Você está na página 1de 11

Kasus 1

Topik : GERD

Tanggal Kasus : 09 November 2017

Presenter : dr. Rasdita Nurhidayati

Tanggal Presentasi : 16 Desember 2017

Pendamping : dr. Rola Astuti

Tempat Presentasi : RS Bhayangkara Hoegeng Imam Santoso Banjarmasin

Objektif Presentasi : Keterampilan, Diagnostik, dewasa

Deskripsi : pasien dewasa, laki-laki, usia 25 tahun dengan

GERD, keadaan umum tampak sakit sedang, muntah 8x, BAB

cair 1x, nyeri ulu hati, dada terasa sesak, dan sering

bersendawa.

Tujuan : Diagnosis dan tatalaksana simptomatis dan kausatif

GERD dan edukasi tindakan preventif

Bahan Bahasan : Kasus

Cara Membahas : Diskusi

Data Pasien : Nama Pasien : Tn. M

Data untuk bahan diskusi :

1. Diagnosis

GERD

2. Riwayat Pengobatan

GERD dan gangguan cemas

3. Riwayat Kesehatan/Penyakit :
• Mual & muntah sejak 1 hari SMRS

• BAB cair 1x, bocor, ampas (+)

• Dada terasa sesak dan begah

• Nyeri ulu hati

• Sering bersendawa

• Riwayat pengobatan GERD sebelumnya

4. Riwayat Keluarga

(-)

5. Lain-lain :

a. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : tampak sakit sedang, Kesadaran : kompos mentis

HR : 92x/menit, Suhu: 36.9⁰C, RR: 28x/menit

Status Gizi : BB : 58 kg

Mata : konjungtiva hiperemi, air mata +/+,sclera ikterik -/-

Hidung : mukosa lembab, mukosa merah muda, secret (-), rinorhea (-)

Mulut : mukosa basah (+)

Thorax : BJ I II (+), VBS +/+ whz -/-rh-/-

Abdomen : supel, hepar/lien tidak teraba, defans muscular (-), timpani, bising usus (+)

8x/m, nyeri tekan epigastrium (+)

Ekstremitas : edema -/-, CRT < 2”, akral teraba hangat

Hasil Pembelajaran

• Diagnosis Kerja dan Diagnosis Diferensial


GERD DD syndrome dispepsia

• Subyektif

Pasien adalah laki-laki berusia 25 tahun. Pada anamnesis didapatkan nyeri ulu hati

sekitar 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan disertai dengan mual dan muntah

sebanyak 8x, isi makanan, darah (-). Selain itu juga ditemukan rasa sesak dan penuh di

dada, tanpa disertai nyeri dada menjalar. Pasien mengaku perut terasa kembung dan

sering bersendawa akhir-akhir ini. Riwayat penyakit maag sebelumnya. Riwayat

hipertensi (-), riwayat penyakit kardiovaskular (-), riwayat penyakit DM (-).

• Objektif / Dasar Diagnosis

GERD adalah gangguan aliran balik asam lambung yang kembali ke esofagus oleh karena

kelemahan pada spincter atas lambung.

 Anamnesis :

Pasien dengan GERD bisanya mempunyai gejala yang tidak spesifik seperti globus

sensation, tenggorokan terasakering, nyeri dada, sesak, bahkan bisa sakit tenggorokan

dan disfagia.

 Pemeriksaan fisik :

BU (+) 12x/m,

Nyeri tekan pada epigastrium, McBurney (-), Murphy sign (-)

 Pemeriksaan penunjang

1. Endoskopi Esofagus

Esophagogastroduodenoscopy (EGD) berguna untuk visualisasi langsungdari saluran

cerna bagian atas, bersama dengan biopsy dan merupakan standar untuk pasien
dengan esofagitis dan gastritis. Pada pasien dengan GERD pemeriksaan ini bermakna

dalam mencari iritasi mukosa esofagus dan untuk menyingkirkan esofagitis Barret.

