Você está na página 1de 26

ANALISIS KASUS BULLYING PADA REMAJA DALAM PERSPEKTIF

TINDAKAN SOSIAL

Disusun untuk memenuhi Tugas UAS mata kuliah Teori Komunikasi

Dosen Pengampu: Dr. Nila Nurlimah, Dra., M.Si.

Disusun oleh:

Jihan Hasna
11080016421

Kelas D

PROGRAM STUDI PUBLIC RELATIONS

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa remaja merupakan fase perkembangan dari masa anak-anak menuju masa
dewasa. Remaja atau adolescence secara umum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1995) berarti sudah mulai dewasa. World Health Organization (1974 dalam Purwoko, tt)
menyatakan bahwa remaja adalah suatu masa terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-
ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. Santrock (2007)
menggambarkan masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak dengan masa
dewasa. Simpulan ringkas mengenai definisi remaja dari definisi-definisi sebelumnya
adalah remaja adalah proses peralihan dari masa anak-anak yang memiliki
ketergantungan lebih besar terhadap orang lain dibandingkan masa dewasa yang mulai
mandiri.

Batasan usia remaja ini sedikit berbeda satu sama lain. Santrock (2007)
menyatakan bahwa remaja berada pada rentang usia antara 12-22 tahun. Remaja menurut
BKKBN misalnya, adalah penduduk laki-laki atau perempuan yang berusia 10-19 tahun
dan belum menikah sedang WHO menyatakan remaja sebagai penduduk laki-laki atau
perempuan yang berusia 10-19 tahun, UNFPA menyebut remaja sebagai kelompok orang
muda atau young people yang berada pada rentang usia 15-24 tahun (Pitoyo,
Lestariningsih, & Kiswanto, 2013). Remaja yang menjadi sasaran kegiatan ini berada
pada rentang usia antara sekitar 15 hingga 19 tahun atau pada masa sekolah menengah
atas.

Pada masa remaja, seharusnya mereka memahami berbagai proses perubahan yang
terjadi dalam dirinya. Namun, keterbatasan kemampuan berpikir dan kurang informasi
membuat mereka sulit untuk memahami berbagai proses perubahan yang terjadi dalam
diri mereka. Termasuk di dalamnya adalah perubahan intelektual yang lebih dalam
berpikir. Perubahan intelektual dari cara berpikir remaja inilah yang memungkinkan
untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosialnya dengan orang dewasa, yang
merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan. Piaget (dalam Hurlock
1980: 206) mengatakan bahwa semakin mudah dan cepatnya arus komunikasi saat ini
dapat meningkatkan rasa ingin tahu dan mendorong remaja untuk mencoba sesuatu yang
baru dan dapat menjadikan semua itu sebagai pengalaman yang berarti baik yang sifatnya
positif maupun negatif. Disebut positif karena dengan adanya arus komunikasi dan
informasi yang mudah dan cepat diharapkan para remaja dapat berkarya dan berprestasi
lebih. Namun juga bisa menjadi negatif, yaitu mendorong remaja untuk berperilaku yang
negatif seperti merokok, minum-minuman keras, melakukan bullying, dan pergaulan
bebas.

Kekerasan terhadap anak-anak dan remaja di sekolah maupun di perguruan tinggi di


Indonesia sudah memasuki tahap memprihatinkan. Cukup banyak pelajar yang
menganggap bahwa kekerasan yang dialami atau dilakukan sebagai tindakan yang wajar.
Banyak tenaga pendidik dan orang tua pelajar yang tidak melaporkan tindakan kekerasan
karena khawatir akan menjadi pihak yang disalahkan. Dalam sebuah riset yang dilakukan
LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) yang
dirilis awal Maret 2015 ini menunjukkan fakta mencengangkan terkait kekerasan anak di
sekolah. Terdapat 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka
tersebut lebih tinggi dari tren di kawasan Asia yakni 70%. Riset ini dilakukan di 5 negara
Asia, yakni Vietnam, Kamboja, Nepal, Pakistan, dan Indonesia yang diambil dari Jakarta
dan Serang, Banten. Survei diambil pada Oktober 2013 hingga Maret 2014 dengan
melibatkan 9 ribu siswa usia 12-17 tahun, guru, kepala sekolah, orangtua, dan perwakilan
LSM.

Menurut beberapa ahli, tayangan kekerasan di televisi dan media sosial juga
berperan serta. Selain itu, kesadaran di masyarakat, baik pihak sekolah dan keluarga,
masih kurang mengenai bullying. Seringkali anak takut melaporkan karena hanya akan
dijadikan bahan bulan-bulanan oleh teman-temannya di sekolah. Namun penerapan
perangkat hukum ini masih terbentur beragam kendala seperti ketidaktahuan masyarakat
dan kurangnya komitmen pemerintah daerah. Penerapan yang belum optimal ini membuat
anak-anak di Indonesia belum sepenuhnya terlindungi. Berdasarkan uraian tersebut,
penulis tertarik untuk menganalisis kasus bullying yang dilakukan remaja terhadap
temannya dengan menggunakan teori tindakan sosial yang dicetuskan oleh Max Weber
dan diberi judul:

ANALISIS KASUS BULLYING PADA REMAJA DALAM PERSPEKTIF


TINDAKAN SOSIAL
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana masalah bullying di sekolah?


2. Bagaimana analisis kasus bullying pada remaja dalam perspektif tindakan
sosial?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:

1. Untuk mengetahui penjelasan mengenai masalah bullying di sekolah.


2. Untuk mengetahui analisis mengenai kasus bullying pada remaja dalam
perspektif tindakan sosial.

1.4 Kegunaan Penulisan

1.4.1 Kegunaan Teoretis

Penyusunan makalah ini diharapkan dapat menjadi referensi tentang Analisis Kasus
Bullying Terhadap Remaja dalam Perspektif Tindakan Sosial.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi


pemerintah, pihak sekolah dan kampus, serta orang tua agar memberikan
informasi dan pengarahan mengenai bullying, cara mencegahnya, dan langkah
apa yang harus dilakukan ketika mengalami bullying. Orang tua memiliki peran
besar dalam mendidik anak-anaknya karena dimulai dari lingkungan rumah lah
karakter dibentuk.
2. Penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi penulis untuk
lebih memperdalam lagi pengetahuan bullying dalam perspektif tindakan sosial.
3. Dan makalah ini sebagai salah satu tugas UAS dari Program Sarjana Fakultas
Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung tahun ajaran 2016/2017.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Tindakan Sosial

2.1.1 Definisi Tindakan Sosial

Didalam sosiologi terdapat tiga paradigma yang terdiri dari Fakta Sosial (Emile
Durkheim), Definisi Sosial (Max Weber), dan Perilaku Sosial (B. F. Skinner). Max
Weber merupakan salah satu tokoh dari salah satu paradigma yaitu Definisi Sosial, yang
mana teori tindakan sosial (social action) merupakan bagian dari salah satu paradigma
Definisi Sosial yang dikembangkan oleh Weber. Setiap hari kita melakukan tindakan
dengan maksud dan tujuan tertentu. Tindakan yang kita lakukan pada umumnya berkaitan
dengan orang lain, mengingat bahwa manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang
tidak dapat hidup sendiri dalam kehidupan masyarakat.

