Você está na página 1de 13

TUGAS MATA KULIAH TEKNIK LALU LINTAS

Nama : Nada Bilqisa Ivanya


NIM : 4115110006
Kelas : 2 – PJJ Konsentrasi Jalan Tol

Pengajar : Dr. sc. H. Zainal Nur Arifin, Dipl-Ing. HTL, M.T.

Teknik Sipil
Perancangan Jalan dan Jembatan – Konsentrasi Jalan Tol

POLITEKNIK NEGERI JAKARTA


Jl. Prof. Dr. G.A Siwabessy, Kampus Baru UI Depok 16424
Telp : +6221 7270044 Fax : (021) 7270034
Website: http://www.pnj.ac.id
Rekayasa Lalu Lintas di Kuta, Apakah Sebuah Cara?
Oleh : I Putu Putra Jaya Wardana.SE.M.Tr
(Dosen Teknik Univ.Mahendradatta Bali)

Transportasi adalah proses pergerakan orang atau barang dari satu lokasi ke lokasi lainnya.
Kebutuhan terhadap transport terbentuk karena adanya pemenuhan kebutuhan untuk agenda
tertentu (bekerja, belanja, distribusi barang, acara adat, dsb) salah satu contoh provinsi Bali yang
memiliki adat dan budaya yang masih kuat.

Jalan raya merupakan prasarana untuk mempermudah pencapaian tujuan pergerakan baik
orang maupun barang, diimbangi dengan sarana untuk mendukung proses pergerakannya.

Bali khususnya daerah Badung merupakan sentral kawasan industri pariwisata yang sangat
tinggi agenda kegiatannya. Tidak hanya masyarakat yang tinggal saja melainkan agenda kegiatan
dilakukan oleh wisatawan asing maupun lokal yang berkunjung kesana, dan jumlah
kunjungansnya pun sangat tinggi.

Untuk menanggulangi hal ini tentu perlu peran kepolisian untuk mengatur sistem lalu lintas
jalan berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No 96 Tahun 2015 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kegiatan Manajemen dan Rekayasa Lalu-lintas.

Namun sekarang apa upaya dari instansi yang terkait membuat sistem transportasi yang
optimal agar permasalahan transportasi yang terjadi dapat terselesaikan dan
dapat mengembangkan sistem transportasi yang sutainable?

Menangulangi permasalahan lalu lintas yang padat tersebut Polda Bali khususnya bidang
lalu-lintas bersama Dinas Perhubungan Badung membuat sistem perubahan arus lalu-lintas di
wilayah Kuta-Badung yang tentunya bertujuan untuk mengurangi kemacetan dan parkir
sembarangan yang kerap menggangu kenyamanan berlalu-lintas.

Dalam PM No 96 Tahun 2015 pasal 2 tentunya tupoksi polisi berada dalam level
pengaturan dan pengawasan.
Seharusnya pemerintah Badung harus cepat tanggap akan permasalahan yang terjadi di
daerahnya. Salah satu contoh perbaikan prasarana jalan yang mengganggu kenyamanan berlalu-
lintas tiada lain bukan tupoksi dari level kepolisian, karena sudah mempunyai tugas dan
kewajibannya masing-masing. Diharapkan instansi yang terkait mampu berkomunikasi dengan
instansi lainnya agar permasalahan dapat diatasi.

Untuk mengoptimalkan sistem perubahan arus lalu-lintas di wilayah Kuta dan sekitarnya
tersebut Polda Bali harus tetap sering mensosialisasikan dengan tampilan yang mudah dimengerti
oleh masyarakat pengguna kendaraan bermotor, khususnya wisatawan yang berkunjung ke Bali
dalam mengenal rute-rute baru sampai dengan sangsi yang akan diterima bila terjadi pelanggaran.

Diharapkan Kepolisian Daerah Bali khususnya Bidang Lalu-lintas selalu berkoordinasi


dengan instansi yang terkait agar rekayasa lalu-lintas ini sesuai dengan perencanaan yang bersifat
jangka panjang tidak hanya untuk kondisi eksisting saat ini.

