Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras (), yang
merupakan mashdar (infinitif) dari kata : warasa yarisu irsan mirasan.
Maknanya menurut bahasa adalah ; berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada
orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Jadi yang dimaksudkan dengan mawaris dalam hukum Islam adalah pemindahan hak
milik dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris yang masih hidup
sesuai dengan ketentuan dalam al-Quran dan al-Hadis.
Sedangkan istilah Fiqih Mawaris dimaksudkan ilmu fiqih yang mempelajari siapa-
siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak menerima,
serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya.
Fiqih Mawaris juga disebut Ilmu Faraid, diambil dari lafazh faridhah, yang oleh
ulama faradhiyun semakna dengan lafazh mafrudhah, yakni bagian yang telah
dipastikan kadarnya. Jadi disebut dengan ilmu faraidh, karena dalam pembagian
harta warisan telah ditentukan siapa-siapa yang berhak menerima warisan, siapa yang
tidak berhak, dan jumlah (kadarnya) yang akan diterima oleh ahli waris telah
ditentukan.
B. Rumusan Masalah
1
BAB II
PEMBAHASAN
1. HUKUM KEWARISAN
Dalam hukum kewarisan terdapat dua hal, yaitu, hukum membagi harta warisan
menurut ketentuan syariat Islam dan hukum mempelajari dan mengajarkannya.
Hukum membagi harta warisan menurut ketentuan syariat Islam.Bagi umat Islam
melaksanakan peraturan-peraturan syariat yang telah ditentukan nash yang sharih
adalah suatu keharusan, selama peraturan tersebut tidak ditunjuk oleh dalil nash yang
lain yang menunjukkan ketidak-wajibannya.
Dalam hal ini kita dapat merujuk nash al-Quran maupun al-Hadis yang berkaitan
dengan hal tersebut, yaitu :
Surat an-Nisa ayat 13 dan 14 :
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa
taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga
yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya dan
itulah kemenangan yang besar. (QS. An-Nisa : 13). Dan barang siapa yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, Allah
bakal memasukkannya ke dalam neraka sedang ia kekal di dalamnya dan baginya
siksa yang menghinakan. (Q.S. An-Nisa : 13-14).
Dalam Undang-undang Kewarisan Mesir adanya ketentuan wasiat wajibah bagi cucu
perempuan dari garis perempuan yang tidak memperoleh harta warisan karena
sebagai zawil arham. Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam ditemukan pula
ketentuan wasiat wajibah bagi orang tua angkat atau anak angkat. Hal tersebut
menurut penulis langkah yang tepat demi mewujudkan keadilan dengan tanpa
menyalahi ketentuan syariat.
2
tersebut, maka ditentukan secara rinci tentang pembagian harta warisan sebagai
pedoman. Dengan telah ditetapkannya pembagian harta warisan dalam Islam, maka
harus ada orang yang mempelajari dan mengajarkannya. Sehingga orang-orang yang
telah mempelajarinya dapat merealisasikan didalam pembagian harta warisan bagi
umat Islam. Para ulama berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan fiqih
mawaris adalah wajib kifayah. Dalam artian apabila telah ada sebagian orang yang
melakukannya (memenuhinya) maka dapat menggugurkan kewajiban semua orang.
Tetapi apabila tidak ada seorang pun yang melaksanakan kewajiban tersebut, maka
semua orang menanggung dosa.
Dalam hadis Nabi dinyatakan ; Pelajari oleh kalian al-Quran dan ajarkanlah kepada
orang lain, dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain. Karena aku
adalah orang yang bakal terengut (mati) sedang ilmu akan dihilangkan. Hampir saja
dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorang
pun yang dapat memberikan fatwa kepada mereka. (H.R. Ahmad, Nasai dan al-
Daruqutny).
1. Al-Quran
Surat an-Nisa ayat 7 :
Bagi laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik
sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (An-Nisa : 7).
Menurut ayat kewarisan tersebut baik laki-laki maupun perempuan berhak mewarisi
harta yang ditinggalkan ibu-bapa maupun kerabatnya. Hal tersebut menghapuskan
tradisi yang berlaku pada masa jahiliyah, yang berhak menerima warisan hanya laki-
laki yang dewasa saja.