Kenyataan sosial didasarkan pada definisi subjektif individu dan penilaiannya,


Weber melihat kenyataan sosial sebagai sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu
dan tindakan-tindakan sosial. Bagi Weber, dunia terwujud karena tindakan sosial.
Manusia melakukan sesuatu karena mereka memutuskan untuk melakukannya dan
ditujukan untuk mencapai apa yang mereka inginkan atau kehendaki. Setelah memilih
sasaran, mereka memperhitungkan keadaan, kemudian memilih tindakan. Dan menurut
Weber, tugas sosiolog adalah menafsirkan tindakan menurut makna subjektifnya.

Menurut Weber, tindakan sosial adalah tindakan individu yang dapat


mempengaruhi orang lain. Tindakan dan tindakan sosial memiliki pengertian yang
berbeda. Tindakan mencakup semua perilaku yang dilakukan oleh manusia, sedangkan
tindakan sosial merupakan suatu tindakan individu yang diarahkan kepada orang lain dan
memiliki arti baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Jika tindakan tersebut tidak
diarahkan orang lain dan tidak memiliki arti maka bukan termasuk tindakan sosial tetapi
hanya disebut sebuah tindakan saja, sehingga tindakan sosial akan memberikan
pengaruh bagi orang lain, karena tindakan sosial mengandung tiga konsep yaitu tindakan,
tujuan, dan pemahaman.

Tindakan sosial yang dimaksud Weber dapat berupa tindakan yang nyata diarahkan
kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang bersifat membatin atau ditunjukan
untuk orang lain yang mungkin terjadi karena pengaruh dari situasi tertentu. Atau
merupakan tindakan perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang
serupa atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu. Ciri-ciri tindakan sosial
yaitu memiliki makna subjektif, tindakan nyata yang bersifat membatin dan bersifat
subjektif, tindakan berpengaruh positif, tindakan diarahkan pada orang lain dan tindakan
merupakan respon terhadap tindakan orang lain.

Tindakan sosial terjadi ketika individu melekatkan makna subjektif pada tindakan
mereka. Maksudnya, tindakan sosial terjadi ketika individu dalam masyarakat melakukan
tindakan yang mempunyai makna dalam tindakan mereka, baik bermakna bagi diri sendiri
maupun orang lain. Dalam tindakan sosial akan menciptakan hubungan sosial. Hubungan
sosial menurut Weber yaitu tindakan dimana beberapa aktor yang berbeda-beda, sejauh
tindakan itu mengandung makna dihubungkan serta diarahkan kepada tindakan orang
lain. Masing-masing individu berinteraksi dan saling menanggapi.

Weber juga membicarakan bentuk-bentuk empiris tindakan sosial dan


antarhubungan sosial tersebut. Weber membedakan dua jenis dasar dari pemahaman ini
bisa dibagi sesuai dengan masing-masing pertaliannya, dengan menggunakan tindakan
rasional ataupun emosional. Jenis pertama adalah pemahaman langsung yaitu memahami
suatu tindakan dengan pengamatan langsung. Kedua, pemahaman bersifat penjelasan.
Dalam tindakan ini tindakan khusus aktor ditempatkan pada suatu penjelasan dari
kenyataan berlangsung dari perilaku.

2.1.2 Tipe-tipe Tindakan Sosial

Rasional merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam mengelompokan


tipe-tipe tindakan sosial. Arti rasional sendiri adalah melalui pemikiran dan pertimbangan
secara logis dan sadar. Pembedaan tipe-tipe tindakan sosial andalah antara tindakan
rasional dan yang nonrasional. Tindakan rasional menurut Weber Berhubungan dengan
pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Di dalam kedua
kategori utama mengenai tindakan rasional dan nonrasional itu, ada dua bagian satu sama
lain. Tindakan rasional mencakup tindakan rasionalitas instrumental dan tindakan
rasionalitas berorientasi nilai, sedangkan tindakan nonrasional adalah tindakan afektif dan
tindakan tradional. Bagi Weber, konsep rasionalitas merupakan kunci bagi suatu analisa
objektif mengenai arti-arti subjektif dan juga merupakan dasar perbandingan mengenai
jenis-jenis tindakan sosial yang berbeda. Pendekatan objektif hanya berhubungan dengan
gejala yang dapat diamati seperti benda fisik atau perilaku nyata, sedangkan pendekatan
subjektif berusaha untuk memperhatikan juga gejala-gejala yang sulit ditangkap dan tidak
dapat diamati seperti perasaan individu, pikirannya, dan motif-motifnya. Perbedaan juga
dapat dilihat dalam hubungannya dengan hal dimana pengalaman subjektif pribadi
seseorang dimiliki bersama oleh suatu kelompok sosial, pengalaman subjektif dapat
dimengerti karena dialami bersama secara meluas, dapat dilihat sebagai objektif
sedangkan pengalaman subjektif yang tidak dapat dikomunikasikan atau dimengerti,
tetapi tidak dapat ditangkap sebagai suatu pengalaman pribadi yang benar-benar subjektif,
meskipun sangat ril bagi orang yang bersangkutan.

Max Weber dalam mengklasifikasikan empat jenis tindakan sosial yang


mempengaruhi system dan struktur sosial masyarakat yaitu:

a. Rasionalitas Instrumental (Zwerk Rational)

Jenis tindakan sosial rasional instrumental ini merupakan tindakan yang memiliki
rasionalitas paling tinggi, yang meliputi pilihan yang sadar (masuk akal) yang
berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya.
Individu dilihat sebagai memiliki macam-macam tujuan yang mungkin diinginkannya,
dan atas dasar suatu kriteria menentukan satu pilihan di antara tujuan-tujuan yang saling
bersaingan, lalu individu menilai alat yang mungkin dapat dipergunakan untuk mencapai
tujuan. Rasional instrumental merupakan tindakan sosial yang dilakukan seseorang
didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan
tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya.

Dalam tindakan ini manusia melakukan suatu tindakan sosial setelah mereka
melalui pertimbangan matang mengenai tujuan dan cara yang akan ditempuh untuk
meraih tujuan itu. Maksudnya tindakan atau perilaku yang dilakukan memang jelas untuk
mencapai tujuan tertentu. Tindakan sosial itu sudah dipertimbangkan masak-masak tujuan
dan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Manusia dalam melakukan
tindakan atau perilaku itu sadar akan apa yang dilakukannya dan sadar akan tujuan
tindakannya. Jika dihubungkan dengan penelitian ini jenis tindakan rational instrumental
ini merupakan salah satu jenis tindakan sosial yang cocok untuk menganalisis penelitian
tentang kehidupan sosial ekonomi masyarakat penambang minyak tradisional.

b. Rasionalitas yang Berorientasi Nilai (Werk Rational)

Tindakan rasionalitas yang berorientasi nilai merupakan tindakan sosial yang


hampir sama dengan tindakan rasional instrumental, yaitu tindakan yang dilakukan telah
melalui pertimabangan yang matang dan mempunyai tujuan yang jelas, yang
membedakannya terletak pada nilai-nilai yang menjadi dasar dalam tindakan ini.