Catatan :

Diharapkan ada sebuah lembaga khusus dan fokus yang bergerak di bidang transportasi,
sehingga dapat membantu instansi baik dari Perhubungan dan Kepolisian dari sisi
perencanaan hingga pengawasan untuk sistem transportasi yang tepat, baik dan
berkelanjutan.
STRATEGI DAN MANAJEMEN LALU LINTAS KOTA-KOTA
DI INDONESIA
Oleh : Ibrahim Aji
(kompasiana.com)

Permasalahan transportasi di kota-kota yang ada di Indonesia saat ini tidak terlepas dari
pembangunan nasional yang berkembang pesat. Perubahan suatu kota dari kota agraris menjadi
industri ataupun dari kota metropolitan menjadi megapolitan membuat perubahan juga terhadap
sistem transportasi yang dipakai di kota tersebut. Perubahan suatu kota ini meningkatkan
pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor dengan sangat cepat tetapi dalam hal peningkatan
pertumbuhan jalan baru sangat lambat. Contohnya saja di Jakarta yang setiap tahun pertumbuhan
jalan kurang dari 1% tetapi pertumbuhan kepemilikan mobil sebesar 5% per tahun. Perbandingan
supply dan demand yang tidak seimbang ini membuat kasus kemacetan menjadi hal yang biasa
terjadi di kota-kota. Sehingga untuk mengatasi kemacetan maka diperlukan manajemen lalu lintas
dimana prinsip manajemen lalu lintas yaitu mempertahankan semaksimal mungkin jalan yg ada,
tetapi melakukan perubahan terhadap pola pergerakan lalu lintas pada jalan tersebut, sehingga
pemanfaatan sistem pergerakan lalu lintas dapat seefesien mungkin. Selanjutnya akan dijelaskan
masalah yang terjadi di kota dan solusinya menggunakan strategi dan manajemen lalu lintas.

Strategi dalam manajemen lalu lintas ada 3, yaitu manajemen prioritas, kapasitas, dan
permintaan. Dalam 3 strategi ini terdapat banyak teknik untuk mengatasi masalah dari berbagai
sisi. Namun, di essay ini akan dibahas teknik apa yang dapat diterapkan di kota-kota di Indonesia.

1. Jalur prioritas bagi kendaraan tertentu.

Penggunaan ruang jalan saat ini tidak efisien dimana terjadi mix traffic sehingga memberikan
dampak negatif seperti speed blocking yang dilakukan oleh angkutan umum yang berhenti
sembarangan atau perilaku pengendara sepeda motor yang umumnya berpindah-pindah lajur
sehingga mengganggu pengguna kendaraan lainnya. Untuk mengatasi hal ini diperlukan suatu
jalur khusus bagi masing-masing kendaraan. Di Jakarta, sudah dibangun Busway, dimana bus
mempunyai jalur tersendiri yang dipisahkan oleh median dengan jalur kendaraan lainnya. Jalur ini
bertujuan agar ruang jalan tidak terganggu oleh kendaraan lain sehingga bus memiliki ketepatan
jadwal dan headway yang tinggi. Hal ini juga dapat diterapkan untuk kendaraan lainnya, misalnya
jalur khusus sepeda motor. Mengingat pertumbuhan sepeda motor sangat tinggi, maka jalur ini
tepat diterapkan di suatu kota agar tidak terjadi konflik dengan kendaraan lainnya. Dalam hal ini,
dimisalkan suatu jalur mempunyai 4 lajur, maka lajur 1 dipakai untuk sepeda motor, lajur 2 dipakai
untuk kendaraan lain dengan kecepatan rendah, lajur 3 dipakai untuk kendaraan lain untuk
mendahului, dan lajur 4 dipakai untuk bus. Dalam prakteknya, masih diperlukan kajian lebih lanjut
di masing-masing ruas jalan karena masih banyak angkutan umum selain bus (angkot, mikrolet)
yang memiliki trayek tumpang tindih sehingga pemisalan diatas harus dikaji ulang.