3
meninggal dunia daripada orang lain. Tetapi tidak menutup kemungkinan, jika mau
berbuat baik kepada orang lain (seagama) dengan melalui hibah atau wasiat.
Kedua ayat tersebut menjelaskan secara rinci bagian-bagian ahli waris baik yang
termasuk ashabul furudl maupun ashabah.
Ayat-ayat lain yang berhubungan dengan kewarisan adalah al-Baqarah 180, An-nisa
8,9,176 dan al-Anfal 75.
2. Al-Hadis
4
Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
Orang muslim tidak berhak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak berhak
mewarisi orang muslim. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Riwayat Bukhari dan Muslim dari Saad ibn Abi Waqqas tentang batas maksimal
pelaksanaan wasiat.
Rasulullah SAW. datang menjengukku pada tahun haji wada diwaktu aku menderita
sakit keras. Lalu aku bertanya kepada beliau, wahai Rasulullah, aku sedang
menderita sakit keras, bagaimana pendapatmu, aku ini orang berada sementara tidak
ada yang akan mewarisi hartaku selain seorang anak perempuan, apakah aku sedekah
(wasiat) kan dua peretiga hartaku? Jangan jawab Rasul. Aku bertanya setengah?
jangan jawab Rasul. Aku bertanya sepertiga? Rasul menjawab sepertiga
sepertiga adalah banyak atau besar, sungguh kamu jika meninggalkan ahli warismu
dalam keadaan yang cukup adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam
keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang. (H.R. Bukhari dan Muslim).
1. Penetapan bagian-bagian warisan dan yang berhak menerima secara rinci dan
jelas, bertujuan agar tidak terjadinya perselisihan dan pertikan antara ahli waris.
Karena dengan ketentuan-ketentuan tersebut, masing-masing ahli waris harus
mengikuti ketentuan syariat dan tidak bisa mengikuti kehendak dan keinginan
masing-masing.
2. Baik laki-laki maupun perempuan mendapat bagian warisan (yang pada masa
jahiliyah hanya laki-laki yang berhak) sebagai upaya mewujudkan pembagian
kewarisan yang berkeadilan berimbang. Dalam artian masing-masing berhak
menerima warisan sesuai dengan porposi beban dan tanggung jawabnya.
D. ASAS KEWARISAN ISLAM
Berdasarkan nash baik al-Quran maupun al-Hadis, maka kita dapat merumuskan
asas-asas kewarisan Islam sebagai berikut :
1. 1. Asas Ijbari
Dalam hukum Islam peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada
yang masih hidup berlaku dengan sendirinya, yang dalam pengertian hukum Islam
berlaku secara ijbari. Kata ijbari secara etimologis mengandung arti paksaan
(compulsory), yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri.
Hal tersebut berarti bahwa peralihan harta dari seseorang yang meninggal kepada
ahli warisnya berlangsung dengan sendirinya berdasarkan ketetapan Allah, tanpa
bergantung kepada kepada ahli waris atau pewaris.
5
3. Segi kepada siapa harta itu beralih.
4. 2. Asas Bilateral
Asas bilateral dalam kewarisan Islam, berarti bahwa seseorang menerima warisan
dari kedua belah pihak kerabat, yaitu baik dari kerabat garis keturunan laki-laki
maupun perempuan. Asas ini dapat dilihat dalam surat an-Nisa ayat 7. Amir
syarifuddin menyatakan, bahwa seorang laki-laki berhak menerima warisan dari
pihak ayahnya juga dari pihak ibunya. Begitu pula seorang perempuan berhak
mendapat warisan dari kedua pihak orang tuanya.
Demikian pula dapat dilihat dari surat an-nisa ayat 12, bahwa baik duda maupun
janda saling mewarisi, saudara laki-laki mewarisi dari saudara laki-laki dan saudara
perempuannya. Kemudian sebagaimana termuat dalam surat an-Nisa ayat 33,
menurut Hazairin bahwa, cucu baik laki-laki maupun perempuan mewarisi
menggantikan ibu atau bapaknya.