Tindakan sosial ini memperhitungkan mafaat, sedangkan tujuan yang ingin dicapai
tidak terlalu dipertimbangkan, kriteria baik dan benar merupakan menurut penilaian dari
masyarakat Bagi tindakan sosial ini yang penting adalah kesesuaian tindakan dengan
nilai-nilai dasar yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat
berupa nilai budaya dan agama bisa juga nilai-nilai lain yang menjadi keyakinan disetiap
individu masyarakat. Setiap individu atau kelompok masyarakat mempunyai keyakinan
terhadap nilai-nilai yang berbeda jadi tindakan yang dilakukan oleh setiap individu
menurut jenis tindakan ini mempunyai makna yang berbeda-beda. Contoh tindakan yang
berorientasi nilai adalah seorang yang kaya akan memberi sodaqoh kepada orang yang
miskin dengan tujuan untuk membantu orang miskin tersebut dan mendapatkan pahala
dari Allah, karena dalam nilai agama diajarkan agar bersodaqoh terhadap orang yang
kurang mampu.

c. Tindakan Afektif atau Tindakan yang Dipengaruhi Emosi (Affectual Action)

Tindakan ini berbeda dengan tindakan rasional instrumental dan tindakan


rasionalitas berorientasi nilai, karena tindakan afektif tidak melalui pertimbangan yang
sadar tindakan ini tercipta dengan spontan karena pengaruh emosi dan perasaan
seseorang. Tipe tindakan sosial ini lebih didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi
intelektual atau perencanaan sadar. Seseorang yang sedang mengalami perasaan meluap-
luap seperti cinta, kemarahan, ketakutan atau kegembiraan, dan secara spontan
mengungkapkan perasaan itu tanpa refleksi, berarti sedang memperlihatkan tindakan
afektif, tindakan ini benar-benar tidak rasional karena kurangnya pertimbangan logis,
ideologi, atau kriteria rasional lainnya.

Tindakan afektif sifatnya spontan, tidak rasional, dan merupakan ekspresi


emosional dari individu. Tindakan ini dipengaruhi oleh emosi dan perasaan seseorang.
Contohnya adanya emosi penambang sehingga terjadi pertengkaran dikarenakan
persaingan atau perbedaan pendapat.

d. Tindakan Tradisional atau Tindakan Karena Kebiasaan (Traditional


Action)

Tindakan sosial ini dilakukan oleh seseorang karena mengikuti tradisi atau
kebiasaan yang sudah diajarkan secara turun temurun dan telah baku dan tidak dapat
diubah. Jadi tindakan ini tidak melalui perencanaan yang sadar terlebih dahulu, baik dari
caranya maupun tujuannya. Karena mengulangnya dari kebiasaan yang sudah dilakukan
secara turun temurun. Seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang
diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau emosi tanpa refleksi
intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan afektif bersifat spontan, tidak rasional dan
merupakan refleksi emosional dari individu.

Apabila dalam kelompok masyarakat ada yang didominasi oleh orientasi tindakan
sosial ini maka kebiasaan dan pemahaman mereka akan didukung oleh kebiasaan atau
tradisi yang sudah lama ada di daerah tersebut sebagai kerangka acuannya yang diterima
begitu saja tanpa persoalan. Sama halnya di penelitian yang telah dilakukan pemahaman
dan cara berpikir masyarakat yang masih tradisional yang tercipta dari kebiasaan nenek
moyang dan berlanjut secara turun temurun pada setiap lapisan masyarakat sekitar. Dan
masyarakat penambang minyak tradisional tetap melakukan dengan cara tradisonal dan
tidak ingin mengubah cara mereka dan tidak dipersoalkan meskipun sudah banyak alat-
alat yang lebih modern.

2.2 Bullying

2.2.1 Pengertian Bullying

Kata bullying sendiri berasal dari bahasa Inggris, yaitu dari kata bull berarti banteng
yang senang menyeruduk kesana kemari. Istilah ini akhirnya diambil untuk menguraikan
suatu tindakan destruktif. Berbeda dengan negara lain seperti Norwegia, Finlandia, dan
Denmark yang menyebut bullying dengan istilah mobbing atau mobbning. Istilah aslinya
berasal dari bahasa Inggris, yaitu mob yang menekankan bahwa biasanya mob adalah
kelompok orang yang anonim dan berjumlah banyak serta terlibat kekerasan (Wiyani,
2012). Secara etimologi kata bully berarti penggertak, orang yang mengganggu orang
yang lemah. Istilah bullying dalam bahasa Indonesia bisa menggunakan menyakat, yang
berasal dari kata sakat dan pelakunya disebut penyakat. Menyakat berarti mengganggu,
mengusik, dan merintangi orang lain. Sedangkan secara terminologi menurut Olweus,
1952 (dalam Wiyani, 2012) mengatakan bahwa bullying adalah perilaku negatif yang
mengakibatkan seseorang dalam keadaan tidak nyaman atau terluka dan biasanya terjadi
berulang-ulang, repeated during successive encounters. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
pada dasarnya bullying adalah perilaku negatif berupa kekerasan fisik maupun kekerasan
mental yang dilakukan secara berulang oleh seseorang atau sekelompok orang yang dapat
merugikan orang lain.

Secara sosiologis, bullying adalah wujud ketidakberimbangan kekuasaan. Apa yang


dimaksud dengan kekuasaan adalah kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk
mengikuti apa yang diinginkan dan diperintahkan pihak tertentu. Pihak yang memerintah
adalah profil yang berkuasa. Adapun yang cuma menjalankan perintah adalah pihak yang
dikuasai. Bullying serupa dengan aksi-aksi dalam kerajaan binatang. Hukum yang
diterapkan adalah siapa paling kuat maka dia boleh hidup (Lukmantoro, 2012).

Berdasarkan definisi tersebut, menurut Prasetyo (2011) bullying terjadi karena:

a. Adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku bullying dan target


(korban). ketidakseimbangan kekuatan ini bisa berupa ukuran badan,
kekuatan fisik, kepandaian bicara atau pandai bersilat lidah, gender (jenis
kelamin), status sosial, perasaan lebih superior. Unsur ketidakseimbangan
kekuatan inilah yang membedakan bullying dengan bentuk konflik yang
lain. Dalam konflik antar dua orang yang kekuatannya sama, masing-masing
memiliki kemampuan untuk menawarkan solusi dan berkompromi untuk
menyelesaikan masalah. Dalam kasus bullying, ketidakseimbangan kekuatan
antara pelaku bullying dan korbannya menghalangi keduanya untuk
menyelesaikan konflik mereka sendiri, sehingga perlu kehadiran pihak
ketiga. Sebagai contoh, anak kecil yang mendapat perlakuan bullying dari
teman sebayanya, perlu bantuan orang dewasa.

b. Adanya perilaku tidak wajar (penyalahgunaan) ketidakseimbangan kekuatan


tersebut dengan cara mengganggu, menyerang secara berulang kali, atau
dengan cara mengucilkan (mendiamkan).

