Você está na página 1de 27

BAGIAN ANESTESIOLOGI

PERAWATAN INTENSIF DAN MANAJEMEN NYERI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

TEXTBOOK READING

PATOFISIOLOGI NYERI AKUT


Ghori KM, Zhang YF, Sinatra RS. Pathophysiologi of acute pain.
In: Sinatra RS, Lion-Casasola OA, Ginsberg B, Viscusi ER, eds.
Acute pain management. New York: Cambridege University
Press; 2009: p 21-32

PRAJAYANTI PALULUN
C111 06 038

PEMBIMBING :
Dr. NUR ASDARINA
Dr. IVAN

SUPERVISOR:
Dr. SYAFRUDDIN GAUS. Sp.AN

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ANESTESIOLOGI TERAPI INTENSIF DAN MANAJEMEN
NYERI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

1
PATOFISIOLOGI NYERI AKUT
M. Khurram Ghori, Yu-Fan (Robert) Zhang, dan
Raymond S. Sinatra

Untuk alasan etis dan kemanusiaan dalam hal meminimalisir nyeri dan
penderitaan adalah dengan memahami, baik respon fisiologis maupun
patofisiologi terhadap nyeri yang kurang terkendali dan memberi efek yang
merugikan bagi prognosis hasil operasi. Konsekuensi tersebut mungkin cukup
berat bagi mereka yang berusia lanjut. Pada individu ini, respon patofisiologi
terhadap insisi luas, diseksi yang ekstensif, ataupun manipulasi viseral
memberikan efek negatif terhadap kardiovaskuler dan pulmonal, dan
menyebabkan perilaku maladaptif (Tabel 2.1). 1-4
Perubahan patofisiologi yang umum diketahui termasuk, tetapi tidak
terbatas hanya ini saja, adalah (1) Gangguan neurohormonal melalui sensitisasi
perifer yang terjadi pada lokasi atau regio dimana terjadi cedera, (2) Gangguan
fungsi sinaptik dan proses nosiseptik dalam medulla spinalis dan korteks, (3)
Aktivasi simpatoadrenal yang menyebabkan peningkatan denyut jantung dan
tekanan darah dan menurunnya aliran darah setempat, dan (4) Respon
neuroendokrin yang memediasi timbulnya hiperglikemia dan keseimbangan
negatif dari nitrogen.
HIPERALGESIA
Cedera traumatik ataupun pembedahan akut diikuti dengan serangkaian
reaksi neurohormonal yang dijelaskan oleh Lewis dikenal sebagai trias respon
inflamasi. Respon klasik ini ditandai oleh adanya peningkatan aliran darah (flare),
edema jaringan (wheal), dan sensitisasi nosiseptor perifer (hiperalgesia).
Hiperalgesia diartikan sebagai gangguan pada derajat sensibilitas dimana
terjadinya peningkatan intensitas nyeri yang berkaitan dengan adanya stimulasi
6-8
noxious yang berulang. Alodynia adalah suatu keadaan dimana stimulasi atau
rangsangan yang tidak noxious (tanpa cedera jaringan) seperti penekanan atau

2
sentuhan ringan justru memberikan persepsi rasa nyeri. Hiperalgesia umumnya
disertai dengan berbagai proses inflamasi, aberasi, insisi, dan luka bakar. Dua
bentuk hiperalgesia, yaitu primer dan sekunder, telah dijelaskan dan dibedakan
pada Bab 1 (Alur nyeri dan proses nyeri akut).
Hiperalgesia primer menunjukkan adanya peningkatan sensitifitas
noxious, yang nampak jelas dalam beberapa menit setelah cedera dan ditandai
dengan meningkatkan respon terhadap sentuhan ringan, panas, dan stimulus
6-8
mekanik. Berkembangnya hiperalgesia primer berkaitan dengan menurunnya
ambang nyeri dan meningkatnya sensitifitas nosiseptor mekanik Aδ dan C.
Pada lokasi cedera, ujung saraf nosiseptor perifer dirangsang oleh
pelepasan ion H+ dan K+ intraseluler dan sintesis prostaglandin. Nosiseptor juga
disensitisasi lebih lanjut oleh pelepasan mediator lokal seperti bradikinin,
serotonin dan histamin. 8,9,10-12 Faktor humoral dan sitokin proinflamasi, termasuk
interleukin-1 Beta (IL-1B) dan IL-6, meningkatkan edema perifer dan alodynia.
4,10-12
Polimorfisme genetik yang mempengaruhi produksi dari sitokin
proinflamasi ini mungkin yang bertanggung jawab atas perbedaan skor intensitas
6,11,49
nyeri setelah operasi pada tiap individu dan berkembangnya nyeri persisten.
Beberapa stimulasi lain seperti substansi P dan norepinefrin, dilepascan dari ujung
saraf sensori dan simpatis yang teraktivasi dan menyebabkan rangsangan nyeri
4,10,12
lebih lanjut. Mediator yang bertanggung jawab terhadap aktivasi nosiseptor
dan inflamasi digambarkan pada Gambar 2.1.
Tabel 2.1: Respon Cedera Akut: Perbandingan Manfaat Lebih setelah
Cedera Trauma dengan Kekurangan dalam Pengendalian Pengaturan
Pascaoperasi.
Manfaat Lebih setelah Cedera Trauma Kekurangan dalam Pengendalian
1. Pemeliharaan volume intravaskuler 1. Hipertensi, hipervolemia,
dan tekanan arteri rata-rata meningkatnya risiko perdarahan,
stroke.
2. Pemeliharaan curah jantung dan 2. Takikardia, aritmia, iskemia miokard,
perfusi serebral gagal jantung kongestif
3. Peningkatan hemostatis 3. Keadaan hiperkoagulasi,
meningkatnya risiko arterial dan
thrombosis vena dalam, peningkatan
produksi energy
4. Imobilisasi, meminimalkan jaringan 4. Hiperglikemia, tidak ada
lebih lanjut keseimbangan nitrogen
5. Belajar menghindari 5. Pengurangan volume dan kecepatan
aliran pernapasan, hipoksia,

3
pneumonia
6. Ansietas, kekhawatiran, penurunan
moral, pemulihan yang lama

Gambar 2.1: Respon perifer terhadap cedera akut (1) Setelah cedera jaringan,
kalium (K+) dan ion hidrogen (H+), dan asam arakidonat (AA) dilepaskan dari sel
yang rusak dan bradikinin (BK) dilepascan dari pembuluh darah yang rusak
mengaktifkan terminal akhir dari serat-serat sensoris aferen (nosiseptor).
Cyclooxygenase 2 (COX-2) diregualasi dan bertanggung jawab untuk merubah
AA menjadi prostaglandin (PGE). Prostaglandin akan terlibat dalam sensitasi
nosiseptor dan selanjutnya akan meningkat di dalam permiabilitas vaskuler dan
hiperalgesia primer. (2) Transmisi orthodromi pada sensitasi aferen berperan
penting dalam pelepasan substansi P (sP) di dalam dan disekitar luka. Substansi P
kemudian bertanggung jawab untuk pelepasan BK. (3) Substansi P juga
merangsang pelepasan histamin dari sel mast dan serotonin (5-HT) dari patelet.
Zat-zat ini bersama dengan faktor hormonal TNF-α dan IL-6β membentuk sebuah
“sup beracun” yang mengaktifkan nosireseptor tambahan dan lebih memperburuk
proses inflamasi. (4) Refleks serabut eferen simpatis diperantarai oleh sensitasi
langsung pada nosiseptor melalui sekresi norepinefrin (NE), secara tidak langsung
melalui pelepasan lanjut dari BK dan PGE, dan memediasi vasokonstriksi perifer.

