Você está na página 1de 16

REFERAT

LEPTOSPIROSIS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik Bagian


Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan Kepada:
dr. Hj. Arlyn Yuanita, Sp.PD, M.Kes

Disusun Oleh:
ARNITA ANINDIRA
20174011138

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD SETJONEGORO WONOSOBO


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
HALAMAN PENGESAHAN REFERAT

LEPTOSPIROSIS

Telah dipresentasikan pada tanggal:

Bertempat di RSUD Setjonegoro Wonosobo

Disusun oleh:
ARNITA ANINDIRA
20130310174

Disahkan dan disetujui oleh:


Dokter Pembimbing Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo

dr. Hj. Arlyn Yuanita, Sp.PD, M.Kes

ii
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan nikmat,
petunjuk, dan kemudahan yang telah diberikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul LEPTOSPIROSIS. Penulis meyakini
bahwa referat ini tidak akan dapat tersusun tanpa bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Hj. Arlyn Yuanita, Sp.PD., M.Kes, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik bagian
Ilmu Penyakit Dalam di RSUD KRT Setjonegoro, Wonosobo yang telah berkenan
memberikan bantuan, pengarahan, dan bimbingan dari awal sampai selesainya
penulisan referat ini.
2. dr. H. Suprapto, Sp.PD., FINASIM, dan dr. Widhi P.S., Sp.PD., selaku pembimbing
Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD KRT Setjonegoro,
Wonosobo.
3. Seluruh tenaga medis dan karyawan di bangsal Cempaka dan Flamboyan RSUD KRT
Setjonegoro, Wonosobo yang telah berkenan membantu dalam proses berjalannya
Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam.
4. Keluarga dan teman-teman yang selalu memberikan dukungan.
Semoga pengalaman dalam membuat referat ini dapat memberikan hikmah
bagi semua pihak. Mengingat penyusunan referat ini masih jauh dari kata sempurna,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat menjadi masukan berharga sehingga
menjadi acuan untuk penulisan referat selanjutnya.

Wonosobo, 11 Desember 2017


Penulis

iii
DAFTAR ISI

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh


mikroorganisme Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik
serotipenya. Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, di semua benua kecuali benua
Antartika, namun terbanyak di daerah tropis. Leptospira bisa terdapat pada
binatang piaraan seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmut dan binatang
pengerat lainnya seperti tupai, musang, kelelawar, dan lain sebagainya. Tikus
merupakan vektor penting dalam penyebaran leptospirosis. Penyakit ini bersifat
musiman karena temperatur adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup
leptospira. Pada daerah tropis insidens tertinggi terjadi selama musim hujan (Zein,
2009).
Gejala penyakit ini sangat bervariasi mulai dari gejala infeksi ringan
sampai dengan berat dan fatal. Dalam bentuk ringan, leptospirosis dapat
menampilkan gejala seperti influenza disertai nyeri kepala dan migraine. Dalam
bentuk parah (disebut sebagai Weils Syndrome), leptospirosis secara khas
menampilkan gejala ikterus, disfungsi renal, dan diathesis hemoragika
(Speelman, 2011).
Internasional Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai negara
dengan insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk mortalitas.
Di Indonesia, leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
D.IYogyakarta, Lampung, Sumatra Selatan, Bengkulu, Riau, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Pada kejadian banjir

1
besar di Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari seratus kasus leptospirosis
dengan 20 kematian (Zein, 2009).
Leptospirosis acapkali luput didiagnosa karena gejala klinis tidak spesifik

dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosa tanpa uji laboratorium. Kejadian luar biasa

leptospirosis dalam dekade terakhir di beberapa negara telah menjadikan

leptospirosis sebagai salah satu penyakit yang termasuk the emerging infectious

disease (Zein, 2014).

Salah satu kendala dalam menangani leptospirosis berupa kesulitan dalam


melakukan diagnostik awal. Sementara dengan pemeriksaan sederhana memakai
mikroskop biasa dapat dideteksi adanya gerakan leptospira dalam urin. Diagnostik
pasti ditegakkan dengan ditemukannya leptospira pada darah atau urin atau
ditemukannya hasil serologi positif. Untuk dapat berkembang biak leptospira
memerlukan lingkungan optimal serta tergantung pada suhu yang lembab, hangat,
pH air atau tanah yang netral, dimana kondisi ini ditemukan sepanjang tahun di
daerah tropis seperti Indonesia ini (Zein, 2014).

B. Tujuan
Memaparkan definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
diagnosis, penatalaksanaan, dan pencegahan dari leptospirosis

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh

mikroorganisme Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik

serotipenya. Penyakit ini pertama kali dikemukakan oleh Weil pada tahun 1886

yang membedakan penyakit yang disertai dengan ikterus ini dengan penyakit lain

yang juga menyebabkan ikterus. Bentuk yang beratnya dikenal sebagai Weils

Disease. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever, slime fever,

swamp fever, autumnal fever, infectious jaundice, field fever, cane cutter fever, dan

lain-lain (Zein, 2014).

