Você está na página 1de 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan industri semen di Indonesia yang tumbuh pesat,
selain berdampak positif bagi pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat,
juga berdampak negatif terhadap kesehatan, karena berpotensi
menimbulkan pencemaran lingkungan, misalnya asap dan debu dari
industri yang dapat mencemari udara. Pencemaran udara oleh partikel
halus dalam bentuk debu, asap dan uap air dapat menurunkan kualitas
lingkungan yang pada gilirannya menurunkan kualitas hidup masyarakat
di sekitar kawasan industri tersebut.
Masalah pencemaran udara oleh partikel padat yang berdiameter
kurang dari 10 µm di luar rumah (biasa disebut PM10 (particulate matter))
diyakini oleh para pakar lingkungan dan kesehatan masyarakat sebagai
pemicu timbulnya infeksi saluran pernafasan, karena partikel padat PM10
dapat mengendap pada saluran pernafasan daerah bronki dan alveoli. Oleh
karena itu perlu dilakukan pemantuan kualitas udara di sekitar sentral
industri secara kontinyu dan tekoordinasi dengan penguasa kawasan
industri setempat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 41 tahun
1999 tentang pengendalian pencemaran udara yang lebih ketat yaitu baku
mutu udara ambien nasional untuk PM10 sebesar 150 µg/m3 (24 jam).
Menurut Setiawan (1992), penyakit batuk, sakit tenggorokan,
bronkitis, emphysema paru, dan kanker paru merupakan manifestasi
penyakit saluran pernafasan akibatnya ada pemajanan terhadap pencemar
udara secara terus-menerus dan berlangsung cukup lama. Pencemaran
udara dari industri, asap kendaraan, dan debu tua dalam ruangan adalah
salah satu penyebab infeksi saluran pernafasan atas (ISPA). Dirjen PPM
dan PLP Departemen Kesehatan memperkirakan 150.000 balita per tahun
meninggal akibat ISPA. Kualitas udara menjadi kajian para pakar
lingkungan semenjak kasus kabut (fog) London tahun 1952 dengan

1
konsentrasi partikel yang berdiamater 2 µm mengakibatkan kematian
4.000 orang selama 4 dan 5 hari.
Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan (1995), dalam profil
Kesehatan Nasional, dan Dinas Kesehatan Jawa Barat (1996), dalam profil
Kesehatan Jawa Barat ternyata penyakit ISPA menempati urutan atas
dalam 10 besar penyakit utama untuk beberapa tahun terakhir. Bahkan
hasil survei kesehatan rumah tangga tahun 1992, penyebab utama
kematian bayi (36%) dan anak balita (13%) adalah penyakit ISPA. ISPA
merupakan penyebab terbanyak kematian anak di bawah umur 5 tahun.
Sementara itu diperkirakan bahwa 40 sampai 60% dari pengunjung
fasilitas pelayanan kesehatan berhubungan dengan kasus ISPA.
Berdasarkan puskesmas keliling pabrik semen, Citeureup-Bogor,
didapatkan data kesehatan dari 7 puskesmas (Bojong Nangka, Kalapa
Nunggal, Keranggan, Leuwinutug, Tajur, Citeureup, dan Bojong) yang
meliputi cakupan wilayah 13 desa (Lulut, Nambo, Bantarjati, Leuwikaret,
Gunung Putri, Talajung, Ceuteureup, Puspanegara, Tajur, Gunung Sari,
Tari Kolot, Pasir Mukti dan Hambalang) menunjukan selama tahun 2001
mulai Januari sampai Desember, penyakit ISPA rata-rata mempati urutan
pertama terbesar (31,19%) dan penyakit TBC urutan kedua (13,58%) dari
total penyakit yang pernah dideteksi (mata, lambung, ginjal, otot, tulang,
gigi, mulut dan lain-lain) masing-masing rata-rata di bawah 10%. Dalam
rangka mengantisipasi Peraturan Pemerintah RI nomor 41 Tahun 1999
yang berlaku efektif tahun 2002 untuk PM 10 serta mengetahui sejauh
mana tingkat bahaya partikel debu PM 10 terhadap kesehatan karyawan
dari resiko yang ditimbulkan, maka perlu dilakukan penelitian
pengukuran partikel debu PM 10 di pabrik semen di Ceuteurep
dibandingkan dengan baku mutu udara ambien yang ditetapkan
pemerintah.

2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut “Berapakah Kadar Partikel Debu PM 10 di Pabrik
Semen Citeureup-Bogor?”

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui kadar partikel debu PM 10 di pabrik semen
Citeureup-Bogor.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui kualitas udara di pabrik semen Citeureup-Bogor.
b. Mengetahui dampak yang akan ditimbulkan oleh pencemaran
udara pabrik semen pada lingkungan dan kesehatan karyawan
pabrik semen Citeureup-Bogor.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pencemaran Udara
1. Pengertian Pencemaran Udara
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999
menyebutkan bahwa pencemaran udara adalah masuknya atau
dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain kedalam udara
ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun
sampai tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat
memenuhi fungsinya.
Menurut Chambers dalam Mukono (2008) yang di maksud dengan
pencemaran udara adalah bertambahnya bahan atau substrat fisik atau
kimia ke dalam lingkungan udara normal yang mencapai sejumlah
tertentu, sehingga dapat dideteksi oleh manusia (atau yang dapat
dihitung dan diukur) serta dapat memberikan efek pada manusia,
binatang, vegetasi, dan material. Sedangkan menurut Kumar dalam
Mukono (2008), pencemaran udara adalah adanya bahan polutan di
atmosfer yang dalam konsentrasi tertentu akan mengganggu
keseimbangan dinamik di atmosfer dan mempunyai efek pada manusia
dan lingkungannya.
Menurut Sastrawijaya (2009), Pencemaran udara dapat
digolongkan ke dalam tiga kategori yaitu pergesekan permukaan,
penguapan, dan pembakaran. Pergesekan permukaan adalah penyebab
utama pencemaran partikel padat di udara dan ukurannya dapat
bermacam-macam. Penguapan merupakan perubahan fase cairan
menjadi gas. Polusi udara banyak disebabkan zat-zat yang mudah
menguap, seperti pelarut cat dan perekat. Demikian pula terjadi uap
pencemaran jika ada reaksi kimia pada suhu tinggi atau tekanan
rendah. Dan pembakaran merupakan reaksi kimia yang berjalan cepat
dan membebaskan energi, cahaya atau panas.

