Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
TINDAKAN SOSIAL
Disusun oleh:
Jihan Hasna
11080016421
Kelas D
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan fase perkembangan dari masa anak-anak menuju masa
dewasa. Remaja atau adolescence secara umum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1995) berarti sudah mulai dewasa. World Health Organization (1974 dalam Purwoko, tt)
menyatakan bahwa remaja adalah suatu masa terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-
ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. Santrock (2007)
menggambarkan masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak dengan masa
dewasa. Simpulan ringkas mengenai definisi remaja dari definisi-definisi sebelumnya
adalah remaja adalah proses peralihan dari masa anak-anak yang memiliki
ketergantungan lebih besar terhadap orang lain dibandingkan masa dewasa yang mulai
mandiri.
Batasan usia remaja ini sedikit berbeda satu sama lain. Santrock (2007)
menyatakan bahwa remaja berada pada rentang usia antara 12-22 tahun. Remaja menurut
BKKBN misalnya, adalah penduduk laki-laki atau perempuan yang berusia 10-19 tahun
dan belum menikah sedang WHO menyatakan remaja sebagai penduduk laki-laki atau
perempuan yang berusia 10-19 tahun, UNFPA menyebut remaja sebagai kelompok orang
muda atau young people yang berada pada rentang usia 15-24 tahun (Pitoyo,
Lestariningsih, & Kiswanto, 2013). Remaja yang menjadi sasaran kegiatan ini berada
pada rentang usia antara sekitar 15 hingga 19 tahun atau pada masa sekolah menengah
atas.
Pada masa remaja, seharusnya mereka memahami berbagai proses perubahan yang
terjadi dalam dirinya. Namun, keterbatasan kemampuan berpikir dan kurang informasi
membuat mereka sulit untuk memahami berbagai proses perubahan yang terjadi dalam
diri mereka. Termasuk di dalamnya adalah perubahan intelektual yang lebih dalam
berpikir. Perubahan intelektual dari cara berpikir remaja inilah yang memungkinkan
untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosialnya dengan orang dewasa, yang
merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan. Piaget (dalam Hurlock
1980: 206) mengatakan bahwa semakin mudah dan cepatnya arus komunikasi saat ini
dapat meningkatkan rasa ingin tahu dan mendorong remaja untuk mencoba sesuatu yang
baru dan dapat menjadikan semua itu sebagai pengalaman yang berarti baik yang sifatnya
positif maupun negatif. Disebut positif karena dengan adanya arus komunikasi dan
informasi yang mudah dan cepat diharapkan para remaja dapat berkarya dan berprestasi
lebih. Namun juga bisa menjadi negatif, yaitu mendorong remaja untuk berperilaku yang
negatif seperti merokok, minum-minuman keras, melakukan bullying, dan pergaulan
bebas.
Menurut beberapa ahli, tayangan kekerasan di televisi dan media sosial juga
berperan serta. Selain itu, kesadaran di masyarakat, baik pihak sekolah dan keluarga,
masih kurang mengenai bullying. Seringkali anak takut melaporkan karena hanya akan
dijadikan bahan bulan-bulanan oleh teman-temannya di sekolah. Namun penerapan
perangkat hukum ini masih terbentur beragam kendala seperti ketidaktahuan masyarakat
dan kurangnya komitmen pemerintah daerah. Penerapan yang belum optimal ini membuat
anak-anak di Indonesia belum sepenuhnya terlindungi. Berdasarkan uraian tersebut,
penulis tertarik untuk menganalisis kasus bullying yang dilakukan remaja terhadap
temannya dengan menggunakan teori tindakan sosial yang dicetuskan oleh Max Weber
dan diberi judul:
Penyusunan makalah ini diharapkan dapat menjadi referensi tentang Analisis Kasus
Bullying Terhadap Remaja dalam Perspektif Tindakan Sosial.
Didalam sosiologi terdapat tiga paradigma yang terdiri dari Fakta Sosial (Emile
Durkheim), Definisi Sosial (Max Weber), dan Perilaku Sosial (B. F. Skinner). Max
Weber merupakan salah satu tokoh dari salah satu paradigma yaitu Definisi Sosial, yang
mana teori tindakan sosial (social action) merupakan bagian dari salah satu paradigma
Definisi Sosial yang dikembangkan oleh Weber. Setiap hari kita melakukan tindakan
dengan maksud dan tujuan tertentu. Tindakan yang kita lakukan pada umumnya berkaitan
dengan orang lain, mengingat bahwa manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang
tidak dapat hidup sendiri dalam kehidupan masyarakat.