Contoh dari perilaku bullying itu sendiri antara lain mengejek, menyebarkan rumor,
menghasut, mengucilkan, menakut-nakuti atau intimidasi, mengancam, menindas,
memalak atau menyerang secara fisik seperti mendorong, menampar, atau memukul.
Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa perilaku bullying tersebut merupakan hal
sepele atau bahkan normal dalam tahap kehidupan manusia atau dalam kehidupan sehari-
hari. Namun faktanya, perilaku bullying merupakan learned behaviors karena manusia
tidak terlahir sebagai penggertak dan pengganggu yang lemah. Bullying merupakan
perilaku tidak normal, tidak sehat, dan secara sosial tidak bisa diterima. Hal yang sepele
pun kalau dilakukan secara berulang kali pada akhirnya dapat menimbulkan dampak
serius dan fatal. Membiarkan atau menerima perilaku bullying, berarti memberikan
bullies power kepada pelaku bullying, menciptakan interaksi sosial tidak sehat dan
meningkatkan budaya kekerasan. Interaksi sosial yang tidak sehat dapat menghambat
pengembangan potensi diri secara optimal sehingga memandulkan budaya unggul
(Wiyani, 2012).

2.2.2 Bentuk Bullying

Berkaitan dengan kekerasan di sekolah atau bullying, maka school bullying dapat
didefinisikan sebagai perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seseorang atau
sekelompok remaja yang memiliki kekuasaan terhadap remaja lain yang lebih lemah,
dengan tujuan menyakiti orang tersebut. Berdasarkan definisi diatas, kemudian menurut
Wiyani (2012), perilaku bullying dikelompokan ke dalam lima bentuk, sebagai berikut:

a. Kontak fisik langsung, yaitu memukul, mendorong, menggigit, menjambak,


menendang, mencubit, mencakar.
b. Kontak verbal langsung, yaitu mengancam, mempermalukan, merendahkan,
mengganggu, memberi nama panggilan atau julukkan (name-calling), sarkasme,
merendahkan (putdowns), mencela atau mengejek, mengintimidasi, memaki dan
menyebar gosip, dan pemerasan.
c. Perilaku nonverbal langsung, yaitu melihat dengan sinis, menjulurkan lidah,
menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, menjahili.
d. Perilaku nonverbal tidak langsung, yaitu mendiamkan seseorang, memanipulasi
persahabatan hingga retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirim
surat kaleng.
e. Pelecehan seksual, kadang dikategorikan perilaku agresif fisik verbal.

2.2.3 Tipografi Bullying

Budaya kekerasan sepertinya semakin hari semakin menguat dalam berbagai aspek
kehidupan kita. Julukan bangsa yang penuh adab, sopan santun, toleran, dan memiliki
ikatan kekeluargaan yang kuat, lambat laun mulai menghilang dari khazanah kehidupan
kita, baik dalam konteks hidup bermasyarakat maupun berbangsa. Budaya kekerasan
telah menjelma dalam berbagai bentuk, seolah-olah telah menjadi bagian dari kehidupan
kita sehari-hari dan kita menerimanya sebagai sesuatu yang wajar.
Kebanyakan orang menganggap kekerasan hanya dalam konteks sempit, yang
biasanya berkaitan dengan perang, pembunuhan, atau kekacauan. Padahal, kekerasan itu
bentuknya bermacam-macam, termasuk bullying di dalamnya. Kekerasan
mengilustrasikan sifat aturan sosial, pelanggaran aturan, dan reaksi sosial terhadap
pelanggaran yang kompleks dan kerap kali saling bertentangan. Istilah kekerasan
digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka maupun tertutup, baik yang
bersifat menyerang maupun bertahan yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang
lain. Oleh karena itu, menurut Wiyani (2012) ada empat tipologi kekerasan bullying yang
dapat diidentifikasi, yaitu:

a. Kekerasan Terbuka (overt)


Kekeraasan yang dapat dilihat secara langsung, misalnya perkelahian ataupun
tawuran antar pelajar.
b. Kekerasan Tertutup (covert)
Kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung, seperti perilaku
mengancam.
c. Kekerasan Agresif
Kekerasan yang tidak untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu
yang dikehendaki.
d. Kekerasan Defensif
Kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri atau pembelaan
diri dari ancaman pihak lain.

2.2.4 Faktor Penyebab Melakukan Bullying

Banyak faktor yang menyebabkan tindakan kekerasan atau bullying dalam diri
anak, diantaranya menurut Coloroso (2007):

a. Budaya paternalistik. Dalam budaya tersebut, berkembang pandangan bahwa


lelaki yang hebat adalah lelaki yang tidak takut mengalami tindakan kekerasan.
b. Tidak ada ruang publik yang aksesibel. Remaja menjadi liar antara lain karena
tidak adanya ruang publik yang dapat diakses mereka untuk bertemu dan
melakukan beragam kegiatan misalnya gelanggang remaja agar kreativitas
mereka tersalurkan.
c. Menjadi korban kekerasan. Sebagian besar faktor penyebab kekerasan yang
dilakukan remaja adalah karena sebelumnya pernah menjadi korban dari
kekerasan itu sendiri sehingga terdapat unsur balas dendam kepada juniornya
dan akhirnya menjadi tradisi.
d. Pengaruh lingkungan masyarakat, budaya, dan media. Lingkungan masyarakat
amat berpengaruh terhadap perkembangan remaja. Masyarakat sekarang ini
penuh polemik dan hampir selalu diwarnai dengan kekerasan dalam
menyelesaikan masalah sehingga remaja mudah meniru. Ditambah lagi siaran
media khususnya media elektronik yang menampilkan aneka bentuk kekerasan
turut membentuk mental remaja.

2.2.5 Karakteristik Korban Bullying

Korban bullying adalah seseorang yang berulang kali mendapatkan perlakuan agresi
dari kelompok teman sebaya, baik dalam bentuk serangan fisik, verbal, atau kekerasan
psikologis. Menurut Setiawati (2008) biasanya anak yang menjadi korban bullying adalah
mereka yang paling lemah secara fisik. Anak yang menjadi korban bullying kebanyakan
dari keluarga atau sekolah yang overprotective sehingga mereka tidak dapat
mengembangkan secara maksimal kemampuan untuk memecahkan masalah (coping
skill).

Seperti halnya Coloroso (2007) menyebutkan beberapa karakteristik anak yang


rentan menjadi korban bullying adalah anak yang baru di lingkungan itu, anak termuda di
sekolah, anak yang pernah mengalami trauma, anak penurut, anak yang perilakunya
dianggap mengganggu orang lain, anak yang tidak mau berkelahi, anak yang pemalu,
anak yang miskin atau kaya, anak yang ras suku etnisnya dipandang inferior oleh
penindas, anak yang agamanya dipandang inferior oleh penindas, anak yang memiliki ciri
fisik yang berbeda dengan orang lain, anak dengan ketidak cakapan mental atau fisik, dan
anak yang berbeda di tempat yang keliru pada saat yang salah.

Apabila anak telah menjadi korban bullying, anak tidak akan memberitahukan
kepada orang lain secara terus terang. Mereka mempunyai alasan untuk tidak
memberitahukan masalah itu. Menurut Coloroso (2007) terdapat beberapa alasan anak
tidak mau berterus terang mengenai hal tersebut, diantaranya:

a. Merasa malu karena pernah ditindas;


b. Takut akan aksi balas dendam kalau orang dewasa diberitahu;
c. Mereka berpikir tidak ada orang yang dapat menolong mereka;
d. Mereka tidak berpikir kalau ada orang yang akan menolong.

2.2.6 Dampak Bullying

Suyatno (2003), menjelaskan bahwa terdapat berbagai dampak negatif yang dialami
anak-anak yang menjadi korban bullying yaitu:

a. Dampak bullying terhadap kehidupan individu ada beberapa jenis, yaitu:

Kurangnya motivasi atau harga diri.


