Você está na página 1de 5

TUGAS INDIVIDUAL

Mata Kuliah : Kebijakan dan Manajemen Kesehatan

Dosen : Dr. Syahrir A. Pasinringi , MS

ANALISIS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2009
TENTANG KESEHATAN

OLEH:

DEWI MULFIYANTI
(P1800216006)

PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2016
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2009
TENTANG KESEHATAN

1. Pasal (23), (32), dan (85)


a. Masalah
Pasal 23 ayat 4 menentukan bahwa Penyelenggara pelayanan kesehatan selama
memberikan pelayanan kesehatan dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai
materi. Pasal 32 UU Kesehatan 2009 secara tegas melarang seluruh fasilitas pelayanan
kesehatan baik milik pemerintah maupun swasta untuk menolak pasien dan atau
meminta uang muka apalagi dalam kondisi Bencana (Pasal 85). Selama ini memang
kerap terjadi adanya layanan kesehatan yang menolak untuk mengobati karena pasien
tidak mampu menyediakan sejumlah uang. Banyak pasien yang tidak mendapatkan
pelayanan kesehatan karena mereka tidak mampu menyediakan uang.
b. Tujuan
Pasal 82
Ayat (1): Yang dimaksud dengan bencana dalam ketentuan ini adalah peristiwa
atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor
non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.
Pemerintah harus memfasilitasi tersedianya sumber daya dan pelaksanaan
pelayanan kesehatan pada prabencana, saat bencana dan pascabencana.
Ayat (2): Yang dimaksud tanggap darurat bencana dalam ketentuan ini adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana
untuk menangani dampak buruk yang ditimbul yang meliputi kegiatan
penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar,
perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana
dan sarana.

2. Pasal (75)
a. Masalah
Ada beberapa hal menarik dari UU Kesehatan yang mengundang kontroversil misalnya
yang berkaitan dengan hak untuk melakukan tindakan aborsi. Dengan latar belakang
angka kematian ibu di Indonesia yang masih tinggi atau berada di kisaran 228 per
100.000 angka kelahiran hidup melahirkan pada tahun 2007 (SDKI 2007). Jumlah ini,
lima kali lebih tinggi dari negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam. Malaysia
yang dulu pada tahun 1970-an sering dibantu Indonesia dalam bidang kesehatan kini
angka kematian ibu melahirkan sudah menurun 40 per 100.000 angka kelahiran hidup
melahirkan. Masih tingginya angka kematian ibu hamil di Indonesia, selain sebagai hasil
dari kondisi yang terkait dengan kehamilan, persalinan, dan komplikasi. Aborsi ternyata
memberikan kontribusi 15 persen dari jumlah kematian ibu melahirkan, bahkan menurut
sumber lain bahwa jumlah sebenarnya bisa mencapai 20-25 persen. Hal tersebut,
disebabkan pelaku aborsi kerap tidak mendapatkan pertolongan medis secara baik dan
profesional.
b. Tujuan
Dengan adanya UU Kesehatan 36 pasal (75) agar dapat mengurangi angka kematian
ibu yang disebakan oleh penanganan atau pertolongan medis yang tidak professional
terutama pada kasus aborsi dan melarang tindakan aborsi pada pelayanan kesehatan
yang tidak sesuai dengan prosedur. Dalam UU Kesehatan, tindakan aborsi dilarang
(Pasal 75) Larangan dapat dikecualikan berdasarkan:
o Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat
dan/atau cacat bawaan, yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi
tersebut hidup di luar kandungan; atau
o Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi
korban perkosaan

3. Pasal (42-45) dan Pasal (64-70)


a. Masalah
Pesatnya kemajuan teknologi kesehatan dan teknologi informasi dalam era global ini
ternyata belum terakomodatif secara baik oleh Undang-Undang kesehatan yang lama
seperti pengaturan mengenai teknologi kesehatan dan produk teknologi kesehatan (Pasal
42-45), transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan,
bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca untuk tujuan penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan (Pasal 64-70). Hal-hal tersebut mengharuskan
pemerintah mengkaji ulang konsep pembangunan kesehatan dan menuangkannya dalam
Undang-Undang Kesehatan yang baru. Karena banyaknya kasus terjadi di rumah sakit
seperti kesalahan dalam memberikan pelayanan kesehatan yang merugikan pasien.
b. Tujuan
Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau
kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. Namun disisi lain Bilamana
dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya,
maka kelalaian tersebut menurut UU harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi
(Pasal 29). Untuk itu tenaga kesehatan sebaiknya juga mulai memahami tentang sistem
Alternative Dispute Resolution (ADR). Efektifitas sistem ini cukup dapat diandalkan
mengingat 90 % kasus malpraktik yang dimediasi oleh Yayasan Pemberdayaan
Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) dapat diselesaikan dengan baik. Mediasi
dilakukan bila timbul sengketa antara tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan
dengan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. Mediasi dilakukan bertujuan
untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan oleh mediator yang disepakati oleh
para pihak.
4. Pasal 113
a. Masalah
Isu lainnya yang cukup mendapat perhatian diantaranya, mengenai rokok. Dalam UU
Kesehatan ini rokok dimasukan sebagai zat adiktif yang penggunaannya diarahkan agar
tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat dan
lingkungan. Seperti yang menjadi permaslahan sekarang banyak orang yang
mengkomsumsi rokok yang menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan lainnya.
Oleh karena itu, produksi, peredaran dan penggunaan bahan yang mengandung zat
adiktif seperti tembakau harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan
(Pasal 113).
b. Tujuan
Pada Pasal (113) Penetapan standar diarahkan agar zat adiktif yang dikandung oleh
bahan tersebut dapat ditekan untuk mencegah beredarnya bahan palsu. Penetapan
persyaratan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif ditujukan untuk menekan
dan mencegah penggunaan yang mengganggu atau merugikan kesehatan.

Você também pode gostar