Tindakan sosial yang dimaksud Weber dapat berupa tindakan yang nyata diarahkan
kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang bersifat membatin atau ditunjukan
untuk orang lain yang mungkin terjadi karena pengaruh dari situasi tertentu. Atau
merupakan tindakan perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang
serupa atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu. Ciri-ciri tindakan sosial
yaitu memiliki makna subjektif, tindakan nyata yang bersifat membatin dan bersifat
subjektif, tindakan berpengaruh positif, tindakan diarahkan pada orang lain dan tindakan
merupakan respon terhadap tindakan orang lain.
Tindakan sosial terjadi ketika individu melekatkan makna subjektif pada tindakan
mereka. Maksudnya, tindakan sosial terjadi ketika individu dalam masyarakat melakukan
tindakan yang mempunyai makna dalam tindakan mereka, baik bermakna bagi diri sendiri
maupun orang lain. Dalam tindakan sosial akan menciptakan hubungan sosial. Hubungan
sosial menurut Weber yaitu tindakan dimana beberapa aktor yang berbeda-beda, sejauh
tindakan itu mengandung makna dihubungkan serta diarahkan kepada tindakan orang
lain. Masing-masing individu berinteraksi dan saling menanggapi.
Jenis tindakan sosial rasional instrumental ini merupakan tindakan yang memiliki
rasionalitas paling tinggi, yang meliputi pilihan yang sadar (masuk akal) yang
berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya.
Individu dilihat sebagai memiliki macam-macam tujuan yang mungkin diinginkannya,
dan atas dasar suatu kriteria menentukan satu pilihan di antara tujuan-tujuan yang saling
bersaingan, lalu individu menilai alat yang mungkin dapat dipergunakan untuk mencapai
tujuan. Rasional instrumental merupakan tindakan sosial yang dilakukan seseorang
didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan
tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya.
Dalam tindakan ini manusia melakukan suatu tindakan sosial setelah mereka
melalui pertimbangan matang mengenai tujuan dan cara yang akan ditempuh untuk
meraih tujuan itu. Maksudnya tindakan atau perilaku yang dilakukan memang jelas untuk
mencapai tujuan tertentu. Tindakan sosial itu sudah dipertimbangkan masak-masak tujuan
dan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Manusia dalam melakukan
tindakan atau perilaku itu sadar akan apa yang dilakukannya dan sadar akan tujuan
tindakannya. Jika dihubungkan dengan penelitian ini jenis tindakan rational instrumental
ini merupakan salah satu jenis tindakan sosial yang cocok untuk menganalisis penelitian
tentang kehidupan sosial ekonomi masyarakat penambang minyak tradisional.
Tindakan sosial ini memperhitungkan mafaat, sedangkan tujuan yang ingin dicapai
tidak terlalu dipertimbangkan, kriteria baik dan benar merupakan menurut penilaian dari
masyarakat Bagi tindakan sosial ini yang penting adalah kesesuaian tindakan dengan
nilai-nilai dasar yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat
berupa nilai budaya dan agama bisa juga nilai-nilai lain yang menjadi keyakinan disetiap
individu masyarakat. Setiap individu atau kelompok masyarakat mempunyai keyakinan
terhadap nilai-nilai yang berbeda jadi tindakan yang dilakukan oleh setiap individu
menurut jenis tindakan ini mempunyai makna yang berbeda-beda. Contoh tindakan yang
berorientasi nilai adalah seorang yang kaya akan memberi sodaqoh kepada orang yang
miskin dengan tujuan untuk membantu orang miskin tersebut dan mendapatkan pahala
dari Allah, karena dalam nilai agama diajarkan agar bersodaqoh terhadap orang yang
kurang mampu.
Tindakan sosial ini dilakukan oleh seseorang karena mengikuti tradisi atau
kebiasaan yang sudah diajarkan secara turun temurun dan telah baku dan tidak dapat
diubah. Jadi tindakan ini tidak melalui perencanaan yang sadar terlebih dahulu, baik dari
caranya maupun tujuannya. Karena mengulangnya dari kebiasaan yang sudah dilakukan
secara turun temurun. Seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang
diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau emosi tanpa refleksi
intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan afektif bersifat spontan, tidak rasional dan
merupakan refleksi emosional dari individu.