Hiperalgesia sekunder mengacu pada gangguan lambat pada sensitifitas


noxious yang diamati pada regio yang tidak cedera yang berada di sekitar luka. 13-
15
Sekarang diketahui bahwa hiperalgesia sekunder diperantarai oleh sensitisasi
neuronal dan perubahan adaptif pada medulla spinalis, batang otak dan korteks

4
limbik. Perubahan sentral disebabkan oleh kerja dari neuropeptida dan eksitator
asam amino (EAA), seperti aspartat dan glutamat pada reseptor N-methyl-D-
apartat (NMDA) dan α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazole propionic acid
14-17
(AMPA). Aktivasi reseptor NMDA (NMDARs) meningkatkan respon neural
wide dynamic range (WDR) kornu dorsalis terhadap input stimulasi noxious. 16,17
Fase inisial, yang disebut wind up, ditandai oleh adanyan peningkatan segera laju
WDR dan respon perilaku yang berkitan selama lima menit. 14,16,17 Hal ini diikuti
setelah 15-20 menit kemudian oleh fase kedua, disebut potensiasi jangka panjang,
dimana neuron WDR memperlihatkan peningkatan sensitifitas untuk jangka
14-17
panjang. Fase kedua ini berlangsung lebih lama dari fase inisial dalam input
sensori, tidak membutuhkan stimulasi noxious lebih lanjut dan antagonis terhadap
anestesi inhalasi atau opioid parenteral dosis sedang. 16-18,19 Hiperalgesia sekunder
ini memberikan basis neurokimia untuk proses adaptasi. Hal ini termasuk,
perluasan ke refleks fleksi ipsilateral dan kontralateral dan gangguan tonus
simpatis regional. 1,2,4,14,17,18 Nyeri dirasakan pada daerah dermatom di atas dan di
bawah lokasi cedera dan diperberat dengan transfer atau pergerakan. Dampak
analgesik primer dan sekunder terhadap intensitas nyeri akut dan berkembangnya
nyeri persisten digambarkan pada Gambar 2.2.

NYERI AKUT KURANG


TERKONTROL Meningkatnya
sensitifitas luka,
memperpanjang
ketidaknyamanan
Sensitasi Perifer Hiperalgesia Primer

Meningkatnya
intensitas nyeri,
Sensitasi Sentral Hiperalgesia Sekunder
memperlama
keterbatasan

Remodeling saraf dan glia Plastisitas waktu lama Nyeri Kronik

5
Gambar 2.2: Setelah cedera jaringan, hiperalgesia primer dan sekunder
meningkatkan intensitas nyeri akut dan dapat mengarah pada pengembangan rasa
nyeri terus-menerus.
RESPON SIMPATOADRENAL
Respon stres terhadap trauma kecelakaan ataupun pembedahan telah
dijelaskan sebagai sindrom adaptasi umum yang terfokus pada jaringan dan
kelangsungan hidup yang lebih baik. Respon simpatoadrenal terhadap cedera
traumatik terbagi atas tiga stadium. Tanda tahap awal atau “fight-flight reaction”
menyebabkan penarikan segera dari sumber trauma dan diikuti dengan
“resistence stage”, yang mempertahankan aliran darah ke organ vital, dan
terakhir oleh “exhaustion stage”, yang membatasi pergerakan dan memperbaiki
penyembuhan jaringan.1-4,20,21 Setelah suatu cedera jaringan yang luas, impuls
nosiseptif akan merangsang sel simpatis di hipotalamus dan neuron preganglionik
pada kornu anterolateral. Sekali dirangsang, sel-sel ini akan melepascan
katekolamin dan menimbulkan respon inotropik dan kronotropik jantung,
meningkatkan resistensi vaskuler perifer, dan redistribusi aliran darah dari perifer
1,2,20,21
dan organ visera ke jantung dan otak. Efek yang menguntungkan ini dapat
merugikan pada saat tertentu, terutama pada pasien yang berisiko atau yang lemah
dimana aktifitas miokard jantung dan kerja pernapasan melebihi suplai oksigen
dan metabolik. 4,21-23
Suatu trauma pembedahan akan diikuti dengan peningkatan kadar
20,21
epinefrin dan noepinerfin plasma. Seberapa besarnya efek dan durasi kerja
katekolamin berhubungan secara langsung dengan faktor pasien seperti jenis
pembedahan, respon simpatetik tertentu, usia pasien dan polimorfisme genetik
(inflamasi). Secara umum, peningkatan kadar katekolamin yang sangat tinggi
terjadi setelah suatu prosedur pembedahan yang ekstensif dan pada individu yang
berusia lebih muda. 20,21 Respon paling awal akibat peningkatan katekolamin yang
menonjol, namun bersifat sementara, adalah meningkatnya sekresi medulla
adrenal, dimana respon selanjutnya menunjukkan pelepasan lebih lanjut dari
norepinefrin dari ujung saraf simpatis.21,22 Perubahan patofisiologis yang
berkaitan dengan meningkatnya tonus simpatis dan gangguan perfusi regional
termasuk berikut ini: (1) meningkatnya insiden hipertensi pasca pembedahan yang

6
berkisar antara 5% setelah suatu operasi minor, tanpa komplikasi, hingga hampir
21
50% pada pasien pasca operasi vaskuler ekstensif . (2) meningkatnya resistensi
vaskuler perifer yang berkaitan dengan meningkatnya kontraktilitas dan konsumsi
oksigen miokard sementara berusaha mempertahankan curah jantung. 1,2,21
Meningkatnya konsumsi oksigen dapat mempresipitasi iskemia miokard
pada pasien dengan penyakit arteri koroner. Meningkatnya tonus simpatis
mungkin lebih merugikan pada pasien yang baru menjalani operasi vaskuler
perifer, karena peningkatan tekanan arteri berisiko terjadinya ruptur pada
anastomosis vaskuler, sedangkan vasospasme yang hebat dapat mempengaruhi
patensi graft distal. 1,2,21,22
(3) Oleh karena perfusi darah dialihkan ke organ berprioritas tinggi, maka
aliran darah mikrkosirkulasi ke daerah cedera, otot-otot dan visera, menjadi sangat
3,21-23
terbatas. Penurunan sirkulasi telah dikaitkan dengan gangguan proses
penyembuhan luka, meningkatnya sensitisasi nosiseptor, meningkatnya spasme
muskuler, iskemia somatis/viseral, dan asidosis.21
(4) Hipoperfusi renal menyebabkan aktivasi jalur renin angiotensin-
aldosteron. Angiotensin adalah vasokonstriktor yang kuat, meskipun mampu
meningkatkan perfusi renal, lebih lanjut menonjolkan efek perubahan katekolamin
pada aliran darah setempat dan hipoperfusi pada organ-organ berprioritas rendah
(lokasi cedera, kulit, visera, dll). 1-3,21,22
(5) Katekolamin, angiotensin dan faktor lain yang berkaitan dengan stres
pembedahan dapat meningkatkan aktivasi platelet dan mempercepat
koagulasi.22,23 Peningkatan aktivasi platelet-fibrinogen akan merugikan terutama
pada pasien dengan penyakit aterosklerosis pembuluh darah, karena
meningkatnya viskositas plasma, pelepasa faktor vasokonstriktor oleh platelet,
dapat secara signifikan menurunkan aliran darah ke pembuluh darah yang sudah
mengalami stenosis. 21-23

RESPON NEUROENDOKRIN
Setelah suatu cedera jaringan, stimulus neurogenik akan mempengaruhi
hipotalamus, organ target, atau keduanya, yang menyebabkan gangguan respon

