Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENGERTIAN
Menurut Darmanto Djojobiroto (2007:118) bronkietasis merupakan
pelebaran bronkus yang disebabkan oleh kelemahan dinding bronkus yang
sifatnya permanen.
Bronkietaksis adalah penyakit menahun pada bronkus dan bronkieolus,
yang dikarakteristikan oleh dilatasi irreversible percabangan bronchial dan
dihubungkan dengan infeksi menahun dan inflamasi pasase jalan napas ( Jan
Tambayong, 1999:103).
Menurut Hudak dan Gallo : 1997 bronkiektasis berarti suatu dilatasi yang
tak dapat pulih lagi dari bronchial yang disebabkan oleh episode pnemonitis
berulang dan memanjang, aspirasi benda asing, atau massa (mis.
Neoplasma) yang menghambat lumen bronchial dengan obstruksi.
B. ETIOLOGI
Menurut Darmanto Djojobiroto (2007: 118-119) Kelemahan dinding bronkus pada
bronkietasis dapat konginetal ataupun didapat (acquired) yang disebabkan karena adanya
kerusakan jaringan. Bronkietasis konginetal sering dikaitkan dengan adanya destrokardia
dan sinusitis jika keadaan ini hadir bersama (bronkietasis, destrokardia, sinusitis) disebut
sindrom Kartagener. Bronkietasis yang didapat (acquired) sering dikaitkan dengan obstruksi
bronkus. Dilatasi mungkin disebabkan karena kerusakan dinding bronkus akibat
peradangan seperti pada penyakit endobrankial tuberculosis. Adapun pembagian
kongiinetal dan didapat (acquired).
1. Kelainan Kongenital
Individu masih dalam kandungan, faktor genetik atau faktor pertumbuhan
dan perkembangan fetus memegang peran penting ciri-crinya :
a. Mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua paru.
b. Sering menyertai penyakit-penyakit kongenital lainnya.
Kelainan kongenital bersifat : tidak adanya tulang rawan bronkus, penyakit
jantung bawaan, kifos congenital.
2. Kelainan didapat
a. Infeksi paru dan obstruksi bronkus.
b. Aspirasi benda asing, muntahan, atau material yang berasal dari
saluran nafas bagian atas.
c. Tekanan dari tumor, dilatasi pembuluh darah, dan pembesaran limfe.
C. PATOFISIOLOGI
Bronkietaksis (BE) adalah dilatasi abnormal bronkus, pada daerah
proksimal bronkus (diameter > 2 mm) disertai destruksi komponen otot dan
jaringan elastik dinding bronkus yang dapat terjadi secara kongenital ataupun
didapat karena sebab infeksi kronik saluran napas. BE kongenital terjadi pada
bayi dan anak sebagai akibat kegagalan pembentukan cabang-cabang bronkus.
Kerusakan komponen otot dan jaringan elastik dinding bronkus merupakan
respon tubuh terhadap infeksi berupa proses inflamasi yang melibatkan
sitokin, oksida nitrit dan neutrofil protease sehingga terjadi kerusakan pada
jaringan alveolar peribronkial dan selanjutnya terjadi fibrosis peribronkial.
Akhirnya terjadi kerusakan dinding bronkus dan inflamasi transmural
sehingga terjadi dilatasi abnormal bronkus. Pada keadaan ini biasanya
ditemukan gangguan pembersihan sekresi (mucous clearance) pada bronkus
dan cabang-cabangnya. Kegagalan proses pembersihan sekresi menyebabkan
kolonisasi kuman dan timbul infeksi oleh kuman pathogen yang ikut berperan
dalam pembentukan mucus yang purulen pada penderita BE.
Menurut Niluh Gede & Crintantie Effendy (2002:106) Bronkietaksis dapat
terjadi saat adanya infeksi merusakkan dinding bronkial, sehingga akan
menyebabkan hilangnya struktur penunjang dan meningkatnya produksi
sputum kental yang akhirnya akan mengobstruksi bronkus. Dinding secara
permanen menjadi distensi oleh batuk yang berat. Infeksi meluas ke jaringan
peribronkial, pada kondisi ini timbullah saccular bronchiectasis. Setiap kali
dilatasi, sputum kental akan berkumpul dan menjadi abses paru, eksudat
keluar secara bebas melalui bronkus. Bronkiektasis biasanya terlokalisasi dan
mempengaruhi lobus atau segmen paru. Lobus bawah merupakan area yang
paling sering terkena.
Retensi dari sekret dan timbul obstruksi pada akhirnya akan menyebabkan
obstruksi dan kolaps (atelektasis) alveoli distal. Jaringan parut (fibrosis)
terbentuk sebagai reaksi peradangan akan menggantikan fungsi dari jaringan
paru. Pada saat ini kondisi klien berkembang ke arah insufisiensi pernapasan
yang ditandai dengan menurunnya kapasitas vital (vital capacity), penurunan
ventilasi, dan peningkatan rasio residual volume terhadap kapasitas total paru.