Apabila dalam kelompok masyarakat ada yang didominasi oleh orientasi tindakan
sosial ini maka kebiasaan dan pemahaman mereka akan didukung oleh kebiasaan atau
tradisi yang sudah lama ada di daerah tersebut sebagai kerangka acuannya yang diterima
begitu saja tanpa persoalan. Sama halnya di penelitian yang telah dilakukan pemahaman
dan cara berpikir masyarakat yang masih tradisional yang tercipta dari kebiasaan nenek
moyang dan berlanjut secara turun temurun pada setiap lapisan masyarakat sekitar. Dan
masyarakat penambang minyak tradisional tetap melakukan dengan cara tradisonal dan
tidak ingin mengubah cara mereka dan tidak dipersoalkan meskipun sudah banyak alat-
alat yang lebih modern.
2.2 Bullying
Kata bullying sendiri berasal dari bahasa Inggris, yaitu dari kata bull berarti banteng
yang senang menyeruduk kesana kemari. Istilah ini akhirnya diambil untuk menguraikan
suatu tindakan destruktif. Berbeda dengan negara lain seperti Norwegia, Finlandia, dan
Denmark yang menyebut bullying dengan istilah mobbing atau mobbning. Istilah aslinya
berasal dari bahasa Inggris, yaitu mob yang menekankan bahwa biasanya mob adalah
kelompok orang yang anonim dan berjumlah banyak serta terlibat kekerasan (Wiyani,
2012). Secara etimologi kata bully berarti penggertak, orang yang mengganggu orang
yang lemah. Istilah bullying dalam bahasa Indonesia bisa menggunakan menyakat, yang
berasal dari kata sakat dan pelakunya disebut penyakat. Menyakat berarti mengganggu,
mengusik, dan merintangi orang lain. Sedangkan secara terminologi menurut Olweus,
1952 (dalam Wiyani, 2012) mengatakan bahwa bullying adalah perilaku negatif yang
mengakibatkan seseorang dalam keadaan tidak nyaman atau terluka dan biasanya terjadi
berulang-ulang, repeated during successive encounters. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
pada dasarnya bullying adalah perilaku negatif berupa kekerasan fisik maupun kekerasan
mental yang dilakukan secara berulang oleh seseorang atau sekelompok orang yang dapat
merugikan orang lain.
Contoh dari perilaku bullying itu sendiri antara lain mengejek, menyebarkan rumor,
menghasut, mengucilkan, menakut-nakuti atau intimidasi, mengancam, menindas,
memalak atau menyerang secara fisik seperti mendorong, menampar, atau memukul.
Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa perilaku bullying tersebut merupakan hal
sepele atau bahkan normal dalam tahap kehidupan manusia atau dalam kehidupan sehari-
hari. Namun faktanya, perilaku bullying merupakan learned behaviors karena manusia
tidak terlahir sebagai penggertak dan pengganggu yang lemah. Bullying merupakan
perilaku tidak normal, tidak sehat, dan secara sosial tidak bisa diterima. Hal yang sepele
pun kalau dilakukan secara berulang kali pada akhirnya dapat menimbulkan dampak
serius dan fatal. Membiarkan atau menerima perilaku bullying, berarti memberikan
bullies power kepada pelaku bullying, menciptakan interaksi sosial tidak sehat dan
meningkatkan budaya kekerasan. Interaksi sosial yang tidak sehat dapat menghambat
pengembangan potensi diri secara optimal sehingga memandulkan budaya unggul
(Wiyani, 2012).
Berkaitan dengan kekerasan di sekolah atau bullying, maka school bullying dapat
didefinisikan sebagai perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seseorang atau
sekelompok remaja yang memiliki kekuasaan terhadap remaja lain yang lebih lemah,
dengan tujuan menyakiti orang tersebut. Berdasarkan definisi diatas, kemudian menurut
Wiyani (2012), perilaku bullying dikelompokan ke dalam lima bentuk, sebagai berikut:
Budaya kekerasan sepertinya semakin hari semakin menguat dalam berbagai aspek
kehidupan kita. Julukan bangsa yang penuh adab, sopan santun, toleran, dan memiliki
ikatan kekeluargaan yang kuat, lambat laun mulai menghilang dari khazanah kehidupan
kita, baik dalam konteks hidup bermasyarakat maupun berbangsa. Budaya kekerasan
telah menjelma dalam berbagai bentuk, seolah-olah telah menjadi bagian dari kehidupan
kita sehari-hari dan kita menerimanya sebagai sesuatu yang wajar.