2. Jalur prioritas bagi pejalan kaki

Di suatu kota seringkali fasilitas untuk pejalan kaki tidak diberikan sebagaimana mestinya.
Padahal di UU 22 tahun 2009 telah dijelaskan mengenai hak pejalan kaki dalam berlalu lintas
dimana tersedianya fasilitas untuk pejalan kaki. Seperti yang kita rasakan sekarang berjalan kaki
seperti mengadu dengan maut, maksudnya peluang kecelakaan yang tinggi karena tiadanya trotoar
sehingga menimbulkan kekhawatiran tersendiri untuk berjalan kaki. Padahal pejalan kaki juga
merupakan bentuk transportasi yang penting di perkotaan dan pejalan kaki berada di posisi yang
lemah jika bercampur dengan kendaraan. Sehingga memisahkan pejalan kaki terhadap kendaraan
bermotor, tanpa mengganggu aksesibilitas sangat penting. Fasilitas pejalan kaki dibutuhkan di
tempat yang memiliki aktivitas kontinyu seperti pasar atau daerah yang memiliki demand tinggi
seperti sekolah dan masjid. Selain itu untuk mendukung peningkatan pelayanan angkutan umum
maka diperlukan fasilitas pejalan kaki di rute-rute yang biasa dilalui angkutan umum. Selain dari
fasilitas menyusuri, yaitu trotoar diperlukan fasilitas pada menyeberang. Seringkali kita lihat
banyak orang yang menyeberang sembarangan dan membahayakan dirinya padahal disitu terdapat
fasilitas jembatan penyeberangan. Selain dari faktor kedisiplinan pejalan kaki, faktor pemilihan
jenis penyeberangan juga harus diperhatikan. Melalui survey pejalan kaki, dengan menghitung
volume penyeberang dan volume kendaraan per jam dapat diketahui jenis penyeberangan apa yang
paling tepat untuk ruas jalan tersebut. Setelah itu, diperhitungkan pula akses menuju tempat yang
demandnya lebih tinggi maka itu menjadi prioritas dibuat suatu penyeberangan dengan asumsi
penyeberangan tersebut lebih terasa manfaatnya dan memiliki permintaan yang tinggi sehingga
faktor keselamatan dan ketertiban lalu lintas bisa lebih baik.

Di Jakarta, contohnya di kawasan Monumen Nasional sudah dibuat trotoar yang sangat baik
dengan tingkat pelayanan A dimana pejalan kaki bebas bergerak tanpa ada gangguan dari pejalan
kaki lainnya. Selain itu contoh dari jembatan penyeberangan yang menuju shelter busway juga
sudah baik dimana jembatan tersebut memperhatikan aspek kenyamanan penyeberang seperti
kelandaian yang cukup dan memperhatikan penyandang cacat dimana tidak dipakai anak tangga
yang seringkali menyulitkan penyandang cacat untuk menyeberang.

3. Pengendalian simpang

Persimpangan sering menjadi tempat terjadinya kemacetan karena terjadi konflik dari
pertemuan arus dari berbagai arah di persimpangan. Kemacetan semakinmeningkat ketika peak
hour dimana volume kendaraan meningkat pesat. Contoh yang nyata terjadi di persimpangan
Kalimalang Bekasi. Dimana ketika peak hour sore, sekitar jam 17.00-19.00 simpang ini tidak
mampu memenuhi demand yang sangat tinggi sehingga seringkali macet total dimana kendaraan
sama sekali tidak bisa bergerak terjadi. Masalah di simpang ini, menurut saya karena tidak
tegaknya aturan kelas jalan sebagaimana mestinya. Angkutan barang melintas pada ruas jalan Raya
Setu bukan pada kelas jalan yang sesuai. Apalagi ditambah simpang Kalimalang ini merupakan
simpang prioritas dan stagerkemudian diperparah dengan konflik weaving (menyilang) dari
persimpangan Kalimalang dari Jalan Raya Setu ke persimpangan menuju Kampung Utan. Ketika
kemacetan total terjadi, kemacetan tersebut berpengaruh di persimpangan lainnya yaitu di
persimpangan di Tol Barat Bekasi, sehingga harus ada tindakan lebih lanjut dengan permasalahan
ini. Dengan masalah yang begitu kompleks, strategi yang dapat dipakai sebagai berikut:

a. Meningkatkan kapasitas simpang dengan memperlebar mulut simpang, hal ini


dilakukan karena seringkali angkutan barang yang membelok mempunyai radius
yang besar sehingga mengganggu kendaraan yang berlawanan arah selain itu
karena arus belok kiri yang besar maka dapat diminimumkan titik konflik yang
terjadi.
b. Pengalihan rute angkutan barang, angkutan barang di jalan ini memberi dampak
negatif berupa speed blocking yang menurunkan kecepatan kendaraan dan dampak
terhadap lingkungan khususnya rusaknya jalan akibat overloading dan tonase yang
tidak sesuai kelas jalan. Jika aksesibilitas terhadap rute selain rute ini sulit, maka
harus ada peningkatan kelas jalan terhadap angkutan barang yang melalui jalan ini.
hal ini harus dilakukan mengenai begitu banyaknya dampak negatif dari
permasalahan ini sehingga harus dilakukan perubahan dalam sistem manajemen
lalu lintasnya.
c. Pembuatan marka prioritas, marka menjadi begitu penting agar pengguna
kendaraan bermotor mengetahui bahwa simpang itu merupakan prioritas dan tidak
seenaknya. Seringkali perilaku pengendara yang egois tidak mau mengalah untuk
memberikan prioritas pada kendaraan lain. Hal ini juga harus diatur oleh polisi lalu
lintas yang bertindak sebagai pengawas. Tidak harus dijaga selama 24 jam tetapi
dijaga ketika Peak Hour, yaitu ketika pagi dan sore sehingga kelancaran dan
ketertiban lalu lintas bisa dijaga.
4. Penerapan Transport demand

Management Transport demand management bertujuan untuk mengendalikan jumlah


perjalanan sehingga jumlah perjalanan dapat diminimumkan dan untuk meningkatkan penggunaan
angkutan umum melalui berbagai teknik transport demand management. Dengan kata lain, TDM
tidak melarang orang untuk memiliki kendaraan tetapi membatasi penggunaannya. Implementasi
TDM untuk kota di Indonesia antara lain:

a. Manajemen Parkir, parkir selalu menjadi masalah untuk parkir on street yang
memiliki konflik dengan arus lalu lintas kendaran dan untuk parkir off street ketika
supply tidak memenuhi demand yang ada. Dalam TDM, manajemen untuk parkir
di perkotaan yaitu:
 Tarif Progressif;
 Pengurangan ruang parkir;
 Pembatasan waktu parkir.
b. Penerapan road congestion pricing, kemacetan adalah hilangnya nilai waktu dan
biaya yang berdampak langsung pada biaya yang harus dikeluarkan karena
kerugian tersebut. Di kota London, walikota London Ken Livingston
memperkenalkan biaya kemacetan London sebagai upaya untuk mengatasi
kemacetan di London, dimana pengendara harus membayar atas kontribusi
kemacetan yang dibuatnya. Metode ini bisa dilakukan di kota-kota Indonesia,
asalkan tersedia jaringan jalan dengan banyak alternatif sehingga tidak
menimbulkan kontra di masyarakat. Maksudnya agar metode ini dipatuhi oleh
masyarakat maka pemerintah harus membangun prasarana yang memang memadai
dan merencanakan jaringan jalan untuk jalur alternatif menghindari kemacetan.

Teknik yang dijelaskan diatas merupakan sedikit dari berbagai teknik dalam manajemen
lalu lintas. Penggunaan teknik ini harus disesuaikan dengan kondisi lalu lintas yang terdapat di
masing-masing kota. Selain itu, peran pemerintah sebagai regulator dan polisi sebagai pengawas
harus ditegakkan perannya. Suatu perubahan pada awalnya pasti bersifat memaksa, sehingga
diperlukan pengawasan terlebih dahulu agar pengguna kendaraan dapat mematuhi peraturan yang
dibuat, setelah itu sekiranya sudah mematuhi maka pengawasan dapat dikurangi. Melakukan
sosialisasi juga sangat penting agar masyarakat mengetahui peraturan baru yang akan diterapkan.
Dengan tujuan efisiensi, maka penerapan strategi manajemen lalu lintas diharapkan dapat
mengurangi permasalahan yang terjadi di kota-kota di Indonesia.
PEMBENAHAN REKAYASA LALU LINTAS DALAM
MANAJEMEN MUDIK
Oleh : Bortiandy Tobing, S.T., M.M.T.
(Senior Consultant – Supply Chain Indonesia)