4
Pencemaran udara dapat menimbulkan dampak terhadap
kesehatan, harta benda, ekosistem maupun iklim. Umumnya gangguan
kesehatan sebagai akibat pencemaran udara terjadi pada saluran
pernafasan dan organ penglihatan. Salah satu dampak kronis dari
pencemaran udara adalah bronchitis dan emphysema (Mulia, 2005).
2. Penyebab Pencemaran Udara
Pembangunan yang berkembang pesat dewasa ini, khususnya
dalam industri dan teknologi, serta meningkatnya jumlah kendaraan
bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil (minyak)
menyebabkan udara yang kita hirup di sekitar kita menjadi tercemar
oleh gas-gas buangan hasil pembakaran (Wardhana, 2001). Secara
umum penyebab pencemaran udara ada 2 macam, yaitu:
a. Faktor internal (secara alamiah)
1) Debu yang beterbangan akibat tiupan angin
2) Abu (debu) yang dikeluarkan dari letusan gunung berapi
berikut gas-gas vulkanik.
3) Proses pembusukan sampah organik, dll.
b. Faktor eksternal ( karena ulah manusia)
1) Hasil pembakaran bahan bakar fosil
2) Debu/serbuk dari kegiatan industri
3) Pemakaian zat-zat kimia yang disemprotkan ke udara.
3. Klasifikasi Bahan Pencemar Udara
Bahan pencemar udara atau polutan dapat dibagi menjadi dua
bagian (Mukono, 2008), yaitu:
a. Polutan primer
Polutan primer adalah polutan yang dikeluarkan langsung dari
sumber tertentu dan dapat berupa:
1) Polutan gas terdiri dari:
a) Senyawa karbon, yaitu hidrokarbon, hidrokarbon
teroksigenasi, dan karbon oksida (CO atau CO2).
b) Senyawa sulfur, yaitu sulfur oksida.

5
c) Senyawa nitrogen, yaitu nitrogen oksida dan amoniak.
d) Senyawa halogen, yaitu fluor, klorin, hidrogen klorida,
hidrokarbon terklorinasi, dan bromin.
2) Partikel
Partikel di atmosfer mempunyai karakteristik yang spesifik,
dapat berupa zat padat maupun suspensi aerosol cair di
atmosfer. Bahan partikel tersebut dapat berasal dari proses
kondensasi, proses dispersi (misalnya proses
penyemprotan/spraying) maupun proses erosi bahan tertentu.
Berdasarkan ukurannya, secara garis besar partikel dapat
merupakan suatu:
a) Partikel debu kasar (coarse particle), jika diameternya > 10
mikron.
b) Partikel debu, uap, dan asap, jika diameternya antara 1-10
mikron.
c) Aerosol, jika diameternya < 1 mikron.
Menurut Agusnar (2008) sumber polusi utama berasal dari
transportasi, dimana hampir 60% dari polutan yang dihasilkan
terdiri dari korbon monoksida dan sekitar 15% terdiri dari
hidrokarbon. Sumber-sumber polusi lainnya misalnya
pembakaran, proses industri, pembuangan limbah, dan lain-
lain.
Tabel 2.1. Toksisitas Relatif Polutan Udara
Level Toleransi
Polutan Toksisitas Relatif
Ppm µg/m3
CO 32.0 40000 1.00
HC 19300 2.07
SO2 1430 28.0
NO2 0.50 514 77.8
Partikel 0.25 375 106.7
Sumber: Agusnar (2008)

6
Toksisitas kelima kelompok polutan tersebut berbeda-beda,
dan tabel di atas menyajikan toksisitas relatif masing-masing
kelompok polutan tersebut. Ternyata polutan yang paling
berbahaya bagi kesehatan adalah partikel-partikel, diikuti
dengan NO2, SO2, hidrokarbon, dan yang paling rendah
toksisitasnya adalah karbon monoksida (Agusnar, 2008).
b. Polutan sekunder
Polutan sekunder biasanya terjadi karena reaksi dari dua atau
lebih bahan kimia di udara, misalnya reaksi foto kimia. Sebagai
contoh adalah disosiasi NO2 yang menghasilkan NO dan O radikal.
Proses kecepatan dan arah reaksinya dipengaruhi oleh berbagai
faktor, antara lain:
1) Konsentrasi reaktif dari bahan reaktan.
2) Derajat foto aktivasi.
3) Kondisi iklim.
4) Topografi lokal dan adanya embun .
Polutan sekunder ini mempunyai sifat fisik dan sifat kimia
yang tidak stabil. Termasuk dalam polutan sekunder ini adalah
ozon, Peroxy Acyl Nitrat (PAN), dan formaldehid (Mukono,
2008).
4. Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Udara
Menurut Depkes yang dikutip oleh Junaidi (2002), beberapa
keadaan cuaca yang dapat mempengaruhi kualitas udara, yaitu:
a. Suhu udara
Suhu udara dapat mempengaruhi konsentrasi pencemar udara.
Suhu udara yang tinggi menyebabkan udara makin renggang
sehingga konsentrasi pencemar menjadi makin rendah. Sebaliknya
pada suhu yang dingin keadaan udara makin padat sehingga
konsentrasi pencemar di udara tampaknya makin tinggi.

7
b. Kelembaban
Kelembaban udara juga dapat mempengaruhi konsentrasi
pencemar di udara. Pada kelembaban yang tinggi maka kadar uap
air di udara dapat bereaksi dengan pencemar udara, menjadi zat
lain yang tak berbahaya atau menjadi pencemar sekunder.
c. Tekanan udara
Tekanan udara tertentu dapat mempercepat atau menghambat
terjadinya suatu reaksi kimia antara pencemar dengan zat pencemar
di udara atau zat-zat yang ada di udara, sehingga pencemar udara
dapat bertambah ataupun berkurang.
d. Angin
Angin adalah udara yang bergerak. Akibat pergerakan udara
maka akan terjadi suatu proses penyebaran sehingga dapat
mengakibatkan pengenceran dari bahan pencemaran udara,
sehingga kadar suatu pencemar pada jarak tertentu dari sumber
akan mempunyai kadar yang berbeda. Demikian juga halnya
dengan arah dan kecepatan angin dapat mempengaruhi kadar bahan
pencemar setempat.
e. Sinar matahari
Sinar matahari juga mempengaruhi kadar pencemar udara di
udara karena dengan adanya sinar matahari tersebut maka beberapa
pencemar di udara dapat dipercepat atau diperlambat reaksinya
dengan zat-zat lain di udara sehingga kadarnya dapat berbeda
menurut banyaknya sinar matahari yang menyinari bumi.
Demikian juga halnya mengenai banyaknya panas matahari yang
sampai ke bumi, yang dapat mempengaruhi kadar pencemar udara.
f. Curah hujan
Adanya hujan yang merupakan suatu partikel air di udara yang
bergerak dari atas jatuh ke bumi, dapat menyerap pencemar gas
tertentu ke dalam partikel air, serta dapat menangkap partikel debu
baik yang inert maupun partikel debu yang lain, menempel pada