Kebanyakan orang menganggap kekerasan hanya dalam konteks sempit, yang
biasanya berkaitan dengan perang, pembunuhan, atau kekacauan. Padahal, kekerasan itu
bentuknya bermacam-macam, termasuk bullying di dalamnya. Kekerasan
mengilustrasikan sifat aturan sosial, pelanggaran aturan, dan reaksi sosial terhadap
pelanggaran yang kompleks dan kerap kali saling bertentangan. Istilah kekerasan
digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka maupun tertutup, baik yang
bersifat menyerang maupun bertahan yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang
lain. Oleh karena itu, menurut Wiyani (2012) ada empat tipologi kekerasan bullying yang
dapat diidentifikasi, yaitu:
Banyak faktor yang menyebabkan tindakan kekerasan atau bullying dalam diri
anak, diantaranya menurut Coloroso (2007):
Korban bullying adalah seseorang yang berulang kali mendapatkan perlakuan agresi
dari kelompok teman sebaya, baik dalam bentuk serangan fisik, verbal, atau kekerasan
psikologis. Menurut Setiawati (2008) biasanya anak yang menjadi korban bullying adalah
mereka yang paling lemah secara fisik. Anak yang menjadi korban bullying kebanyakan
dari keluarga atau sekolah yang overprotective sehingga mereka tidak dapat
mengembangkan secara maksimal kemampuan untuk memecahkan masalah (coping
skill).
Apabila anak telah menjadi korban bullying, anak tidak akan memberitahukan
kepada orang lain secara terus terang. Mereka mempunyai alasan untuk tidak
memberitahukan masalah itu. Menurut Coloroso (2007) terdapat beberapa alasan anak
tidak mau berterus terang mengenai hal tersebut, diantaranya:
Suyatno (2003), menjelaskan bahwa terdapat berbagai dampak negatif yang dialami
anak-anak yang menjadi korban bullying yaitu:
Dampak negatif jangka panjang dari bullying pada anak dalam kehidupan
bermasyarakat biasanya sebagai berikut.
Pewarisan lingkaran kekerasan secara turun-temurun atau dari generasi ke
generasi.
Tetap bertahan kepercayaan yang keliru bahwa orangtua mempunyai hak
untuk melakukan apa saja terhadap anaknya, termasuk hak melakukan
kekerasan.
Kualitas hidup semua anggota masyarakat merosot, sebab anak yang
dianiaya tak mengambil peran yang selayaknya dalam kehidupan
kemasyarakatan.
c. Dampak bullying terhadap kehidupan akademik yaitu:
Dari segi tingkah laku anak-anak yang menjadi korban bullying sering menujukkan:
penarikan diri, ketakutan, atau mungkin juga tingkah laku agresif, emosi yang labil.
Mereka juga sering menunjukan gejala depresi, jati diri yang rendah, kecemasan, adanya
gangguan tidur, phobia, kelak bisa tumbuh menjadi penganiaya, menjadi bersifat keras,
gangguan stres pascatrauma, dan terlibat dalam penggunaan zat adiktif. Mereka mungkin
juga berupaya menutupi luka yang dideritanya dan tetap bungkam merahasiakan
pelakunya karena ketakutan akan mendapatkan pembalasan dendam. Mungkin juga akan
mengalami kelambatan dalam tahap perkembangannya, sering mengalami kesulitan
dalam hubungannya dengan teman sebayanya dan menunjukan tingkah laku menyakiti
diri sendiri, dan bahkan perilaku bunuh diri (Suyatno, 2010).
BAB III
PEMBAHASAN
Kasus bullying di sekolah ini bisa saja terjadi di semua jenjang pendidikan, mulai
dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Pembagian jenjang pendidikan di
Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, khususnya pada Bab IV pasal 14 menyebutkan bahwa jenjang
pendidikan formal yang berlaku di Indonesia terdiri dari pendidikan dasar yang mencakup
tingkat Sekolah Dasar (SD) dan tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), lalu
pendidikan menengah yang mencakup Sekolah Menengah Atas (SMA) ataupun Kejuruan,
dan terakhir pendidikan tinggi yang mencakup tingkat Diploma, Strata Satu, dan
seterusnya.