Macet sangat panjang di pintu tol Brebes Timur yang mengular hingga Tol Kanci pada
mudik Lebaran 2016 serta adanya korban jiwa sebanyak 12 orang telah menjadi topik utama dan
menjadi bahan kritik dari berbagai pihak kepada pemerintah dalam melaksanakan manajemen
mudik. .
Kegiatan mudik pada perayaan hari keagamaan, khususnya Lebaran di Indonesia sudah
menjadi tradisi sejak lama. Tradisi mudik secara tidak langsung difasilitasi oleh pemerintah sejak
tahun 2002, melalui SKB 2 Menteri tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama. Volume arus
mudik terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun, hal ini tidak diimbangi dengan peningkatan
infrastruktur, khususnya jalan raya.
Program dan fasilitas mudik gratis yang dilakukan oleh pemerintah dan pihak swasta
ternyata tidak berdampak signifikan terhadap pengurangan penggunaan kendaraan pribadi, baik
mobil maupun sepeda motor. Kebebasan dalam menentukan jam keberangkatan, titik istirahat, dan
mobilitas selama di daerah tujuan merupakan pertimbangan utama sebagian besar pemudik untuk
tetap menggunakan kendaraan pribadi. Hal ini tentu berbeda dengan perilaku pemudik di luar Jawa
yang karena keterbatasan waktu dan jarak harus menggunakan moda transportasi udara atau laut.
Kegiatan mudik semestinya dikelola secara baik, mencakup perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan perbaikan (Plan, Do, Check, Action/PDCA) untuk memberikan kelancaran dan
kenyamanan dalam arus migrasi masyarakat terkait perayaan hari raya keagamaan. Kinerja
pengelolaan atau manajemen mudik dapat diukur melalui tujuh indikator, yaitu:
1. Ketersediaan logistik (sembako, uang kontan, BBM, dll.).
2. Kesiapan infrastruktur (jalan, bandara, pelabuhan, stasiun KA, terminal,
telekomunikasi, dll.).
3. Ketersediaan moda transportasi umum (kereta api, pesawat terbang, kapal laut, bis, dan
taksi).
4. Kesiapan aparat terkait, termasuk koordinasi lintas kementerian, lembaga, dan
pemerintah daerah.
5. Crisis center (layanan keluhan masyarakat, dll.).
6. Keamanan dan keselamatan.
7. Stabilisasi harga (termasuk harga tiket transportasi).
Manajemen mudik oleh pemerintah telah berjalan semakin membaik. Hal ini dapat dilihat
dari ketersediaan logistik dan infrastruktur untuk arus mudik, regulasi untuk angkutan barang, dan
berbagai hal lainnya yang dipersiapkan oleh pihak-pihak terkait.
Berkaitan dengan kemacetan tersebut, pengaturan lalu lintas, khususnya mengenai
kemacetan, telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Menteri Perhubungan
(Permenhub) mengenai Rekayasa Lalu Lintas (PP 43/1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas
Jalan) yang disempurnakan dengan UU 22/2009 dan PP 32/2011. Kemudian peraturan ini
dilengkapi lagi dengan pedoman pelaksanaan melalui Permenhub 96/2015 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kegiatan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas.

Pembenahan Rekayasa Lalu Lintas


Berdasarkan PP 32/2011, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas adalah serangkaian usaha
dan kegiatan yang meliputi perencanaan, pengadaan, pemasangan, pengaturan, dan pemeliharaan
fasilitas perlengkapan jalan dalam rangka mewujudkan, mendukung, dan memelihara keamanan,
keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas.
Dalam kenyataannya, setelah 23 tahun sejak terbitnya PP 43/1993, kemacetan selalu
menjadi permasalahan yang rutin ditemui khususnya pada saat mudik dan berbagai pihak
menjadikan hal ini sebagai bahan untuk menyalahkan pemerintah tanpa berupaya memberikan
solusi. Manajemen dan rekayasa lalu lintas masih sebatas “mengurai kemacetan” bukan
“mencegah kemacetan”. Hal ini terlihat dari pelaksanaan konsep “buka tutup jalan” selama ini,
misalnya saat liburan di daerah Puncak Bogor, Jawa Barat, dan saat arus mudik di daerah Nagreg,
Jawa Barat.
Akar penyebab kemacetan ini adalah penyempitan jalur kendaraan (bottle neck), terutama
pertemuan dari beberapa jalur dan gerbang tol. Penyelesaian masalah bottle neck hanya dapat
dilakukan dengan meningkatkan kecepatan layanan atau aliran pada jalur yang menyempit. Untuk
itu, manajemen dan rekayasa lalu lintas harus memiliki teknik dan cara yang mampu
mengantisipasi kemacetan secara dini (early warning) agar dapat diambil tindakan awal untuk
mencegah terjadinya kemacetan akibat keterlambatan penanganan.