8
partikel air dan dibawa jatuh ke bumi. Dengan demikian pencemar
dalam bentuk partikel dapat berkurang konsentrasinya akibat
jatuhnya hujan.
5. Indikator Pencemaran Udara
Indikator yang paling baik dalam menentukan derajat suatu kasus
pencemaran adalah dengan cara mengukur atau memeriksa konsentrasi
gas sulfur dioksida, indeks asap, serta partikel-partikel debu di udara
(Chandra, 2006).
a. Gas Sulfur Dioksida
Gas sulfur dioksida merupakan gas pencemar di udara yang
konsentrasinya paling tinggi di daerah kawasan industri dan daerah
perkotaan. Gas ini dihasilkan dari sisa pembakaran batubara dan
bahan bakar minyak. Di dalam setiap survei pencemaran udara, gas
ini selalu diperiksa.
b. Indeks Asap
Berikut cara penggunaan indeks asap (smoke atau sciling
index): sampel udara disaring dengan sejenis kertas (paper tape)
dan diukur densitasnya dengan alat fotoelektrik meter. Hasil
pengukuran dinyatakan dalam satuan Coh Units per 1000 linear
feet dari sampel udara. Indeks asap ini sangat bervariasi dari hari
ke hari dan bergantung pada perubahan iklim.
c. Partikel Debu
Partikel-partikel berupa debu dan arang dari hasil pembakaran
sampah dan industri merupakan salah satu indikator yang
dipergunakan untuk mengukur derajat pencemaran udara. Hasil
pengukuran dinyatakan dalam satuan miligram atau mikrogram per
meter kubik udara.

9
B. Partikel Debu
1. Pengertian Debu
Debu adalah partikel-partikel zat padat yang disebabkan oleh
kekuatan-kekuatan alami atau mekanis, seperti pengolahan,
penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat, peledakan dan
lain-lain dari bahan-bahan organik maupun anorganik, misalnya batu,
kayu, bijih logam, arang batu, butir-butir zat padat dan sebagainya
(Suma’mur, 1998).
Sedangkan menurut Sarudji (2010), dalam buku Kesehatan
Lingkungan, debu (partikulat) adalah bagian yang besar dari emisi
polutan yang berasal dari berbagai macam sumber seperti mobil, truk,
pabrik baja, pabrik semen, dan pembuangan sampah terbuka.
Mungkin hal ini sangat mengejutkan bahwa Environmental
Protection Agency (EPA) memperkirkan bahwa kebakaran hutan
menghasilkan seperempat dari seluruh emisi partikulat. Sepertiga
darinya berasal dari kebakaran hutan yang dapat dikendalikan dan dua
pertiganya dari kebakaran hutan yang tak terkendali.
2. Sifat Debu
Partikel (debu) sebagai pencemar udara mempunyai waktu hidup,
yaitu pada saat partikel masih melayang-layang sebagai pencemar di
udara sebelum jatuh ke bumi. Waktu hidup partikel berkisar antara
beberapa detik sampai beberapa bulan. Sedangkan kecepatan
pengendapannya tergantung pada ukuran partikel, massa jenis partikel
serta arah dan kecepatan angin yang bertiup. Partikel yang sudah mati
karena jatuh mengendap di bumi, dapat hidup kembali apabila tertiup
oleh angin kencang dan melayang-layang lagi di udara (Wardhana,
2001).
Menurut Departemen Kesehatan RI tahun 1994 dalam Pradika
(2011) sifat-sifat debu adalah sebagai berikut:
a. Mengendap

10
Debu cenderung mengendap karena gaya grafitasi bumi.
Namun karena ukurannya yang relatif kecil berada di udara. Debu
yang mengendap dapat mengandung proporsi partikel yang lebih
besar dari debu yang terdapat di udara.
b. Permukaan cenderung selalu basah
Permukaan debu yang cenderung selalu basah disebabkan
karena permukaannya selalu dilapisi oleh lapisan air yang sangat
tipis. Sifat ini menjadi penting sebagai upaya pengendalian debu di
tempat kerja.
c. Menggumpal
Debu bersifat menggumpal disebabkan permukaan debu yang
selalu basah, sehingga debu menempel satu sama lain dan
membentuk gumpalan.
d. Listrik statis (elektrostatik)
Sifat ini menyebabkan debu dapat menarik partikel lain yang
berlawanan. Adanya partikel yang tertarik ke dalam debu akan
mempercepat terjadinya proses penggumpalan.
e. Opsis
Opsis adalah debu atau partikel basah atau lembab lainnya
dapat memancakan sinar yang dapat terlihat pada kamar gelap.
Menurut sifatnya, partikel dapat menimbulkan rangsangan saluran
pernapasan, kematian karena bersifat racun, alergi, fibrosis, dan
penyakit demam.
3. Jenis Debu
Menurut Mengkidi (2006), partikel debu dapat dikelompokkan
menjadi dua yaitu debu organik dan debu anorganik.

11
Tabel 2.2. Jenis Debu yang Dapat Menimbulkan Penyakit Paru
Pada Manusia
No. Jenis Debu Contoh Jenis Debu
1. Organik :
a. Alamiah
1) Fossil Batubara, karbon hitam, arang, granit
2) Bakteri TBC, antraks, enzim bacillus subtilits
3) Jamur Koksidiomikosis,histoplasmosis, kriptokokus
thermophilic actinomycosis
4) Virus Psikatosis, cacar air, Q fever
5) Sayuran Kompos jamur, ampas tebu, tepung, padi,
gabus, atap alang-alang, katun rami, serat
nanas
6) Binatang Kotoran burung, ayam
b. Sintesis
1) Plastik Politetrafluoretilen, toluene diisosianat
2) Reagen Minyak isopropyl, pelarut organik
2. Anorganik :
a. Silika bebas
1) Crystaline Quarz, trymite cristobalite
2) Amorphous Diatomaceous earth, silika gel
3) Fibosis Asbestosis, sillinamite, talk
4) Lain-lain Mika, kaolin, debu semen
b. Metal
1) Inert Besi, barium, titanium, tin, aluminium, seng
2) Lain-lain Berilium
3) Bersifat keganasan Arsen, kobalt, nikel, hematite, uranium,
asbes, khrom
Sumber: Mengkidi (2006)
4. Sumber- Sumber Debu
Sumber pencemar partikel (debu) dapat berasal dari peristiwa
alami dan dapat juga berasal dari ulah manusia dalam rangka
mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Pencemaran partikel yang
berasal dari alam (Wardhana, 2001) antara lain:
a. Debu tanah/pasir halus yang terbang terbawa oleh angin kencang.
b. Abu dan bahan-bahan vulkanik yang terlempar ke udara akibat
letusan gunung berapi.