Beberapa permasalahan yang kerap dihadapi oleh peserta didik dijenjang SMP yang
tergolong sebagai remaja awal menurut Sunarto, dkk (2008) yaitu:
a. Psikologis, yakni kontrol emosi yang masih labil, seperti cenderung sensitif,
egois, ingin mendapatkan perhatian lebih, minder, bully, kekanak-kanakan, dan
sebagainya.
b. Biologis, fungsi organ seksual yang dapat menimbulkan kebingungan dalam
memahaminya, tak jarang mereka melakukan kesalahan yang melanggar norma
umum.
c. Sosiologis, kehidupan masyarakat yang mulai menuntut mereka untuk cepat
beradaptasi seringkali tidak berjalan selaras dengan kemampuan remaja, hal ini
menimbulkan gejala frustasi maupun resistensi sehingga terkadang remaja
menyalurkannya melalui perilaku yang dianggap menyimpang.
d. Religiusitas, aturan agama yang cukup ketat sering dipandang sebagai bentuk
pengekangan yang menghalangi remaja untuk mengekspresikan dan
mengaktualisasikan dirinya, sehingga seringkali remaja lebih identik dengan
ketidaktaatan dalam menjalankan ajaran agama yang dianutnya.
e. Ekonomi, dorongan budaya liberal yang massif telah mendorong remaja untuk
mengikuti perkembangan life style, sehingga mereka berlomba-lomba dalam
gaya hidup konsumtif yang sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan maupun
kemampuan ekonominya.
Tindak kekerasan bullying yang terdapat di sekolah bisa saja dilakukan oleh oknum
guru seperti, kekerasan fisik yaitu mencubit, memukul, menampar dan tindakan lainnya
yang dapat menimbulkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat terhadap fisik anak atau
seseorang. Sementara kekerasan psikis yang dilakukan oleh guru dapat berupa kata-kata
kasar, atau makian dan labelling (nama panggilan) yang kadang dianggap sebagai hal
sepele. Tindak kekerasan berupa labelling yang biasanya berarti negatif dan dapat
berbekas terhadap anak, misalnya menyebut siswa Si Bodoh, Si Gagap, Si Gaboh (gagah
tapi bodoh) dan labelling lainnya dapat menyebabkan tekanan mental dan kurangnya rasa
percaya diri siswa. Selain itu juga sering terjadi kekerasan berupa pemberian tugas yang
berlebihan, pengancaman dan tindak kekerasan tak langsung berupa diskriminasi terhadap
siswa.
Terdapat beberapa alasan kasus bullying di sekolah ini kurang banyak mendapatkan
perhatian hingga akhirnya jatuh korban menurut Prasetyo (2011) yaitu: Pertama, efeknya
tidak tampak secara langsung, kecuali bullying dalam bentuk kekerasan fisik. Akan tetapi,
ini pun tidak terendus karena banyak korban yang tidak mau melaporkan kekerasan yang
dialaminya, entah karena takut, malu, diancam atau karena alasan-alasan lain. Kedua,
banyak kasus bullying yang secara kasat mata tampak seperti bercandaan biasa khas anak-
anak sekolah atau remaja yang dikira tidak menimbulkan dampak serius. Ejekan-ejekan
dan olok-olokan verbal termasuk dalam kategori ini. banyak orangtua dan guru yang
mengira bahwa teguran saja mungkin sudah cukup untuk menyelesaikan bercandaan
anak-anak atau remaja itu. Padahal luka psikis dan emosional yang dialami korban
kekerasan verbal itu jauh lebih dalam dan menyakitkan. Ketiga, sebagian orangtua dan
guru masih belum memiliki pengetahuan yang memadai mengenai bullying dan
dampaknya bagi kehidupan anak. Sehingga sebagian orangtua dan guru benar-benar tidak
tahu bahwa ada masalah serius disekitar mereka.