7
20-23
neuroendokrin. Perubahan ini, disebut respon stres terhadap cedera, ditandai
oleh meningkatnya sekresi hormon katabolik, termasuk kortisol, glukagon,
hormon pertumbuhan, dan katekolamin, dan menghambat mediator anabolik,
20-25
seperti insulin dan testosteron. Mediator ini meningkatkan mobilisaasi
1,2,20-24
substrat, menyebabkan hiperglikemia dan keseimbangan negatif nitrogen.
Perubahan metabolik yang berkaitan, meliputi glukoneogenesis, glikogenolisis,
proteolisis, dan pemecahan cadangan lemak, memberikan peningkatan produksi
energi sementara pada daerah cedera; namun proses katabolik yang meningkat
dan berlangsung lama akibat respon stres dapat memberi dampak buruk terhadap
prognosis pasca pembedahan melalui jalur berikut: (1) meningkatnya kehilangan
protein dapat menyebabkan atrofi otot, lelah, dan masa penyembuhan yang
memanjang dan (2) gangguan sistem imunitas yang terjadi sekunder akibat
keterbatasan sintesis immunoglobulin dan gangguan fagositosis dapat
menurunkan resistensi terhadap infeksi. 21,25-29
Hume dan Egdahl30 adalah yang pertama mengusulkan bahwa impuls
nosiseptif (naik ke medulla spinalis melalui formasio retikularis batang otak) dan
stimulus sadar dari korteks serebri, keduanya mampu mengaktivasi pusat
hipotalamus dan mengawali respon stres neuroendokrin. Sel yang teraktivasi pada
regio preoptik mensekresikan pro-opiomelanocortin, yang kemudian
memungkinkan pelepasan hormon adrenokortikotropik (ACTH), ß-endorfin, dan
hormon pituitari lainnya.22,24,26,27Seksresi ACTH merupakan respon
adrenokortikal pada cedera, yang kemudian meningkatkan dan secara
berkelanjutan melepaskan kortikosteroid dan mineral kortikoid. Selain itu, cedera
yang berakitan dengan pelepasan IL-6 dan IL-1ß juga dapat meningkatkan sekresi
22,25,26,30
kortisol dan ACTH. Hubungan antara IL-6 plasma dengan kadar kortisol
adalah linear (berbanding lurus) pada pasien pasca pembedahan. 25,26
Hiperglikemia yang signifikan dan peningkatan kadar kortisol plasma
sudah umum ditemukan pada masa pasca pembedahan. Bromage dan teman-
temannya31 menemukan pada pasien yang baru sembuh dari suatu prosedur
pembedahan abdomen yang ekstensif atau torakotomi bahwa meningkatnya kadar
gula darah dan kortisol mencapai puncaknya 65% di atas nilai normal dan

8
bertahan selama lebih dari 24jam setelah pembedahan. Meskipun respon stres
pada pasien yang baru sembuh dari prosedur pembedahan sehari tidak dievaluasi,
diperkirakan terjadi gangguan serupa, tetapi kurang menonjol.
Ketidakseimbangan nitrogen yang ditemukan setelah trauma pembedahan
dikaitkan dengan efek kelaparan (starvation), pelepasan katekolamin, dan
gangguan rasio insuli/glukagon.24-31, 32,33
Ketidakseimbangan nitrogen yang
berlangsung lama dan sekresi glukokortikoid berkaitan dengan gangguan
penyembuhan luka dan immunokompetens.25,27,32,33 Meningkatnya pemecahan
protein dan menurunnya sintesis protein dapat menghambat pembelahan sel,
produksi kolagen, dan fase akut/respon leukositik. Hambatan tersebut
menyebabkan limfopenia, granulositosis, penurunan aktivitas natural killer cell
dan sel T, yang diinduksi oleh stres dan gangguan sintesis dan pelepasan
24,25,29
makrofag dan immunoglobulin. Pada binatang percobaan, dan awal
percobaan klinis, pembedahan invasif dan nyeri yang kurang terkontrol berkaitan
34,35
dengan immunosupresi dan dan meningkatnya risiko metastasi tumor. Pada
mereka yang menjalani pembedahan, supresi imunologik memiliki konsekuensi
yang minimal bagi subyek dengan respon imun yang normal; namun, kurangnya
imunitas seluler dan humoral merupakan predisposisi bagi mereka dengan
penyakit imun yang telah ada sebelumnya untuk mengalami infeksi pasca
operasi.29,34
Kadar β-endorfin meningkat sebanyak tiga kali lipat setelah suatu insisi
pembedahan dan tetap tinggi selama masa pasca operasi. 24,25,27,28
β-endorfin
memperantarai berbagai efek sistemik, termasuk imunosupresi, pelepasan
kompolement, menurunnya resistensi vaskuler perifer, dan mengawali
syok.23,25,27,28 Akhirnya, kadar dalam plasma dari octapeptide pituitari posterior,
arginin vasopressin (AVP), meningkat secara dramatis dan bertahan tinggi selama
5 hari atau lebih setelah suatu bedah ekstensif. 4,23,24,32 Meningkatnya sekresi AVP
bertanggungjawab terhadap retensi cairan pasca operasi , hiperosmolaritas plasma,
dan oliguria. 23 Gambar 2.3 memperlihatkan respon patofisiologis terhadap cedera
trauma akut.

9
Ansietas, takut, tdk Demoralisasi
Proses sentral berdaya, susah tidur
(Perubahan Kognitif)

Meningkatnya
Hiperalgesia Primer persepsi nyeri
Perubahan
Neurohormonal
Memfasilitasi Otot Imobilisasi
transmisi terpuntir
noxious

Trauma Plastisitas Iskemik Atelektasis,


Meningkatkan
jaringan Neural koroner hipoksia
konsumsi O2

Menurunnya aliran Kekakuan


darah setempat pem.darah
Aktivitas
Simpato-Adrenal DVT
Agregasi platelet
Buruknya
penyembuhan luka
Perubahan Hipergikemik,
Neuroendokrin katabolisme jaringan Imunosupresi, ↑
risiko infeksi

Gambar 2.3: Gambaran respon hubungan patofisioogi trauma pembedahan


dengan efeknya pada organ target.

EFEK PADA ORGAN TARGET


Konsekuensi patofisiologis yang berkaitan dengan nyeri yang kurang
terkontrol termasuk menurunnya kapasitas fungsional, meningkatnya gangguan
tidur, dan penyembuhan luka yang terlambat; konsekuensi ini menimbulkan
masalah sosial, seperti penurunan kualitas hidup, dan peningkatan biaya
22,36,37
perawatan. Yang paling penting adalah fakta bahwa pada pasien berisiko
tinggi dengan disfungsi kardiovaskuler dan pulmonal risiko morbiditas dan
mortalitas pasca operasi dapat meningkat secara signifikan.
Jantung
Meskipun perkembangan teknik anestesi maupun pemeliharaan stabilitas
pasca operasi semakin baik, namun disfungsi jantung yang terjadi sekunder akibat
infark miokard, gagal jantung, dan aritmia terhitung memiliki persentase tinggi
sebagai penyebab kematian pasca operasi. 4,21,24,38,39 Pada populasi berisiko tinggi,