12
c. Semburan uap air panas di sekitar daerah sumber panas bumi di
daerah pegunungan.
Sedangkan sumber pencemaran partikel akibat ulah manusia
sebagian besar berasal dari pembakaran batubara, proses industri,
kebakaran hutan dan gas buangan alat transportasi (Wardhana, 2001).
Debu yang terdapat di dalam udara terbagi dua, yaitu deposite
particulate matter adalah partikel debu yang hanya berada di udara,
partikel ini segera mengendap karena ada daya tarik bumi. Dan
Suspended particulate matter adalah debu yang tetap berada di udara
dan tidak mudah mengendap.
5. Nilai Ambang Batas (NAB) untuk Debu
Nilai ambang batas adalah kadar tertinggi suatu zat dalam udara
yang diperkenankan, sehingga manusia dan makhluk lainnya tidak
mengalami gangguan penyakit atau menderita karena zat tersebut
(Agusnar, 2008). Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara
dijelaskan mengenai pengertian baku mutu udara ambien, yaitu ukuran
batas atau kadar zat, energi dan/atau komponen yang ada atau yang
seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya dalam udara ambien.
Baku mutu kadar debu dalam udara ambien yang tercantum di
dalam PP RI No. 41 tahun 1999 tersebut untuk PM10 (Partikel <10
μm) adalah 150 μg/m3 (24 jam).

13
Tabel 2.3 Baku Mutu Udara Ambien Nasional

Sumber: PP RI No. 41 tahun 1999

6. Pengukuran Kadar Debu di Udara


Pengukuran kadar debu di udara bertujuan untuk mengetahui
apakah kadar debu pada suatu lingkungan, konsentrasinya sesuai
dengan kondisi lingkungan yang aman dan sehat bagi masyarakat.
Dengan kata lain, apakah kadar debu tersebut berada di bawah atau di
atas nilai ambang batas (NAB) debu udara.
Pengambilan/pengukuran kadar debu di udara biasanya dilakukan
dengan metode gravimetric, yaitu dengan cara menghisap dan
melewatkan udara dalam volume tertentu melalui saringan serat
gelas/kertas saring. Alat-alat yang biasanya digunakan untuk
pengambilan sampel debu total (TSP) di udara (Asiah, 2008), seperti:
a. High Volume Air Sampler
Alat ini menghisap udara ambien dengan pompa berkecepatan
1,1-1,7 m3/menit, partikel debu berdiameter 0,1-100 mikron akan

14
masuk bersama aliran udara melewati saringan dan terkumpul pada
permukaan serat gelas. Alat ini dapat digunakan untuk mengambil
contoh udara selama 24 jam, dan bila kandungan partikel debu
sangat tinggi maka waktu pengukuran dapat dikurangi menjadi 6-8
jam.
b. Low Volume Air Sampler
Alat ini dapat menangkap debu dengan ukuran sesuai yang kita
inginkan dengan cara mengatur flow rate. Untuk flow rate 20
liter/menit dapat menangkap partikel berukuran 10 mikron. Dengan
mengetahui berat kertas saring sebelum dan sesudah pengukuran
maka kadar debu dapat dihitung.
c. Low Volume Dust Sampler
Alat ini mempunyai prinsip kerja dan metode yang sama
dengan alat low volume air sampler.
d. Personal Dust Sampler (LVDS)
Alat ini biasa digunakan untuk menentukan Respiral Dust (RD)
di udara atau debu yang dapat lolos melalui filter bulu hidung
manusia selama bernapas. Untuk flow rate 2 liter/menit dapat
menangkap debu yang berukuran < 10 mikron. Alat ini biasanya
digunakan pada lingkungan kerja dan dipasang pada pinggang
pekerja karena ukurannya yang sangat kecil.
7. Penentuan Lokasi dan Titik Pengambilan Sampel Udara Ambien
Secara umum, sampel udara ambien diambil di daerah pemukiman
penduduk, perkantoran, kawasan industri, atau daerah lain yang
dianggap penting. Tujuannya adalah untuk mengetahui kualitas udara
yang dapat dipengaruhi oleh kegiatan tertentu.
Kriteria yang dapat dipertimbangkan dalam menentukan lokasi
pengambilan sampel udara ambien (Eko Hartini), yaitu:
a. Daerah yang mempunyai konsentrasi pencemar tinggi
b. Daerah padat penduduk

15
c. Daerah yang diperkirakan menerima paparan pencemar dari emisi
cerobong industri
d. Daerah proyeksi untuk mengetahui dampak pembangunan
Di samping itu, faktor meteorologi, seperti arah angin, kecepatan
angin, suhu udara, kelembapan, dan faktor geografi, seperti topografi
dan tata guna lahan, harus dipertimbangkan. Beberapa acuan dalam
menentukan titik pengambilan (Eko Hartini) adalah:
a. Hindari daerah yang dekat dengan gedung, bangunan, dan/atau
pepohonan yang dapat mengabsorpsi atau mengadsorpsi pencemar
udara ke gedung atau pepohonan tersebut.
b. Hindari daerah di mana terdapat pengganggu kimia yang dapat
memengaruhi polutan yang akan diukur.
c. Hindari daerah di mana terdapat pengganggu fisika yang dapat
memengaruhi hasil pengukuran. Sebagai ilustrasi, pengukuran total
partikulat di dalam udara ambien tidak diperkenankan di dekat
insinerator.
8. Dampak Pencemaran Debu terhadap Manusia
Ada tiga cara masuknya bahan polutan seperti debu dari udara ke
tubuh manusia yaitu melalui inhalasi, ingesti, dan penetrasi kulit.
Inhalasi bahan polutan udara ke paru-paru dapat menyebabkan
gangguan di paru dan saluran nafas. Bahan polutan yang cukup besar
tidak jarang masuk ke saluran cerna. Refleks batuk juga akan
mengeluarkan bahan polutan dari paru yang kemudian bila tertelan
akan masuk ke saluran cerna. Bahan polutan dari udara juga dapat
masuk ketika makan atau minum. Permukaan kulit juga dapat menjadi
pintu masuk bahan polutan di udara khususnya bahan organik dapat
melakukan penetrasi kulit dan dapat menimbulkan efek sistemik.
Kerusakan kesehatan akibat debu tergantung pada lamanya kontak,
konsentrasi debu dalam udara, jenis debu itu sendiri dan lain-lain
(Agusnar, 2008). Ukuran debu atau partikel yang masuk ke dalam
paru-paru akan menentukan letak penempelan atau pengendapannya.