Berdasarkan hal tersebut, dapat disiapkan cara untuk mengurangi kemungkinan atau
pencegahan agar tidak menjadi sasaran tindakan bullying, diantaranya menurut Coloroso
(2007):
a. Membantu anak kecil dan remaja menumbuhkan self esteem (harga diri) yang
baik. Anak ber-self esteem baik akan bersikap dan berpikir positif, menghargai
dirinya sendiri, menghargai orang lain, percaya diri, optimis, dan berani
mengatakan haknya.
b. Mempunyai banyak teman, bergabung dengan group yang meilikikegiatan
positif atau berteman dengan siswa yang sendirian.
c. Kembangkan ketrampilan sosial untuk menghadapi bullying, baik sebagai
sasaran atau sebagai bystander (saksi), dan bagaimana mencari bantuan jika
mendapat perlakuan bullying.
Seperti yang telah dijelaskan di BAB II, tindakan sosial adalah tindakan individu
yang dapat mempengaruhi orang lain. Tindakan sosial yang dimaksud Weber dapat
berupa tindakan yang nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan
yang bersifat membatin atau ditunjukan untuk orang lain yang mungkin terjadi karena
pengaruh dari situasi tertentu. Atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja
sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa atau berupa persetujuan secara pasif
dalam situasi tertentu. Ciri-ciri tindakan sosial yaitu memiliki makna subjektif, tindakan
nyata yang bersifat membatin dan bersifat subjektif, tindakan berpengaruh positif,
tindakan diarahkan pada orang lain, dan tindakan merupakan respon terhadap tindakan
orang lain.
Contoh pertama kasus bullying yaitu siswa kelas X SMAN 3 Jakarta Selatan
berinisial A (15) menjadi korban bullying yang dilakukan empat orang kakak kelasnya.
Kasus bullying terjadi lantaran A datang ke pesta ulang tahun diantar oleh ibunya.
Peristiwa ini bermula saat A datang ke pesta ulang tahun salah satu siswa di Kawasan
Sudirman beberapa hari lalu. Kedatangan A diantar oleh ibunya ini membuat empat siswa
yang merupakan kakak kelas korban tak terima. Keesokan harinya pada Kamis 28 April
2016 lalu, usai pulang sekolah, A dibawa oleh empat seniornya itu ke salah satu tempat.
A dimaki-maki dan disiram dengan air teh kemasan oleh empat kakak kelasnya. Diduga
aksi bullying itu dilakukan para seniornya lantaran menganggap korban anak mami. Para
pelaku terancam dikenai sanksi yaitu tidak diluluskan Ujian Nasional.
Dalam kasus bullying terhadap remaja, tindakan sosial terjadi dalam bentuk nyata.
Pelaku biasanya melakukan bullying disebabkan oleh rasa iri, dengki, rasa sakit hati, rasa
cemburu berlebihan, dan sebagainya. Selain itu, pelaku juga merasa derajatnya lebih
tinggi dari korban bullying, entah itu dari status ekonomi maupun dari status sosial.
Merasa paling berkuasa di lingkungan sekitarnya, pelaku melakukan bullying. Tentunya
masih terbayang dalam benak kita mengenai kasus kekerasan yang terjadi di Sekolah
Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Cilincing, Jakarta Utara. Penganiayaan terjadi pada Selasa,
10 Januari 2017 pukul 22.30 WIB malam di Gedung Dormitory ring 4 kamar M 205
Lantai 2 Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Penganiayaan bermula usai melaksanakan
kegiatan drum band. Salah satu pelaku, Sisko Mataheru, mengajak para pelaku lainnya
yakni Willy Hasiholan, Iswanto, dan Akbar Ramadhan untuk mengerjai para juniornya
yang duduk di tingkat I.
Selanjutnya pada pukul 22.00 WIB, sebanyak enam taruna tingkat I salah satunya
Amirulloh dipanggil para pelaku untuk berkumpul di TKP. Setelah taruna tingkat I
berkumpul baru lah para pelaku melakukan penganiayaan dengan cara memukul
menggunakan tangan kosong secara bergantian yang diarahkan ke perut, dada dan ulu
hati. Saat korban mendapatkan giliran untuk dipukul, malapetaka pun terjadi. Pukulan
terakhir dilakukan oleh Willy. Ketika memukul perut, dada dan ulu hati korban, tiba-tiba
saja ambruk ke dada pelaku. Mengetahui korban pingsan para pelaku panik dan
selanjutnya menghubungi sejumlah senior tingkat 4 dan dilanjutkan ke pembina dan piket
medis STIP. Ketika diperiksa tim dokter STIP, korban sudah dalam keadaan tak
bernyawa. Akibat perbuatannya, pelaku akan dijerat Pasal 170 KUHP susider Pasal 351
ayat 3 KUHP dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara.
