Você está na página 1de 54

Skenario :

Seorang anak laki-laki usia 9 tahun dibawa ibunya berobat ke poliklinik. Keuhan
kedua mata sering merah dan erasa gatal. Keadaan terutama dirasaan bila pasien sering
bermain bola ada siang hari .
Riwaya keluarga : ayah pasien menderita penyakit asma
Pemeriksaan oftalmologi :
VODS : 6/6
TIODS : 15,6 mmHg
Palpebra ODS : Blefarospasme
Konjunctiva tarsal superior ODS : Giant papil (+) , konjungtiva tarsal inferior ODS : Tenang
Konjungtiva bulbi ODS : Injeksi konjungtiva (=)
Kornea ODS : Horner Trantas Dots (+) di limbus, infiltrate punctata (-) , shield ulcer (-)
BMD, iris, pupil, lensa ODS : dalam batas normal
Segmen posterior ODS : Dalam batas normal
Klarifikasi Istilah :
1. VODS : Visus Oculi Dextra Sinistra
2. Blefarospasme : kontraksi dari otot kelopak mata yang berulang-ulang
tanpa disadari dan tidak dapat diperintah untuk
berhenti
3. Injeksi konjungtiva : pelebaran pembuluh darah konjungtiva posterior
4. Horner Trantas Dots : bintik bintik putih diepitel sekitar limbus yang
mengalami degenerasi musinosa
5. Giant papil : tonjolan atau elevasi yang berukuran besar yang
menyerupai seperti puting
6. Infiltrate punctata : bintik biintik putih pada permukaan kornea yang
dapat disebabkan oleh berbagai infeksi virus antara
virus Herpes simplex, zoster dan Vaksinea
7. Konjungtiva tarsal : konjungtiva yang menempel pada tarsus
8. BMD : rongga (space) antara kornea sampai iris
9. Konjungtiva bulbi : konjungtiva yang menempel pada bola mata
10. Limbus : tepi kornea yang menyatu dengan sclera
11. Asma : seranngan dyspnea paroksismal berulang yang
disertai dengan mengi karena kontraksi spasmodic
bronchi

1
Identfikasi Masalah
1. Seorang anak laki-laki usia 9 tahun dibawa ibunya berobat ke poliklinik. Keuhan
kedua mata sering merah dan erasa gatal. Keadaan terutama dirasaan bila pasien
sering bermain bola ada siang hari .
2. Riwaya keluarga : ayah pasien menderita penyakit asma
3. Pemeriksaan oftalmologi :
VODS : 6/6
TIODS : 15,6 mmHg
Palpebra ODS : Blefarospasme
Konjunctiva tarsal superior ODS : Giant papil (+) , konjungtiva tarsal inferior , ODS :
Tenang
Konjungtiva bulbi ODS : Injeksi konjungtiva (=)
Kornea ODS : Horner Trantas Dots (+) di limbus, infiltrate punctata (-) , shield ulcer
(-) BMD, iris, pupil, lensa ODS : dalam batas normal
Segmen posterior ODS : Dalam batas normal
Analisis Masalah
1. Seorang anak laki-laki usia 9 tahun dibawa ibunya berobat ke poliklinik. Keuhan
kedua mata sering merah dan erasa gatal. Keadaan terutama dirasaan bila pasien
sering bermain bola ada siang hari .
a. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin terhadap kasus ini ?
Secara epidemiologi, penyakit ini lebih banyak didapatkan pada laki-laki
dengan perbandingan 3:1. Sebagian besar pasien berusia antara 3-25 tahun. Alasan
mengenai korelasi ini masih kurang dipahami
b. Bagaimana mekanisme mata sering merah dan terasa gatal ?
 Dilatasi pembuluh darah dari efek faktor-faktor radang.
Hal ini dimulai dengan terbentuknya antibodi IgE spesifik terhadap antigen
bila seseorang terpapar pada antigen tersebut. Antibodi IgE berperan sebagai
homositotropik yang mudah berikatan dengan sel mast dan sel basofil. Ikatan
antigen dengan antibodi IgE ini pada permukaan sel mast dan basofil akan
menyebabkan terjadinya degranulasi dan dilepaskannya mediator-mediator kimia
seperti histamin, slow reacting substance of anaphylaxis, bradikinin, serotonin,
eosinophil chemotactic factor, dan faktor-faktor agregasi trombosit. Histamin
adalah mediator yang berperan penting, yang mengakibatkan efek vasodilatasi,
eksudasi dan hipersekresi pada mata. Keadaan ini ditandai dengan gejala seperti

2
mata gatal, merah, edema, berair, rasa seperti terbakar dan terdapat sekret yg
bersifat mukoid.
c. Mengapa keluhan dirasakan bila pasien sering bermain bola pada siang hari ?
Karena pada keadaan tersebutlah pasien paling rentan melakukan kontak
dengan antigen yang menjadi penyebab reaksi imun mata pada kasus ini.
d. Bagaiamana tatalaksana awal untuk mata merah dan terasa gatal ?
 Usahakan tidak menyentuh mata yang sehat setelah menyentuh mata yang
sakit
 Sekret mata dibersihkan
 Berhenti untuk menggosok mata yang gatal karena bisa saja alergen itu
tambah masuk ke dalam mata dan akan menyebabkan terjadinya proses
inflamasi
 Cucilah mata dengan air steril
 Gunakan obat tetes mata bila diperlukan
 Diberikan Epinephrin topical
 Diberikan antihistamin topical

2. Riwaya keluarga : ayah pasien menderita penyakit asma


a. Adakah hubungan antara riwayat keluarga dengan keluhan yang dialami pasien ?
Ada, banyak penelitian telah membuktikan bahwa gen-gen yang mengkode
pembentukan sitokin (terletak pada kromosom 5q) di ekspresikan secara
berlebihan oleh sel-sel inflamasi, termasuk sel limfosit T, pada pasien dengan
penyakit atopik. Sifat ini yang mungkin ada pada penderita asma dan diturunkan
kepada anaknya sehingga anaknya juga lebih mudah tersentisisasi oleh antigen.
Studi epidemiologi juga membuktikan bahwa anak dengan VKC juga mungkin
membawa penyakit atopi yang merupakan warisan dari orang tuanya, seperti
asma.

3. Pemeriksaan oftalmologi :
VODS : 6/6
TIODS : 15,6 mmHg
Palpebra ODS : Blefarospasme

3
Konjunctiva tarsal superior ODS : Giant papil (+) , konjungtiva tarsal inferior , ODS :
Tenang
Konjungtiva bulbi ODS : Injeksi konjungtiva (+)
Kornea ODS : Horner Trantas Dots (+) di limbus, infiltrate punctata (-) , shield ulcer
(-) BMD, iris, pupil, lensa ODS : dalam batas normal
Segmen posterior ODS : Dalam batas normal
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari pemeriksaan oftalmologi ?
 VODS : normal (6/6)
 TIODS : normal (10-20 mmgHg)
 Palpebra ODS : abnormal
 Blefarospasme
Kelopak mata membengkak dan kaku sehingga sukar di buka
(Blefarospasme). Sekret berlendir yang mengakibatkan kedua kelopak
mata melekat terutama saat bangun pagi, menyebabkan blefarospasme.
 Konjunctiva tarsal superior ODS : abnormal
 Giant papil (+)
Infiltrasi stroma oleh sel-sel PMN, eosinofil, basofil dan sel mast dalam
jumlah besar mengaktivasi enzim kolagenase menghasilkan kolagen dan
hialin diikuti dengan deposisi kolagen, hialuronidase, dan peningkatan
vaskularisasi yang mencolok  hiperplasia jaringan ikat yang meluas ke
arah atas  terbentuk giant papil.
 Konjunctiva tarsal inferior ODS : normal
 Konjunctiva bulbi ODS : abnormal
 Injeksi Konjungtiva (+)
Hiperemi terjadi karena pelebaran pembuluh darah sebagai akibat adanya
peradangan. Hiperemi mengakibatkan adanya kemerahan pada
konjungtiva. Injeksi konjungtiva biasanya karena pelebaran arteri
konjungtiva posterior, dengan gambaran klinis pembuluh darah berkelok,
konjungtiva merah dari bulbi menuju kornea dan ikut bergerak jika
konjungtiva bulbi digerakan.
 Horner Trantas Dots + : abnormal
 Pada tipe limbal seperti pada kasus, akan ditemukan vasodilatasi
konjungtiva bulbi (berwarna merah muda)  disusul perubahan
proliferasi jaringan fibrosa, peningkatan pembentukan jaringan kolagen,
4
infiltrasi stroma oleh eosinofil, basofil, sel plasma, limfosit dan kerusakan
endotel kapiler  gangguan suplai nutrisi  degenerasi epitel 
beberapa sel epitel silindris berubah menjadi sel epitel pipih  epitel
sekitar limbus mengalami degenerasi musinosa dengan deposit sebukan
sel radang  terbentuk bintik-bintik putih yang disebut horner trantas
dots.

 Infiltrate Punctata (-) : normal


 Shiel Ulcer (-) : normal
 BMD, iris, pupil, lensa ODS : normal
 Segmen Posterior ODS : normal

b. Bagaimana cara pemeriksaan oftalmologi (selain VODS) ?