16
Partikel yang terhisap oleh manusia dengan ukuran kurang dari 1
mikron akan ikut keluar saat napas dihembuskan. Partikel yang
berukuran 1-3 mikron akan masuk ke dalam kantong udara paru-paru,
menempel pada alveoli. Partikel berukuran 3-5 mikron akan tertahan
pada saluran pernapasan bagian tengah. Partikel yang berukuran di atas
5 mikron akan tertahan di saluran napas bagian atas (Sunu, 2001).
Penyakit peneumokoniosis banyak jenisnya, tergantung dari jenis
partikel yang masuk atau terhisap ke dalam paru-paru. Adapun jenis-
jenis penyakit pneumokoniosis (Sunu, 2001) seperti:
a. Penyakit Antrakosis
Penyakit antrakosis adalah penyakit saluran pernapasan yang
disebabkan oleh debu batubara. Penyakit ini biasanya dijumpai
pada pekerja tambang batubara atau pekerja yang banyak
melibatkan penggunaan batubara seperti power plant (pembangkit
listrik tenaga uap). Masa inkubasi penyakit ini antara lain 2-4 tahun
yang ditandai dengan sesak napas.
b. Penyakit Silikosis
Penyakit ini disebabkan oleh pencemaran debu silika bebas,
berupa SiO2 yang terhisap masuk ke dalam paru-paru dan
kemudian mengendap. Debu silika ini banyak terdapat di industri
besi baja, keramik, pengecoran beton, proses permesinan seperti
mengikir, menggerinda. Disamping itu, debu silika juga terdapat di
penambangan bijih besi, timah putih, dan tambang batubara. Debu
silika yang masuk ke dalam paru-paru akan mengalami masa
inkubasi sekitar 2 sampai 4 tahun.
Pada awalnya, penyakit silikosis ditandai dengan sesak napas
yang disertai dengan batuk-batuk tanpa dahak. Penyakit silikosis
tingkat sedang, gejala sesak napas dan batuk semakin tinggi tingkat
intensitasnya. Untuk penyakit silikosis yang sudah berat, sesak
napas akan semakin parah dan kemudian diikuti dengan hipertropi

17
jantung sebelah kanan yang berpotensi mengakibatkan kegagalan
kerja jantung.
c. Penyakit Asbestosis
Penyakit asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang
disebabkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara.
Masa laten asbestosis yaitu 10-20 tahun. Asbes merupakan
campuran berbagai macam silikat terutama magnesium silikat.
Debu asbes banyak dijumpai pada industri yang menggunakan
asbes dan ruangan yang menggunakan asbes. Debu asbes yang
terhisap dan masuk dalam paru-paru akan mengakibatkan sesak
napas dan batuk-batuk yang disertai dahak. Ujung-ujung jari
penderitanya akan tampak membesar/melebar. Apabila dilakukan
pemeriksaan pada dahak maka akan tampak adanya debu asbes
dalam dahak tersebut.
Sumber utama pencemaran udara dari silikat yaitu pada industri
semen berupa partikel-partikel yang berterbangan di udara. Silikat
(Si) disebut juga asbestos. Dampak yang diakibatkan oleh silikat
yaitu akan terganggunya fungsi paru-paru. Partikel-partikel yang
terhisap dapat didepositkan pada jaringan saluran pernapasan yang
disebut asbestosis atau fibrosis paru-paru.
Asbestosis bersifat sinergisme yaitu penggabungan lebih dari
satu faktor yang berdampak lebih besar pengaruhnya dibandingkan
dengan pengaruh individual terhadap perokok. Bagi seseorang
yang kehidupannya di lokasi sekitar pabrik semen seharusnya
menjalani pemeriksaan paru-paru secara periodik serta
mengkonsumsi jenis-jenis makanan dan minuman sebagai upaya
pencegahan.
d. Penyakit Beriliosis
Penyakit beriliosis adalah penyakit pada saluran pernapasan
yang disebabkan oleh pencemaran udara dari debu berilium. Debu
logam tersebut dapat menyebabkan nasoparingitis, bronkitis dan

18
pneumonitis yang ditandai dengan gejala demam, batuk kering, dan
sesak napas. Partikel-partikel berilium juga dapat mengakibatkan
gangguan pada kulit dan radang hidung.
Penyakit ini berpotensi terhadap para pekerja pada industri
yang menggunakan logam campuran berilium-tembaga, industri
fluoresen, industri pembuatan tabung radio. Masa inkubasi
penyakit beriliosis ini relatif lama, sehingga sering tidak
mendapatkan perhatian oleh manajeman perusahaan maupun oleh
para pekerja itu sendiri.
e. Penyakit Bisinosis
Penyakit bisinosis adalah penyakit pneumokoniosis yang
disebabkan oleh pencemaran debu kapas atau serat kapas di udara
yang kemudian terhisap ke dalam paru-paru. Partikel kapas atau
serat kapas ini banyak dijumpai pada industri seperti pemintalan
kapas, tekstil, dan garmen. Masa inkubasi penyakit bisionosis
sekitar 5 tahun. Gejala awal penyakit bisinosis yaitu ditandai
dengan sesak napas. Penyakit bisinosis yang kronis biasanya
diikuti dengan penyakit bronkitis dan emphysema.

C. Industri Semen
Semen (cement) adalah hasil industri dari paduan bahan baku: batu
kapur/gamping sebagai bahan utama dan lempung/tanah liat atau bahan
pengganti lainnya dengan hasil akhir berupa padatan berbentuk
bubuk/bulk, tanpa memandang proses pembuatannya, yang mengeras atau
membatu pada pencampuran dengan air. Batu kapur/gamping adalah
bahan alam yang mengandung senyawa kalsium oksida (CaO), sedangkan
lempung/tanah liat bahan alam yang mengandung senyawa: Silika Oksida
(SiO2), Aluminium Oksida (Al2O3), Besi Oksida (Fe2O3), dan Magnesium
Oksida (MgO).
Untuk menghasilkan semen, bahan baku tersebut dibakar sampai
meleleh, sebagian untuk membentuk clinkernya, yang kemudian

19
dihancurkan dan ditambah dengan gips (gypsum) dalam jumlah yang
sesuai (Mengkidi, 2006). Ukuran partikel (debu) semen yaitu berkisar
antara 3-100 mikron.

D. Keluhan Kesehatan Akibat Debu Semen


Industri semen berpotensi sebagai sumber pencemaran partikel
(Wardhana, 2001). Debu semen diklasifikasikan menjadi 2 (dua) jenis
utama, semen alam dan buatan (Portland) semen. Semen portland adalah
campuran dari kalsium oksida (62% -66%), silikon oksida (19% -22%),
aluminium trioksida (4% -8%), oksida besi (2% - 5%) dan magnesium
oksida (1 % -2%). Debu semen memiliki efek iritasi pada kulit, mata dan
sistem pernapasan.
Menurut Wardhana (2001) jenis partikel (debu) yang dihasilkan oleh
industri/pabrik semen antara lain Oksida Silika (SiO2), Oksida Alumina
(Al2O3), Magnesium Oksida (MgO), dan Trikalsium Silikat (3CaOSiO2).
Jenis debu semen dan gangguan kesehatannya, yaitu:
1. Silika Oksida (SiO2)
Silika bebas, berupa SiO2 yang terhisap masuk ke dalam paru-paru
dan kemudian mengendap menyebabkan penyakit silikosis (Sunu,
2001). Pada awalnya, penyakit silikosis ditandai dengan sesak napas
yang disertai dengan batuk-batuk tanpa dahak. Penyakit silikosis
tingkat sedang, gejala sesak napas dan batuk semakin tinggi tingkat
intensitasnya. Untuk penyakit silikosis yang sudah berat, sesak napas
akan semakin parah dan kemudian diikuti dengan hipertropi jantung
sebelah kanan yang berpotensi mengakibatkan kegagalan kerja
jantung.
2. Alumina Oksida (Al2O3)
Aluminium (Al) adalah metal yang dapat dibentuk, dan karenanya
banyak digunakan, sehingga banyak terdapat di lingkungan dan
didapat pada berbagai jenis makanan. Aluminium yang berbentuk debu
akan diakumulasi di dalam paru-paru dan dapat juga menyebabkan