Problem kesehatan mental, misalnya; kecemasan berlebihan, problem dalam
hal makan, susah tidur.
Sakit yang serius dan luka parah sampai cacat permanen: patah tulang,
radang karena infeksi, dan mata lebam, termasuk juga sakit kepala, perut,
otot dan lain-lain yang bertahun-tahun meski bila ia tak lagi dianiaya.
Problem-problem kesehatan seksual, misalnya; mengalami kerusakan organ
reproduksinya, kehamilan yang tak diinginkan, ketularan penyakit menular
seksual
Mengembangkan perilaku agresif (suka menyerang) atau jadi pemarah, atau
bahkan sebaliknya menjadi pendiam dan suka menarik diri dari pergaulan.
Mimpi buruk dan serba ketakutan, selain itu kehilangan nafsu makan,
tumbuh, dan belajar lebih lamban, sakit perut, asma, dan sakit kepala.
Kematian.

b. Dampak bullying terhadap kehidupan sosial ada beberapa jenis, yaitu:

Dampak negatif jangka panjang dari bullying pada anak dalam kehidupan
bermasyarakat biasanya sebagai berikut.
Pewarisan lingkaran kekerasan secara turun-temurun atau dari generasi ke
generasi.
Tetap bertahan kepercayaan yang keliru bahwa orangtua mempunyai hak
untuk melakukan apa saja terhadap anaknya, termasuk hak melakukan
kekerasan.
Kualitas hidup semua anggota masyarakat merosot, sebab anak yang
dianiaya tak mengambil peran yang selayaknya dalam kehidupan
kemasyarakatan.
c. Dampak bullying terhadap kehidupan akademik yaitu:

Bullying ternyata berhubungan dengan meningkatnya tingkat depresi, agresi,


penurunan nilai akademik, dan tindakan bunuh diri. Bullying juga
menurunkan skor tes kecerdasan dan kemampuan analisis siswa (Cynantia,
2012). Dalam penilitian ini, peneliti mencoba menelusuri dampak dari
bullying yang terjadi pada anak SMP, terutama perihal prestasi belajar
maupun hubungan sosial yang dialaminya. Semisal apakah ia mengalami
keterlambatan dalam proses aktualisasi potensi dirinya di sekolah.

Dari segi tingkah laku anak-anak yang menjadi korban bullying sering menujukkan:
penarikan diri, ketakutan, atau mungkin juga tingkah laku agresif, emosi yang labil.
Mereka juga sering menunjukan gejala depresi, jati diri yang rendah, kecemasan, adanya
gangguan tidur, phobia, kelak bisa tumbuh menjadi penganiaya, menjadi bersifat keras,
gangguan stres pascatrauma, dan terlibat dalam penggunaan zat adiktif. Mereka mungkin
juga berupaya menutupi luka yang dideritanya dan tetap bungkam merahasiakan
pelakunya karena ketakutan akan mendapatkan pembalasan dendam. Mungkin juga akan
mengalami kelambatan dalam tahap perkembangannya, sering mengalami kesulitan
dalam hubungannya dengan teman sebayanya dan menunjukan tingkah laku menyakiti
diri sendiri, dan bahkan perilaku bunuh diri (Suyatno, 2010).
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Masalah Bullying di Sekolah

Kasus bullying di sekolah ini bisa saja terjadi di semua jenjang pendidikan, mulai
dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Pembagian jenjang pendidikan di
Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, khususnya pada Bab IV pasal 14 menyebutkan bahwa jenjang
pendidikan formal yang berlaku di Indonesia terdiri dari pendidikan dasar yang mencakup
tingkat Sekolah Dasar (SD) dan tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), lalu
pendidikan menengah yang mencakup Sekolah Menengah Atas (SMA) ataupun Kejuruan,
dan terakhir pendidikan tinggi yang mencakup tingkat Diploma, Strata Satu, dan
seterusnya.

Penelitian ini, Sekolah Menengah Pertama (SMP) menjadi fokus penelitian


dikarenakan pada tingkatan sekolah formal ini, peserta didik yang dicakup berada dalam
jenjang umur antara 1215 tahun. Fase ini tergolong sebagai remaja awal, yaitu para
peserta didik sedang mengalami masa peralihan dimana anak sudah tidak layak
diperlakukan sebagai anak kecil, namun pertumbuhan fisik dan mentalnya pun belum
layak dianggap dewasa. Pada fase ini remaja mengalami masa storm and stress, dimana
kerap terjadi pergolakan emosi yang labil dengan diiringi pertumbuhan fisik yang pesat,
perkembangan psikis mereka juga sangat rentan terpengaruh oleh lingkungan. Remaja
juga memiliki kecenderungan untuk menemukan jati dirinya, dan memiliki dorongan kuat
untuk memperoleh pengakuan atau eksistensi dirinya terhadap orang lain (Yusuf, 2004).

Beberapa permasalahan yang kerap dihadapi oleh peserta didik dijenjang SMP yang
tergolong sebagai remaja awal menurut Sunarto, dkk (2008) yaitu:

a. Psikologis, yakni kontrol emosi yang masih labil, seperti cenderung sensitif,
egois, ingin mendapatkan perhatian lebih, minder, bully, kekanak-kanakan, dan
sebagainya.
b. Biologis, fungsi organ seksual yang dapat menimbulkan kebingungan dalam
memahaminya, tak jarang mereka melakukan kesalahan yang melanggar norma
umum.
c. Sosiologis, kehidupan masyarakat yang mulai menuntut mereka untuk cepat
beradaptasi seringkali tidak berjalan selaras dengan kemampuan remaja, hal ini
menimbulkan gejala frustasi maupun resistensi sehingga terkadang remaja
menyalurkannya melalui perilaku yang dianggap menyimpang.
d. Religiusitas, aturan agama yang cukup ketat sering dipandang sebagai bentuk
pengekangan yang menghalangi remaja untuk mengekspresikan dan
mengaktualisasikan dirinya, sehingga seringkali remaja lebih identik dengan
ketidaktaatan dalam menjalankan ajaran agama yang dianutnya.
e. Ekonomi, dorongan budaya liberal yang massif telah mendorong remaja untuk
mengikuti perkembangan life style, sehingga mereka berlomba-lomba dalam
gaya hidup konsumtif yang sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan maupun
kemampuan ekonominya.

Dari beberapa permasalahan anak tersebut sangat memungkinkan terjadi bullying


dengan berbagai bentuk dan tipologi bullying yang ada di sekolah yaitu, memukul,
mendorong, mencubit, mengancam, mempermalukan, merendahkan, melihat dengan
sinis, menjulurkan jari tengah, mendiamkan seseorang, dan bentuk-bentuk lain dengan
tipologi berbeda-beda yang dilakukan antar siswa. Kekerasan bullying seperti ini bisa saja
dilakukan secara perorangan atau kelompok, mereka yang melakukan secara mandiri
biasanya memiliki kekuatan (power) berupa kekuatan fisik, ekonomi.Sementara, mereka
yang melakukan tindak kekerasan bullying yang dilakukan secara kelompok, mereka
melakukan tindakan tersebut karena motif menunjukan rasa solidaritas. Misalnya,
tawuran antar pelajar dapat dilatarbelakangi karena siswa merasa menjadi satu golongan
yang membela teman. Fenomena ini disadari adanya seperti disebut Durkheim sebagai
kesadaran kolektif dalam kelompok siswa tersebut (Martono, 2012).