1. Pemeriksaan TIODS  Tonometri
Tonometri adalah suatu tindakan untuk melakukan pemeriksaan tekanan
intraokular dengan menggunakan alat yang disebut tonometer. Tonometri
terutama diindikasikan pada pasien dengan dugaan menderita glaukoma
misalnya keadaan akut (mata merah, sakit, berair dan penglihatan menurun)
atau kronik (mata tenang lapang penglihatan menurun perlahan).
Cara mengukur tekanan bola mata dikenal 4 macam :
a. Tonometer digital palpasi
Merupakan pengukuran tekanan bola mata dengan jari pemeriksa
Alat : jari telunjuk kedua tangan pemeriksa
Teknik :

5
- Mata ditutup
- Pandangan kedua mata menghadap kebawah
- Jari-jari yang lain bersandar pada dahi dan pipi pasien
- Kedua jari telunjuk menekan bola mata pada bagian belakang kornea
bergantian
- Satu telunjuk mengimbangi saat telunjuk lain menekan bola mata
Nilai : didapat kesan berapa ringannya bola mata ditekan
Tinggi rendahnya tekanan dicatat sebagai berikut : N : normal, N+1 : agak
tinggi, N+2 : lebih tinggi lagi, N-1 : lebih rendah dari normal dst.
b. Tonometer Schiotz
Tonometer Schiotz merupakan tonometer indentasi atau menekan
permukaan kornea dengan beban yang dapat bergerak bebas pada sumbunya.
Benda yang ditaruh pada bola mata (kornea) akan menekan bola mata kedalam
dan mendapatkan perlawanan tekanan dari dalam melalui kornea.
Keseimbangan tekanan tergantung beban tonometer.
Alat dan Bahan : Tonometer Schiotz dan anestesi local (pantokain 0.5%)
Teknik :
- Pasien diminta rileks dan tidur telentang
- Mata diteteskan pantokain dan ditunggu sampai pasien tidak merasa
perih
- Kelopak mata pasien dibuka dengan telunjuk dan ibu jari, jangan
sampai bola mata tertekan
- Pasien diminta melihat lurus keatas dan telapak tonometer Schiotz
diletakkan pada permukaan kornea tanpa menekannya
- Baca nilai tekanan skala busur schiotz yang berantara 0-15. Apabila
dengan beban 5.5 gr (beban standar) terbaca kurang dari 3 maka
ditambahkan beban 7.5 atau 10 gr.
Nilai : pembacaan skala dikonversikan pada table tonometer schoitz untuk
mengetahui tekanan bola mata dalam mmHg
c. Tonometer aplanasi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendapatkan tekanan intra ocular dengan
menghilangkan pengaruh kekakuan sclera dengan mendatarkan permukaan
kornea. Tekanan merupakan tenaga dibagi dengan luas yang ditekan. Untuk
mengukur tekanan mata harus diketahui luas penampang yang ditekan alat

6
sampai kornea rata dan jumlah tenaga yang diberikan. Pada tonometer
Aplanasi Goldmann jumlah tekanan dibagi penampang dikali 10 dikonversi
dalam mmHg tekanan bola mata. Dengan tonometer aplanasi tidak
diperhatikan kekakuan sclera karena pada tonometer ini pengembangan dalam
mata 0.5 mm 3 sehingga tidak terjadi pengembangan sclera yang berarti. Pada
tonometer schiotz , pergerakan cairan bola mata sebanyak 7-14 mm3 sehingga
kekakuan sclera memegang peranan dalam penghitungan tekanan bola mata
Alat :
- Slit lamp dengan sinar biru
- Tonometer Aplanasi
- Flouresein strip
- Obat anastesi local
Teknik :
- Mata yang akan diperiksa diberi anastesi topical pantocain 0.5%
- Pada mata tersebut ditempelkan kertas flouresein yaitu pada daerah
limbus inferior. Sinar oblik warna biru disinarkan dari slit lamp
kedasar telapak prisma tonometer Aplanasi Goldmann
- Pasien diminta duduk dan meletakkan dagunya pada slitlamp dan
dahinya tepat dipenyangganya.
- Pada skala tonometer aplanasi dipasang tombol tekanan 10mmHg
- Telapak prisma aplanasi didekatkan pada kornea perlahan lahan
- Tekanan ditambah sehingga gambar kedua setengah lingkaran pada
kornea yang telah diberi flouresein terlihat bagian luar berhimpit
dengan bagian dalam
- Dibaca tekanan pada tombol putaran tonometer aplanasi yang member
gambaran setengah lingkaran yang berhimpit. Tekanan tersebut
merupakan TIO dalam mmHg.
Nilai : dengan tonometer Aplanasi, jika TIO > 20 mmHg sudah dianggap
menderita glaucoma.
d. Tonometer Mackay Marg
2. Pemeriksaan Eksternal Mata
Dilakukan pemeriksaan luar secara umum terhadap :

7
- Palpebra, supersilia
- Silia, margo palpebra
- Fisura palpebra
- Sistim lakrimal
- Gerak dan posisi bola mata
- Konjungtiva
- Sklera
- Kornea
- B M S , Iris dan pupil
- Lensa
Pada pemeriksaan ini kita dapat memakai alat khusus untuk dapat melihat lebih
jelas seperti, loupe dengan pebesaran tertentu dan Slitlamp yaitu mokroskop binokuler
yang terpasng pada meja dengan sumber cahaya khusus yang dapat diatur,
pembesaran10x sampai 16x. Dengan memeriksa slitlamp belahan anterior bola mata atau
segmen anterior dapat diamati. Rincian tepi pelpebra dan bulu mata,permukaan
konjungtiva, kornea, iris dan akueos dapat diteliti. Melalui pupil yang di lebarkan lensa
dan bagian anterior dari badan kaca dapat diamati :
1. Palpebra, Supersilia
Kelainan terlihat, tinggal menilai kelainannya, dengan palpasi dan lain-lain pada
jaringan ini mudah tanpa bantuan alat khusus.
2. Silia, Margo Palpebra
Satu atau bebrapa silia yang tumbuh kearah dalam mungkin lolos dari
pengamatan. Kulit kelopak disesuaikan sedikit, dan diamati dengan lope. Lihat
pangkal bulu mata mungkin ada keropong atau skuama (blefaritis)
3. Fissura Palpebra
Diperhatikan apakah sempit atau lebar. Diperiksa daerah pupil, apakah tidak
tertutup kelopak mata, bila pupil tertutup disebut ptosis. Dilihat fissura palpebra,
apakah dapat menutuup atau tidak.
4. Sistim Lakrimal
5. Gerakan bola mata
6. Posisi bola mata
7. Bentuk bola mata
8. Konjunctiva

8
Konjungtiva buli pada daerah fissura palpebra mudah diamati. Kojungtiva bawah
diperiksa dengan menyuruh pasien melihat ke atas, sambil menyesuaikan kelopak
bawah, bagian atas sebaliknya. Konjungtiva tarsalis inferior dan sklera diperiksa
bersama-sama dengan pemeriksaan kojungtiva buli inferior. Konjungtiva tarsal
superior, pasien diminta melihat ke bawah, pinggir kelopak atas dipegang
kemudian dilipat ke arah atas.
9. Sklera
10. Kornea
Kornea yang tidak rata dapat diketahui dengan melihat bentuk bayangan jendela
yang tidak rata pada kornea, bila perlu dilakukan pemeriksaan dengan lempeng
Placido. Placido adalah papan yang mempunyai garis hitam melingkar konsentris
dengan lobang kecil ditengahnya, lingkaran placido diproyeksikan pada kornea.
Akan terlihat keadaan permukaan kornea, bila bayangan placido baik teratur bulat
berarti kornea baik.
11. Bilik Mata Depan, Iris, Pupil, Lensa
- Hifema atau darah dibalik mata depan
- hipopion atau nanah dibalik mata depan
Kelainan warna iris, pupil yang melebar, diameter pupil kiri dan kanan tidak
sama, letak pupil yang tidak semestinya, pelekatan iris, kekeruhan lensa dapat
dilihat dengan setolop dan loupe.

c. Apa saja pemeriksaan penunjang lainnya yang diperlukan untuk mendiagnosis ?


Pemeriksaan lainnya yang mendukung untuk penyakit ini adalah pemeriksaan
darah untuk mengetahui jumlah sel mast, dan sel-sel leukosit (basofil, eusinofil,
limfosit, monosit, neutrofi) serta pemeriksaan serum antibody tubuh utamanya igE
untuk memastikan ini penyebabnya karena alergi.
4. Keratokonjungtivitis Vernalis
a. Differential Diagnosis
Gejala subyektif Glaukoma Uveitis akut Keratitis K Bakteri K. virus K. alergi
dan obyektif akut
PenurunanVisus +++ +/++ +++ - - -
Nyeri ++/+++ ++ ++ - - -
Fotofobia + +++ +++ - - -
Halo ++ - - - - -

9
Eksudat - - -/++ +++ ++ +
Gatal - - - - - ++
Demam - - - - -/++ -
Injeksi siliar + ++ +++ - - -
Injeksi konjungtiva ++ ++ ++ +++ ++ +
Kekeruhan kornea +++ - +/++ - -/+ -
Kelainan pupil Midriasis Miosis Normal/ N N N
nonrekatif iregular miosis
Kedalaman COA Dangkal N N N N N
Tekanan intraokular Tinggi Rendah N N N N

Sekret - + + ++/+++ ++ +
Kelenjar - - - - + -
preaurikular

 Atopic keratoconjunctivitis
 Seasonal allergic conjunctivitis
 Viral conjunctivitis
 Bacterial conjunctivitis
 Chlamydial and Gonococcal conjunctivitis
 Superior Limbic Keratoconjunctivitis (SLK of Theodore)
 Toxic conjunctivitis
 Giant papillary conjunctivitis (associated with foreign body or chronic
inflammation)

10
 Episcleritis or Scleritis
 Pterygium
 Phylctenulosis
b. Cara penegakan diagnosis
Diagnosis: Keratokonjungtivitis Vernalis
EPIDEMIOLOGY SIGNS
 <1% of population  Bilateral process
 Males > Females  Giant cobblestone papillae of the
 Most common 5-20 superior tarsal conjunctiva
years of age  Superior limbal conjunctivitis
 Most common in  Horner-Trantas dots
thespringtime (corr  Corneal shield (Togby's) ulcers
elating to allergen  Conjunctival injection
levels)
 Predilection
for warm climates