10
iskemia perioperatif sering terjadi setelah operasi, paling sering pada hari ke-1
39
hingga ke-3 pasca operasi. Meskipun berbagai faktor lainnya juga memiliki
kontribusi terhadap berkembangnya iskemia miokard postoperatif, termasuk
hipotermia, anemia, anxietas, dan intubasi/suction trakea, sebagai respon terhadap
4,21,39,41,42
nyeri yang kurang terkendali. Takikardi yang diinduksi katekolamin,
meningkatnya kontraktilitas miokard, meningkatnya afterload, dan hipervolemia,
yang terjadi sekunder akibat meningkatnya pelepasan AVP dan aldosteron,
merupakan faktor yang meningkatkan kebutuhan oksigen. Meningkatnya
kebutuhan oksigen, bersamaan dengan hipervolemia, dapat mempresipitasi
iskemia dan gagal jantung akut, terutama pada pasien dengan kompensasi arteri
koroner yang kurang dan atau penyakit pada katup jantung. 21,23,39,41
Meskipun kebutuhan oksigen meningkat, namun suplai oksigen mungkin
berkurang oleh karena adanya gangguan fungsi paru-paru . Gangguan paru
meliputi atelektasis yang terjadi sekunder akibat hipoventilasi yang disebabkan
oleh nyeri dan edema paru yang diakibatkan oleh stres hipervolemia.1,2,21,24
Penyebab kedua dari kurangnya suplai oksigen adalah oklusi arteri koroner. Blok
arteri koroner dapat terjadi akibat: (1) meningkatnya kadar katekolamin dalam
sirkulasi dan peningkatan tonus simpatis, (2) peningkatan viskositas plasma yang
diakibatkan oleh stres dan trombosis yang diinduksi platelet, dan (3) vasospasme
koroner yang terjadi sekunder akibat agregasi platelet dan pelepasan
serotonin.4,21,24,40,42
Paru-paru
Cedera thoraks dan abdomen bagian atas mungkin berkaitan dengan
21,22,24
tingginya insiden morbiditas dan mortalitas. Penyebab cedera thoraks akut
meliputi trauma tumpul, misalnya trauma deselerasi dan penetrasi, seperti pisau
bedah, retraktor, dan benda asing lainnya. Cedera dan operasi thoraks berkaitan
dengan spektrum/luasnya cedera, termasuk pneumothoraks, hemothoraks,
kontusio miokard dan paru, dan fraktur costa, klavikula dan skapula. 21,22,43-45
Cedera thoraks dan abdomen bagian atas dan nyeri bersangkutan dipicu
oleh respon patofisiologi tertentu, dapat mempengaruhi perawatan di RS.
Umumnya, gejala–gejalanya berdasarkan luasnya cedera dan status fisik

11
pasien.43,44 Tergantung dari mekanisme cederanya, pasien mungkin mengalamai
gangguan kardiovaskuler ataupun paru yang mengancam nyawa dan bermasalah
dengan rasa nyeri tipe skeletal, viseral, ataupun neural. Nyeri yang berkaitan
dengan abdomen bagian atas dan otot thoraks bergantung pada kekuatannya, yang
43-45
menunjukkan cedera costa, pleura, ataupun diafragma. Berkebalikan dengan
nyeri saat istirahat, intensitas nyeri dinamik yang bergantung pada usaha
meningkat secara bermakna pada inspirasi dan batuk. Stimulus nyeri juga bersifat
hiperalgesia dimana rasa tidak nyaman yang berat, dan otot yang terplintir refleks
ditemukan pada area dermatom di atas dan dibawah lokasi cedera. Hiperalgesia
dinding dada dan abdomen bagian atas bertanggung jawab terhadap beberapa
gangguan patofisiologi, termasuk disfungsi muskuloskeletal dan diafragma, dan
gangguan pertukaran gas. 21,43,44
Fungsi paru terganggu secara dramatis oleh nyeri yang diakibatkan pasca
pembedahan. Beecher47 adalah yang pertama menggambarkan respon klasik dari
paru-paru terhadap pembedahan dan menurunnya volume tidal (TV), kapasitas
vital (VC), volume ekspirasi paksa (FEV1), dan kapasitas residu fungsional
(FRC). Gangguan patofisiologis ini memperlihatkan disfungsi paru obstriktif akut,
dan mungkin berkaitan dengan gambaran klinis dari hipoksia dan
hipokarbia.1,43,44,47 Atelektasis, pneumonia, dan hipoksemia arteri merupakan
komplikasi post operatif yang sering ditemukan dan insidennya mencapai 70%
47,48
dari pasien yang telah menjalani operasi abdomen bagian atas. Komplikasi
tersebut telah dikaitkan dengan penurunan VC seperti yang disebutkan di atas, dan
menurunnya kemampuan batuk dan mengeluarkan sekret. 43-45
Kapasitas paru adalah parameter paru-paru yang pertama mengalami
perubahan pada masa pasca operasi. Penurunan yang bermakan pada VC yang
ditemukan pada 3 jam pertama setelah pembedahan, dan menurun sebanyak 40-
60% dari nilai preoperatif, telah dilaporkan. Setelah suatu operasi abdomen bagian
atas, penurunan RV, FRC, dan FEV1 memuncak setelah 24jam; setelah itu,
nilainya menurun secara bertahap hingga hampir normal pada hari ke-7 pasca
48
operasi. Suatau studi klasik, Ali dan teman-temannya48 menemukan bahwa VC
pasca operasi mengalami penurunan bermakan dari hari ke-0 hingga ke-7 pasca

12
operasi abdomen bagian atas, dan kurang bermakna pada operasi abdomen bawah,
dan kurang dipengaruhi pada pasien yang menjalani prosedur operasi yang
superfisial, seperti herniorafi inguinal. Faktor lain yang mempengaruhi besarnya
penurunan VC termasuk prosedur laparaskopi , durasi anestesi, cedera diafragma,
dan riwayat penyakit paru obstruktif kronik pada pasien. 43-45
Setelah torakotomi, gangguan pergerakan dinding dada akan menurunkan
komplians paru dan membutuhkan peningkatan kerja pernapasan untuk mencapai
respirasi yang efektif. 43-46 Splinting yang terjadi sekunder akibat nyeri yang tidak
terkontrol memperberat keadaan ini dengan mengurangi usaha pernapasan.
Perfusi yang dipertahankan pada daerah paru yang tidak berventilasi
menyebabkan timbulnya shunt dan ketidaksesuaian ventilasi/perfusi. Hambatan
fungsi diafragma merupakan faktor tambahan yang bertanggung jawab terhadap
disfungsi respirasi dan morbiditas. Impuls noxious dari difragma, dinding dada,
dan visera abdomen atas menimbulkan refleks inhibisi terhadap motorik nervus
phrenicus, yang lebih lanjut memperburuk fungsi paru dengan menyebabkan
atelektasis, sumbatan jalan napas, ketidaksesuaian ventilasi alveolar (V) dan
perfusi paru (Q), dan hipoksemia. Apabila terjadi pneumonia atau ARDS (acute
respiratory distres syndrome), risiko perpanjangan masa perawatan RS dan
mortalitas akan meningkat. 43,44 Pembedahan yang meliputi gangguan VC, puncak
laju pernapasan, dan gradient alveolar-arterial (A-a) diperlihatkan pada Gambar
2.4.

13
Gambar 2.4: Gambaran skematik abnormaitas fungsi paru yang diamati setelah
operasi abdomen bawah. Garis lurus menggambarkan penurunan volume paru
(VP), kecepatan aliran ekspirasi, gradient A-a dan presentase perbaikan tanpa
komplikasi pada shunt, sedangkan garis putus-putus menggambarkan adanya
perubahan yang diamati pada pasien dengan komplikasi, antara lain atelektasis
dan pneumonia. Kapasitas vital dan tingkat aliran puncak dapat menurunkan 60%
dan 85% masing-masing, setelah bedah thoraks dan abdomen bagian atas.
Persentase menurun dengan analgesik epidural thoraks . Selama pemulihan
volume paru-paru dan gradient A-a kembali ke awal lebih cepat dari aliran
ekspirasi.