20
iritasi kulit, selaput lendir, dan saluran pernapasan. Jalur pemaparan
dan organ sasaran aluminium oksida adalah mata, kulit, dan sistem
pernapasan.
3. Magnesium Oksida (MgO)
Jalur pemaparan magnesium oksida (MgO) adalah melalui inhalasi,
konta mata, dan kulit. Efek akut debu magnesium oksida yaitu dapat
menyebabkan iritasi ringan pada mata dan hidung, konjungtivitis,
radang membran mukosa, dan batuk berdahak. Toksisitas akut
menyebabkan mual, malaise, depresi umum dan kelumpuhan syaraf
pernapasan, jantung, dan sistem pusat. Efek kronis menunjukkan
bahwa mungkin ada resiko karsinogenik dari paparan debu MgO.
4. Trikalsium Silikat (3CaO.SiO2)
Organ sasaran kalsium oksida (CaO) yaitu mata, kulit, dan sistem
pernapasan. Kontak langsung CaO dengan jaringan, dapat
mengakibatkan luka bakar dan iritasi parah karena reaktivitas tinggi
dan alkalinitas. Keluhan dari pekerja yang terpapar terdiri dari iritasi
pada kulit dan mata, serta saluran pernapasan. Pada efek kronis, CaO
tidak diklasifikasikan sebagai karsinogen pada manusia.

E. Efek Pencemaran Udara


Efek-efek pencemaran udara pada kehidupan manusia dapat dibagi
menjadi efek umum, efek terhadap ekosistem, efek terhadap kesehatan,
efek terhadap tumbuh- tumbuhan dan hewan, efek terhadap cuaca dan
iklim, dan efek terhadap sosial ekonomi (Chandra, 2006).
1. Efek Umum
Efek umum pencemaran udara terhadap kehidupan manusia, antara
lain:
a. Meningkatkan angka kesakitan dan kematian pada manusia, flora,
dan fauna.
b. Memengaruhi kuantitas dan kualitas sinar matahari yang sampai ke
permukaan bumi dan memengaruhi proses fotosintesis tumbuhan.

21
c. Memengaruhi dan mengubah iklim akibat terjadinya peningkatan
kadar CO2 di udara. Kondisi ini cenderung menahan panas tetap
berada di lapisan bawah atmosfer sehingga terjadi efek rumah kaca
(green house effect).
d. Pencemaran udara dapat merusak cat, karet, dan bersifat korosif
terhadap benda yang terbuat dari logam.
e. Meningkatkan biaya perawatan bangunan, monumen, jembatan,
dan lainnya.
f. Mengganggu penglihatan dan dapat meningkatkan angka kasus
kecelakaan lalulintas di darat, sungai, maupun udara.
g. Menyebabkan warna kain dan pakaian menjadi cepat buram dan
bernoda.
2. Efek terhadap Ekosistem Industri yang mempergunakan batubara
sebagai sumber energinya akan melepaskan zat oksida sulfat ke dalam
udara sebagai sisa pembakaran batubara. Zat tersebut akan bereaksi
dengan air hujan membentuk asam sulfat sehingga air hujan menjadi
asam (acid rain). Apabila keadaan ini cukup lama, akan terjadi
perubahan pada ekosistem perairan danau. Akibatnya, pH air danau
akan menjadi asam, produksi ikan menurun, dan secara tidak langsung
pendapatan rakyat setempat pun menurun.
3. Efek terhadap Kesehatan
Efek pencemaran udara terhadap kesehatan manusia dapat terlihat
baik secara cepat maupun lambat, seperti berikut:
a. Efek cepat
Hasil studi epidemiologi menunjukkan bahwa peningkatan
mendadak kasus pencemaran udara juga akan meningkatkan angka
kasus kesakitan dan kematian akibat penyakit saluran pernapasan.
Pada situasi tertentu, gas CO dapat menyebabkan kematian
mendadak karena daya afinitas gas CO terhadap haemoglobin
darah (menjadi methaemoglobin) yang lebih kuat dibandingkan

22
daya afinitas O2 sehingga terjadi kekurangan gas oksigen di dalam
tubuh.
b. Efek lambat
Pencemaran udara diduga sebagai salah satu penyebab penyakit
bronkhitis kronis dan kanker paru primer. Penyakit yang
disebabkan oleh pencemaran udara antara lain, emfisema paru,
black lung disease, asbestosis, silikosis, bisionosis, dan pada anak-
anak, penyakit asma dan eksema.
4. Efek terhadap Tumbuhan dan Hewan
Tumbuh-tumbuhan sangat sensitif terhadap gas sulfur dioksida,
florin, ozon, hidrokarbon, dan CO. Apabila terjadi pencemaran udara,
konsentrasi gas tersebut akan meningkat dan dapat menyebabkan daun
tumbuhan berlubang dan layu. Ternak akan menjadi sakit jika
memakan tumbuh-tumbuhan yang mengandung dan tercemar florin.
5. Efek terhadap Cuaca dan Iklim
Gas karbon dioksida memiliki kecenderungan untuk menahan
panas tetap berada di lapisan bawah atmosfer sehingga terjadi efek
rumah kaca (green house effect). Udara menjadi panas dan gerah.
Selain itu, partikel-partikel debu juga memiliki kecenderungan untuk
memantulkan kembali sinar matahari di udara sebelum sinar tersebut
sampai ke permukaan bumi sehingga udara di lapisan bawah atmosfer
menjadi dingin.
6. Efek terhadap Sosial Ekonomi
Pencemaran udara akan meningkatkan biaya perawatan dan
pemeliharaan bangunan, monumen, jembatan, dan lainnya serta
menyebabkan pengeluaran biaya ekstra untuk mengendalikan
pencemaran yang terjadi.