SYMPTOMS TREATMENT
 Ocular itching 4 weeks prior to allergy season begin
 Photophobia topical treatment with:
 Ocular burning  Mast cell stabilizer (i.e.
 Tearing cromolyn sodium 4%
 Sticky mucous discharge QID)
 Red eye  Mast cell
stabilizer/Antihistamin
e: (i.e. olopatadine 0.1%
BID OR lodoxamide
0.1% QID)
 Antahistamine: (i.e.
azelastine 0.05% BID)
If severe inflammation or shield ulcer is
present:
 Topical
steroid(fluorometholone

11
0.1% to 0.25% OR
lotepredonol 0.5% OR
prednisolone acetate 1%
OR dexamethesone 0.1%
ointment) 4-6 times a
day
 +/- topical antibiotic and
cycloplegic agent
 Cool compresses
If not responding to treatment, consider
cyclosporine 0.05% BID

c. Work Diagnosis
Keratokonjungtivitis Vernalis
d. Definisi
Keratokonjungtivitis adalah peradangan ("-itis") dari kornea dan konjungtiva.
Ketika hanya kornea yang meradang, hal itu disebut keratitis, ketika
hanya konjungtiva yang meradang, hal itu disebut konjungtivitis.
Keratokonjungtivitis adalah peradangan kornea dan konjungtiva yang dicetuskan
oleh reaksi alergi
e. Etiologi
Penyebab konjungtivitis vernalis adalah reaksi hipersensitifitas tipe I atau
reaksi alergi pada mata terhadap allergen yang ada di udara dan cenderung
kambuh pada musim panas, atau cuaca tertentu dimana antigen banyak tersebar
misalnya benang sari bunga, pollens, debu, bulu binatang, tungau rumah dan
fesesnya dan sebagainya
f. Epidemiologi
 <1% of population
 Males > Females
 Most common 5-20 years of age
 Most common in thespringtime (correlating to allergen levels)
 Predilection for warm climates
g. Faktor risiko

12
 Family history of allergies
 Asthma
 Eczema
 Men are more likely to have VKC than women

h. Klasifikasi
Ada dua tipe konjugtivitis vernalis :
a. Bentuk Palpebra
Pada tipe palpebral ini terutama mengenai konjungtiva tarsal superior,
terdapat pertumbuhan papil yang besar atau cobble stone yang diliputi secret
yang mukoid. Konjungtiva bawah hiperemi dan edema dengan kelainan
kornea lebih berat disbanding bentuk limbal. Secara klinik, papil besar ini
tampak sebagai tonjolan bersegi banyak dengan permukaan uang rata dan
dengan kapiler di tengahnya.
b. Bentuk Limbal
Hipertrofi pada limbus superior yang dapat membentuk jaringan hiperplastik
gelatine. Dengan trantas dot yang merupakan degenerasi epitel kornea atau
eosinofil di bagian epitel limbus kornea, terbentuknya panus dengan sedikit
eosinofil
i. Patofisiologi
Kehadiran allergen pada konjungtiva mengakibatkan stimulasi dua sistem
imun. Yang pertama akan melepaskan mediator radang seperti histamin dari mast
sel dan yang lainnya akan mengeluarkan prostaglandin. Ini merupakan reaksi yang
cepat kira 8-24 jam. Allergen yang masuk akan diikat oleh Ig E yang merupakan
antibody dan mengakibatkan degranulasi dari sel mast. Degranulasi tersebut akan
mengeluakan histamine,bradikinin, prostaglandin, dan lain-lain. Mediator yang
lepas dari sel mast, histamine dan bradikinin, akan segera merangsang
nosiseptoryang mengakibatkan rasa gatal. Keduanya juga meningkatkan
permeabilitas vascular dan vasodilatasi sehingga timbul mata merah dan injeksi
konjungtiva. Sementara itu mediator lain yang lepas dari sel mast akan
mengeluarkan signal kimia yang menarik sel darah putih dan sel darah merah ke
daerah yang terkena. Ketika sel-sel ini sampai mereka akan mudah mencapai
permukaan konjungtiva karena pelebaran pembuluh darah dan peningkatan
permeabilitas kapiler.

13
Perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya dengan timbulnya radang
interstitial yang banyak didomonasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I. Pada
konjungtiva akan dijumpai hiperemia dan vasodilatasi difus, yang akan cepat
diikuti dengan hiperplasi akibat proliferasi jaringan yang menghasilkan jaringan
ikat yang tidak terkendali. Kondisi ini akan diikuti oleh hyalininsasi dan
menimbulkan deposit pada konjungtiva sehingga terbentuklah gambaran
cobblestone. Jaringan ikat yang berlebihan ini akan memberikan warna putih susu
kebiruan, sehingga konjungtiva tampak buram dan tidak berkilau. Proliferasi yang
spesifik pada konjungtiva tarsal, oleh von Graefe disebut pavement like
granulations. Hipertrofil papil pada konjungtiva tarsal tidak jarang menghasilkan
ptosis mekanik dan dalam kasus yang berat akan disertai keratitis serta erosi epitel
kornea.
Limbus konjungtiva juga menunjukan perubahan akibata vasodilatasi dan
hipertropi yang menghasilkan lesi fokal. Pada tingkat yang berat, kekeruhan pada
limbus sering menimbulkan gambaran distrofi dan menimbulkan gangguan dalam
kualitas dan kuantitas stem cells limbus. Kondisi yang terakhir ini mungkin
berkaitan dengan konjungtivalisasi pada penderita konjungtivitis dan di kemudian
hari berisiko timbulnya pterigium pada usia muda. Disamping itu terdapat kista-
kista kecil yang dengan cepat akan mengalami degenerasi
j. Pathogenesi
Tahap awal konjungtivitis vernalis ditandai oleh fase prehipertrofi. Dalam
kaitan ini akan tampak pembentukan neovaskularisasi dan pembentukan papil
yang di tutup oleh satu lapis sel epitel dengan degenerasi mukoid dalam kripta
diantara papil serta pseudomembran milky white. Pembentukan papil ini
berhubungan dengan infiltrasi stroma oleh sel-sel PMN, eosinofil, basofil dan sel
mast. Tahap berikutnya akan dijumpai sel-sel mononuclear seperti limfosit
makrofag. Sel mast dan eosinofil yang dijumpain dalam jumlah besar dan terletak
superficial. Dalam hal ini, hampir 80% sel mast dalam kondisi terdegranulasi.
Temuan ini sangat bermakna dalam mambuktikan peran sentral sel mast
dalam kasus konjungtivitis vernalis. Keberadaan eosinofil dan basofil, khususnya
di dalam konjungtiva, sudah cukup menandai adanya abnormalitas jaringan.
Proliferasi limfosit akan membentuk beberapa nodul limfoid. Sementara itu,
beberapa granula eosinofilik dilepaskan dari sel eosinofil, menghasilkan badan
sitotoksik yang berperan dalam kekambuhan konjungtivitis.

14
Fase vaskuler dan seluler dini akan segera di ikuti dengan deposisi kolagen,
hialuronidase, peningkatan vaskularisasi yang lebih mencolok, serta reduksi sel
radang secara keseluruhan. Deposisi kolagen dan substansi dasar maupun seluler
mengakibatkan terbentuknya deposit stone yang terlihat secara nyata pada
pemeriksaan klinis.
Hiperplasi jaringan ikat meluas keatas membentuk giant pupil bertangkai
dengan dasar perlekatan yang luas. Kolagen maupun pembuluh darah akan
mengalami hialinisasi. Epiteliumnya berproliferasi menjadi 5 – 10 lapis sel epitel
yang edematous dan tidak beraturan. Sering dengan bertambah besarnya pupil ,
lapisan epitel akan mengalami atrofi di apek sampai hanya tinggal satu lapis sel
yang kemudian akan mengalami keratinisasi. Serbukan sel, serta proliferasi dan
akumulasi serabut kolagen dan fibrosa tersebut memberika gambaran penebalan
menonjol dari permukaan konjungtiva tarsalis yang di namakan cobble stones.
Pada limbus juga terjadi transformasi patologis yang sama berupa
pertumbuhan epitel yang hebat meluas, bahkan dapat terbentuk 30-40 lapis sel
(acanthosis). Homer-Trantas dot’s yang terdapat didaerah ini sebagian besar
terdiri atas eosinofil, debriseluler yang terdeskuamasi, nemun masih ada sel PMN
dan limfosit serta proliferasi jaringan kolagen dan fibrosa yang semakin
bertambah. Didalam ulkus kornea non infeksi pada kasus keratokonjungtivitis
vernalis dapat ditemukan Kristal Charcot Leyden yang merupakan granula
eosinofil dan plak mukoid
k. Manifestasi klinis
Gejala dari konjungtivitis vernal adalah timbulnya gejala radang (merah, sakit,
bengkak, dan panas), gatal yang hebat, kotoran mata yang kental dan lengket,
mata berair, silau (fotofobia), yang bersifat berulang dan menahun namun tidak
disertai penurunan visus
l. Tatalaksana
4 weeks prior to allergy season begin topical treatment with:
 Mast cell stabilizer (seperti cromolyn sodium 4% QID)
 Mast cell stabilizer/Antihistamine: (seperti olopatadine 0.1% BID OR
lodoxamide 0.1% QID)
 Antahistamine: (seperti azelastine 0.05% BID)
Jika ada shield ulcer, maka terapi ditambahkan:

15
 Topical steroid(fluorometholone 0.1% to 0.25% OR lotepredonol 0.5%
OR prednisolone acetate 1% OR dexamethesone 0.1% ointment) 4-6 times
a day
 +/- topical antibiotic and cycloplegic agent
 Cool compresses
Jika tidak ada respon, pertimbangkan cyclosporine 0.05% BID
Kategori obat-obatan sebagai mast cell stabilizer berguna untuk mengurangi
gatal, hyperemia, dan pengelupasan mukus. Pada kasus berat dipertimbangkan
menggunakan mild kortikosteroid. Sering kali pasien VKC menderita asma.
Penggunaan topical antihistamines bisa membantu menurunkan ocular itching
Manajemen VKC bertujuan untuk mengurangi gejala. Cara yang paling efektif
adalah dengan menghindari paparan dari allergen. Pasien dapat menggunakan
kompres dingin, artificial tears, lubricated, untuk menghilangkan alergen dari
mata.
m. Komplikasi
Kerusakkan kornea, katarak, glukoma
n. Prognosis
Pada umumnya prognosis penyakit ini bagus. Tapi sekitar 6% pasien
berkembang mengalamai corneal damage, cataract, atau glaucoma. Prognosis
semakin buruk bila giant papile makin membesar dan konjungtivitis terjadi di
daerah konjungtiva bulbar
o. SKDI
4A
Hipotesis :
Seorang anak laki-laki 9 tahun menderita Vernal Keratokonjungtivitis

16
Learning Issue :
1. Anatomi dan Fisiologi Mata
Anatomi Kelopak Mata
Kelopak atau palpebra berfungsi untuk melindungi bola mata serta mengeluarkan
sekresi kelenjarnya yang membentuk film air mata di depan kornea.

Pada kelopak terdapat beberapa bagian, yaitu:


1. Kelenjar
- Kelenjar sebasea
- Kelenjar Moll atau kelenjar keringat
- Kelenjar Zeis pada pangkal rambut
- Kelenjar Meibom pada tarsus.
2. Otot
- M. orbikularis okuli, berjalan melingkar di dalam kelopak atas dan bawah, dan
terletak di bawah kulit kelopak. Pada dekat tepi margo palpebra terdapat otot
orbikularis okuli yang disebut sebagai M. Rioland. M. orbikularis berfungsi
menutup bola mata yang dipersarafi N. Facial.
- M. levator palpebra, berorigo pada anulus foramen orbita dan berinsersi pada
tarsus atas dengan sebagian menembus M. orbikularis okuli menuju kulit kelopak
bagian tengah. Bagian kulit tempat insersi M. levator palpebra terlihat sebagai
sulkus (lipatan) palpebra. Otot ini dipersarafi oleh n. III, yang berfungsi untuk
mengangkat kelopak mata atau membuka mata.

17
3. Tarsus, terdiri atas jaringan ikat yang merupakan jaringan penyokong kelopak dengan
kelenjar Meibom (40 buah di kelopak atas dan 20 buah pada kelopak bawah).
4. Pembuluh darah yang memperdarahinya adalah a. palpebra.
5. Persarafan sensorik kelopak mata atas didapatkan dari ramus frontal N. V, sedang
kelopak bawah oleh cabang ke II saraf ke V.

Anatomi Sistem Lakrimalis


Sistem sekresi air mata atau lakrimal terletak di daerah temporal bola mata. Sistem lakrimal
terdiri atas 2 bagian, yaitu:
- Sistem produksi atau glandula lakrimal
- Sistem ekskresi yang terdiri dari pungtum lakrimalis, kanalikuli
lakrimal, sakus lakrimal dan duktus nasolakrimal. Air mata dari duktus lakrimal akan
mengalir ke dalam rongga hidung di dalam meatus inferior.

Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian belakang.
Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ini. Konjungtiva
mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola
mata terutama kornea.

Selaput ini mencegah benda-benda asing di dalam mata seperti bulu mata atau lensa
kontak (contact lens), agar tidak tergelincir ke belakang mata. Bersama-sama dengan kelenjar
lacrimal yang memproduksi air mata, selaput ini turut menjaga agar kornea tidak kering.

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :


1. Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari
tarsus.
2. Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya.
3. Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan
konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
Anatomi Bola Mata

18
Bola mata terdiri atas :
- Dinding bola mata
- Isi bola mata.
Dinding bola mata terdiri atas sklera dan kornea, sedangkan isi bola mata terdiri atas uvea,
retina, badan kaca dan lensa.
Bola mata dibungkus oleh 3 lapis jaringan, yaitu:
1. Sklera
Bagian putih bola mata yang bersama-sama dengan kornea merupakan pembungkus
dan pelindung isi bola mata. Sklera berjalan dari papil saraf optik sampai kornea.
Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal dan memberikan bentuk pada mata.
Tebalnya kira-kira 1 mm. Sklera mempunyai kekakuan tertentu sehingga
mempengaruhi pengukuran tekanan bola mata. Kekakuan sklera dapat meninggi pada
pasien diabetes melitus, atau merendah pada eksoftalmos goiter, miotika, dan
meminum air banyak.
2. Uvea
Jaringan uvea merupakan jaringan vaskular. Jaringan uvea ini terdiri atas iris, badan
siliar, dan koroid.
- Iris adalah perpanjangan korpus siliare ke anterior. Iris terletak bersambungan dengan
permukaan anterior lensa yang memisahkan kamera anterior dan kamera posterior
yang berisi humor aquaes. Iris berwarna karena mengandung pigmen. Pasok darah ke

19
iris adalah dari circulus major iris. Persarafan iris adalah dari serat-serat di dalam
nervi siliares. Di bagian tengah iris terdapat bagian berlubang yang disebut pupil. Iris
berfungsi untuk mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Pada
iris didapatkan pupil yang oleh 3 susunan otot dapat mengatur jumlah sinar masuk ke
dalam bola mata yaitu otot dilatator, sfingter iris dan otot siliar. Otot siliar yang
terletak di badan siliar mengatur bentuk lensa untuk kebutuhan akomodasi.
- Badan siliaris secara kasar berbentuk segitiga pada potongan melintang. Membentang
ke depan dari ujung anterior khoroid ke pangkal iris, terdiri dari suatu zona anterior
yang berombak-ombak, pars plikata, dan zona posterior yang datar, pars plana.
Musculus siliaris tersusun dari gabungan serat longitudinal, sirkuler, dan radial.
Fungsi serat – serat sirkuler adalah untuk mengerutkan dan relaksasi serat – serat
zonula yang beorigo di lembah – lembah diantara processus siliaris. Pembuluh –
pembuluh darah yang mendarahi korpus siliare berasal dari lingkaran utama iris. Saraf
sensorik iris adalah melalui saraf – saraf siliaris. Badan siliar yang terletak di
belakang iris menghasilkan cairan bilik mata (akuos humor), yang dikeluarkan
melalui trabekulum yang terletak pada pangkal iris di batas kornea dan sklera.
3. Retina
Lapis ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan mempunyai
susunan lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis membran neurosensoris yang
akan merubah sinar menjadi rangsangan pada saraf optik dan diteruskan ke otak.
Terdapat rongga yang potensial antara retina dan koroid sehingga retina dapat terlepas
dari koroid yang disebut ablasi retina.
Kornea
Kornea (Latin cornum=seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian selaput
mata yang tembus cahaya. Kornea merupakan lapisan jaringan yang menutupi bola mata
sebelah depan dan terdiri atas 5 lapis, yaitu:
1. Epitel
- Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis selepitel tidak bertanduk yang saling tumpang
tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi
lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan
erat berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya
melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air,
eliktrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.

20
- Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi
gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
- Epitel berasal dari ektoderm permukaan
2. Membran Bowman
- Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
- Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan
lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sadangkan dibagian perifer
serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu
lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea
yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah
trauma.
4. Membran Descement
- Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya
- Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40 μm.
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu,bentuk heksagonal, besar 20-40 μm.
Endotel melekat pada membran descement melalui hemi desmosom dan zonula
okluden,
Lensa
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular tak berwarna dan hampir transparan
sempurna. Di belakang iris lensa digantung oleh zonula yang menghubungkan dengan korpus
siliare. Di sebelah anterior terdapat humor aquaeus dan di sebelah posterior terdapat vitreus.
Kapsul lensa adalah suatu membrane yang semi permiabel yang akan memperbolehkan air
dan elektrolit masuk. Lensa ditahan di tempatnya oleh ligamentum yang dikenal dengan
zonula ( zonula Zinnii ) ke badan siliare. Lensa mata berfungsi untuk membiaskan cahaya.

Pupil

21
Pupil pada anak-anak pupil berukuran kecil karena belum berkembangnya saraf
simpatis. Orang dewasa ukuran pupil sedang, dan orang tua pupil mengecil akibat rasa silau
yang dibangkitkan oleh lensa yang sklerosis. Pada waktu tidur pupil mengalami pengecilan
akibat dari berkurangnya rangsangan simpatis dan kurang rangsangan hambatan miosis.
Mengecilnya pupil berfungsi untuk mencegah aberasi kromatis pada akomodasi.
Bilik-bilik dalam mata
Bola mata mempunyai 2 bilik yaitu, bilik mata depan yang merupakan ruangan
dibatasi oleh kornea, iris, lensa dan pupil serta berisi humor aquos yang membawa makanan
untuk jaringan mata sebelah depan. Kemudian bilik mata belakang yang paling sempit pada
mata.
Humor Aquaeus
Humor aquaeus diproduksi oleh korpus siliare, setelah memasuki kamera posterior
humor aquaeus melalui pupil dan masuk ke kamera anterior. Humor aquaeus adalah suatu
cairan jernih yang mengisi kamera anterior dan posterior mata. Tekanan intraocular
ditentukan oleh kecepatan pembentukan humor aquaeus.
Otot-otot penggerak mata

22
 medial rectus (MR) — menggerakkan mata ke arah dalam atau mendekati hidung
(adduction)
 lateral rectus (LR )— menggerakan mata ke arah luar atau menjauhi hidung
(abduction)
 superior rectus (SR) — menggerakkan mata ke atas (elevation)
o membantu otot superior oblique memutarkan bagian atas mata kearah
mendekati hidung (intorsion)
o membantu otot medial rectus melakukan gerakan adduction
 inferior rectus (IR) — menggerakkan mata ke bawah (depression)
o membantu otot inferior oblique memutarkan bagian tas mata ke arah menjauhi
hidung (extorsion)
o membantu oto lateral rectus melakukan gerakan abduction.
 superior oblique (SO) — memutarkan bagian atas mata mendekati hidung (intorsion)
o membantu gerakan depression dan abduction
 inferior oblique (IO) — memutarkan bagian atas mata menjauhi hidung (extorsion)
o membantu gerakan elevation dan abduction.