Sistem vaskuler
Karena darah mengalir ke organ yang lebih diprioritaskan, maka perfusi ke
jaringan yang cedera, otot, dan visera menjadi berkurang. Berkurangnya sirkulasi
ini telah dikaitkan dengan gangguan penyembuhan luka, meningkatnya spasme
21,22,44
otot, iskemik dan asidosis viseral. Nyeri yang tidak terkontrol dengan baik
dapat menjadi predisposisi terjadinya trombosis vena dalam (DVT) dan emboli
paru pada pasien pasca operasi. Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya,
pelepasan katekolamin dan angiotensin sebagai respon terhadap stres pembedahan
dapat menyebabkan aktivasi platelet–fibrinogen dan berkembangnya keadaan
hiperkoagulasi.21,42 Nyeri hebat umumnya berkaitan dengan gangguan
kemampuan transpor dan menurunnya aliran vena.1,2,21,24 Manipulasi pembedahan
di dalam ataupun di sekitar daerah pelvis dapat mengganggu aliran vena yang

14
mengembalikan darah dari ekstremitas bawah. Faktor ini menyebabkan trias
Virchow berupa hiperkoagualabilitas, stasis vena, dan cedera endotel yang
mendasari berkembangnya DVT. 1,2
Hal lain yang perlu diperhatikan dari edema jaringan lokal dan stasis vena
adalah kekhawatiran bahwa tromboemboli dapat menimbulkan komplikasi yang
lebih serius, emboli paru. Manakala fragmen trombus terlepas dan masuk ke
jantung dan paru, oklusi arteri pulmonal akan menimbulkan berbagai derajat
gangguan ventilasi dan hipoksia. Oleh karena trombus ini memicu reaksi lokal
berupa pelepasan vasoaktif dan sitokin inflamasi, maka gejala yang berkaitan
dengan emboli paru dapat memburuk dengan cepat dalam waktu singkat. Bila
tidak dikenali dan diterapi dengan tepat, komplikasi ini berkaitan dengan
mortalitas sebanyak 20-30%.
Akhirnya diketahui bahwa kadar norepinefrin yang tinggi dalam plasma
dapat memicu konstriksi vaskuler dan adhesi platelet, yang merupakan faktor
penyebab berkurangnya perfusi perifer ekstremitas dan membutuhkan operasi
ulang untuk oklusi graft setelah operasi vaskuler. 1,2,21

Bagian yang cedera


Seperti yang telah didiskusikan pada bagian “Jantung”, gangguan humoral
dan neurokimia di daerah dan di sekitar daerah cedera memegang peranan penting
untuk berkembangnya nyeri pasca operasi yang persisten, dan pada beberapa
kasus, nyeri kronik. Sensitisasi yang berlanjut pada nosiseptor perifer dan sel
spinal bertanggunga jawab untuk hiperalgesia yang berkelanjutan seperti halnya
perbedaan kualitatif di antara nyeri fisiologis, nosiseptif, dan neuropati.
Peningkatan kadar IL-1ß dan sitokin lainnya memicu terjadinya edema dan
49
komponen iritatif dari nyeri inflamasi. Sitokin, termasuk IL-1 ß, IL-6, dan dan
tumor necrosis factor α (TNF- α) juga berperan dalam terjadinya alodinia dan
50
berkembangnya nyeri persisten. Sitokin-sitokin ini, awalnya dilepascan dari
neutrofil, makrofag, dan mediator lainnya, seperti nerve growth factor (NGF), dan
nitrit oksida (NO) yang juga dilepascan pada tahap lanjut dari aktivasi sel
51-54
Schwann, lebih lanjut mencederai saraf dan memperburuk nyeri neuropati.

15
Limfosit, termasuk sel T dan NK, menginfiltrasi ke dalam dan lebih lanjut
mengiritasi saraf yang cedera; mereka juga berperan penting dalam berkembangya
gejala neuropati yang persisten.
Nyeri kronik yang timbul setelah suatu trauma pembedahan, sering
berkaitan dengan nyeri akut yang tidak terkontrol dengan baik, nyeri neuropati
yang terjadi sekunder akibat neuroma, atau sindrom nyeri miofasial yang
disebabkan oleh trauma prosedural.53-56,65 Peningkatan aktifitas refleks pada saraf
eferen simpatis menyebabkan vasokonstriksi dan sensitisasi nosiseptor.
Selanjutnya gangguan aliran darah regional dan berkembangnya arkus refleks
nosiseptif kadang-kadang menyebabkan distrofi simpatetik ataupun nyeri
simpatetik. 21,53-56

Sistem Saraf Sentral


Input nosiseptif akan mempengaruhi semua tingkatan sistem saraf sentral
dan menghasilkan gangguan neurokimia dan neuroanatomikal. Salah satu temuan
yang cukup mengganggu yang berkaitan dengan obat-obat analgesik dan nyeri
hebat adalah adanya sensitisasi sentral. Sensitisasi sentral tidak hanya
bertanggung jawab atas terjadinya hiperalgesia sekunder, seperti yang dijelaskan
dengan respon simpatoadrenal, tetapi juga perubahan plastisitas dan peningkatan
sensitisasi noxious yang makin lama dan mungkin sulit untuk kembali seperti
semula.55-58 Beberapa di antara perubahan ini diperantarai oleh aktivasi NMADRs
dan peningkatan influks Ca+.16,59 Gangguan neurokimiawi yang terjadi termasuk
peningkatan sintesis COX-2 dan NO dan meningkatnya sintesis prostaglandin
(PGE) dan NO dalam neuron yang tersensitisasi dan sel glia.51,56,57 Sintesis
mediator inflamasi tersebut maupun mediator lainnya menginduksi perubahan
neuroanatomikal, yang untuk alasan yang masih belum jelas, nampaknya
memungkinkan transmisi noxious dan proses nyeri. 54,55-57 Perubahan ini termasuk
aktivasi patofisiologis mikroglia dan apoptosis neuronal. Sel yang lebih rentan
mengalami atrofi dan kematian adalah interneuron ensephalinergik modulator dan
adrenergik yang normalnya bekerja untuk menekan transmisi noxious.56
Perubahan neuroanatomikal lainnya meliputi cabang aksonal nosiseptor dan

16
hubungan baru dengan sel kornu dorsalis dan redireksi serat aferen yang tidak
noxious ke second order cell yang tersensitisasi. Bentuk plastisitas ini
bertanggung jawab atas aspek alodynia dan hiperpatik dari nyeri somatis dan
53,56,57
neuropati dan juga membatasi efektifitas terapi farmakologis. Gambar 2.5
memperlihatkan gambaran transisi dari nyeri akut menjadi kronik. Gambar
lainnya yang menunjukkan gangguan neurokimiawi dan perubahan plastisitas
spinal yang bertanggung jawab untuk transisi ini dijelaskan dalam Bab 1.

Perubahan dari Nyeri akut ke Kronik

Cedera Akut

Aktivasi Nosiseptor Detik


Transduksi, sensitasi perifer

Sensitasi sentral Menit


Aktivasi NMDA

Perubahan Neural dan potensiasi jangka panjang Jam hingga hari


dan
Perubahan susunan gen Perubahan hubungan Kematian sel
Bulan hinga
Nyeri persisten bertahun-tahun

Gambar 2.5: Mediator dan perubahan yang terlibat selama transisi dari nyeri akut
ke nyeri kronis.