3. 3. Asas Individual
Asas individual artinya ialah, dalam system hukum kewarisan Islam, harta
peninggalan yang ditinggalkan dibagi secara individual secara pribadi langsung
kepada masing-masing.
Asas individual dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat pada surat an-nisa ayat
11, yaitu;
1. Bahwa anak laki-laki mendapat bagian dua kali dari bagian anak perempuan
2. Bila anak perempuan itu dua orang atau lebih baginya dua pertiga dari harta
peninggalan
3. Dan jika perempuan itu hanya seorang saja maka baginya seperdua harta
peninggalan.
Pembagian secara individual ini didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap insan
sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan manjalankan
kewajiban, yang dalam istilah ushul fiqih disebut ahliyat al-wujub. Akan tetapi
berlaku pula ketentuan lain yaitu kecakapan untuk bertindak yang dalam ushul fiqih
disebut ahliyatul ada. Dalam artian pembagian harta tersebut diberikan kepada
seseorang secara individual, dengan catatan adanya kecakapan orang tersebut.
Seorang laki-laki memikul tanggung jawab yang lebih berat dari perempuan,
sehingga suatu hal yang wajar jika bagiannya dua kali bagian perempuan. Tanggung
jawab tersebut dari ayat al-Quran :
1) Al-Baqarah 23 :
6
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
maruf. (Q.S. Al-Baqarah : 23).
2) An-Nisa 34 :
`Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihi sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena itu mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.(Q.S. An-Nisa :
34).
3) Ath-Thalaq 6 :
Hubungan kewarisan Islam dengan kewarisan Nasional di Indonesia sampai saat ini
belum terdapat suatu kesatuan hukum kewarisan yang dapat diterapkan secara
universal bagi seluruh warga negara Indonesia. Oleh karenanya hukum kewarisan
yang diterapkan bagi warga negara Indonesia berbeda-beda mengingat penggolongan
dari warga negara.
7
Berkaitan dengan hal tersbut, hendaknya hukum kewarisan yang berlaku di masing-
masing daerah (hukum kewarisan adat) harus disesuaikan dan berpedoman pada
kewarisan Islam. Sebab umat Islam mengatur segala aspek kehidupan bagi umatnya.
1. UNSUR KEWARISAN
b. Muwaris.
Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang
mewariskan hartanya.
c. Waris.
Waris, adalah orang yang berhak mewarisi harta peninggalan muwaris karena
mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab
perkawinan atau akibat memerdekakan hamba sahaya.
2. SYARAT KEWARISAN
Adapun syarat-syarat terjadinya pembagian harta warisan dalam Islam adalah ;
1. Matinya muwaris.
8
Kematian muwaris dibedakan kepada tiga macam yaitu :
1. Mati haqiqy.
Mati haqiqy, ialah kematian seseorang yang dapat disaksikan oleh panca indra dan
dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.
2. Mati hukmy.
Mati hukmy, ialah suatu kematian disebabkan adanya vonis hakim. Misalnya orang
yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak diketahui domisilinya, maka terhadap
orang yang sedemikian hakim dapat memvonis telah mati. Dalam hal ini harus
terlebih dahulu mengupayakan pencarian informasi keberadaannya secara maksimal.
2. Hidupnya waris.
Dalam hal ini, para ahli waris yang benar-benar hiduplah disaat kematian muwaris,
berhak mendapatkan harta peninggalan. Berkaiatan dengan bayi yang masih berada
dalam kandungan akan dibahas secara khusus.
1. Hubungan Kekerabatan
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang
yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab
memperoleh hak mewarisi yang terkuat, karena kekerabatan termasuk unsure
causalitas adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan. Berlainan dengan
perkawinan, jika perkawinan telah putus (cerai) maka dapat hilang.
Dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan adanya hak kewarisan adalah firman
Allah :
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya dan
bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
9
baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S. An-Nisa :
7).