F. Penanggulangan Dampak Pencemaran Lingkungan


Pencemaran lingkungan mempunyai dampak yang sangat luas dan
sangat merugikan manusia maka perlu diusahakan pengurangan

23
pencemaran lingkungan atau bila mungkin meniadakan sama sekali. Usaha
untuk mengurangi dan menanggulangi pencemaran tersebut ada 2 macam
cara utama yaitu penanggulangan secara non-teknis dan penanggulangan
secara teknis. Melalui cara penanggulangan tersebut diharapkan bahwa
pencemaran lingkungan akan jauh berkurang dan kualitas hidup manusia
dapat lebih ditingkatkan (Agusnar, 2008).
1. Penanggulangan secara Non-Teknis
Penganggulangan secara non-teknis yaitu suatu usaha untuk
mengurangi dan menanggulangi pencemaran lingkungan dengan cara
menciptakan peraturan perundangan yang dapat merencanakan,
mengatur, dan mengawasi segala macam bentuk kegiatan industri dan
teknologi sedemikian rupa sehingga tidak terjadi pencemaran
lingkungan (Agusnar, 2008).
Peraturan perundangan yang dimaksud hendaknya dapat
memberikan gambaran secara jelas tentang kegiatan industri dan
teknologi yang akan dilaksanakan di suatu tempat yang meliputi:
a. Penyajian Informasi Lingkungan (PIL)
b. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
c. Perencanaan Kawasan Kegiatan Industri dan Teknologi,
d. Pengaturan dan Pengawasan Kegiatan
e. Menanamkan perilaku disiplin.
2. Penanggulangan secara Teknis
Kriteria yang digunakan dalam memilih dan menentukan cara yang
digunakan dalam penanggulangan secara teknis tergantung pada faktor
berikut:
a. Mengutamakan keselamatan lingkungan
b. Teknologinya telah dikuasai dengan baik
c. Secara teknis dan ekonomis dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan kriteria tersebut diatas diperoleh beberapa cara dalam
hal penanggulangan secara teknis, antara lain adalah sebagai berikut:
a. Mengubah proses

24
b. Mengganti sumber energi
c. Mengelola limbah
d. Menambah alat bantu
Untuk melengkapi cara penanggulangan pencemaran lingkungan
secara teknis dilakukan dengan menambah alat bantu yang dapat
mengurangi pencemaran. Beberapa alat bantu yang digunakan untuk
mengurangi atau menanggulangi pencemaran lingkungan antara lain
adalah:
a. Filter Udara
Filter udara dimaksudkan untuk menangkap abu atau partikel
yang ikut keluar pada cerobong atau stack, agar tidak ikut terlepas
ke lingkungan sehingga hanya udara yang bersih saja yang keluar
dari cerobong. Filter udara yang dipasang ini harus segera diamati
(dikontrol), jika sudah penuh dengan debu harus segera diganti
dengan yang baru. Jenis filter udara yang digunakan tergantung
pada sifat gas buangan yang keluar dari proses industri.
b. Pengendap Siklon
Pengendap Siklon atau Cyclon Separators adalah pengendap
debu/abu yang ikut dalam gas buangan atau udara dalam ruang
pabrik yang berdebu. Prinsip kerja pengendap siklon adalah
pemanfaatan gaya sentrifugal dari udara/gas buangan yang sengaja
dihembuskan melalui tepi dinding tabung siklon sehingga partikel
yang relatif berat akan jatuh ke bawah.
Ukuran partikel/debu/abu yang bisa diendapkan oleh siklon
adalah antara 5-40 μ. Makin besar ukuran debu makin cepat
partikel tersebut diendapkan.
c. Filter Basah (Scrubbers atau Wet Collectors)
Prinsip kerja filter basah adalah membersihkan udara yang
kotor dengan cara menyemprot air dari bagian atas alat, sedangkan
udara yang kotor dari bagian bawah alat. Pada saat udara yang

25
berdebu kontak dengan air, maka debu akan ikut dengan semprotan
air turun ke bawah.
d. Pengendap Sistem Gravitasi
Alat pengendapan ini hanya digunakan untuk membersihkan
udara kotor yang ukuran partikelnya relatif cukup besar, sekitar 50
μ atau lebih. Cara kerja alat ini yaitu dengan mengalirkan udara
kotor kedalam alat yang dibuat sedemikian rupa sehingga pada
waktu terjadi perubahan kecepatan secara tiba- tiba (speed drop),
zarah akan jatuh terkumpul di bawah akibat gaya beratnya sendiri
(gravitasi). Kecepatan pengendapan tergantung pada dimensi
alatnya.
e. Pengendapan Elektrostatik
Alat pengendapan elektrostatik digunakan untuk membersihkan
udara kotor dalam jumlah (volume) yang relatif besar dan pengotor
udaranya adalah aerosol atau uap air. Alat ini dapat membersihkan
udara secara cepat dan udara yang keluar dari alat sudah relatif
bersih. Alat pengendap ini menggunakan arus searah (DC) yang
mempunyai tegangan antara 25-100 kV.
Alat pengendap ini berupa tabung silinder dimana dindingnya
diberi muatan positif, sedangkan di tengah ada sebuah kawat yang
merupakan pusat silinder, sejajar dinding tabung, diberi muatan
negatif. Adanya perbedaan tegangan yang cukup besar akan
menimbulkan corona disharga di daerah sekitar pusat silinder. Hal
ini menyebabkan udara kotor seolah-olah mengalami ionisasi.
Kotoran udara menjadi ion negatif sedangkan udara bersih menjadi
ion positif dan masing-masing akan menuju elektroda yang sesuai.
Kotoran yang menjadi ion negatif akan ditarik oleh dinding tabung
sedangkan udara bersih akan berada di tengah-tengah silinder dan
kemudian terhembus keluar.

26
BAB III
METODE PENGUKURAN

A. Alat
1. Alat HVAS (High Volume Air Sampler)
2. Filter (kertas saring)
3. Neraca analitik
4. Vinset
5. Stopwatch

B. Metode Pengukuran
Dalam makalah ini untuk mengukur kualitas debu dalam udara
menggunakan cara kuantitaif dengan metode Gravimetric dan
menggunakan alat High Volume Air Sampler (HVAS), sesuai dengan
standar acuan SNI 19-7119.3-2005 (Udara ambien-bagian 3: Cara uji
partikel tersuspensi total menggunakan peralatan high volume air
sampler (HVAS) dengan metoda gravimetri).
Metode gravimetric adalah suatu bentuk analisis kuantitatif yang
berupa penambangan, yaitu suatu proses pemisahan dan penimbangan
suatu komponen dalam suatu zat dengan jumlah tertentu dan dalam
keadaan sempurna mungkin. Penetapan kuantitas analit dalam metode
gravimetri mencapai hasil yang mendekati nilai sebenarnya, harus
dipenuhi 2 kriteria :
1. Proses pemisahan atau pengendapan analit dari komponen lainnya
berlangsung sempurna.
2. Endapan analit yang dihasilkan diketahui dengan tepat komposisinya
dan memiliki tingkat kemurnian yang tinggi, tidak bercampur dengan
zat pengotor.
High Volume Air Sampler (HVAS) adalah peralatan yang digunakan
untuk pengumpulan kandungan partikel melalui filtrasi, sejumlah besar