Ketika diamati, ternyata semua nyeri kronis berasal dari nyeri akut. Kehlet
dan teman-temannya menemukan tingginya persentase pasien yang baru
menjalani prosedur tertentu yang kemudian memiliki masalah nyeri neuropati dan
somatis persisten setahun setelah operasi (Tabel 2.2). Insiden tertinggi dari nyeri
persisten ditemukan pada prosedur dimana sering terjadi cedera saraf, termasuk
torakotomi, mastektomi dan perbaikan hernia inguinal. Pluijms dan teman-
61
temannya menemukan bahwa pasien yang mengalami nyeri persisten setelah
tindakan torakotomi adalah mereka yang menderita nyeri akut berintensitas tinggi
selama satu minggu pertama pasca operasi. 67% pasien yang menderita nyeri

17
kronis memberikan skore nyeri VAS sedang hingga berat, sedangkan 40%
menyatakan nyeri ringan hingga sedang. Pasien yang menderita nyeri kronis juga
diaporkan memiliki lama waktu rasa nyeri yang jauh lebih besar (P=0,2).
Faktor risiko lain yang berhubungan dengan berkembangnya nyeri
persisten meliputi pasien yang mengeluh nyeri pada lokasi operasi, trauma yang
terjadi pada induvidu yang lebih muda, dan pada pasien dengan abnormalitas
psikososial maupun kerentanan genetik tertentu (Gambar 2.6)53,62,63 Faktor-faktor
tersebut tampaknya merupakan kausalitas yang kuat, karena hanya sebagian
pasien yang memperlihatkan nyeri hebat setelah cedera trauma neural yang
16,53
berkembang menjadi nyeri kronis. Penanganan nyeri yang efektif dan
observasi ketat pasien selama masa penyembuhan dan rehabilitasi mungkin
merupakan kunci utama untuk mengurangi disabilitas akibat nyeri jangka
panjang.64 Pasien-pasien yang mengeluhkan rasa tidak nyaman yang hebat setelah
menjalani suatu prosedur rutin sebaiknya di awasi dengan baik dan membutuhkan
konsultasi nyeri kronik dan terapi dengan agen antineuropatik (lihat juga Bab 9,
Transisi dari nyeri akut manjadi nyeri kronik).
Respon yang diperantarai pusat kortikal dan sistem limbik yang lebih
tinggi dapat memodulasi intensitas persepsi noxious maupun eksaserbasi distres
21,27,41,66
emosional, keluhan nyeri, dan ansietas pasien. Intensitas ansietas,
ketakutan, dan hilangnya kendali yang menyertai cedera traumatik dapat memiliki
efek terhadap aksis hipotalamus-pituitari, yang selanjutnya mengganngu respon
neuroendokrin. Nyeri yang kurang terkontrol menyebabkan kurang tidur,
penurunan moral, dan kesulitan belajar dengan mempengaruhi sistem limbik dan
korteks singula.
Pasien yang menderita nyeri akut umumnya memiliki masalah gangguan
tidur, yang meningkatkan kelelahan dan berdampak negatif bagi moral, mood dan
dimotivasi untuk melakukan rehabilitasi. Beberapa pasien membutuhkan
ansiolitik dan sedatif untuk mengatasi kurangnya interval tidur dan terbangun oleh
rasa nyeri yang bertambah. Dalam suatu penelitian terhadap 102 pasien yang telah
menjalani operasi ortopedi, terjadinya peningkatan nyeri post operatif
menyebabkan gangguan tidur yang lebih hebat.66 Kualitas dan durasi tidur adalah

18
yang paling terpengaruh manakala skor nyeri lebih dari 5 pada skala nyeri 0-10.
Pada pasien dengan nyeri akut yang hebat, gangguan tidur dan perilaku dapat
mengurangi moral pasien dan keinginan mereka untuk menggunakan spirometri
ataupun berpartisipasi dalam terapi fisik. Pada nyeri persisten, respon kortikal
limbik berdampak negatif terhadap kualitas hidup dan juga memperantarai
munculnya kecemasan, depresi, dan perilaku nyeri kronik lainnya.
Tabel 2.2: Insiden Nyeri Kronik Postoperatif dan Kecacatana,b.
Prosedur Nilai insedens nyeri Nilai insiden nyeri Angka operasi di
kronik (%) kronik yang berat USAa
(kecacatan)b (%)
Amputasi 30 – 35 5 – 10 159 000
Operasi bypass Arteri 30 – 35 5 – 10 598 000
Koroner
Thorakotomi 30 – 40 10 Tidak diketahui
Operasi payudara 20 – 30 5 – 10 479 000
(lumpectomy/
mastektomi)
Seksio Sesaria 10 4 220 000
Perbaikan hernia 10 2–4 609 000
inguinal
a
Pusat Statistik Kesehatan Nasional, USA, 1996.
b
skor nyeri >5-10

PATOFISIOLOGI PENGURANGAN INDUKSI NYERI


Inovasi dalam teknologi, seperti analgesik neuroaxial dan infus anestesi
lokal, menjadi revolusi dalam penanganan nyeri postoperatif. Suatu praktek yang
telah terbukti menyatakan bahwa anestesi epidural, seperti anastesi epidural
thorakal, memperbaiki kondisi infrak miokard, trombosis vena dalam, emboli
paru, kebutuhan transfusi, pneumonia, distres pernapasan, dan morbiditas pasca
operasi setelah suatu operasi besar. 67-73

19
Prosedur Operasi Tidakan Serangan Psikologis
operatif dihubungkan Kecemasan,Depresi,
dengan risiko cedera saraf, Bencana
operasi berulang

Nyeri Sebelumnya Nyeri Nyeri berat postoperasi


>1 bulan sebelum operasi Intensitas nyeri akut
berhubungan dengan berhubungan dengan
keparahan nyeri postoperasi pengembangan penyakit
kronis

Jenis Kelamin Wanita Predisposisi Genetik


dilaporkan memiliki tingkat Rentan terhadap
nyeri tertinggi postoperatif keturunan dengan riwayat
nyeri, yang mana
berespon dengan analgetik

Bertambahnya Usia Pasien


yang lebih tua terbukti telah
mengurangi
risiko nyeri kronis

Gambar 2.6: Faktor risiko dalam pengembangan nyeri yang persisten setelah
operasi rutin.

Pembedahan Vaskuler
Infus epidural dengan anestesi lokal yang dikombinasi dengan anestesi
umum memberikan efek kardioprotektif yang bermakna pada pasien yang
menjalani operasi perbaikan aneurisma aorta abdominal. Prognosis perbaikan
berkaitan dengan pemeliharaan stabilitas hemodinamik dan berkurangnya aritmia
setelah dilepasnya penjepit lintas aorta.71 Hipertensi pasca operasi yang ditemukan
pada lebih dari 50% pasien telah dihubungkan dengan hiperaktifitas sistem saraf
simpatis dan bukannya epinefrin adrenal ataupun sekresi arginin vasopresin dari
pituitari yang bertanggung jawab terhadap berkembangya hipertensi setelah suatu
pembedahan vaskuler aorta dan ekstremitas bawah.40,70-72 Efek menguntungkan
dari analgesik epidural terhadap respon hipertensi simpatis diperantarai oleh blok
71-73
input noxious sebaik efek simpatolitik pada anestesi lokal. Morfin epidural
tidak memiliki efek anestesi lokal tetapi dapat menekan respon simpatis sehingga
memberikan kontrol nyeri yang baik. Hiperaktifitas simaptis dan impuls eferen