23
Fisiologi Mata Terhadap serangan dari luar

A. Proteksi Non-imun (Sawar Anatomik)


Mekanisme perlindungan yang bersifat non imun secara alamiah antara lain :
1. Palpebra, yang melindungi mata dari paparan dengan lingkungan luar.
Palpebra melindungi permukaan okuler terhadap organisme yang tersebar di udara,
benda asing dan trauma minor.
2. Bulu mata, mampu mendeteksi adanya benda asing dan segera memicu kedipan mata.
3. Air mata, mempunyai efek mengencerkan dan membilas. Memegang peranan dalam
menjaga integritas dari epitel konjungtiva dan kornea yang berfungsi sebagai barier
anatomi. Pembilasan yang terus menerus pada permukaan okuler mencegah melekatnya
mikroorganisme pada mata.
Integrasi antara palpebra, silia, air mata dan permukaan okuler merupakan sebuah
mekanisme proteksi awal terhadap benda asing. Epitel kornea adalah epitel skuamosa non
keratin yang terdiri hingga lima lapis sehingga akan menyulitkan mikroorganisme untuk
menembus lapisan-lapisan tersebut. Selain itu kornea juga diinervasi oleh ujung serabut saraf
tidak bermielin sehingga akan memberikan peringatan awal yang sangat cepat bagi mata
terhadap trauma dikarenakan oleh sensitifitasnya.

B. Proteksi Imun
1. Sistem Lakrimalis
Proteksi imun untuk mucosal surface termasuk permukaan okuler adalah Mucosa-
Associated Lymphoid Tissue (MALT) . MALT terbentuk oleh adanya interkoneksi dari
daerah mukosa yang memberikan gambaran imunologis spesifik tertentu yaitu terdapat
banyak APC, struktur khusus untuk memproses antigen secara terlokalisir (tonsil) dan sel
efektor (sel T intraepitelial dan sel mast yang berlimpah). Salah satu fungsi utama MALT
adalah untuk menciptakan keseimbangan antara imunitas dan toleransi untuk mencegah
kerusakan jaringan mukosa.
Jaringan limfoid difus pada permukaan glandula lakrimal, duktus lakrimal,
konjungtiva (conjunctival associated lymphoid tissue atau CALT) dan berlanjut sampai
kanalikulus serta sistem drainase lakrimal (lacrimal drainade–associated lymphoid tissue atau
LDALT) secara keseluruhan disebut Eye-Associated Lymphoid Tissue (EALT). EALT
merupakan kumpulan sel-sel limfoid yang terletak pada epitel permukaan mukosa. Sel-sel ini
menghasilkan antigen dan mampu menginduksi terjadinya respon imun seluler maupun

24
humoral. Kelenjar lakrimalis merupakan penghasil IgA terbesar bila dibandingkan dengan
jaringan okuler lainnya.
2. Tear Film
Air mata mengandung berbagai mediator seperti histamin, triptase, leukotrin dan
prostaglandin yang berhubungan dengan alergi pada mata. Mediator-mediator itu berasal dari
sel mast. Semuanya dapat menimbulkan rasa gatal, kemerahan, air mata dan mukus yang
berhubungan dengan penyakit alergi akut dan kronis. Pengerahan komponen seluler lokal
melibatkan molekul adhesi seperti Intercelluler Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) di epitel
konjungtiva yang meningkatkan adhesi leukosit ke epitel dan endotel. Ekspresi molekul
adhesi diatur oleh banyak komponen ekstraseluler dan intraseluler seperti sitokin
proinflamasi, matriks protein ekstraseluler dan infeksi virus.
Pada lapisan mukus yang diproduksi oleh sel goblet dan sel epitel konjungtiva,
glikocalyx yang disintesis epitel kornea membantu perlekatan lapisan mukus sehingga
berhubungan dengan imunoglobulin pada lapisan akuos. Pada lapisan akuos sendiri, banyak
mengandung faktor-faktor terlarut yang berperan sebagai antimikroba. Seperti laktoferin,
lisozim, dan β-lisin. Laktoferin berfungsi utama dalam mengikat besi yang dibutuhkan oleh
pertumbuhan bakteri, sehingga bersifat bakteriostatik dan bakterisidal. Lisozim efektif dalam
menghancurkan dinding sel bakteri gram positif. β-lisin memiliki kemampuan dalam merusak
dinding sel mikroorganisme. Selain faktor terlarut tersebut, lapisan akuos juga mengandung
banyak IgA yang sangat efektif dalam mengikat mikroba, lalu melakukan opsonisasi,
inaktivasi enzim dan toksin dari bakteri, serta berperan langsung sebagai efektor melalui
Antigen Dependent Cell Cytotoxycity (tanpa berinteraksi dengan komplemen).
3. Konjungtiva
Konjungtiva terdiri dari dua lapisan : lapisan epitel dan lapisan jaringan ikat yang
disebut substansia propria. Konjungtiva tervaskularisasi dengan baik dan memiliki sistem
drainase limfe yang baik ke limfonodi preaurikularis dan submandibularis. Jaringan ini
mengandung banyak sel Langerhans, sel dendritik dan makrofag yang berperan sebagai
Antigen Presenting Cell (APC) yang potensial. Folikel pada konjungtiva yang membesar
setelah infeksi ataupun inflamasi pada ocular surface menunjukkan adanya kumpulan sel T,
sel B dan APC. Folikel ini merupakan daerah untuk terjadinya respon imun terlokalisir
terhadap antigen oleh sel B dan sel T secara lokal di dalam folikel.
Proteksi imun untuk mucosal surface termasuk ocular adalah Mucosa-Associated
Lymphoid Tissue. MALT terbentuk oleh adanya interkoneksi dari daerah mukosa yang
memberikan gambaran imunologis spesifik tertentu yaitu banyak terdapat APC, struktur

25
khusus untuk memproses antigen secara terlokalisir (Peyer’s patches atau tonsil) dan sel
efektor (sel T intraepitelial dan sel mast yang berlimpah). Salah satu fungsi utama MALT
adalah untuk menciptakan keseimbangan antara imunitas dan toleransi untuk mencegah
kerusakan jaringan mukosa.
Substansia propria kaya akan sel-sel imun dari bone marrow yang akan membentuk
sistem imun mukosa pada konjungtiva yang dikenal dengan Conjunctiva Associated
Limphoied Tissue (CALT) yang merupakan salah satu bagian dari MALT. CALT merupakan
sistem imunoregulasi yang utama bagi konjungtiva. Pada substansia propria terdapat
neutrofil, limfosit, IgA, IgG, sel dendrite dan sel mast. Eosinofil dan basofil tidak ditemukan
pada konjungtiva yang sehat. Konjungtiva mengandung banyak sel mast. IgA merupakan
antibodi yang paling banyak dalam lapisan air mata. IgA menyerang bakteri dengan cara
“membungkusnya” sehingga mencegah terjadinya perlekatan antara bakteri dengan sel epitel.
Molekul terlarut yang banyak adalah komplemen. Respon imun yang terjadi pada
konjungtiva sebagian besar merupakan respon imun yang dimediasi oleh antibodi dan
limfosit, namun juga terdapat respon imun yang dimediasi oleh IgE terhadap sel mast pada
reaksi alergi.
4. Sklera
Sklera sebagian besar terdiri atas jaringan ikat kolagen. Hal ini menyebabkan sklera
bersifat relatif lebih avaskuler dibandingkan dengan konjungtiva. Karenanya pada sklera
hanya terdapat sedikit sel imun jika dibandingkan dengan konjungtiva. Dalam keadaan
normal sklera hanya sedikit mengandung sel-sel limfosit, makrofag dan neutrofil. Namun
sebagai respon imun saat terjadi inflamasi pada sklera sel-sel imun tersebut memasuki sklera
melalui pembuluh darah episklera dan pembuluh darah koroid Pada saat istirahat IgG
ditemukan dalam jumlah yang cukup besar.
5. Kornea
Kornea unik karena bagian perifer dan sentral jaringan menunjukkan lingkungan
mikro imunologis yang jelas berbeda. Hanya bagian limbus yang tervaskularisasi. Limbus
banyak mengandung sel Langerhans, namun bagian perifer, parasentral dan sentral dari
kornea dalam keadaan normal sama sekali tidak mengandung APC. Namun demikian,
berbagai stimulus dapat membuat sitokin tertentu (seperti IL-1) menarik APC ke sentral
kornea. Komplemen, IgM dan IgG ada dalam konsentrasi sedang di daerah perifer, namun
hanya terdapat IgG dengan level yang rendah pada daerah sentral.
Sel kornea juga terlihat mensintesis berbagai protein imunoregulasi dan antimikrobial.
Sel efektor tidak ada atau hanya sedikit terdapat pada kornea normal, namun PMN, monosit