Tindak kekerasan bullying yang terdapat di sekolah bisa saja dilakukan oleh oknum
guru seperti, kekerasan fisik yaitu mencubit, memukul, menampar dan tindakan lainnya
yang dapat menimbulkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat terhadap fisik anak atau
seseorang. Sementara kekerasan psikis yang dilakukan oleh guru dapat berupa kata-kata
kasar, atau makian dan labelling (nama panggilan) yang kadang dianggap sebagai hal
sepele. Tindak kekerasan berupa labelling yang biasanya berarti negatif dan dapat
berbekas terhadap anak, misalnya menyebut siswa Si Bodoh, Si Gagap, Si Gaboh (gagah
tapi bodoh) dan labelling lainnya dapat menyebabkan tekanan mental dan kurangnya rasa
percaya diri siswa. Selain itu juga sering terjadi kekerasan berupa pemberian tugas yang
berlebihan, pengancaman dan tindak kekerasan tak langsung berupa diskriminasi terhadap
siswa.

Terdapat beberapa alasan kasus bullying di sekolah ini kurang banyak mendapatkan
perhatian hingga akhirnya jatuh korban menurut Prasetyo (2011) yaitu: Pertama, efeknya
tidak tampak secara langsung, kecuali bullying dalam bentuk kekerasan fisik. Akan tetapi,
ini pun tidak terendus karena banyak korban yang tidak mau melaporkan kekerasan yang
dialaminya, entah karena takut, malu, diancam atau karena alasan-alasan lain. Kedua,
banyak kasus bullying yang secara kasat mata tampak seperti bercandaan biasa khas anak-
anak sekolah atau remaja yang dikira tidak menimbulkan dampak serius. Ejekan-ejekan
dan olok-olokan verbal termasuk dalam kategori ini. banyak orangtua dan guru yang
mengira bahwa teguran saja mungkin sudah cukup untuk menyelesaikan bercandaan
anak-anak atau remaja itu. Padahal luka psikis dan emosional yang dialami korban
kekerasan verbal itu jauh lebih dalam dan menyakitkan. Ketiga, sebagian orangtua dan
guru masih belum memiliki pengetahuan yang memadai mengenai bullying dan
dampaknya bagi kehidupan anak. Sehingga sebagian orangtua dan guru benar-benar tidak
tahu bahwa ada masalah serius disekitar mereka.

Perlu adanya mekanisme penyelesaian khusus kasus bullying yang terjadi di


sekolah, seperti menyelenggarakan semacam konferensi komunitas, membuat bentuk
penalti nonfisik atau sanksi seperti menarik hak-hak atau fasilitas yang diterima siswa
atau skorsing dan pemecatan. Departemen pendidikan harus memeperbaiki kinerja
pendidikan di Indonesia baik dari kurikulum maupun sarana-prasarana agar para siswa
tidak lagi menjadi tertekan secara psikologis berkaitan dengan pendidikan di sekolah.
Selain itu juga harus mempunyai kebijakan tentang bullying di sekolah. Masalah bullying
dianggap belum menjadi masalah sosial, maka penanganan kekerasan di sekolah saat ini
menjadi subyek hukum kriminal biasa yang penangannya disamakan dengan kriminal
umumnya (Martono, 2012).

Berdasarkan hal tersebut, dapat disiapkan cara untuk mengurangi kemungkinan atau
pencegahan agar tidak menjadi sasaran tindakan bullying, diantaranya menurut Coloroso
(2007):
a. Membantu anak kecil dan remaja menumbuhkan self esteem (harga diri) yang
baik. Anak ber-self esteem baik akan bersikap dan berpikir positif, menghargai
dirinya sendiri, menghargai orang lain, percaya diri, optimis, dan berani
mengatakan haknya.
b. Mempunyai banyak teman, bergabung dengan group yang meilikikegiatan
positif atau berteman dengan siswa yang sendirian.
c. Kembangkan ketrampilan sosial untuk menghadapi bullying, baik sebagai
sasaran atau sebagai bystander (saksi), dan bagaimana mencari bantuan jika
mendapat perlakuan bullying.

3.2 Analisis Bullying dalam Perspektif Tindakan Sosial

Seperti yang telah dijelaskan di BAB II, tindakan sosial adalah tindakan individu
yang dapat mempengaruhi orang lain. Tindakan sosial yang dimaksud Weber dapat
berupa tindakan yang nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan
yang bersifat membatin atau ditunjukan untuk orang lain yang mungkin terjadi karena
pengaruh dari situasi tertentu. Atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja
sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa atau berupa persetujuan secara pasif
dalam situasi tertentu. Ciri-ciri tindakan sosial yaitu memiliki makna subjektif, tindakan
nyata yang bersifat membatin dan bersifat subjektif, tindakan berpengaruh positif,
tindakan diarahkan pada orang lain, dan tindakan merupakan respon terhadap tindakan
orang lain.

Contoh pertama kasus bullying yaitu siswa kelas X SMAN 3 Jakarta Selatan
berinisial A (15) menjadi korban bullying yang dilakukan empat orang kakak kelasnya.
Kasus bullying terjadi lantaran A datang ke pesta ulang tahun diantar oleh ibunya.
Peristiwa ini bermula saat A datang ke pesta ulang tahun salah satu siswa di Kawasan
Sudirman beberapa hari lalu. Kedatangan A diantar oleh ibunya ini membuat empat siswa
yang merupakan kakak kelas korban tak terima. Keesokan harinya pada Kamis 28 April
2016 lalu, usai pulang sekolah, A dibawa oleh empat seniornya itu ke salah satu tempat.
A dimaki-maki dan disiram dengan air teh kemasan oleh empat kakak kelasnya. Diduga
aksi bullying itu dilakukan para seniornya lantaran menganggap korban anak mami. Para
pelaku terancam dikenai sanksi yaitu tidak diluluskan Ujian Nasional.

Dalam kasus bullying terhadap remaja, tindakan sosial terjadi dalam bentuk nyata.
Pelaku biasanya melakukan bullying disebabkan oleh rasa iri, dengki, rasa sakit hati, rasa
cemburu berlebihan, dan sebagainya. Selain itu, pelaku juga merasa derajatnya lebih
tinggi dari korban bullying, entah itu dari status ekonomi maupun dari status sosial.
Merasa paling berkuasa di lingkungan sekitarnya, pelaku melakukan bullying. Tentunya
masih terbayang dalam benak kita mengenai kasus kekerasan yang terjadi di Sekolah
Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Cilincing, Jakarta Utara. Penganiayaan terjadi pada Selasa,
10 Januari 2017 pukul 22.30 WIB malam di Gedung Dormitory ring 4 kamar M 205
Lantai 2 Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Penganiayaan bermula usai melaksanakan
kegiatan drum band. Salah satu pelaku, Sisko Mataheru, mengajak para pelaku lainnya
yakni Willy Hasiholan, Iswanto, dan Akbar Ramadhan untuk mengerjai para juniornya
yang duduk di tingkat I.