20
lebih baik di blok dengan anestesi lokal yang ditambahkan pada infus morfin
epidural.40,73 Stimulasi α2 juga menghambat respon simpatis dan pelepasan
katekolamin. Klonidin adalah agonist α2 yang secara tidak langsung menghambat
reseptor sinaptik α adrenergik dengan mengurangi pelepasan katekolamin sentral.
Dalam studi terakhir, klonidin nampaknya memiliki efek langsung terhadap
modifikasi respon simpatoadrenal pada nyeri pembedahan. 74
Pelepasan katekolamin sebagai respon terhadap stres pembedahan dan
nyeri yang tidak terkendali memicu terjadinya vasospasme, vasokonstriksi, dan
komplikasi oklusi trombus.71,6,74 Vasospasme sebagai akibat tingginya konsentrasi
epinefrin dalam plasma dan pelepasan norepinefrin lokal dapat membahayakan
potensi graft distal pada pasien yang telah menjalani operasi vaskuler dan
meningkatkan risiko trombosis vena dalam pada bentuk pembedahan ekstremitas
bawah lainnya.40,67,68,70 Dibandingkan dengan anestesi umum, anestesi epidural
yang dilanjutkan dengan analgesik epirudal lanjutan mempertahankan fibrinolisis,
menurunkan risiko trombosis arteri, dan berkaitan dengan lebih rendahnya insiden
reoperasi untuk perfusi jaringan yang tidak adekuat.74-76 Meskipun anestesi lokal
secara langsung menghambat agregasi platelet dan memiliki efek antitrombolitik,
namun masih belum jelas apakah anestesi lokal dari perifer ataupun epidural
memiliki efek klinis yang bermakna pada lokasi pembedahan.6,77
Bedah Jantung
Analgesik epdural thoraks menyebabkan blok spesifik pada arkus refleks
nosiseptor dan dapat mengurangi ataupun atau menghilangkan stres yang
disebabkan perubahan disfungsi organ.67 Efek simpatetik pada pembuluh darah
yang aterosklerosis akan berkurang dan aliran darah ke daerah miokard yang
berisiko akan meningkat.78 Pemahaman terhadap patofisiologi nyeri dan
memberikan penanganan nyeri yang optimal merupakan hal yang penting dalam
bedah jantung. Penggunaan anestesi epidural thoraks setelah operasi bypass
jantung, meskpiun kontroversial dipandang dari sisi tertentu, telah terbukti
mampu memperbaiki stabilitas hemodinamik, menurunkan pelepasan troponin
dan insiden aritmia supraventrikuler dan membolehkan ekstubasi lebih awal.79,80
Analgesik epidural dengan anestesi lokal ditambah opioid, tetapi tidak hanya

21
opioid saja, memblok impuls noxious ke dan dari ganglion simpatis dan
memungkinkan aktivasi aksis simpatoadrenal.78-81 Supresi tersebut membantu
menjelaskan mengapa analisis mengenai analgesik epidural thoraks yang
dilanjutkan lebih dari 24 jam ternyata menurunkan mortalitas dan infark miokard
postoperatif. 84
Bedah Thoraks dan abdomen atas
Hipoksia dan hipokarbia yang bermakna secara klinis umum ditemukan
pada pasien yang mengalami trauma dinding dada, torakotomi, dan bedah
abdomen atas. Nyeri dinamis dan restriksi VC yang berkaitan sulit dikontrol
dengan opioid parenteral maupun patient-controlled analgesik (IV-PCA)
intravena.82 Nyeri dinamis yang diprovokasi batuk merupakan ukuran prognosis
yang lebih sensitif untuk analgesik torakotomi dan bedah abdomen atas.21,82,83
Beberapa penelitian yang menggunakan infus epidural thoraks dengan opioid
ditambahkan dengan anestesi lokal menemukan adanya perbaikan volume paru,
laju pernapasan, dan nyeri dinamis yang diprovokasi batuk sebaik penurunan
respon hormonal, metabolik, dan fisiologis yang diinduksi stres.81-83 Perbaikan
fungsi paru yang ditemukan pada penggunaan anastesi epidural thoraks berkaitan
dengan beberapa faktor, termasuk, berkurangnya pemaparan opioid, perbaikan
gejala nyeri dinamis, dan pencegahan hiperalgesia sekunder. 1,21
Risiko Tromboemboli
Pemberian infus anestesi lokal epidural lanjutan dan blok neural
ekstremitas bawah lanjutan mungkin menguntungkan bagi pasien yang berisiko
tinggi menderita tromboemboli vena, terutama bila profilaksis DVT tidak
memungkinkan oleh karena pertimbangan pasien maupun pembedahan.75,76 Suatu
metanalisis dari beberapa penelitian yang random84, termasuk 141 percobaan pada
total 9559 pasien, menyimpulkan bahwa blok neuroaksial sentral menurunkan
risiko DVT sebanyak 44%, emboli paru sebanyak 55%, kebutuhan transfusi
sebanyak 50%, pneumonia 39%, depresi pernapasan 59%, dan infark miokard
30%. Secara keseluruhan, mortalitas menurun sebesar 30%. Temuan
menggembirakan ini terutama ditemukan setelah prosedur pembedahan ortopedi,

22
namun tidak ada efek yang signifikan setelah prosedur lainnya (urologi,
abdominal, thoraks) .
Respon sitokin
Opioid sistemik dan IV PCA merupakan pereda nyeri yang efektif; namun
hanya sedikit atau tidak memiliki efek sama sekali terhadap respon simpatetik dan
humoral terhadap cedera traumatik.85 Sebaliknya, anestesi regional ataupun
epidural lanjutan dapat menekan respon simpatoadrenal dan menyebabkan
53,67
supresi respon yang diperantarai humoral dan reaktivitas neuroendokrin.
Klonidin dan agonist reseptor α adrenergik lainnya menawarkan pendekatan
farmakologis alternatif lain yang dapat meredakan nyeri secara efektif dengan
tetap menekan respon simpatoadrenal terhadap cedera dan intubasi. 74,86
Mediator humoral, termasuk sitokin dan IL-1ß, dan sensitator perifer,
seperti PGE, eksaserbasi respon inflamasi perifer dan nyeri yang diperantarai
inflamasi. Interleukin 1ß, IL-6, C-reactive protein, dan TNF-α meningkat pada
pasien yang menjalani bedah ekstensif.50,53,54 Dalam penelitian terakhir, pasien
yang memperoleh terapi klonidin epidural melaporkan skor nyeri yang lebih
rendah ketika batuk, membutuhkan morfin intravena lebih rendah, dan
menguntungkan dengan kembalinya fungsi buang air dalam 72 jam post
operatif.86 Kadar sitokin proinflamasi antagonis reseptor interleukin 1 (IL-1ra),
IL-6, dan IL-8 menurun secara bermakna pada kelompok yang diterapi dengan
klonidin pada 12 dan 24 jam setelah operasi. Pada penelitian serupa lainnya,
pasien yang diterapi dengan PCA epidural dengan opioid ditambah anestesi lokal
memperlihatkan penurunan yang bermakna pada respon sitokin postoperasi. 87
Sitokin proinflamasi dan PGE juga memiliki efek analgesik pada sistem
saraf sentral.11,88 Disamping aktifitasnya di perifer, sitokin dalam sirkulasi juga
diketahui berikatan dengan reseptor IL-1 pada permukaan dalam dari sel endotel
88
serebral. Sekali diaktivasi, sel ini akan meningkatkan regulasi COX-2 dan
melepaskan PGE ke jaringan otak, menimbulkan iritasi dan meningkatnya
sensitifitas nyeri. 89 Analgesik multimodal, termasuk NSAIDs dan inhibitor COX-
2 memberikan efek tambahan yang bermanfaat bagi analgesik regional dan
epidural dan secara khusus menurunkan sintesis PGE seperti pada respon

23
inflamasi sentral dan perifer. Efek perifer dan sentral dari PGE dalam
berkembangnya hiperalgesia primer maupun sekunder diperlihatkan pada Gambar
2.7.