Terjadi kerusakan pertukaran gas di mana gas inspirasi saling bercampur
(ventilasi-perfusi imbalance) dan juga terjadi hipoksemia.
D. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Davey (2002:184) gambaran klinis pada bronkiektasis sangat
beragam. Sebagian tanpa gejala atau tanda sama sekali. Gejala klasiknya
berupa batuk kronis dengan produksi sputum mukopurulen (kental & bewarna
hijau) dalam jumlah banyak. Sering disertai bau nafas tak sedap jika terjadi
infeksi sekunder. Hemogenesis terjadi pada 50% pasien pada tahap tertentu.
30-40% pasien mempunyai sinusitis kronis.
1. Bisa terjadi anemia akibat penyakit kronis atau polisimenia, akibat gagal
napas pada penyakit tahap lanjut.
2. Sianosis dan tanda-tanda korpulmonal timbul pada tahap lanjut penyakit
yang sudah menyeluruh.
3. Ronkhi terdengar di area yang terkena, khususnya selama eksaserbasi dan
pada sejumlah pasien tertentu terjadi obstruksi saluran pernapasan dan
mengi.
Gejala dan tanda lainya berhubungan dengan penyakit yang mendasari
(misalnya sianusitis, infertilitas)
Menurut Rahmatulloh : 2006 tanda dan gejala dari bronkiektasis adalah
sebagai berikut :
1. Batuk yang menahun dengan sputum yang banyak, terutama pada pagi
hari, setelah tiduran dan berbaring.
2. Batuk dengan sputum menyertai batuk dan pilek selama 1-2 minggu atau
tidak ada gejala sama sekali.
3. Batuk yang terus menerus dengan sputum yang banyak ±200-300cc,
disertai demam, tidak nafsu makan, penurunan berat badan , anemia, nyeri
pleura, lemah sesak napas, dan sianosis, sputum sering mengandung
bercak darah dan batuk berdarah.
E. KOMPLIKASI
Menurut Davey (2002: 185) komplikasi yang bisa disebabkan oleh
bronkiektasis adalah :
1. Gagal nafas
2. Abses otak akibat penyebaran infeksi secara hematogen.
3. Amiloid, dengan gagal ginjal pada penyakit yang berat dan berlangsung
lama.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Marylin E. Doengoes (2000) pemeriksaan penunjang untuk pasien
bronkiektasis adalah:
1. Pemeriksaan Laboratorium.
a. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum meliputi volume sputum, warna sputum, sel-sel
dan bakteri dalam sputum. Bila terdapat infeksi volume sputum akan
meningkat, dan menjadi purulen dan mengandung lebih banyak
leukosit dan bakteri. Biakan sputum dapat menghasilkan flora normal
dari nasofaring, streptokokus pneumoniae, hemofilus influenza,
stapilokokus aereus, klebsiela, aerobakter,proteus, pseudomonas
aeroginosa. Apabila ditemukan sputum berbau busuk menunjukkan
adanya infeksi kuman anaerob.
b. Pemeriksaan darah tepi.
Biasanya ditemukan dalam batas normal. Kadang ditemukan adanya
leukositosis menunjukkan adanya supurasi yang aktif dan anemia
menunjukkan adanya infeksi yang menahun.
c. Pemeriksaan urine
Ditemukan dalam batas normal, kadang ditemukan adanya proteinuria
yang bermakna yang disebabkan oleh amiloidosis. Imunoglobulin
serum biasanya dalam batas normal kadang bisa meningkat atau
menurun.
d. Pemeriksaan EKG
EKG biasa dalam batas normal kecuali pada kasus lanjut yang sudah
ada komplikasi korpulmonal atau tanda pendorongan jantung.
e. Spirometri
Spirometri pada kasus ringan mungkin normal tetapi pada kasus berat
ada kelainan obstruksi dengan penurunan volume ekspirasi paksa 1
menit atau penurunan kapasitas vital, biasanya disertai insufisiensi
pernafasan yang dapat mengakibatkan :
1) Ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi.
2) Kenaikan perbedaan tekanan PO2 alveoli-arteri.
3) Hipoksemia.
4) Hiperkapnia.
f. Foto dada PA dan Lateral
Biasanya ditemukan corakan paru menjadi lebih kasar dan batas-batas
corakan menjadi kabur, mengelompok,kadang-kadang ada gambaran
sarang tawon serta gambaran kistik dan batas-batas permukaan udara
cairan. Paling banyak mengenai lobus paru kiri, karena mempunyai
diameter yang lebih kecil kanan dan letaknya menyilang
mediastinum,segmen lingual lobus atas kiri dan lobus medius paru
kanan.
g. Pemeriksaan Bronkografi
tidak rutin dikerjakan namun bila ada indikasi dimana untuk
mengevaluasi penderita yang akan dioperasi yaitu penderita dengan
pneumoni yang terbatas pada suatu tempat dan berulang yang tidak
menunjukkan perbaikan klinis setelah mendapat pengobatan
konservatif atau penderita dengan hemoptisis yang pasif. Bronkografi
dilakukan setelah keadaan stabil, setelah pemberian antibiotik dan
postural drainage yang adekuat sehingga bronkus bersih dari sekret.