Pada Lampiran I Permenhub PM 96/2015 Bab II.D disebutkan bahwa tingkat pelayanan
pada ruas jalan diklasifikasikan dalam enam kategori (Tingkat Layanan A hingga F) dengan
penjelasan yang cukup jelas dan macet termasuk kategori Tingkat Layanan F.

Mengacu pada kategori tingkat layanan tersebut, maka langkah pembenahan yang dapat
dilakukan dalam manajemen dan rekayasa lalu lintas adalah:

1. Penentuan titik pantau kepadatan kendaraan


Penentuan titik pantau kepadatan kendaraan (volume kendaraan per satuan waktu) yang
informasinya dikirimkan kepada petugas di jalur penyempitan, sehingga dapat dilakukan
rekayasa/antisipasi yang tepat, sesuai dengan standar Tingkat Layanan. Titik pantau ini sebagai
sumber informasi potensi Tingkat Layanan A hingga F.

2. Penetapan batas kecepatan maksimum dan batas kecepatan minimum


Penetapan batas kecepatan maksimum untuk setiap kendaraan yang melaju di jalur
kedatangan serta batas kecepatan minimum di jalur penyempitan. Batas kecepatan minimum di
jalur penyempitan harus lebih tinggi daripada batas kecepatan maksimum di jalur kedatangan.

3. Penetapan tingkat kepadatan ruas jalur penyempitan


Langkah ini merupakan tindak lanjut dari hasil pengukuran pada titik pantau. Untuk
Potensi Tingkat Layanan F, misalnya, tingkat kepadatan jalur penyempitan adalah nol atau ruas
jalur penyempitan dalam kondisi steril. Dalam hal ini, harus dipersiapkan skenario jalur alternatif
untuk seluruh kendaraan lokal yang berada di luar jalur utama.

4. Pembatasan usia kendaraan


Untuk mendukung penerapan batas kecepatan minimum, pemerintah harus melakukan
kajian terhadap batas usia kendaraan yang layak dan mampu melaju di atas batas kecepatan
minimum tanpa masalah (mogok).
Langkah yang serupa juga harus dilakukan oleh Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT) dan
operator jalan tol untuk mengatasi kemacetan yang terjadi pada jalan tol, khususnya dalam
memutuskan pelaksanaan contra-flow serta pemasangan separator di jalur cepat, bagi kendaraan
yang jalan terus (tidak singgah ke rest area) dan berbagai strategi lainnya.
Tidak dapat diabaikan, penyebab utama dari situasi macet yang parah di musim mudik
selama ini adalah perilaku pemudik yang menggunakan kendaraan pribadi, agar memiliki
kebebasan dalam menentukan jam keberangkatan serta waktu dan lokasi perhentian.
Perilaku pemudik inilah yang menimbulkan lonjakan volume kendaraan. Ketidaknormalan
ini bersifat tidak pasti (uncertainty factor) dan hanya bisa diprediksi berdasarkan
perhitungan/pengukuran aktual. Perilaku pemudik ini juga yang mengakibatkan pengembangan
transportasi umum berbasis multimoda serta program mudik gratis tidak akan berdampak
signifikan. Dibutuhkan waktu yang lama dan proses rekayasa sosial untuk mengubah perilaku
pemudik ini.
Keempat langkah di atas tidak dapat dipisah-pisahkan dan harus dilakukan oleh seluruh
pihak yang terlibat di pemerintahan, dari pemerintah pusat hingga daerah. Untuk menjamin
efektivitas keempat langkah ini, pemerintah harus melakukan simulasi secara berkala dengan
menggunakan berbagai skenario yang relevan. Dengan penerapan keempat langkah ini, maka
permasalahan kemacetan panjang pada saat mudik akan dapat diminimalisasi.
Kemacetan luar biasa pada arus mudik Lebaran 2016 memang tidak dapat diabaikan, akan
tetapi sesungguhnya tidak dapat dijadikan parameter buruknya kinerja pemerintah dalam
manajemen mudik tahun 2016. Pembenahan manajemen dan rekayasa lalu lintas secara terencana
dan terpadu mutlak dibutuhkan untuk perbaikan sistem transportasi Indonesia.
Kepadatan Lalu Lintas Butuh Manajemen Rekayasa Lalu Lintas
Oleh : Ahmad Imam Baehaqi
(Kabar Cirebon)