Peranan Sentral dan Perifer dari Prostaglandin (PGE) dalam Persepsi Nyeri

Jalur Perifer
(Nosiseptor) Jalur Sentral (Saraf
Cedera Jaringan Spinal dan SSP)

Pelepasan asam arkidonat Sitokin, IL-1B Aktivasi NMDA


Pelepasan Ca2+
COX-2
“Sensitasi Sentral”
Sintesis PGE (Hiperalgesia Sekunder)

Upregulasi COX dan NOS


Aktivasi Nosiseptor

Transmisi intens (Sintesis PGE, NO, COX)


“Sensitisasi Perifer “
noxious
(Hiperalgesia Primer)
berkepanjangan Remodeling Saraf dan Glia

Nyeri Akut
Nyeri Kronik

Gambar 2.7: Peranan sentaral dan perifer prostaglandin (PGE) dalam persepsi
nyeri, hiperalgesia, dan perkembangan nyeri kronis. Selain peranan dalam
sensitasi perifer dalam rangsangan noxious, PGEs merangsang sensitasi sentral
dan perubahan plastisitas oleh beberapa mekanisme, antara lain (1) Memberi efek
langsung setelah vaskularisasi dati tempat trauma ke sistem saraf pusat (SSP), (2)
Memberi efek tidak langsung yang diperantarai oleh upregulasi induksi sitokin
dari COX-2 dan sintesis PGE dalam endotel vaskuler, dan (3) Efek langsung dari
upregulasi COX-2 di mikroglia dan neuron sensitasi.

Risiko Kerusakan Dan Infeksi Jaringan


Nutrisi oral maupun parenteral mungkin dapat mengkompensasi respon
stres hormonal yang bersifat katabolik dan membantu penyembuhan pasca
operasi. 90 Kehlet dan Dahl24 mendemonstrasikan bahwa, asam amino, insulin dan

24
glukosa akan memperbaiki keseimbangan nitrogen setelah suatu pembedahan
abdomen. Perbaikan terhadap keseimbangan nitrogen dapat dicapai dengan
penggunaan blok epidural lanjutan. 31,91
Gangguan mekanisme pertahan tubuh dan imunosupresi yang disebabkan
oleh trauma pembedahan dan respon stres hormonal dapat berkurang dengan
92
analgesik epidural. Analgesik epidural postoperatif menyebabkan reaktivitas
21,41,92
limfosit yang lebih bermakna dibandingkan dengan opioid intravena.
Perbaikan status imun ini dapat meningkatkan resistensi terhadap infeksi pasca
operasi.
Gangguan Tidur Dan Fungsionalitas
Analgesik epidural dan regional lanjutan berkaitan dengan perbaikan
kualitas tidur dan kembalinya fungsional yang lebih cepat. Kualitas hidup yang
lebih baik dengan pemberian analgesik epidural dengan opioid telah dievaluasi
pada 100 pasien yang telah menjalani bedah mayor.93 Pasien yang menerima
analgesik epidural di bandingkan dengan mereka yang menerima opioid
parenteral memiliki keuntungan berupa gangguan tidur yang berkurang,
perawatan rumah sakit yang lebih cepat, dan lebih cepat kembali bekerja (22 vs 30
hari; P<0,5) . Pada penelitian berikutnya oleh Ilfeld dan kawa-kawannya94,
penanganan nyeri postoperatif dan kualitas tidur diamati pada pasien yang
memperoleh terapi opioid oral dan parenteral dengan kontrol analgesik regional
atau saline. Pasien memperlihatkan kontrol nyeri yang efektif dan perbaikan pola
tidur (P<0,5). Pereda nyerinya lebih rendah namun gangguan tidurnya sepuluh
kali lebih tinggi pada kelompok kontrol dengan saline.
Analgesik epidural juga telah terbukti memberikan perbaikan fungsional
yang lebih cepat pada pasien pasca operasi kolon.95 Sementara di rumah sakit,
pasien yang memperoleh terapi opioid epidural ditambah anestesi lokal
memperlihatkan penurunan skor intensitas nyeri dibandingkan yang lain yang
menggunakan morfin PCA intravena. Capdevilla dan teman-temannya96
menemukan hasil yang serupa bahwa blok regional dan analgesik epidural lebih
baik dibandingkan dengan PCA intravena dalam menurunkan nyeri yang
tergantung effort dan memperbaiki fleksi lutut 24 dan 48 jam setelah bedah

25
penggantian total pada lutut. Yang terpenting adalah bahwa perbaikan ini
berlanjut hingga 2 minggu dan 3 bulan setelah perawatan rumah sakit.
Nyeri Persisten
Sebagai usaha untuk mengurangi berkembangnya nyeri persisten, telah
dikembangkan teknik analgesik dan pembedahan yang menurunkan risiko cedera
somatis dan neural sama halnya dengan derajat nyeri akut dan respon stres yang
terkait.40,53,58,97 Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, faktor pembedahan
dan individual tertentu dapat meningkatkan kerentanan pasien untuk menderita
nyeri kronis. Modifikasi teknik pembedahan dapat mengurangi perkembangan dan
beratnya gejala.36,53,57,61 Pada pasien yang berisiko menderita nyeri persisten,
penggunaan prosedur torakoskopi, arthroskopi, dan laparoskopi minimal invasif
harus diperhatikan agar dapat meminimalisir cedera jaringan, stres pembedahan,
dan risiko kerusakan saraf. Ketika melakukan mastektomi dengan diseksi nodus
aksillaris, perhatian harus difokuskan untuk menghindari merusak saraf
97
interkostobrakial yang dapat menimbulkan neuropati lengan atas. Penanganan
anastesi dan analgesik harus memiliki pendekatan preemptif dan multimodal
yang telah terbukti untuk menurunkan intensitas nyeri dan kebutuhan dosis
opioid.90,98-100 (lihat juga Bab 22 sampai 24, Perioperative Ketamine for Better
Postoperative Pain Outcome, Clinical Application of Glucocorticoids,
Antineuropathics and Other Analgesikc Adjuvants for Acute PainManagement
(Anticonvulsants and α2 Agonists), dan Nonpharmacological Approaches for
Acute PainManagement), yang menjelaskan beberapa pendekatan multimodal
untuk penanganan nyeri akut. Pemberian preemptif dan multimodal dari coxibs ,
100
NSAIDs, analgesik antikonvulsan, dan ketamin, seperti halnya tindakan pre-
pembedahan dengan blok saraf, tidak hanya mengurangi intensitas nyeri akut
tetapi juga mengurangi hipersensitifitas luka dan intensitas nyeri residual
beberapa bulan setelah operasi. 36,100-102

Kesimpulan
Respon patofisiologi dan adaptasi perubahan terhadap cedera jaringan
berfungsi untuk mempertahankan hemodinamik, meminimalkan cedera jaringan,

26
dan membantu penyembuhan. Meskipun demikian, respon katekolamin hormonal
dan neural yang serupa membantu penyembuhan pada dewasa muda yang sehat
memperburuk intensitas nyeri, memicu instabilitas kardiovaskuler dan disfungsi
paru dan meningkatkan risiko infeksi pada American Society of Anesthesia high
risk patient. Ahli anestesi telah menjadi spesialis dalam fisiologi dan patofisiologi
nyeri dan memainkan peranan penting dalam penggunaan analgesik multimodal,
regional, dan neuraxial yang efektif. Temuan dari berbagai penelitian secara
random dan metaanalisis menyatakan bahwa analgesik epidural dan regional
lanjutan dapat menurunkan intensitas nyeri, respon simpatoadrenal, dan
komplikasi paru secara bermakna. Meskipun teknik ini lebih mahal,
membutuhkan waktu, secara teknik sulit untuk mengawasi secara ketat,
aplikasinya pada pasien berisiko tinggi telah terbukti menurunkan morbiditas,
mortalitas, dan lamanya perawatan rumah sakit pasca pembedahan.

27

Você também pode gostar