26
dan limfosit siap siaga bermigrasi melalui stroma jika stimulus kemotaktik teraktivasi.
Limfosit, monosit dan PMN dapat pula melekat pada permukaan endotel selama inflamasi,
memberikan gambaran keratik presipitat ataupun garis Khodadoust pada rejeksi endotel
implan kornea. Proses lokalisasi dari suatu respon imun tidak terjadi pada kornea, tidak
seperti halnya pada konjungtiva.
Kornea juga menunjukkan suatu keistimewaan imun (Immune Privilege) yang
berbeda dengan uvea. Keistimewaan imun dari kornea bersifat multifaktorial. Faktor utama
adalah struktur anatomi limbus yang normal, dan lebih khusus lagi kepada keseimbangan
dalam mempertahankan avaskularitas dan tidak adanya APC pada daerah sentral kornea.
Ditambah oleh tidak adanya pembuluh limfe pada daerah sentral, menyebabkan lambatnya
fase pengenalan pada daerah sentral. Meski demikian, sel-sel efektor dan molekul-molekul
lainnya dapat menginfiltrasi kornea yang avaskuler melalui stroma. Faktor lain adalah adanya
sistem imunoregulasi yang intak dari bilik mata depan, dimana mengadakan kontak langsung
dengan endotel kornea.
6. Bilik Depan Mata, Uvea Anterior dan Vitreus
Bilik mata depan merupakan rongga berisi cairan humor akuos yang bersirkulasi
menyediakan medium yang unik untuk komunikasi interseluler antara sitokin, sel imun dan
sel pejamu dari iris, badan siliar dan endotel kornea. Meskipun humor akuos relatif tidak
mengandung protein jika dibandingkan dengan serum (sekitar 0,1 – 1,0 % dari total protein
serum), namun humor akuos mengandung campuran kompleks dari faktor-faktor biologis,
seperti sitokin, neuropeptida, dan inhibitor komplemen yang mampu mempengaruhi peristiwa
imunologis dalam mata. Terdapat blood aquous barrier yakni Tight junction antara epitel
nonpigmen memberikan barier yang lebih eksklusif yang dapat mencegah makromolekul
interstisiel menembus secara langsung melalui badan silier ke humor akuos. Meski demikian,
sejumlah kecil makromolekul plasma melintasi barier epitel nonpigmen ini dan dapat
meresap dengan difusi ke anterior melalui uvea memasuki bilik mata depan melalui
permukaan iris anterior.
Intraokuler tidak mengandung pembuluh limfe. Pengaliran sangat tergantung pada
saluran aliran humor akuos untuk membersihkan substansi terlarut dan pada endositosis oleh
sel endotelial trabekula meshwork atau makrofag untuk pembersihan partikel-partikel.
Traktus uvea merupakan bagian yang penting dalam sudut pandang imunologi.Uvea
banyak mengandung komponen seluler dari sistem imun termasuk makrofag, sel mast,
limfosit dan sel plasma. Iris dan badan siliar mengandung banyak makrofag dan sel dendritik
yang berperan sebagai APC ataupun sebagai sel efektor. Proses imun tidak mungkin terjadi

27
secara terlokalisasi, namun APC meninggalkan mata melalui trabekula meshwork bergerak
ke lien tempat terjadinya proses imun seluler, berupa aktivasi sel T supresor CD8+.
Konsentrasi IgG, komplemen dan kalikrein sangat rendah didapat pada bilik mata depan yang
normal.
Uvea anterior memiliki sistem imunoregulasi yang telah digambarkan sebagai
immune privilege (keistimewaan imun). Konsep modern mengenai immune privilege ini
mengacu pada pengamatan bahwa implan tumor atau allograft dengan tidak diharapkan dapat
bertahan lebih baik dalam regio ini, sedangkan implan atau graft yang sama mengalami
penolakan lebih cepat pada daerah tanpa keistimewaan imun. Daerah immune privilege lain
yaitu ruang subretina, otak dan testis. Meskipun sifat dasar dari antigen yang terlibat mungkin
penting, immune privilege dari uvea anterior telah diamati dengan banyak antigen, meliputi
antigen transplantasi, tumor, hapten, protein terlarut, autoantigen, bakteri dan virus.
Immune privilege dimediasi oleh pengaruh fase aferen dan efektor dari lintasan
respon imun. Imunisasi dengan menggunakan segmen anterior sebagai fase aferen dari respon
imun primer berakibat dihasilkannya efektor imunologis yang unik. Imunisasi seperti dengan
protein lensa atau autoantigen lain melalui bilik mata depan tidak menyebabkan terjadinya
pola imunitas sistemik yang sama seperti yang ditimbulkan oleh imunisasi pada kulit.
Imunisasi oleh injeksi bilik mata depan pada hewan coba menyebabkan terjadinya perubahan
bentuk imunitas sistemik terhadap antigen yang disebut Anterior Chamber-Associated
Immune Deviation (ACAID).
Pada vitreus tidak ditemukan kekhususan tertentu. Gel vitreus dapat mengikat protein
dan berfungsi sebagai depot antigen. Gel vitreus secara elektrostatik dapat mengikat substansi
protein bermuatan dan mungkin kemudian berperan sebagai depot antigen dan substrat untuk
adhesi sel leukosit. Karena vitreus mengandung kolagen tipe II, ia dapat berperan sebagai
depot autoantigen potensial pada beberapa bentuk uveitis terkait arthritis.
7. Retina dan Koroid
Sirkulasi retina menunjukkan adanya blood retinal barrier pada tight junction antara
sel endotel pembuluh darah. Pembuluh darah koriokapiler sangat permeabel terhadap
makromolekul, memungkinkan terjadinya transudasi sebagian besar makromolekul plasma ke
ruang ekstravaskular dari koroid dan koriokapiler. Tight junction antar sel RPE menyediakan
barier fisiologis antara koroid dan retina. Pembuluh limfe tidak didapatkan pada retina dan
koroid, namun APC ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi. Mikroglia (derifat monosit)
pada retina memiliki peran dalam menerima stimulus antigenik, dapat mengadakan
perubahan fisik dan bermigrasi sebagai respon terhadap berbagai stimuli.

28
RPE dapat diinduksi untuk mengekspresikan molekul MHC kelas II, yang menunjukkan
bahwa RPE juga dapat berinteraksi dengan sel T. Namun pada keadaan normal, segmen
posterior tidak mengandung sel limfosit. Perisit yang berada pada pembuluh darah retina
dapat mensintesis berbagai sitokin yang berbeda (seperti TGF-β)yang dapat mengubah
respon imun yang terjadi setelahnya. Proses imun yang terlokaliser juga tidak terjadi pada
segmen posterior ini.
2. Konjungtivitis Alergi
2.1 Definisi
Konjungtivitis adalah peradangan pada selaput bening yang menutupi bagian putih
mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan timbulnya berbagai
macam gejala, salah satunya adalah mata merah. Penyakit ini bervariasi mulai dari hyperemia
ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental.
Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, atau kontak dengan benda asing,
misalnya kontak lensa.
Salah satu bentuk konjungtivitis adalah konjungtivitis alergi. Konjungtivitis alergi
adalah peradangan konjungtiva yang disebabkan oleh reaksi alergi atau hipersensitivitas tipe
humoral ataupun sellular. Konjungtiva sepuluh kali lebih sensitif terhadap alergen
dibandingkan dengan kulit.

2.2 Epidemiologi
Konjungtivitis alergi dijumpai paling sering di daerah dengan alergen musiman yang
tinggi. Keratokonjungtivitis vernal paling sering di daerah tropis dan panas seperti daerah
mediteranian, Timur Tengah, dan Afrika. Keratokonjungtivitis vernal lebih sering dijumpai
pada laki-laki dibandingkan perempuan, terutamanya usia muda (4-20 tahun). Biasanya onset
pada dekade pertama dan menetap selama 2 dekade. Gejala paling jelas dijumpai sebelum
onset pubertas dan kemudian berkurang. Keratokonjungtivitis atopik umumnya lebih banyak
pada dewasa muda.

2.3 Etiologi
Konjungtivitis alergi dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti :
a. reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang
b. iritasi oleh angin, debu, asap, dan polusi udara
c. pemakaian lensa kontak terutama dalam jangka panjang.

29
2.4 Patogenesis
Tipe reaksi immunologi yang didapatkan pada konjungtivitis alergi berupa reaksi
hipersensitivitas tipe 1 (tipe cepat) yang berlaku apabila individu yang sudah tersentisisasi
sebelumnya berkontak dengan antigen yang spesifik. Imunoglobulin E (IgE) mempunyai
afinitas yang kuat terhadap sel mast, dan cross-link 2 IgE oleh antigen akan menyebabkan
degranulasi sel mast.
Degranulasi sel mast mengeluarkan mediator-mediator inflamasi di antaranya
histamin, triptase, chymase, heparin, chondroitin sulfat, prostaglandin, thromboxane, and
leukotriene. Mediator-mediator ini bersama dengan faktor-faktor kemotaksis akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan migrasi sel neutrophil dan eosinophil.
Ini merupakan reaksi alergi yang paling sering pada mata.

2.5 Klasifikasi
Konjungtivitis alergi terbagi kepada empat tipe yaitu ;
- Konjungtivitis “hay fever” (konjungtivitis simpleks) : Seasonal Allergic
Conjunctivitis (SAC) dan Perennial Allergic Conjunctivitis (PAC)
- Keratokonjungtivitis vernal
- Keratokonjuntgivitis atopic
- Giant Papillary Conjunctivitis.