2. Hubungan Perkawinan
Hubungan perkawinan yang menyebabkan terjadinya saling mewarisi adalah
perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang syarat dan rukunnya terpenuhi. Dalam
hal ini, terpenuhinya rukun dan syarat secara agama. Tentang syarat administrative
masih terdapat perbedaan pendapat. Hukum perkawinan di Indonesia, memberikan
kelonggaran dalam hal ini. Yang menjadi ukuran sah atau tidaknya perkawinan
bukan secara administrasi (hukum positif, Pen.) tetapi ketentuan agama.
Disebagian negara muslim, seperti Pakistan, perkawinan yang tidak dicatat dapat
dihukum penjara atau denda atau bahkan kedua-duanya. Di Indonesia hendaknya ini
menjadi perhatian, karena perkawinan yang tidak terpenuhinya secara administrative
(hukum positif) akan dapat menimbulkan kemudlaratan, seperti penyangkalan
terhadap suatu perkawinan karena tidak adanya bukti tertulis (secara administratif).
Sehingga isteri yang sedang berada dalam masa iddah talak raji, apabila suaminya
meninggal ia berhak mewarisi harta suaminya. Demikian pula sebaliknya, suami
berhak mewarisi harta isterinya.
Wala yang pertama disebut dengan walaul ataqah (disebabkan karena adanya
sebab telah membebaskan budak) Orang yang membebaskan budak disebut mutiq
jika laki-laki dan mutiqah jika perempuan. Sedangkan wala yang kedua disebut
10
dengan walaul-muwalah, yaitu wala yang timbul akibat kesediaan seseorang tolong
menolong dengan yang lain melalui suatu perjanjian. Misalnya seseorang berkata
kepada orang lain; wahai fulan engkau dapat mewarisi hartaku bila aku telah mati
dan dapat mengambil diyat (denda) untukku bila aku dilukai seseorang, demikian
pula aku dapat mewarisi hartamu dan menagambil diyat karenamu. Kemudian orang
lain tersebut menerima perjanjian itu. Pihak pertama disebut al-mawali dan pihak
kedua disebut al-mawala.
Adapun bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya (budak) adalah 1/6
(seperenam) dari harta peninggalan. Terhadap wala al-muwalah menurut jumhur
ulama demikian pula Undang-undang Kewarisan Mesir telah dinasakah melalui surat
al-Anfal ayat 75 :
1. Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang untuk mewarisi berdasarkan adanya petunjuk umum
yang menyatakan budak tidak memiliki kecakapan melakukan perbuatan hukum. Hal
ini berdasarkan surat al-Anfal ayat 75 :
Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang
tidak dapat bertindak terhadap sesutupun(Q.S. Al-Anfal : 75). Mafhum ayat
tersebut menjelaskan bahwa budak itu tidak cakap untuk mengurusi hak milik
kebendaan dengan jalan apa saja. Hak-hak kebendaannya sepenuhnya berada
ditangan tuannya. Dan status kekerabatan dengan keluarganya sudah putus.
Sebagaimana dinyatakan oleh Drs. Fatchur Rahman, bahwa budak tidak dapat
mewarisi karena :
11
Hal tersebut merupakan hal yang sangat positif, karena pada hakikatnya Islam tidak
menghendaki adanya perbudakan. Hal tersebut dapat kita perhatikan dari gencarnya
Islam menghapuskan perbudakan dengan adanya hukuman yang diberikan kepada
seseorang berupa pembebasan budak. Budak adalah tetap manusia yang mempunyai
harkat dan martabat, hanya karena statusnya yang tidak memiliki kecakapan apapun.
Hal tersebut terjadi karena masa jahiliyah (sebelum Islam dating) budak diposisikan
dengan cara yang tidak terhormat, dapat diperlakukan apa saja dan dianggap seperti
barang/harta. Sehingga ajaran Islam yang sangat memperhatikan keadaan dan
kondisi suatu masyarakat, tidak dengan serta merta (secara totalitas) menghapuskan
tradisi tersebut. Proses tasyri yang sedemikian dapat juga kita perhatikan dari proses
pengharaman khamar (minuman keras) yang dilakukan dengan bertahap.