27
volum udara di atmosfer dengan memakai pompa vakum kapasitas tinggi,
yang dilengkapi dengan filter dan alat control laju alir.
Prinsip kerja dari high volume air sampler dengan metode gravimetri
adalah menentukan konsentrasi debu yang ada di udara dengan
menggunakan pompa isap. Udara yang terhidap disaring denga filter,
sehingga debu yang ada di udara akan menempel pada filter
tersebut. Berdasarkan jumlah udara yang terhisap dan berat debu yang
menempel pada filter, akan diketahui konsentrasi debu yang ada di udara.
Cara kerja menggunakan alat HVAS, adalah sebagai berikut:
1. Panaskan kertas saring pada suhu 105 0C, selama 30 menit.
2. Timbang kertas saring, dengan neraca analitik pada suhu 105 0C
dengan menggunakan vinset (Hati-hati jangan sampai banyak
tersentuh tangan).
3. Pasangkan pada alat TSP (Total Susspended Particulate), dengan
membuka atap alat TSP. Kemudian dipasangkan kembali atapnya.
4. Simpan alat HAVS tersebut pada tempat yang sudah ditentukan
Sebelumnya.
5. Operasikan alat dengan cara, menghidupkan (pada posisi ”On”)
pompa hisap dan mencatat angka flow ratenya (laju alir udaranya).
6. Matikan alat sampai batas waktu yang telah ditetapkan.
7. Ambil kertasnya, panaskan pada oven listrik pada suhu Timbang
kertas saringnya.
8. Hitung kadar TSPnya sebagai µg/m3

C. Rumus Perhitungan Konsentrasi


Konsentrasi Total Suspended Particulate (TSP) di udara dapat dihitung
dengan persamaan sebagai berikut:

28
Dengan keterangan:
[C] = konsentrasi Total Suspended Paticulate (TSP) di udara ambien

(µg/Nm3)
Mt = berat filter setelah pengambilan sampel udara (µg)
M0 = berat filter bersih atau sebelum pengambilan sampel udara (µg)
T = lama pencuplikan atau pengambilan sampel (jam)

V = laju pencuplikan atau pengambilan udara (m3/jam)

Kemudian konsentrasi yang diperoleh dari persamaan tersebut


dikonversi ke persamaan model konversi Canter untuk mendapatkan
konsentrasi yang setara dengan konsentrasi partikulat di udara dengan
waktu pencuplikan atau pengukuran selama 24 jam. Berikut adalah
persamaan konversi Canter:

Dengan keterangan sebagai berikut:


C1 = konsentrasi udara rata-rata dengan waktu pengambilan sampel

selama 24 jam (µg/Nm3)


C2 = konsentrasi udara rata-rata hasil pengukuran dengan lama
pengambilan sampel selama t2 jam. Dalam hal ini, C2 = [C].

(µg/Nm3)
t1 = 24 jam
t2 = lama pengambilan sampel (jam)
p = faktor konversi dengan nilai antara 0,17 dan 0,2

29
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar debu merupakan nilai suatu partikel yang berukuran mikron dengan
analisis kosentrasi berbeda baik telihat maupun tidak telihat seperti halnya debu
semen. Debu dapat melayang atau mengendap disebabkan tiga faktor yaitu suhu,
kelembaban dan kecepatan angin sehingga debu dapat menyebar lebih luas
dengan kadar yang sangat tinggi. Hasil perhitungan partikel debu PM 10 di pabrik
semen Citeureup-Bogor menggunakan alat HVAS (High Volume Air Sampler)
dengan metode gravimetri, didapatkan hasil pemeriksaan konsentrasi TSP sebesar
2000 µg/Nm3 (24 jam).
Berdasarkan standar baku mutu udara ambient dalam ruangan yang diatur
di dalam Baku mutu kadar debu dalam udara ambien yang tercantum di dalam PP
RI No. 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara dijelaskan
mengenai pengertian baku mutu udara ambien tersebut untuk PM10 (Partikel <10
μm) adalah 150 μg/m3 (24 jam). Konsentrasi TSP di pabrik semen Ciuteurueup-
Bogor sebesar 2000 µg/Nm3, dimana konsentrasi ini melebihi baku mutu udara
ambien nasional yang ditetapkan oleh PP RI No. 41 Tahun 1999, sehingga kondisi
tersebut tidak aman untuk orang yang melakukan kegiatan di dalamnya.
Oleh karena itu perlu penanganan yang serius dari pihak pabrik semen dan
kerja sama dengan instansi yang terkait untuk mengurangi dampak yang
ditimbulkan dari pencemaran udara tersebut.

30
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Hasil pengukuran konsentrasi partikel debu PM 10 di pabrik
semen Cieutereup-Bogor sebesar 2000 µg/Nm3, dimana kadar
tersebut melebihi baku mutu udara ambien nasional yang
ditetapkan oleh PP RI No. 41 Tahun 1999 yaitu untuk PM 10
sebesar 150 µg/Nm3 (24 jam) .
2. Kategori kualitas udara PM 10 di pabrik semen Cieutereup-
Bogor bersifat berbahaya bagi kesehatan.
3. Dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran udara pabrik semen
pada lingkungan adalah menurunnya kondisi atau kualitas
lingkungan hidup penduduk di sekitar pabrik semen Citeureup-
Bogor sehingga dapat menyebabkan meningkatnya angka kesakitan
dan kematian pada manusia, flora, dan fauna. Sedangkan dampak
bagi kesehatan adalah timbulnya berbagai masalah kesehatan
seperti ISPA, emfisema paru, black lung disease, asbestosis,
silikosis, bisionosis, dan pada anak-anak, penyakit asma dan
eksema.

B. Saran
1. Pihak pabrik semen Citeureup-Bogor diharapkan untuk lebih
meningkatkan tindakan pengendalian debu semen terutama partikel
debu PM 10, khususnya untuk pengendalian teknis dengan
pemberian APD, serta dalam gudang diadakan ventilasi atau
dengan mesin untuk penerapan pengendalian debu seperti teknik
basa, sehingga dapat mencegah dan meminimalisir pencemaran
udara yang berdampak negatif terhadap kesehatan karyawan
maupun penduduk di sekitar pabrik semen

31
2. Pihak pabrik semen Citeureup-Bogor diharapkan dapat
mengadakan pelayanan kesehatan yang kontinyu bagi para
karyawan, serta memberikan asuransi kepada pekerja yang terkena
dampak terutama bagi karyawan yang mengalami gangguan atau
keluhan kesehatan.
3. Perlu diadakan penyuluhan pada masyarakat tentang perlunya
kesehatan lingkungan rumah dan pengaturan gizi yang baik untuk
mempertinggi daya tahan tubuh, sehingga tidak mudah tertular
penyakit dan lebih tahan menghadapi kondisi lingkungan yang
kurang menguntungkan.
4. Bagi masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik semen, Citeureup-
Bogor perlu menanam tanam-tanaman atau pepohonan di sekitar
rumahnya, terutama di depan rumah atau di dekat ventilasi rumah
untuk mengurangi pencemar debu yang beterbangan di luar rumah
masuk ke dalam rumah.

32

Você também pode gostar