2. Monitoring pH Faringoesofangeal Ambulatory 24 Jam

Pemantauan pH faringofaringeal ambulatory 24 jam pernah dianggap sebagai standar

krteria untuk mendignosis refluks. Penelitian telah menunjukkanbahwa pemantauan

pH distal proksimal dan hipofaringeal hanya sensitivitas 70%,50% dan 40% dalam

mendeteksi refluks. Pemantauan pH esofagus, probe pH distal diletakkan 5 cm di atas

lower esophangeal spincter (LES) dan probe pH proksimal diletakkan 20 cm di atas

LES, tepat dibawah spingter esofagus bagian atas. Pemeriksaan pH ke tiga

ditempatkan dalam faring yang secara stimultan merekam perubahan yang

berhubungan dengan asam yang sampai ke faring. Pembacaan pH dicatat selama24

jam saat pasien menunjukkan onset, makan terakhir, tidur dan saat kambuhnya

refluks. Informasi yang disediakan oleh tes ini meliputi frekuensi, durasi danlokasi

kejaian refluks.

3. Pemeriksaan Histopatologi

Pemeriksaan histopatologi pada laringitis posterior ditandai oleh hiperplasia dari sel

epitel skuamosa dengan inflamsai kronik pada submukosa. Perkembangan penyakit

menjadi epitel menjadi atropi dan ulserasi dengan defositfibrin, jaringan granulasi dan

fibrosis pada submukosa.

4. Barium Enema

Sebuah pemeriksaan esofagus dengan menggunakan kontras barium yang dapat

mendemonstrasikan kelainan pada esofagus seperti pada GERD (misalnya: adanya

hernia hiatus esofagus distal atau penyempitan atau striktur). Pemeriksaan

esofagografi dengan kontras barium memiliki sensitivitas hanya 33% dalam


mendiagnosis refluks. Tes sinar-X, di mana suatu bahan pewarna ditelan, kemudian

dilakukan serangkaian pindai sinar-X untuk mengamati aliran bahan pewarna tersebut

dari esofagus ke perut. Bahan pewarna akan menggarisi rongga esofagus dan perut,

sehingga dapat mendeteksi pertumbuhan abnormal yang besar. Serangkaian sinar-X

juga dapat mendeteksi refl uks (aliran balik) bahan pewarna ke dalam esofagus.

6. Definisi

Gastro-oesophageal reflux disease ( GERD ) adalah salah satu kelainan yang

sering dihadapi di lapangan dalam bidang gastrointestinal. Penyakit ini berdampak

buruk pada kualitas hidup penderita dan sering dihubungkan dengan morbiditas yang

bermakna. Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux

Disease/GERD) didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks

kandungan lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan berbagai gejala yang

mengganggu (troublesome) di esofagus maupun laring dan/atau komplikasi.

Komplikasi yang berat yang dapat timbul adalah Barret’s esophagus, striktur,

adenokarsinoma di kardia dan esofagus

7. Etiologi

Penyebab GERD adalah adanya refluks secara retrograde dari asam lambung

atau isinya (pepsin) ke esofagus dan menimbulkan cedera mukosa. Sehingga terjadi

kerusakan silia yang menimbulkan pembentukan mucus, aktivitas berdeham (throat

clearing), dan batuk kronis yang berakibat iritasi dan inflamasi pada faring.1

Selain itu, refluks laringofaring dapat terjadi ketika ada perbedaan tekanan

antara tekanan positif intra abdominal dan tekanan negatif pada thoraks maupun
laringofaring. Refluks fisiologis gastroesofageal terjadi secara predominan karena

adanya Transient Lower Esophageal Sphincter Relaxation (TLESR).3

8. Komponen Reflux

Komponen refluks yang berperan menyebabkan kelainan patologi di daerah

laring adalah asam, pepsin, asam empedu dan tripsin. Pepsin dengan asam telah

diketahui menjadi komponen yang paling berbahaya yang berhubungan erat dengan

kejadian lesi di daerah laring. Pada percobaan pada hewan secara in vitro

menunjukkan pepsin menjadi aktif dan menyebabkan trauma pada sel-sel laring

sampai pH 6.4

Refluks dapat berbentuk gas, cair, atau campuran gas dan cairan. Mayoritas

dari refluks faringeal berbentuk gas, tanpa penurunan pH dan sama pada orang normal

dan pasien laringitis. Refluks yang berbentuk campuran gas dan cairan serta refluks

yang berbentuk gas dengan penurunan pH yang signifikan lebih sering pada penderita

penyakit refluks laringofaring.4

9. Patofisiologi

Patofisiologi GERD masih menjadi kajian banyak para ilmuan. Sampai saat ini dua

hipotesis yang diterima dikalangan ilmuan untuk prosesterjadinya GERD.

Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya GERD. Esofagitis

dapat terjadi sebagai akibat refluks esofageal apabila : 1). Terjadi kontak dalam waktu

yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus, 2). Terjadi

penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus (Makmun, 2009). Esofagus dan gaster

dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang dihasilkan oleh

kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini akan
dipertahankan kecuali pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke

esofagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah

(<3 mmHg).

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme : 1).

Refleks spontan pada saat relaksasi LES tidak adekuat, 2). Aliran retrograd yang

mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan, 3). Meningkatnya tekanan intra

abdomen. Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD

menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus (pemisah anti refluks,

bersihan asam dari lumen esofagus, ketahanan epitel esofagus) dan faktor

ofensif dari bahan refluksat. Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya

gejala GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks

fisiologis, antara lain dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan delayed

gastric emptying.

Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan

kurang didukung oleh data yang ada. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap GERD

merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam

lambung (Makmun, 2009). Tingginya angka infeksi H. pylori di Asia dengan

rendahnya sekresi asam sebagai konsekuensinya telah dipostulasikan sebagai salah

satu alasan mengapa prevalensi GERD di Asia lebih rendah dibandingkan dengan

negara-negara Barat. Hal tersebut sesuai dengan yang ditunjukkan pada satu studi di

Jepang yang dilakukan oleh Shirota dkk. Studi yang lain juga membuktikan

adanya hubungan terbalik antara derajat keparahan esofagitis refluks dengan infeksi

H. pylori. Hamada dkk menunjukkan insiden esofagitis refluks yang tinggi setelah

eradikasi H.pylori, khususnya pada pasien gastritis korpus dan mempunyai

predisposisi terhadap refluks hiatus hernia.


Hipotesis yang pertama yaitu asam lambung secara langsung mencederai

laring dan jaringan sekitarnya. karena rusaknya sistem pertahanan fisiologis yang

dapat mencegah masuknya cairan asam lambung ke dalam saluran pernafasan atas

yaitu sfingter bawah esofagus, fungsi motorik dari mukosa esofagus, resistensi

mukosa esofagus dan sfingter atas esofagu. Terdapat dua teori yang mendominasi

bagaimana asam lambung dapat memprovokasi gejala dan tanda klinis kelainan

ekstraesofageal. Yang pertama karena trauma langsung asam-pepsin ke laring dan

jaringan sekitarnya. Yang kedua adalah asam di distal esofagus menstimulasi refleks

yang dimediasi nervus vagus sehingga terjadi bronkokonstriksi yang mengakibatkan

berdeham (chronic throat clearing) dan batuk yang memprovokasi lesi mukosa.1,4,5

Gejala timbul karena trauma mukosa langsung atau kerusakan dari silia,

mengakibatkan stasis mukus dan berdeham (chronic throat clearing) dan batuk.

Tingkat keasaman juga mempengaruhi dimana pH 0-4 yang paling berbahaya.

Episode refluks asam yang lemah (pH 4-7) tidak dideteksi pada cut off limit pH 4

pada monitoring pH 24 jam, mungkin melewati esofagus tanpa gejala dan tanda klinis

tapi dapat mengiritasi mukosa laring yang sensitif. Epitel respiratori bersilia yang

terdapat di laring lebih sensitif terhadap asam, pepsin yang teraktivasi dan garam

empedu dari pada mukosa esofagus.1,4

Refluks laringofaring terjadi ketika perbedaan tekanan antara tekanan positif

intraabdominal dan tekanan negatif pada thoraks maupun laringofaring. Refluks

fisiologis gastroesofageal terjadi secara predominan karena adanya Transient Lower

Esophageal Sphincter Relaxation (TLESR). TLESR dirangsang oleh distensi

lambung, terutama pada masa postprandial dan diaktivasi oleh stretch reseptor pada

dinding lambung. Lengkung refleks terdiri dari impuls yang dimediasi oleh nervus

vagus ke nukleus traktus solitarius pada batang otak, eferen vagal ke sfingter bawah
esofagus dan non cholinergic, non nitergic inhibitory interneuron yang merelaksasi

sfingter. Relaksasi ini untuk membebaskan udara yang tertelan dengan sendawa. Hal

ini terjadi secara independen dari proses menelan, sekitar 5-30 detik, dan sering

setelah kontraksi dari sfingter bawah esofagus. Refluks ke daerah laringofaring terjadi