2. Pembunuhan
Pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap al-muwarris menyebabkannya
tidak dapat mewarisi hartanya. Demikian kesepakatan mayoritas (jumhur) ulama. Hal
tersebut merupakan hal yang cukup beralasan, karena tidak menutup kemungkinan
untuk menguasai harta seseorang membunuh orang lain. Karena motivasi yang tidak
baik tersebut, maka terhadap orang yang membunuh tidak diperkenankan dan tidak
berhak mewarisi harta peninggalannya.
Terhadap masalah ini, golongan khawarij, yang memisahkan diri dari Ali bin Abi
Thalib dan Muawiyah, menentang pendapat ini. Alasan mereka, ayat-ayat al-Quran
bersifat umum dan tidak mengecualikan si pembunuh. Karena ayat-ayat kewarisan
hanya memberi petunjuk umum, sehingga keumuman ayat-ayat tersebut harus
diamalkan.
Dalam hal ini mereka hanya mengacu pada keumuman ayat-ayat kewarisan. Padahal
dalam hadis nabi Muhammad SAW. adanya pengecualian terhadap pembunuh.
Adapun dasar hukum yang dipergunakan oleh mayoritas (jumhur) ulama yang
menyatakan pembunuh terhalang untuk mewarisi adalah;
2. Riwayat An-Nasai :
Tidak ada hak bagi pembunuh sedikitpun untuk mewarisi. (H.R. An-Nasai).
12
3. Berlainan Agama
Terhadap orang yang berlainan agama, maka hal tersebut dalam Islam menjadi
penghalang mewarisi. Semisal seorang muslim tidak dapat mewarisi harta
peninggalan orang yang beragama non Islam.
Adapun dasar hukumnya adalah hadis rasulullah SAW. : Orang Islam tidak mewarisi
harta orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi harta orang Islam.
Kemudian hadis riwayat Ashab Al-Sunan (Imam Abu daud, Al-Tirmizi, Al-Nasai,
dan Ibnu majah) : Tidak dapat saling mewarisi antara dua orang pemeluk agama
yang berbeda.
Dalam hal ini nabi Muhammad SAW. ketika membagikan harta warisan paman
beliau, Abu Thalib, orang yang cukup berjasa dalam perjuangan nabi SAW. yang
meninggal sebelum masuk Islam, oleh nabi harta warisannya hanya dibagikan
kepada anak-anaknya yang masih kafoir, yaitu, Uqail dan Talib. Sedangkan
terhadap anak-anaknya yang sudah masuk Islam, yaitu Ali dan Jafar, tidak diberi
bagian.
Dalam hal ini terdapat permasalahan, yaitu apabila pewaris masuk Islam sesudah
meninggalnya orang yang mewarisi, dan harta peninggalan (ketika ia masuk Islam)
belum dibagikan. Ada beberapa pendapat sebagai berikut :
1. Ahli Waris
Ahli Waris ialah orang yang berhak menerima warisan, ditinjau jenisnya dapat dibagi
dua, yaitu zawil furud dan ashobah.
Penggolongan ahli waris ahli waris ada dua jenis lelaki dan perempuan .
13
4. Ayah
5. Kakek sampai keatas garis ayah
6. Saudara laki-laki kandung
7. Saudara laki-laki seayah
8. Saudara laki-laki seibu
9. Anak laki-laki saudara kandung sampai kebawah.
10. Anak laki-laki saudara seayah sampai kebawah.
11. Paman kandung
12. Paman seayah
13. Anak paman kandung sampai kebawah.
14. Anak paman seayah sampai kebawah.
15. Suami
16. Laki-laki yang memerdekakan
17. Ahli Waris wanita terdiri dari
18. Anak perempuan
19. Cucu perempuan sampai kebawah dari anak laki-laki.
20. Ibu
21. Nenek sampai keatas dari garis ibu
22. Nenek sampai keatas dari garis ayah
23. Saudara perempuan kandung
24. Saudara perempuan seayah
25. Yang Saudara perempuan seibu.
26. Isteri
27. Wanita yang memerdekakan
Ditinjau dari sudut pembagian, Ahli waris terbagi dua yaitu : Ashhabul furudh dan
Ashobah.