Leptospirosis acapkali luput didiagnosa karena gejala klinis tidak spesifik

dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosa tanpa uji laboratorium. Kejadian luar biasa

leptospirosis dalam dekade terakhir di beberapa negara telah menjadikan

leptospirosis sebagai salah satu penyakit yang termasuk the emerging infectious

disease (Zein, 2014).

B. EPIDEMIOLOGI
Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, di semua benua kecuali benua

Antartika, namun terbanyak di daerah tropis. Penyakit ini bersifat musiman, di

daerah beriklim sedang masa puncak insidens dijumpai pada musim panas dan

musim gugur karena temperature adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan

3
hidup leptospira, sedangkan di daerah tropis insidens tertinggi terjadi selama

musim hujan (Zein, 2014).

Penularan leptospirosis pada manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi

kuman leptospira. Leptospira mengenai paling kurang 160 spesies mamalia. Ada

berbagai jenis pejamu dari leptospira, mulai dari mamalia yang berukuran kecil di

mana manusia dapat kontak dengannya, misalnya landak, kelinci, tikus sawah,

tikus rumah, tupai, musang, sampai dengan reptil (berbagai jenis katak dan ular),

babi, sapi, kucing, lembu, kuda, dan anjing (Zein, 2014).

Tikus adalah reservoir yang penting dalam transmisi kuman leptospira.

Jenis tikus yang paling sering menjadi reservoir adalah tikus cokelat (Rattus

norvegicus) (Haake & Levett, 2015). Beberapa serovar berhubungan dengan

binatang tertentu, seperti L. icterohaemorrhagica/ copenhageni dengan tikus, L.

grippotyphosa dengan voles (sejenis tikus), L. hardjo dengan sapi, L. canicola

dengan anjing, dan L. pamona dengan babi. (Zein, 2014).

Binatang yang terinfeksi dapat tidak menunjukan gejala hingga

menunjukan manifetasi klinis yang fatal. Di dalam tubuh binatang tersebut,

leptosira hidup dalam ginjal. Kemudian leptospira akan menetap selama berbulan-

bulan bahkan bertahun-tahun dan membentuk koloni serta berkembangbiak di

dalam epitel tubulus ginjal secara terus menerus dan ikut mengalir dalam filtrat urin

(Zein, 2014).

4
Berdasarkan studi yang dilakukan pada tahun 2011, insidensi

leptospirosis ialah 0,1-1 per 100.000 per tahun pada daerah beriklim sedang

hingga 10-100 per 100.000 pada daerah tropis. Selama terjadinya outbreaks

dan pada kelompok dengan risiko tinggi, insidensi dapat meningkat hingga

100 per 100.000 per tahun (WHO, 2003).

International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia merupakan

negara dengan insiden leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk

mortalitas (Zein, 2014). Berdasarkan studi yang dilakukan pada tahun 2015, angka

kematian tahunan akibat leptospirosis tinggi di Asia Selatan dan Asia Tenggara

dengan populasi penduduk yang tinggi, seperti India (19,7 kasus dari 100.000

populasi) dan Indoensia (39,2 dari 100.000 populasi) (Costa et al, 2015).

Daerah persebaran Leptospirosis di Indonesia meliputi Propinsi Jawa Barat,

Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan,

Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, Nusa Tenggara Barat,

Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimatan Timur dan Kalimantan Barat. Daerah

dengan jumlah kasus dan kematian tertinggi adalah daerah yang sering mengalami

banjir terutama di DKI Jakarta dan Jawa Tengah. Pada tahun 2002, terjadi outbreak

Leptospirosis seiring dengan terjadinya banjir besar di Jakarta dan dilaporkan lebih

dari 100 kasus dengan 20 kematian.

5
C. ETIOLOGI

Leptospirosis disebabkan oleh genus Leptospira, familia treponemataceae,

suatu mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas organisme ini yakni berbelit, tipis,

fleksibel, terdiri dari 18 atau lebih coils, panjangnya 5-15 m, dengan spiral yang

sangat halus, lebarnya 0,1- 0,2 m. Leptospira dapat dibedakan dengan spirochetes

lainnya karena memiliki bentuk seperti tanda tanya atau kait pada salah satu

ujungnya. Terdapat gerak rotasi aktif, tetapi tidak ditemukan adanya flagella.

Spirochaeta ini demikian halus sehingga dalam mikroskop lapangan gelap hanya

dapat terlihat sebagai rantai kokus kecil- kecil.

Pada pewarnaan mikroskopik bakteri ini tidak menyerap warna sehingga

hanya dapat diamati dengan baik menggunakan mikroskop lapangan gelap (dark

field microscopy), silver stain, atau pewarnaan fluorosen. Leptospira membutuhkan

media dan kondisi yang khusus untuk tumbuh dan mungkin membutuhkan waktu

berminggu-minggu untuk membuat kultur yang positif. Dengan medium Fletchers

dapat tumbuh dengan baik sebagai obligat aerob.