Dalam kasus bullying yang dilakukan oleh senior kepada junior STIP, penulis
mengambil kesimpulan bahwa pelaku melakukan bullying disebabkan oleh masalah
psikologis, sosiologis, dan ekonomi. Selain itu, faktor pelaku melakukan bullying adalah
faktor budaya paternalistik dan lingkungan sekitar, budaya, dan media. Dari sisi
psikologis, kontrol emosi pelaku yang masih labil, seperti cenderung sensitif, egois, ingin
mendapatkan perhatian lebih, minder, bully, kekanak-kanakan, dan sebagainya. Dari sisi
sosiologis, kehidupan masyarakat yang mulai menuntut mereka untuk cepat beradaptasi
seringkali tidak berjalan selaras dengan kemampuan remaja, hal ini menimbulkan gejala
frustasi maupun resistensi sehingga terkadang remaja menyalurkannya melalui perilaku
yang dianggap menyimpang. Sebagian besar faktor penyebab kekerasan yang dilakukan
remaja adalah karena sebelumnya pernah menjadi korban dari kekerasan itu sendiri
sehingga terdapat unsur balas dendam kepada juniornya dan akhirnya menjadi tradisi.
Pelaku yang mungkin saat tingkat 1 pernah mengalami kekerasan oleh kakak tingkatnya
merasa bahwa hal ini dilakukan dalam rangka membuat mental junior untuk menjadi
lebih kuat. Sedangkan dari sisi ekonomi, dorongan budaya liberal yang massif telah
mendorong remaja untuk mengikuti perkembangan life style, sehingga mereka berlomba-
lomba dalam gaya hidup konsumtif yang sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan
maupun kemampuan ekonominya. Hal ini terbukti dengan loker korban yang dirusak oleh
pelaku dan korban yang sering kehilangan uang namun tidak berani melapor karena takut
dipukuli lagi oleh seniornya.
Tindakan sosial terjadi ketika individu melekatkan makna subjektif pada tindakan
mereka. Maksudnya, tindakan sosial terjadi ketika individu dalam masyarakat melakukan
tindakan yang mempunyai makna dalam tindakan mereka, baik bermakna bagi diri sendiri
maupun orang lain. Dalam tindakan sosial akan menciptakan hubungan sosial. Hubungan
sosial menurut Weber yaitu tindakan dimana beberapa aktor yang berbeda-beda, sejauh
tindakan itu mengandung makna dihubungkan serta diarahkan kepada tindakan orang
lain. Masing-masing individu berinteraksi dan saling menanggapi.
Dari empat tindakan sosial yang mempengaruhi system dan struktur sosial
masyarakat, dua diantaranya menjelaskan kasus bullying yang dilakukan senior terhadap
junior tingkat 1 di STIP, yaitu:
Tindakan sosial ini dilakukan oleh seseorang karena mengikuti tradisi atau
kebiasaan yang sudah diajarkan secara turun temurun dan telah baku dan tidak dapat
diubah. Jadi tindakan ini tidak melalui perencanaan yang sadar terlebih dahulu, baik dari
caranya maupun tujuannya. Karena mengulangnya dari kebiasaan yang sudah dilakukan
secara turun temurun. Seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang
diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau emosi tanpa refleksi
intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan afektif bersifat spontan, tidak rasional dan
merupakan refleksi emosional dari individu.
Apabila dalam kelompok masyarakat ada yang didominasi oleh orientasi tindakan
sosial ini maka kebiasaan dan pemahaman mereka akan didukung oleh kebiasaan atau
tradisi yang sudah lama ada di daerah tersebut sebagai kerangka acuannya yang diterima
begitu saja tanpa persoalan. Sama halnya di penelitian yang telah dilakukan pemahaman
dan cara berpikir masyarakat yang masih tradisional yang tercipta dari kebiasaan nenek
moyang dan berlanjut secara turun temurun pada setiap lapisan masyarakat sekitar. Kasus
kekerasan yang dilakukan oleh senior terhadap junior di STIP pun seakan menjadi tradisi
turun-temurun dengan tujuan membina dan melatih juniornya. Pelaku yang mungkin
saat tingkat 1 pernah mengalami kekerasan oleh kakak tingkatnya merasa bahwa hal ini
dilakukan dalam rangka membuat mental junior untuk menjadi lebih kuat dalam
menghadapi tantangan ketika berlayar nanti.