pada postprandial dan posisi upright.4,5,6

Pada saat terjadi penambahan tekanan intra abdomen yang normal, frekuensi

episode refluks meningkat karena insufisiensi tonus sfingter bawah esofagus oleh

mekanisme frekuensi relaksasi yang abnormal. Refleks vasovagal disusun oleh

mekanoreseptor aferen dibagian proksimal lambung dengan pusat pengaturan

dibatang otak dan eferen di sfingter bawah esofagus yang mengatur TLESR. Distensi

abdomen (post prandial atau karena pengosongan lambung yang abnormal atau pada

saat menelan udara) merupakan stimulus TLESR. Posisi yang menyebabkan letak

gastrooesophageal junction di bawah permukaan batas air dan udara di lambung juga

diduga menyebabkan terjadinya refluks.4,6

Faktor lain yang mempengaruhi dinamika tekanan dan volume lambung

adalah gerakan, ketegangan, obesitas, volume yang berlebihan atau makanan yang

hiperosmolar dan peningkatan usaha pernafasan saat batuk maupun wheezing.

Episode refluks berhubungan dengan 3 kelompok kelainan sfingter bawah esofagus,

yaitu : (1) tekanan sfingter bawah esofagus yang rendah, (2) relaksasi sfingter yang

tidak adekuat saat menelan maupun tidak menelan dan (3) peningkatan sementara

tekanan intraabdomen di lambung atau kombinasi antara (1) dan (2).1

Waktu dan frekuensi dari paparan asam yang menyebabkan penyakit refluks

laringofaring masih diperdebatkan. Koufman et al (2002) menyatakan satu kali

refluks sudah cukup menyebabkan gangguan. Hal ini berdasarkan penelitian pada
hewan dimana 3 kali refluks asam dan pepsin selama 1 minggu sudah dapat

menyebabkan kerusakan mukosa laring.4

Terdapat 4 barrier fisiologis sebagai proteksi dari refluks yaitu sfingter bawah

esofagus, acid clearance melalui fungsi motorik esofagus dan gaya gravitasi, resistensi

mukosa esofagus serta sfingter atas esofagus. Sfingter bawah esofagus merupakan

daerah yang terlokalisasi dengan baik antara esophageal body dan lambung,

mempunyai 2 fungsi yaitu memasukkan bolus makanan ke dalam lambung dengan

cara relaksasi serta mencegah kembalinya isi lambung ke esofagus. Pada saat

menelan, sfingter bawah esofagus mengalami relaksasi sebagai respon cepat dari

sistem saraf pusat. Tekanan sfingter bawah esofagus diatur oleh otot polos, saraf dan

hormon. Kemampuan sfingter bawah esofagus untuk menutup secara primer

disebabkan karena adanya aktifitas otot polos intrinsik. Persyarafan otonomik

esofagus dalam mempertahankan tekanan sfingter bawah esofagus masih menjadi

kontroversi.3

9. Tatalaksana Farmakologi

Terapi IGD:

• Infus RL 20 tpm

• Inj. Ondansetron 3x4mg

• Inj. Omeprazole 2x1vial

• Po. Sucralfat Syrup 3x1C

• Po. Braxidine 2x1 tab

10. Tatalaksanan Non-famakologi

A. Diet

- Kurangi porsi makan.


- Makan harus 2-3 jam sebelum tidur.

- Hindari makanan yang merangsang aktivitas otot LES (lower spicteresofagus) misalnya;

gorengan atau lemak, coklat, alkohol, kopi, minumanbersoda, buah jeruk atau jusnya, saus

tomat, cuka dan lain sebagainya.

- Makan lebih lambat untuk mengurangi udara masuk bersama makanan kedalam saluran

penernaan.

B. Aktivitas

- Menurunkan berat badan jika kelebihan berat badan.

- Tinggikan kepala saat tidur kira-kira 4-6 inci.

- Hindari pakaian ketat.

- Berhenti merokok.

C. Pembedahan

Tujuan terapi pembedahan adalah memperbaiki penahan/barier pada daerah pertemuan

esofagus dang aster sehingga dapat mencegah refluks seluruh isi gaster ke arah esofagus.

Keadaan ini dianjurkan pada pasien yang terus menerus harus mendapat terapi obat atau dosis

yang makin lama makin tinggi untuk menekan asam lambung.

6. Prognosis

Dubia ad bonam

Você também pode gostar