Secara sederhana, genus Leptospira terdiri atas dua spesies yakni L.

interogans yang pathogen dan L. biflexa yang non pathogen/ saprofit. Tujuh spesies

dari leptospira yang pathogen ini sekarang telah diketahui dasar ikatan DNA-nya,

namun lebih praktis dalam klinik dan epidemiologi menggunakan klasifikasi yang

didasarkan atas perbedaan serologis. Spesies L. interrogans dibagi menjadi

beberapa serogroup dan serogroup ini dibagi menjadi banyak serovar menurut

6
komposisi antigennya. Saat ini telah ditemukan lebih dari 250 serovar yang

tergabung dalam 23 serogroup. Beberapa serovar L. interrogans yang dapat

menginfeksi manusia diantaranya adalah L. icterohaemorrhagie, L. canicola, L.

pamona, L. gryppothyposa, L. javanica, L. celledoni, L. ballum, L. pyrogenes, L.

automnalis, L. hebdomadis, L. bataviae, L. tarassovi, L. panama, L. andamana, L.

shermani, L. ranarum, L. bufonis, L. copenhageni, L. australis, L. cynopteri, dan

lain- lain.

D. PATOGENESIS

Patogenesis leptospirosis belum dimengerti sepenuhnya. Kuman leptospira

masuk kedalam tubuh pejamu melalui luka iris atau luka abrasi pada kulit,

konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, esofagus, bronkus,

alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius serta air yang

terkontaminasi. Infeksi melalui selaput lendir lambung, jarang terjadi, karena ada

asam lambung yang mematikan kuman leptospira. Kuman leptospira yang tidak

virulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran

darah setelah satu atau dua hari infeksi. Organisme virulen mengalami multiplikasi

di darah dan jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan

serebrospinal pada hari keempat sampai sepuluh perjalanan penyakit.

Setelah memasuki inang, tahap selanjutnya adalah deseminasi hemaogen.

Leptospira bertahan di dalam darah selama fase leptosperemia dan dapat

diinokulasi serta dibiakan paa medium khusus. Analisa mengunakan PCR

7
kuantitatif akan positif dalam 8 hari pertama onset demam sebelum terbentuknya

antibodi dan hilangnya patogen dari darah. Pada fase leptosperemia, jumlah

patogen leptospira yang dapat dideteksi dapat mencapai 106/ ml darah. Hal ini

disebabkan karena mekanisme imunitas inate (Toll-Like Receptors 4) TLR4, tidak

dapat mendeteksi LPS dari leptospira. Hal ini pula ang menjelaskan mengapa pada

tikus dan reservoir lainnya infeksi tidak terjadi karena sistem imun binatang-

binatang tersebut dapat mendeteksi LPS leptospira sehingga resisten terhadap

infeksi leptospira. TLR4 merupakan satu dari banyak sistem imun inate yang

berperan dalam deteksi antigen leptospira. Ada TLR2 dan TLR5 yang dalam tubuh

manusia dapat mendeteksi struktur polisakarida LPS dari leptospira. Mutasi atau

perbedaa genetik pada gen yang menyusun TLR2 akan menyebabkan infeksi

bersifat mematikan. Sistem imun inate tersebut selanjutnya akan menginduksi

dilepaskannya sitokin inflamasi IL-6 dan TNF-alpha dalam darah2,7.

Ketika jumlah patogen dalam darah sangat tinggi pada fase leptosperemia,

sistem imun inate akan memicu respon sistemik melalui sitokin pro inflamasi

sehingga dapat terjadi respon sistemik berupa spesis-like syndrome dan gagal

organ. Pasien mengalami cytokines strom dimana terjadi peningkatan lefel IL-6,

TNF-alpha dan sitokin-sitokin lainnya. IL-6 dan IL-10 merupakan prediktor

mortalitas8.

Setelah fase leptosperemia akan diikuti oleh fase imnunitas yang teradi

sekitar minggu ke dua setelah infeksi dimana dalam fase ini respin imun penjamu

akan menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Mekanisme resistensi terhadap

8
leptospirosis sebagian besar diperantarai oleh sistem imun humoral. IgM dan IgG

dapat dideteksi hingga 6 tahun seelah seseorang terinfeksi leptospira. TLR4 juga

dpercaya memicu produksi IgM oleh sel B. Serokonversi biasanya terjadi 5-6 hari

setelah onset penyakit dan kadan-kadang dapat muncul setelah 10 hari. Anti bodi

IgM akan muncul terlebih dahulu. Antibodi yang diproduksi menargetkan LPS dari

leptospira pada serovar yang homogen. Terkadang dapat terjadi cross-reactive

antibodi dimana proteksi didapatkan pada beberapa jenis serovar. Antibodi akan

memberikan proteksi terjadinya infeksi ulang pada serovar dan serogrup yang

sesuai selama kadar titer antibodinya masih mencukupi7,8.

E. MANIFESTASI KLINIS

F. DIAGNOSIS

G. PENATALAKSANAAN

H. PENCEGAHAN

I. PROGNOSIS

9
REFERAT i

HALAMAN PENGESAHAN REFERAT ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI iv

BAB I 1

BAB II 3

A. DEFINISI 3

B. EPIDEMIOLOGI 3

10
11
12

Você também pode gostar