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Masa remaja merupakan fase perkembangan dari masa anak-anak menuju masa
dewasa. Pada masa remaja, seharusnya mereka memahami berbagai proses perubahan
yang terjadi dalam dirinya. Namun, keterbatasan kemampuan berpikir dan kurang
informasi membuat mereka sulit untuk memahami berbagai proses perubahan yang
terjadi dalam diri mereka. Termasuk di dalamnya adalah perubahan intelektual yang lebih
dalam berpikir. Perubahan intelektual dari cara berpikir remaja inilah yang
memungkinkan untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosialnya dengan orang
dewasa, yang merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan. Semakin
mudah dan cepatnya arus komunikasi saat ini dapat meningkatkan rasa ingin tahu dan
mendorong remaja untuk mencoba sesuatu yang baru dan dapat menjadikan semua itu
sebagai pengalaman yang berarti baik yang sifatnya positif maupun negatif. Disebut
positif karena dengan adanya arus komunikasi dan informasi yang mudah dan cepat
diharapkan para remaja dapat berkarya dan berprestasi lebih. Namun juga bisa menjadi
negatif, yaitu mendorong remaja untuk berperilaku yang negatif seperti merokok, minum-
minuman keras, melakukan bullying, dan pergaulan bebas.
Berdasarkan paparan penulis, terdapat beberapa hal yang menjadi fokus penulis
sehingga penulis memberikan saran terkait efektivitas penggunaan media sosial. Saran-
saran tersebut diantaranya:
1 Untuk orang tua dan civitas akademik, agar lebih memperhatikan dan
mengawasi para remaja agar kasus bullying tidak terulang lagi. Orang tua dan
civitas akademik diminta untuk memberikan informasi dan pengarahan
mengenai bullying, cara mencegahnya, dan langkah apa yang harus dilakukan
ketika mengalami bullying. Orang tua pun harus lebih bersahabat dengan anak-
anaknya. Sebab ketika para remaja mengalami bullying, sebagian besar dari
mereka lebih memilih untuk menutup diri. Ketika mereka merasa tidak ada yang
dapat menjadi tempat bersandar, beberapa di antaranya memilih untuk
mengakhiri hidup. Inilah mengapa penulis merasa orang tua memiliki peran
besar dalam mencegah tindakan bullying.
2 Untuk pengguna media sosial, khususnya pelajar dan mahasiswa, agar lebih
bijak agar lebih bijaksana dalam menggunakan media sosial. Beberapa kasus
bullying terjadi akibat saling ejek di media sosial. Meskipun merupakan hak
setiap orang untuk menangkap pendapat kepada muka umum, namun ada
baiknya agar lebih bijaksana dalam berpendapat di muka umum.
3 Untuk pemerintah, agar lebih memperhatikan masalah-masalah sosial,
khususnya mengenai bullying. Dengan membuat regulasi yang mengatur
kehidupan sosial, maka akan lebih menciptakan pola sosial yang lebih baik bagi
kehidupan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Johnson, Doyle Paul. 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia
Pustaka.
Olweus, D. 1993. Bullying at School: What We Know and What We Can Do. Cornwall:
Blackwell Publishing.
Ritzer, George. dan Douglas J. 1995. Goodman. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Santrock, J.W. 2004. Life Span Development, 9 th Edition. New York: Mc. Graw Hill.
Sunarto, dan Hartono. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta.
Wiyani, Novan Ardy. 2012. Save Our Children From School Bullying. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media.
Survei ICRW: 84% Anak Indonesia Alami Kekerasan di Sekolah (diakses pada 1 Juni
2017, pukul 13:43 WIB) http://news.liputan6.com/read/2191106/survei-icrw-84-anak-
indonesia-alami-kekerasan-di-sekolah
Perilaku Menyimpang Remaja (diakses pada 30 Mei 2017, pukul 14:30 WIB)
https://www.academia.edu/7198920/perilaku_menyimpang_remaja
http://digilib.unila.ac.id/11855/16/BAB%20II.pdf
https://metro.sindonews.com/read/1169904/170/diduga-dianiaya-senior-siswa-sekolah-
pelayaran-tewas-1484104992
https://metro.sindonews.com/read/1105796/170/pergi-ke-pesta-ultah-diantar-mami-siswa-
sma-ini-di-bully-senior-1462246224