2.5.1 Konjungtivitis hay fever


Konjungtiva adalah permukaan mukosa yang sama dengan mukosa nasal. Oleh karena
itu, allergen yang bisa mencetuskan rhinitis allergi juga dapat menyebabkan konjuntivitis
alergi. Alergen airborne seperti serbuk sari, rumput, bulu hewan dan lain-lain dapat
memprovokasi terjadinya gejala pada serangan akut konjuntivitis alergi.
Perbedaan konjungtivitis alergi sesonal dan perennial adalah waktu timbulnya gejala.
Gejala pada individu dengan konjungtivitis alergi seasonal timbul pada waktu tertentu seperti
pada musim bunga di mana serbuk sari merupakan allergen utama. Pada musim panas,
allergen yang dominan adalah rumput dan pada musim dingin tidak ada gejala karena
menurunnya tranmisi allergen airborne. Sedangkan individu dengan konjungtivitis alergi
perennial akan menunjukkan gejala sepanjang tahun. Alergen utama yang berperan adalah
debu rumah, asap rokok, dan bulu hewan.
Gambaran patologi pada konjunktivitis hay fever berupa:

30
a. respon vascular di mana terjadi vasodilatasi dan meningkatnya permeabilitas pembuluh
darah yang menyebabkan terjadinya eksudasi.
b. respon seluler berupa infiltrasi konjungtiva dan eksudasi eosinofil, sel plasma dan
mediator lain.
c. respon konjungtiva berupa pembengkakan konjungtiva, diikuti dengan meningkatnya
pembentukan jaringan ikat.

2.5.2 Keratokonjungtivitis vernal


Keratokonjungtivitis vernal adalah inflamasi konjungtiva yang rekuren, bilateral,
interstitial dan self-limiting. Pada Keratokonjungtivitis vernal terjadi perubahan-perubahan
akibat dari reaksi alergi. Epitel konjungtiva mengalami hiperplasia dan membuat proyeksi ke
dalam jaringan subepitel. Pada lapisan adenoid terdapat infiltrasi oleh eosinophil, sel plasma,
limfosit dan histiosit. Juga ditemukan proliferasi lapisan fibrous yang kemudian terjadi
perubahan hialin. Selain itu, terdapat juga proliferasi pembuluh darah konjungtiva,
peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi. Semua perubahan ini menyebabkan terbentuknya
banyak papil pada konjungtiva tarsalis superior.
Ada dua tipe keratokonjungtivitis vernalis:
a. bentuk palpebra.
Pada tipe palpebra ini terutama mengenai konjungtiva tarsal superior, terdapat
pertumbuhan papil yang besar atau cobblestone yang diliputi secret yang mukoid.
Konjungtiva inferior hiperemi dan edema dengan kelainan kornea lebih berat disbanding
bentuk limbal. Secara klinis, papil besar ini tampak sebagai tonjolan bersegi banyak
dengan permukaan yang rata dan dengan kapiler di tengahnya.
b. Bentuk limbal
Pada tipe limbal terdapat hipertrofi pada limbus superior yang dapat membentuk jaringan
hiperplastik gelatin. Terdapat juga panus dengan sedikit eosinofil.

2.5.3 Keratokonjungtivitis atopik


Keratokonjungtivitis atopik adalah inflamasi konjungtiva bilateral dan juga kelopak
mata yang berhubungan erat dengan dermatitis atopi. Individu dengan keratokonjungtivitis
atopik umumnya menunjukkan reaksi hipersensitivitas tipe 1, tetapi imunitas selluler yang
rendah. Oleh karena itu, pasien keratokonjungtivitis atopik beresiko untuk mendapat keratitis
herpes simplex dan kolonisasi oleh Staphylococcus Aureus.

31
2.5.4 Konjungtivitis Giant Papillarry
Konjungtivitis Giant Papillarry adalah yang diperantarai reaksi imun yang mengenai
konjungtiva tarsalis superior. Penyebabnya masih belum diketahui secara pasti dan
diperkirakan kombinasi reaksi hipersensitivitas tipe 1 dan 4 mendasari patofisiolginya.
Antigen yang terdapat konjungtiva seperti lensa kontak dan benang operasi akan
menstimulasi timbulnya reaksi imun pada individu yang mempunyai faktor predisposisi.
Iritasi mekanis yang terus-menerus terhadap konjungtiva tarsalis superior juga menjadi salah
satu faktor terjadinya konjungtivitis Giant Papillarry.

2.6 Diagnosis
2.6.1 Konjungtivitis Hay Fever
a. Tanda dan gejala
Radang konjungtivitis non-spesifik ringan umumnya menyertai “hay fever” (rhinitis
alergika). Bianya ada riwayat alergi terhadap tepung sari, rumput, bulu hewan, dan lainnya.
Pasien mengeluh gatal, kemerahan, berair mata, mata merah, dan sering mengatakan bahwa
matanya seakan-akan “tenggelam dalam jaringan sekitarnya”. Terdapat injeksi ringan di
konjungtiva palpebralis dan konjungtiva bulbaris, selama serangan akut sering ditemukan
kemosis berat (yang menjadi sebab kesan “tenggelam” tadi). Mungkin terdapat sedikit
kotoran mata, khususnya setelah pasien mengucek matanya.
b. Laboratorium
Eosinofil sulit ditemukan pada kerokan konjungtiva.
2.6.2 Keratokonjungtivitis vernal
a. Tanda dan gejala
Keratokonjungtivitis vernal ditandai dengan sensasi panas dan gatal pada mata
terutama apabila pasien berada di daerah yang panas. Gejala lain termasuk fotofobia ringan,
lakrimasi, sekret kental dapat ditarik seperti benang dan kelopak mata terasa berat.
Pada tipe palpebral, terdapat papil-papil besar/raksasa yg tersusun sepertt batu bata
(cobble stones appearance). Cobble stones menonjol, tebal dan kasar karena serbukan
limfosit, plasma, eosinofil dan akumulasi kolagen & fibrosa. Hal ini dapat menggesek kornea
sehingga timbul ulkus kornea.
Pada tipe bulbar/limbal terlihat penebalan sekeliling limbus karena massa putih
keabuan. Kadang-kadang ada bintik-bintik putih (Horner-Trantas dots), yang terdiri dari
sebukan sel limfosit, eosinofil, sel plasma, basofil serta proliferasi jaringan kolagen dan
fibrosa yang semakin bertambah.

32
b. Laboratorium
Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa terdapat banyak eosinofil dan granula
eosinofilik bebas.

Gambar 2. Gambaran cobble stones appearance pada keratokonjungtivitis vernal

2.6.3 Keratokonjungtivitis atopik


a. Tanda dan gejala
Gejala keratokonjungtivitis atopic berupa sensasi terbakar, bertahi mata, berlendir, merah,
dan fotofobia. Pada pemeriksaan tepi palpebra eritemosa, dan konjungtiva tampak putih
seperti susu. Terdapat papilla halus, namun papilla raksasa tidak berkembang seperti pada
keratokonjungtivitis vernal, dan lebih sering terdapat di tarsus inferior. Berbeda dengan
papilla raksasa pada keratokonjungtivitis vernal, yang terdapat di tarsus superior. Tanda-
tanda kornea yang berat muncul pada perjalanan lanjut penyakit setelah eksaserbasi
konjungtivitis terjadi berulangkali. Timbul keratitis perifer superficial yang diikuti dengan
vaskularisasi. Pada kasus berat, seluruh kornea tampak kabur dan bervaskularisasi, dan
ketajaman penglihatan menurun.
Biasanya ada riwayat alergi (demam jerami, asma, atau eczema) pada pasien atau
keluarganya. Kebanyakan pasien pernah menderita dermatitis atopi sejak bayi.
Keratokonjungtivitis atopik berlangsung lama dan sering mengalami eksaserbasi dan remisi.
Seperti keratokonjungtivitis vernal, penyakit ini cenderung kurang aktif bila pasien telah
berusia 50 tahun.

33
b. Laboratorium
Kerokan konjungtiva menampakkan eosinofil, meski tidak sebanyak yang terlihat sebanyak
pada keratokonjungtivitis vernal.

2.6.4 Konjungtivitis giant papillary


Dari anamnesa didapatkan riwayat pemakaian lensa kontak terutama jika memakainya
melewati waktunya. Juga ditemukan keluhan berupa mata gatal dan berair. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan hipertrofi papil. Pada awal penyakit, papilnya kecil (sekitar 0,3mm diameter).
Bila iritasi terus berlangsung, papil kecil akan menjadi besar ( giant) yaitu sekitar 1mm
diameter.