1. Ashabul furudh yaitu orang yang mendapat bagian tertentu. Terdiri dari
2. Yang dapat bagian harta.
o Anak perempuan kalau sendiri
o Suami
14
1. Yang mendapat 2/3
o dua anak perempuan atau lebih
o Nenek garis ibu jika tidak ada ibu dan terus keatas
o Nenek garis ayah jika tidak ada ibu dan ayah terus keatas
o Satu atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki bersama satu anak perempuan
kandung
o Satu atau lebih saudara perempuan seayah bersama satu saudara perempuan
kandung.
2. Ahli waris ashobah yaitu para ahli waris tidak mendapat bagian tertentu tetapi
mereka dapat menghabiskan bagian sisa ashhabul furud. Ashobah terbagi tiga
jenis yaitu ashabah binafsihi, ashobah bighairi dan ashobah menghabiskan bagian
tertentu
3. Ashobah binafsihi adalah yang ashobah dengan sndirinya. Tertib ashobah
binafsihi sebagai berikut:
o Anak laki-laki
15
o Ayah
o Paman kandung
o Paman seayah
1. Biaya jenazah
2. Utang yang belum dibayar
16
3. Zakar yang belum dikeluarkan
4. Wasiat
17
J. WARISAN DALAM UU NO 7 TAHUN 1989
Hukum waris dalam Islam ialah berasal dari wahyu Allah dan diperjelas oleh
RasulNya. Hukum waris ini diciptakan untuk dilaksanakan secara wajib oleh seluruh
umat Islam. Semenjak hukum itu diciptakan tidak pernah mengalami perubahan,
karena perbuatan mengubah hukum Allah ialah dosa. Semenjak dsahulu sampai
sekarang umat Islam senantiasa memegang teguh hukum waris yang diciptakan
Allah yang bersumber pada kitab suci Al-Quran dan Hadits Rasulullah.
Dalam Undang undang no 7 Tahun 1989, hukum waris itu dicamtumkan secara
sistematis dalam 5 bab yang tersebar atas 37 fasal dengan perincian sebagai berikut:
Bab. III. : Terdiri atas 16 pasal, berisi tentang besarnya bagian ahli waris
Jawab :
Untuk dapat menjawab kasus ini mari kita buka materi yang terdapat pada
BAB VII, disana dikatakan bahwa Bapak mendapatkan bagian 1/6
penyelesainnya adalah 1 x Rp 66.000.000.00 / 6 = Rp 11.000.000.00 jadi bapak
mendapatkan bagian sejumlah Rp 11.000.000.00, sedangkan 2 Anak laki-laki adalah
asobah/sisa, maka Penyelesainnya Rp 66.000.000.00 Rp 11.000.000.00 = Rp
55.000.000.00, seorang anak laki-laki adalah Rp 55.000.000.00 / 2 = Rp
27.500.000.00
18
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras (), yang
merupakan mashdar (infinitif) dari kata : warasa yarisu irsan mirasan.
Maknanya menurut bahasa adalah ; berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada
orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama ialah, berpindahnya
hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup,
baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak
milik yang legal secara syari.
Jadi yang dimaksudkan dengan mawaris dalam hukum Islam adalah pemindahan hak
milik dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris yang masih hidup
sesuai dengan ketentuan dalam al-Quran dan al-Hadis.
Sedangkanm istilah Fiqih Mawaris dimaksudkan ilmu fiqih yang mempelajari siapa-
siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak menerima,
serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya.
Fiqih Mawaris juga disebut Ilmu Faraid, diambil dari lafazh faridhah, yang oleh
ulama faradhiyun semakna dengan lafazh mafrudhah, yakni bagian yang telah
dipastikan kadarnya.Jadi disebut dengan ilmu faraidh, karena dalam pembagian harta
warisan telah ditentukan siapa-siapa yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak
berhak, dan jumlah (kadarnya)yang akan diterima oleh ahli waris telah ditentukan
19