknya

pesaing-pesaing dari luar negeri. Di samping itu, pesaing lain yang juga dihadapi pihak perbankan

adalah lembaga-lembaga keuangan non bank yang banyak menyediakan dana bagi perusahaan-

perusahaan besar maupun nasabah-nasabah individual.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1992 tentang Perbankan menentukan bahwa perbankan adalah segala sesuatu yang
menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam

melaksanakan kegiatan usahanya.

Menurut Zulkarnain Sitompul, untuk menciptakan perbankan yang sehat harus dilakukan pendekatan

dengan tiga pilar utama, yaitu pengawasan, internal governance, dan disiplin pasar. Pendekatan ini

harus dilakuan karena badan pengawasan tidak akan mampu berpacu dengan kecepatan liberalisasi,

globalisasi dan kemajuan teknologi pada instrumen keuangan. Dengan demikian pengawasan yang

dilakukan oleh otoritas harus dilengkapi pula dengan disiplin internal bank, serta disiplin pasar[2]).

Dilibatkannya internal governance dalam melakukan pengawasan karena bank merupakan tempat

terbaik untuk mengatur dan memlihara praktik manajemen bank yang sehat. Pengikutsertaan disiplin

pasar mencerminkan fakta bahwa tanpa pasar yang kompetitif dan punitive atas kegagalan bersain di

pasar, maka tidak cukup insentif bagi pemilik bank, pengurus dan nasabah untuk melakukan keputusan

keuangan yang tepat.

Stuart Verryn mengatakan bahwa bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan

kebutuhan kredit, baik ,dengan aat-alat pembayarannya sendiri atau uang yang diperolehnya dari orang

lain maupun dengan jalan meperedarkan alat-alat penukar baru berupa uang giral[3]).

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1992 tentang Perbankan menentukan bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun

dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk

kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

B. Fungsi Bank

Sebagai lembaga keuangan, fungsi dari bank dapat dikelompokan mejadi 3 (tiga) kelompok diantaranya

yaitu[4]) :
1. Bank sebagai lembaga yang menghimpun dana-dana masyarakat atau penerima kredit.
Dalam pengertian ini bank menerima dana-dana yang berupa simpanan dalam bentuk
tabungan, deposito berjangka dan rekening giro. Dengan ini dapat dikatakan bahwa bank
melaksanakan operasi perkreditan secara pasif dengan menghimpun dana dari pihak ketiga;
2. Bank sebagai lembaga yang menyalurkan dana dari masyarakat dalam ben tuk kredit atau
sebagai lembaga pemberi kredit. Dengan ini dapat dikatakan bahwa bank melaksanakan
operasi perkreditan secara aktif;
3. Bank sebagai lembaga yang melancarkan transaksi perdagangan dan pembayaran uang.

C. Tugas Bank Indonesia Dalam Kaitannya Mengatur dan Mengawasi Bank

Pengaturan dan Pengawasan Bank merupakan salah satu tugas Bank Indonesia sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam rangka
melaksanakan tugas ini, Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas

kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu bank, melaksanakan pengawasan bank, serta mengenakan

sanksi terhadap bank (Pasal 24 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia). Selain

itu, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip

kehatihatian (Pasal 25 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia).

Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan, Bank Indonesia :

1. Memberikan dan mencabut izin usaha bank;


2. Memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank;
3. Memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank;
4. Memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu (pasal
26).

Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia meliputi pengawasan langsung dan tidak langsung

(Pasal 27 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia). Bank Indonesia berwenang

mewajibkan bank untuk menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara

yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, dimana hal ini dapat dilakukan terhadap perusahaan induk,

perusahaan anak, pihak terkait dan pihak terafiliasi dari bank apabila diperlukan (Pasal 28 Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia).

Pemeriksaan terhadap bank dilakukan secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan dan

dapat dilakukan terhadap perusahaan induk,

perusahaan anak, pihak terkait dan pihak terafiliasi dari bank apabila diperlukan. Bank dan pihak lain

tersebut wajib memberikan kepada pemeriksa :

1. Keterangan dan data yang diminta;


2. Kesempatan untuk melihat semua pembukuan, dokumen, dan saranafisik yang berkaitan
dengan kegiatan usahanya;
3. Hal-hal lain yang diperlukan seperti salinan dokumen yang diperlukan dan lain-lain.

Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh

kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia transaksi tersebut diduga

merupakan tindak pidana di bidang perbankan (Pasal 31 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang

Bank Indonesia). Dalam hal keadaan suatu bank menurut penilaian Bank Indonesia membahayakan

kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan/atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi

kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat melakukan

tindakan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Perbankan yang berlaku sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
BAB III

PENDAPAT HUKUM

Dapat dikatakan bahwa Bank Century merupakan tragedi kebangkrutan terbesar dalam ranah

perbankan di Indonesia pada tahun 2009. Pemerintah terpaksa melakukan bail out 6.7 triliun rupiah

untuk menyelamatkan likuiditas Bank Century. Dimana keputusan penyelamatan berasal dari

permintaan Bank Indonesia karena dapat berdampak sistemik dengan menyeret 23 bank lainnya.