(Marylin E doengoes, 2000)
G. PENATALAKSANAAN
Berhenti merokok tujuannya adalah untuk menyingkirkan sepsis kronis.
Drainase postural 2x sehari akan membantu mengosongkan jalan nafas yang
melebar dan menurunkan frekuensi infeksi lebih lanjut. Bronkodilator
seringkali membantu memeprbaiki pembersihan sputum. Antibiotik, seperti
untuk bronkitis akut, diberikan untuk infeksi akut dan eksaserbasi. Pengobatan
tidak akan diberikan jika tanpa gejala.
Tampaknya tak pernah ada indikasi bedah kecuali terjadi perdarahan yang
tak terkendali karena penyakit jarang terbatas pada slh satu atau kedua segmen
paru. Pasien denga penyakit yang berat bisa mengalami gagal napas
(Rubenstein : 284).
H. PATHWAYS KEPERAWATAN
J. PENGKAJIAN BERDASARKAN KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN
SESUAI SEKENARIO
Tn. Danuri umur 43 tahun dirawat diruang Anyelir dengan diagnose medis
bronchiectasis, saat dilakukan pengkajian pasien mengatakan sudah sering
sakit pru – paru sejak 2,5 tahun yang lalu, pasien sering batuk berlendir dan
kadang mengandung darah, sering mengalami keletihan saat melakukan
aktifitas. Pasien mengatakan kesulitan saat bernafas seperti ada yang
menghalangi jalan nafas, pasien terlihat gelisah, dan terlihat adanya
penggunaan otot bantu nafas, tampak kontraksi pada otot abdomen saat
inspirasi. Inspeksi terlihat bentuk dada barrel chest, auskultasi suara nafas
terdapat adanya ronchi, pasien terlihat lemah dan nafsu makan menurun
karena terasa mual. Pasien mengatakan merokok sejak umur 16 tahun. Saat ini
merokok rata – rat 10 batang/ hari. Pada pemeriksaan oksimetri didapatkan Sa
O2 80% RR; 24X/mnt Nadi; 88X/mnt Suhu 37,8oC Tekanan darah; 160/95
mmHg. Keluarga mengatakan Tn D sudah sering dirawat di Rumah Sakit,
terakhir dirawat dirumah sakit C dengan penyakit Radang saluran nafas bagian
bawah.
1. Identitas Klien
Nama : Tn Danuri
Usia : 43 Tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
2. Keluhan Utama :
a. Pasien sering batuk berlendir dan kadang mengandung darah.
b. Sering mengalami keletihan saat beraktivitas.
c. Kesulitan saat bernafas seperti ada yang menghalangi jalan nafas.
3. Riwayat Kesehatan
a. Kesehatan sekarang
b. Dirawat di ruang Anyelir dengan diagnosa medis Bronchiektasis
4. Kesehatan Dahulu
a. Keluarga mengatakan Tn D sudah sering dirawat di RS terakhhir
dirawat di RS C dengan penyakit radang saluran nafas bagian bawah.
5. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi terlihat bentuk dada barrel chest
b. Auskultasi suara nafas terdapat adanya ronchi.
c. TTV Sa O2 : 80%
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan
napas: mukus berlebihan.
2. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan faktor biologis: mual, muntah, anoreksia.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi.
4. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan
5. Hipertermi berhubungan dengan
INTERVENSI RASIONAL
(NIC)
O : Observasi
1. Auskultasi suara nafas, catat hasil 1. Memonitor kepatenan jalan
penurunan daerah ventilasi atau tidak napas.
adanya suara adventif. 2. Memonitor respirasi dan
2. Monitor pernapasan dan status keadekuatan oksigen.
oksigen yang sesuai. 3. Melihat apakah ada obstruksi di
3. Catat pergerakan dada, simetris atau salah satu bronkus atau adanya
tidak, menggunakan otot bantu gangguan pada ventilasi.
pernafasan.
N : Tindakan Keperawatan
1. Posisikan pasien semi fowler. 1. Untuk memaksimalkan potensial
ventilasi.
E : Edukasi
1. Pertahankan perilaku tenang, bantu 1. Membantu klien mengalami efek
pasien untuk kontrol diri dengan fisiologi hipoksia, yang dapat
menggunakan pernapasan lebih dimanifestasikan sebagai
lambat dan dalam. ketakutan/ansietas.
C : Kolaborasi
1. Kolaborasi dalam pemberian terapi 1. Meningkatkan ventilasi dan
oksigen. asupan oksigen.