Selanjutnya pada pukul 22.00 WIB, sebanyak enam taruna tingkat I salah satunya
Amirulloh dipanggil para pelaku untuk berkumpul di TKP. Setelah taruna tingkat I
berkumpul baru lah para pelaku melakukan penganiayaan dengan cara memukul
menggunakan tangan kosong secara bergantian yang diarahkan ke perut, dada dan ulu
hati. Saat korban mendapatkan giliran untuk dipukul, malapetaka pun terjadi. Pukulan
terakhir dilakukan oleh Willy. Ketika memukul perut, dada dan ulu hati korban, tiba-tiba
saja ambruk ke dada pelaku. Mengetahui korban pingsan para pelaku panik dan
selanjutnya menghubungi sejumlah senior tingkat 4 dan dilanjutkan ke pembina dan piket
medis STIP. Ketika diperiksa tim dokter STIP, korban sudah dalam keadaan tak
bernyawa. Akibat perbuatannya, pelaku akan dijerat Pasal 170 KUHP susider Pasal 351
ayat 3 KUHP dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara.

Dalam kasus bullying yang dilakukan oleh senior kepada junior STIP, penulis
mengambil kesimpulan bahwa pelaku melakukan bullying disebabkan oleh masalah
psikologis, sosiologis, dan ekonomi. Selain itu, faktor pelaku melakukan bullying adalah
faktor budaya paternalistik dan lingkungan sekitar, budaya, dan media. Dari sisi
psikologis, kontrol emosi pelaku yang masih labil, seperti cenderung sensitif, egois, ingin
mendapatkan perhatian lebih, minder, bully, kekanak-kanakan, dan sebagainya. Dari sisi
sosiologis, kehidupan masyarakat yang mulai menuntut mereka untuk cepat beradaptasi
seringkali tidak berjalan selaras dengan kemampuan remaja, hal ini menimbulkan gejala
frustasi maupun resistensi sehingga terkadang remaja menyalurkannya melalui perilaku
yang dianggap menyimpang. Sebagian besar faktor penyebab kekerasan yang dilakukan
remaja adalah karena sebelumnya pernah menjadi korban dari kekerasan itu sendiri
sehingga terdapat unsur balas dendam kepada juniornya dan akhirnya menjadi tradisi.
Pelaku yang mungkin saat tingkat 1 pernah mengalami kekerasan oleh kakak tingkatnya
merasa bahwa hal ini dilakukan dalam rangka membuat mental junior untuk menjadi
lebih kuat. Sedangkan dari sisi ekonomi, dorongan budaya liberal yang massif telah
mendorong remaja untuk mengikuti perkembangan life style, sehingga mereka berlomba-
lomba dalam gaya hidup konsumtif yang sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan
maupun kemampuan ekonominya. Hal ini terbukti dengan loker korban yang dirusak oleh
pelaku dan korban yang sering kehilangan uang namun tidak berani melapor karena takut
dipukuli lagi oleh seniornya.

Dalam budaya paternalistik, berkembang pandangan bahwa lelaki yang hebat


adalah lelaki yang tidak takut mengalami tindakan kekerasan. Para pelaku ingin
menunjukkan kepada juniornya bahwa untuk menjadi seorang perwira tangguh dan siap
menghadapi tantangan ketika berlayar, laki-laki itu harus kuat. Para pelaku ingin
menanamkan mindset bahwa apa yang dilakukannya adalah benar dan tidak seberapa
sakit dengan apa yang akan dihadapi di lautan sana. Pengaruh lingkungan masyarakat,
budaya, dan media cukup besar. Lingkungan masyarakat amat berpengaruh terhadap
perkembangan remaja. Masyarakat sekarang ini penuh polemik dan hampir selalu
diwarnai dengan kekerasan dalam menyelesaikan masalah sehingga remaja mudah
meniru. Ditambah lagi siaran media khususnya media elektronik yang menampilkan
aneka bentuk kekerasan turut membentuk mental remaja. Di STIP sendiri sepertinya
sudah tidak aneh ketika kekerasan dilakukan, seperti sebuah tradisi yang diturunkan
turun-temurun. Selain itu, banyaknya tayangan-tayangan di TV maupun film-film action
membuat sebagian remaja terinspirasi untuk mempraktikan adegan tersebut. Terlebih lagi
ketika tidak ada media untuk menyalurkannya. Akhirnya para pelaku pun
menyalurkannya melalui bullying kepada adik tingkatnya. Penulis meyakini bahwa kasus
penganiayaan terhadap junior di STIP merupakan kasus kekerasan tertutup (covert) dan
agresif ini berubah menjadi kekerasan terbuka saat para pelaku merasa tidak cukup ketika
melakukan kekerasan tertutup dan agresif tersebut. Mereka tidak memikirkan bahwa
tindakan kekerasan yang mereka lakukan dapat memakan korban.

Tindakan sosial terjadi ketika individu melekatkan makna subjektif pada tindakan
mereka. Maksudnya, tindakan sosial terjadi ketika individu dalam masyarakat melakukan
tindakan yang mempunyai makna dalam tindakan mereka, baik bermakna bagi diri sendiri
maupun orang lain. Dalam tindakan sosial akan menciptakan hubungan sosial. Hubungan
sosial menurut Weber yaitu tindakan dimana beberapa aktor yang berbeda-beda, sejauh
tindakan itu mengandung makna dihubungkan serta diarahkan kepada tindakan orang
lain. Masing-masing individu berinteraksi dan saling menanggapi.
Dari empat tindakan sosial yang mempengaruhi system dan struktur sosial
masyarakat, dua diantaranya menjelaskan kasus bullying yang dilakukan senior terhadap
junior tingkat 1 di STIP, yaitu:

a. Tindakan Afektif atau Tindakan yang Dipengaruhi Emosi (Affectual


Action)

Tindakan ini berbeda dengan tindakan rasional instrumental dan tindakan


rasionalitas berorientasi nilai, karena tindakan afektif tidak melalui pertimbangan yang
sadar tindakan ini tercipta dengan spontan karena pengaruh emosi dan perasaan
seseorang. Tipe tindakan sosial ini lebih didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi
intelektual atau perencanaan sadar. Seseorang yang sedang mengalami perasaan meluap-
luap seperti cinta, kemarahan, ketakutan atau kegembiraan, dan secara spontan
mengungkapkan perasaan itu tanpa refleksi, berarti sedang memperlihatkan tindakan
afektif. Tindakan ini benar-benar tidak rasional karena kurangnya pertimbangan logis,
ideologi, atau kriteria rasional lainnya.

Tindakan afektif sifatnya spontan, tidak rasional, dan merupakan ekspresi


emosional dari individu. Tindakan ini dipengaruhi oleh emosi dan perasaan seseorang.
Contohnya adanya emosi penambang sehingga terjadi pertengkaran dikarenakan
persaingan atau perbedaan pendapat. Dalam kasus bullying terhadap junior tingkat 1 di
STIP, para pelaku melakukan suatu tindakan sosial setelah terpengaruh emosi dan
perasaan. Maksudnya tindakan atau perilaku yang dilakukan untuk mencapai tujuan
tertentu, yaitu mengerjai para juniornya, dilakukan secara sadar namun penuh dengan
emosi. Para pelaku dalam melakukan tindakan atau perilaku itu sadar akan apa yang
dilakukannya, tetapi tidak memikirkan konsekuensi yang akan mereka dapatkan. Jika
dihubungkan dengan kasus ini, jenis tindakan afektif merupakan salah satu jenis tindakan
sosial yang cocok untuk menganalisis bullying pada remaja dalam perspektif tindakan
sosial.

b. Tindakan Tradisional atau Tindakan Karena Kebiasaan (Traditional


Action)

Tindakan sosial ini dilakukan oleh seseorang karena mengikuti tradisi atau
kebiasaan yang sudah diajarkan secara turun temurun dan telah baku dan tidak dapat
diubah. Jadi tindakan ini tidak melalui perencanaan yang sadar terlebih dahulu, baik dari
caranya maupun tujuannya. Karena mengulangnya dari kebiasaan yang sudah dilakukan
secara turun temurun. Seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang
diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau emosi tanpa refleksi
intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan afektif bersifat spontan, tidak rasional dan
merupakan refleksi emosional dari individu.