Kasus bermula dari dugaan penyelewengan dana nasabah oleh Antaboga Sekuritas sebagai pemegang

7.52% saham Bank Century dalam permainan instrumen derivatif. Kasus penyelewengan dana tersebut

berkembang ke arahmissmanagement yang dilakukan oleh pengelola DPK (dana pihak ketiga) Bank

Century. Mencuatnya kasus Bank Century sering dikaitkan dengan dampak krisis global yang menerpa

lembaga keuangan dunia dan berdampak sistemik pada perbankan Indonesia. Namun olah data badan

penyidik keuangan (BPK) menemukan bahwa kasus Bank Century sudah terendus sebelum krisis global

terjadi. Hal ini menimbulkan kecurigaan adanya pengalihan isu, sehingga para nasabah dan investor

menjadi maklum dengan kasus likuiditas akibat efek krisis global yang berdampak pada Bank Century.

Terjadi force majeur krisis dalam bentuk pembodohan opini publik. Hal ini dikuatkan oleh hasil

penyidikan BPK yang menyebutkan bahwa Bank Century sudah cacat dari lahir. Berdasar hal tersebut,

nampaknya Bank Century sejak dulu sampai diambil LPS selalu melanggar aturan, dimana pelanggaran

yang terjadi berupa tingkat minimum CAR (Rasio kecukupan modal), batas maksimal pemberian kredit,

dan FPJP (Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek).

Dilihat dari kronologis kasus Bank Century, hal yang perlu di garis bawahi adalah praktik FPJP yang

cenderung menetapkan bunga pinjaman di atas bunga yang berlaku di pasar. Dengan suku bunga kredit

yang tinggi, jumlah default (gagal bayar) yang terjadi pun meningkat. Hal ini menjadikan NPL(non-

performing loan) bank Century berada di atas level normal NPL perbankan pada umumnya. Jika kita

menganalisis FPJP secara mendetail, hal ini sama dengan skema subprime mortgage. Bank menetapkan

bunga yang tinggi untuk mendapatkan return yang tinggi tanpa memperdulikan kreditor yang belum

tentu dapat membayar pokok ditambah bunganya.

Selain faktor suku bunga dan pinjaman jangka pendek yang irrasional dan beresiko tinggi, manajemen

Bank Century juga terbukti bersalah karena menggunakan dana nasabah untuk berinvestasi dalam

instrumen derivatif, bukan disalurkan ke pembiayaan sektor riil. Instrumen derivatif merupakan

instrumen yang penuh dengan permainan spekulasi. Setiap bank tentu mengharapkan return yang

tinggi, namun cara yang dilakukan Bank Century merugikan nasabah. Hal tersebut sama saja menzalimi

pihak nasabah karena tidak terdapat transparansi dalam usaha yang dijalankan. Nasabah dijanjikan
imbal hasil (return) yang tinggi dan janji-janji yang terlalu menggiurkan dari pihak perbankan tanpa

memberi informasi yang jelas tentang aliran pemanfaatan dananya. Kasus Bank Century juga

digolongkan penipuan. Penipuan bermula dari sisi manajerial bank dengan ditemukan adanya

praktik moral hazard. Hal ini timbul karena kurangnya pengawasan dari BI dan rendahnya etika serta

moral para eksekutifnya.

Bukti ketidakberesan manajemen Bank Century dalam menjalankan operasionalnya semakin terlihat

ketika ditetapkannya status tersangka kepada mantan Direktur Utama Bank Century, terhadapnya

diduga telah melanggar Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perbankan yang menentukan :

(1). Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja :

1. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses
laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau
rekening suatu bank;
2. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan
dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan
usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
1. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan
adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam
dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu
bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan,
menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut, diancam dengan
pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar
rupiah).

(2). Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja :

1. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan,
komisi,uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya
atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha
mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas
kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-
surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun
dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana
yang melebihi batas kreditnya pada bank;
2. tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank
terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga)
tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah).

BAB IV

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Dari penafsiran hukum pada bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan bahwa selain faktor suku

bunga dan pinjaman jangka pendek yang irrasional dan beresiko tinggi, manajemen Bank Century juga

terbukti bersalah karena menggunakan dana nasabah untuk berinvestasi dalam instrumen derivatif,

bukan disalurkan ke pembiayaan sektor riil. Instrumen derivatif merupakan instrumen yang penuh

dengan permainan spekulasi.

B. Rekomendasi

Sebagai rekomendasi maka penulis menyebutkan beberapa hal yang diharapkan semoga saja dapat

memberikan masukan kepada pihak-pihak yang terkait, diantaranya yaitu :

1. Penanganan yang serius terhadap permasalahan Bank Century yang sudah merugikan uang
negara sebesar Rp. 6,77 trillion.
2. Penjatuhan sanksi pidana yang tegas terhadap mantan Direktur Utama Bank Century
sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Sinungan, Managemen Dana Bank, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.

Suyatno Thomas, Kelembagaan Perbankan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.

Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan, BooksTerrace dan Library, Bandung, 2006.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

C. Sumber lain

Kompas, Edisi 13 November 2008.

www. hukum online. com

[1]). Kasus Bank Century, Hukum Online, diakses pada tanggal 11 Desember 2009
[2]). Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan, BooksTerrace dan Library, Bandung, 2006, hlm. 63.

[3]). Stuart Verryn daSuyatno Thomas, Kelembagaan Perbankan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

1993, hlm. 1.

[4]). Sinungan, Managemen Dana Bank, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hlm. 3.

Você também pode gostar