Sejumlah ruas jalan Kota Cirebon kerap terjadi kepadatan arus lalu lintas terutama di jam-
jam sibuk. Yakni, saat pagi pukul 06.00 WIB hingga pukul 08.00 WIB, siang pukul 12.00 WIB
hingga pukul 14.00 WIB dan sore hari pukuk 16.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB. Jalan Tuparev,
Cipto Mangunkusumo, Pekiringan, Kanoman, Kartini dan Slamet Riyadi menjadi langganan titik
kepadatan arus lalu lintas di jam tersebut. Selain itu, di titik lokasi sekolah-sekolah dan perguruan
tinggi pun pada saat jam masuk dan pulang terjadi kepadatan lalu lintas. Seperti di Jalan Wahidin
yang terdapat SMPN 5 Cirebon, SMAN 1 dan SMAN 6 Cirebon. Kemudian, di Jalan Cipto
Mangunkusumo yang merupakan lokasi SMKN 2 Cirebon, SMAN 2 Cirebon dan SMP – SMA
Penabur. Selanjutnya Jalan Pemuda yang merupakan lokasi SMPN 4 Cirebon dan Unswagati
Cirebon.

Jalan Siliwangi pun tidak luput lantaran menjadi lokasi SMPN 1 Cirebon dan SMPN 2
Cirebon. Sementara itu, SD Kartini di Jalan Kartini dan SD Kebon Baru di Jalan Veteran pun
masuk dalam kategori titik padat lalu lintas. Selain itu, titik kepadatan lalu lintas juga terjadi pada
perlintasan sebidang kereta api dan jalan. Yakni, perlintasan Krucuk, Kartini, Tentara Pelajar,
Lawanggada, Kesambi Dalam, dan Pangeran Derajat. Sementara, saat akhir pekan sebagian besar
ruas jalan protokol di wilayah Kota Cirebon menjadi langganan padatnya arus lalu lintas. Dari
mulai Jalan Tuparev, Kartini dan Cipto Mangunkusumo tak luput dari padatnya kendaraan yang
melintas.

Dinas Perhubungan Kota Cirebon pun melakukan berbagai upaya untuk mengatasi
kepadatan lalu lintas di berbagai titik yang tersebar di Kota Cirebon itu. Tentunya, dengan
melibatkan pihak lainnya seperti kepolisian.

“Upaya yang dilakukan sesuai kewenangan UU nomor 22 tahun 2009 tentang LLAJ. Untuk
pengaturan dan penjagaan dilakukan kepolisian dibantu Dishub. Terutama pada titik rawan macet
baik secara statis maupun patroli,” kata Kabid Lalu Lintas Dishub Kota Cirebon, Syahroni, Selasa
(18/4/2017).

Namun, ia mengatakan, belum dilakukan strategi manajemen dan rekayasa lalu lintas lain
seperti perubahan satu arah, tidal flow, prioritas angkutan massal, pembatasan sepeda motor atau
lainnya. Sebab, menurutnya, nilai rasio volume per kapasitas (v/c ratio) rata-rata masih di bawah
0,8.

“Kalau ukurannya sudah mencapai di atas 0,8 v/c ratio, ini harus dilakukan rekayasa
pelebaran jalan ataupun manajemen lalu lintas. Pilihannya tergantung karakteristik lalu lintas dan
kebijakannya,” ujarnya.

Namun, menurut dia, upaya manajemen rekayasa lalu lintas ukuran v/c ratio berapapun
selalu dilakukan. Sebab, situasional lalu lintas selalu berubah setiap saat.

Você também pode gostar