Apabila dalam kelompok masyarakat ada yang didominasi oleh orientasi tindakan
sosial ini maka kebiasaan dan pemahaman mereka akan didukung oleh kebiasaan atau
tradisi yang sudah lama ada di daerah tersebut sebagai kerangka acuannya yang diterima
begitu saja tanpa persoalan. Sama halnya di penelitian yang telah dilakukan pemahaman
dan cara berpikir masyarakat yang masih tradisional yang tercipta dari kebiasaan nenek
moyang dan berlanjut secara turun temurun pada setiap lapisan masyarakat sekitar. Kasus
kekerasan yang dilakukan oleh senior terhadap junior di STIP pun seakan menjadi tradisi
turun-temurun dengan tujuan membina dan melatih juniornya. Pelaku yang mungkin
saat tingkat 1 pernah mengalami kekerasan oleh kakak tingkatnya merasa bahwa hal ini
dilakukan dalam rangka membuat mental junior untuk menjadi lebih kuat dalam
menghadapi tantangan ketika berlayar nanti.
BAB IV
KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan

Masa remaja merupakan fase perkembangan dari masa anak-anak menuju masa
dewasa. Pada masa remaja, seharusnya mereka memahami berbagai proses perubahan
yang terjadi dalam dirinya. Namun, keterbatasan kemampuan berpikir dan kurang
informasi membuat mereka sulit untuk memahami berbagai proses perubahan yang
terjadi dalam diri mereka. Termasuk di dalamnya adalah perubahan intelektual yang lebih
dalam berpikir. Perubahan intelektual dari cara berpikir remaja inilah yang
memungkinkan untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosialnya dengan orang
dewasa, yang merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan. Semakin
mudah dan cepatnya arus komunikasi saat ini dapat meningkatkan rasa ingin tahu dan
mendorong remaja untuk mencoba sesuatu yang baru dan dapat menjadikan semua itu
sebagai pengalaman yang berarti baik yang sifatnya positif maupun negatif. Disebut
positif karena dengan adanya arus komunikasi dan informasi yang mudah dan cepat
diharapkan para remaja dapat berkarya dan berprestasi lebih. Namun juga bisa menjadi
negatif, yaitu mendorong remaja untuk berperilaku yang negatif seperti merokok, minum-
minuman keras, melakukan bullying, dan pergaulan bebas.

Secara sosiologis, bullying adalah wujud ketidakberimbangan kekuasaan. Apa yang


dimaksud dengan kekuasaan adalah kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk
mengikuti apa yang diinginkan dan diperintahkan pihak tertentu. Pihak yang memerintah
adalah profil yang berkuasa. Adapun yang cuma menjalankan perintah adalah pihak yang
dikuasai. Bullying serupa dengan aksi-aksi dalam kerajaan binatang. Hukum yang
diterapkan adalah siapa paling kuat maka dia boleh hidup. Orang tua memiliki peran
besar dalam mendidik anak-anaknya karena dimulai dari lingkungan rumah lah karakter
dibentuk. Dengan bantuan pihak akademik, orang tua harus memberikan informasi dan
pengarahan mengenai bullying, cara mencegahnya, dan langkah apa yang harus dilakukan
ketika mengalami bullying mulai dari sekarang. Karena mencegah tindakan bullying lebih
baik daripada mengobati.
4.2 Saran

Berdasarkan paparan penulis, terdapat beberapa hal yang menjadi fokus penulis
sehingga penulis memberikan saran terkait efektivitas penggunaan media sosial. Saran-
saran tersebut diantaranya:

1 Untuk orang tua dan civitas akademik, agar lebih memperhatikan dan
mengawasi para remaja agar kasus bullying tidak terulang lagi. Orang tua dan
civitas akademik diminta untuk memberikan informasi dan pengarahan
mengenai bullying, cara mencegahnya, dan langkah apa yang harus dilakukan
ketika mengalami bullying. Orang tua pun harus lebih bersahabat dengan anak-
anaknya. Sebab ketika para remaja mengalami bullying, sebagian besar dari
mereka lebih memilih untuk menutup diri. Ketika mereka merasa tidak ada yang
dapat menjadi tempat bersandar, beberapa di antaranya memilih untuk
mengakhiri hidup. Inilah mengapa penulis merasa orang tua memiliki peran
besar dalam mencegah tindakan bullying.
2 Untuk pengguna media sosial, khususnya pelajar dan mahasiswa, agar lebih
bijak agar lebih bijaksana dalam menggunakan media sosial. Beberapa kasus
bullying terjadi akibat saling ejek di media sosial. Meskipun merupakan hak
setiap orang untuk menangkap pendapat kepada muka umum, namun ada
baiknya agar lebih bijaksana dalam berpendapat di muka umum.
3 Untuk pemerintah, agar lebih memperhatikan masalah-masalah sosial,
khususnya mengenai bullying. Dengan membuat regulasi yang mengatur
kehidupan sosial, maka akan lebih menciptakan pola sosial yang lebih baik bagi
kehidupan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang


Rentang Kehidupan (Edisi Kelima). Jakarta: Erlangga.

Johnson, Doyle Paul. 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia
Pustaka.

Olweus, D. 1993. Bullying at School: What We Know and What We Can Do. Cornwall:
Blackwell Publishing.

Ritzer, George. 2012. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada.

Ritzer, George. dan Douglas J. 1995. Goodman. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.

Santrock, J.W. 2004. Life Span Development, 9 th Edition. New York: Mc. Graw Hill.

Sunarto, dan Hartono. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta.

Wiyani, Novan Ardy. 2012. Save Our Children From School Bullying. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media.

Survei ICRW: 84% Anak Indonesia Alami Kekerasan di Sekolah (diakses pada 1 Juni
2017, pukul 13:43 WIB) http://news.liputan6.com/read/2191106/survei-icrw-84-anak-
indonesia-alami-kekerasan-di-sekolah

Perilaku Menyimpang Remaja (diakses pada 30 Mei 2017, pukul 14:30 WIB)
https://www.academia.edu/7198920/perilaku_menyimpang_remaja

http://digilib.unila.ac.id/11855/16/BAB%20II.pdf

https://metro.sindonews.com/read/1169904/170/diduga-dianiaya-senior-siswa-sekolah-
pelayaran-tewas-1484104992

https://metro.sindonews.com/read/1105796/170/pergi-ke-pesta-ultah-diantar-mami-siswa-
sma-ini-di-bully-senior-1462246224

Você também pode gostar