2.7 Penatalaksanaan
Pada konjungtivitis alergi hay fever penatalaksanaan bukan dengan tujuan untuk mengobati
tetapi bersifat simptomatik dan profilaktif.
a. Non-medikamentosa
Penatalaksanaan non-medikamentosa ditujukan pada eleminasi dan menghindari
sumber allergen. Kompres dingin bisa diberikan untuk membantu mengatasi gatal-
gatal.
b. Medikamentosa
 Local
- topical antihistamin
- mast-cell stabilizer seperti cromolyn sodium
- topical vasokonstriktor seperti adrenalin, efedrin dan nafazoline.
- air mata artificial guna untuk dilusi dan irrigasi allergen dan mediator
inflamasi di permukaan ocular.
 Sistemik : antihistamin oral
c. Imunoterapi : hiposensitisasi dengan pemberian injeksi ekstrak allergen

Penatalaksanaan pada keratokonjungtivitis vernal berupa


a. Terapi lokalis
- Steroid topical – penggunaannya efektif pada keratokonjungtivitis vernal, tetapi harus
hati-hati kerana dapat menyebabkan glaucoma. Pemberian steroid dimulai dengan

34
pemakaian sering (setiap 4 jam) selama 2 hari dan dilanjutkan dengan terapi
maintainance 3-4 kali sehari selama 2 minggu. Steroid yang sering dipakai adalah
fluorometholon, medrysone, betamethasone, dan dexamethasone. Fluorometholon dan
medrysone adalah paling aman antara semua steroid tersebut.
- Mast cell stabilizer seperti sodium cromoglycate 2%
- Antihistamin topical
- Acetyl cysteine 0,5%
- Siklosporin topical 1%
b. Terapi sistemik;
- Anti histamine oral untuk mengurangi gatal
- Steroid oral untuk kasus berat dan non responsive
c. Terapi lain
- Apabila terdapat papil yang besar, dapat diberikan injeksi steroid supratarsal atau
dieksisi. Eksisi sering dianjurkan untuk papil yang sangat besar.
- Kaca mata gelap untuk fotofobia
- Kompres dingin dapat meringankan gejala
- Pasien dianjurkan pindah ke daerah yang lebih dingin

Pada konjungtivitis atopic atihistamin oral termasuk terfenadine (60-120 mg 2x


sehari), astemizole (10 mg empat kali sehari), atau hydroxyzine (50 mg waktu tidur,
dinaikkan sampai 200mg) ternyata bermanfaat. Obat-obat antiradang non-steroid yang lebih
baru, seperti ketorolac dan iodoxamid, ternyata dapat mengatasi gejala pada pasien-pasien ini.
Pada kasus berat, plasmaferesis merupakan terapi tambahan. Pada kasus lanjut dengan
komplikasi kornea berat, mungkin diperlukan transplantasi kornea untuk mengembalikan
ketajaman penglihatannya.
Pada konjungtivitis giant papillary tatalaksana yang paling baik adalah menghindari
kontak dengan iritan. Jika memakai lensa kontak, dinasehatkan agar mengganti dengan
memakai kaca mata. Jika tetap menggunakan lensa kontak, perawatan lensa kontak yang baik
seperti desinfeksi dan pembersihan dengan cairan yang tepat dan jangan memakai melewati
waktunya. Dapat juga diberikan disodium cromoglyn sebagai terapi simptomatik.

2.8 Prognosis dan Komplikasi

35
Pada dasarnya konjungtivitis adalah penyakit ringan, namun pada beberapa kasus
dapat berlanjut menjadi penyakit yang serius jika tidak ditangani dengan cepat dan benar.
Pada umumnya konjungtivitis tidak menimbulkan komplikasi melainkan efek terhadap
kualitas hidup penderita. Iritasi pada mata menyebabkan penderita susah untuk keluar rumah
pada waktu tertentu. Konjungtivitis juga dapat mengganggu konsentrasi sewaktu bekerja
ataupun di sekolah.
Pada konjungtivitis giant papillary, iritasi kronis akan menyebabkan keratitis yaitu
inflamasi pada kornea dan dapat menyebabkan kebutaan permanen karena terjadi ulserasi
pada permukaan kornea. Pada keratokonjungtivitis vernal juga dapat menyebabkan keratitis
jika tidak ditatalaksana.

3. Reaksi Hipersensitifitas
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan
imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif
diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM,
IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila
mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin,
yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon.
Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga
yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak,
maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:
1. Reaksi Tipe I
2. Reaksi Tipe II
3. Reaksi Tipe III
4. Reaksi Tipe IV
MEKANISME BERBAGAI GANGGUAN YANG DIPERANTARAI SECARA IMUNOLOGIS
Tipe Mekanisme Imun Gangguan Prototipe
I Tipe Anafilaksis Alergen mengikat silang antibodi IgE  Anafilaksis, beberapa
pelepasan amino vasoaktif dan mediator bentuk asma bronkial
lain dari basofil dan sel mast  rekrutmen
sel radang lain

36
II Antibodi IgG atau IgM berikatan dengan antigen Anemia hemolitik
terhadap Antigen pada permukaan sel  fagositosis sel autoimun,
Jaringan target atau lisis sel target oleh komplemen eritroblastosis fetalis,
Tertentu atau sitotosisitas yang diperantarai oleh penyakit Goodpasture,
sel yang bergantung antibody pemfigus vulgaris
III Penyakit Kompleks antigen-antibodi  Reahsi Arthua, serum
Kompleks Imun mengaktifkan komplemen  menarik sickness, lupus
perhatian nenutrofil  pelepasan enzim eritematosus sistemik,
lisosom, radikal bebas oksigen, dan lain- bentuk tertentu
lain glomerulonefritis akut
IV Hipersensitivitas Limfosit T tersensitisasi  pelepasan Tuberkulosis,
Selular (Lambat) sitokin dan sitotoksisitas yang dermatitis kontak,
diperantarai oleh sel T penolakan transplan

Tipe I : Reaksi Anafilaksis


Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE
yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini
menimbulkan reaksi tipe cepat.
Patofisiologi :
Pajanan awal terhadap antigen tertentu (alergan) merangsang induksi sel T CD4+ tipe
TH2. Sel CD4+ ini berperan penting dalam patogenesis hipersensitivitas tipe I karena sitokin
yang disekresikannya (khususnya IL-4 dan IL-5) menyebabkan diproduksimya IgE oleh sel
B, yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan
mengaktivasi eosinofil. Antibodi IgE berikatan pada reseptor Fc berafinitas tinggi yang
terdapat pada sel mast dan basofil; begitu sel mast dan basofil “dipersenjatai”, individu yang
bersangkutan diperlengkapi untuk menimbulkan hipersensitivitas tipe I. Pajanan yang ulang
terhadap antigen yang sama mengakibatkanpertautan-silang pada IgE yang terikat sel dan
pemicu suatu kaskade sinyal intrasel sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator kuat.
Mediator primer untuk respons awal sedangkan mediator sekunder untuk fase lambat.
Respons awal, ditandai dengan vasodilatasi,kebocoran vaskular, dan spasme otot
polos, yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5-30 menit setelah terpajan oleh suatu
alergan dan menghilang setelah 60 menit;
Reaksi fase lambat, yang muncul 2-8 jam kemudian dan berlangsung selama beberapa
hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta sel peradangan akut dan

37
kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran
jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa

Mediator Primer
Histamin, yang merupakan mediator
primer terpenting, menyebabkan
meningkatnya permeabilitas vaskular,
vasodilatasi, bronkokontriksi, dan
meningkatnya sekresi mukus. Mediator
lain yang segera dilepaskan meliputi
adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi
dan menghambat agregasi trombosit)
serta faktor kemotaksis untuk neutrofil
dan eosinofil. Mediator lain ditemukan
dalam matriks granula dan meliputi
heparin serta protease netral (misalnya,
triptase). Protease menghasilkan kinin
dan memecah komponen komplemen
untuk menghasilkan faktor kemotaksis
dan inflamasi tambahan (misalnya, C3a).

38
Mediator Sekunder
 Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling
poten; pada dasra molar, agenini beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam
meningkatkan permeabilitas vaskular dan alam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus.
Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil, dan monosit.
 Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur siklooksigenasi
dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi
mukus.
 Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan agregasi
trombosit, pelepasan histamin dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaltik untuk
neutrofil dan eosinofil.
 Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan kemokin
berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya merekrut dan
mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF merupakan mediator yang sangat poten
dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel
mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.

Ringkasan kerja mediator sel mast pada hipersensitivitas tipe I


Kerja Mediator
Infiltrasi sel Sitokin (misalnya, TNF)
Leukotrien B4
Faktor kemotaksis eosinofil pada anafilaksis
Faktor kemotaksis neutrofil pada anafilaksis
Faktor pengaktivasi trombosit
Vasoaktif (vasodilatasi, Histamin
meningkatkan Faktor pengaktivasi trombosit
permeabilitas vaskular) Leukotrien C4, D4, E4
Protease netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin
Prostaglandin D2
Spasme otot polos Leukotrien C4, D4, E4
Histamin
Prostaglandin

39
Faktor pengaktivasi trombosit
Karena inflamasi merupakan komponen utama reaksi lambat dalam hipersensitivitas
tipe I, biasanya pengendaliannya memerlukan obat antiinflamasi berspektrum luas, seperti
kortikoid.

Manifestasi Klinis :
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal.
Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, bias lebah atau penisilin) secara sistemik
(parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada
pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan
eritems kulit, diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi
paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan
dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran
pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa
intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik), dan penderita dapat
mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai
jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal
(ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).

Tipe II : reaksi sitotoksik


Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan
antigen target pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya. Respon hipersensitivitas
disebabkan oleh pengikatan antibodi yangdiikuti salah satu dari tiga mekanisme bergantung
antibodi, yaitu:
1. Respon yang bergantung komplemen
Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua mekanisme: lisis
langsung dan opsonisasi. Pada sitotoksisitas yang diperantarai komplemen, antibodi yang
terikat pada antigen permukaan sel menyebabkan fiksasi komplemen pada permukaan sel
yang selanjutnya diikuti lisis melalui kompleks penyerangan membran. Sel yang
diselubungi oleh antibodi dan fragmen komplemen C3b (teropsonisasi) rentan pula
terhadap fagositosis. Sel darah dalam sirkulasi adalah yang paling sering dirusak melalui
mekanisme ini, meskipun antibodi yang terikat pada jaringan yang tidak dapat difagosit

40
dapat menyebabkan fagositosis gagal dan jejas. Secara klinis, reaksi yang diperantarai
oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagai berikut:
 Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak suai dirusak setelah
diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan antigen darah donor.
 Eritroblastosis fetalis karena inkompaktibnilitas antigen rhesus; antigen materal yang
melawan Rh pada seorang ibu Rh-negatif yang telah tersensitisasi akan melewati
plasenta dan menyebabkan kerusakan sel darah merahnya sendiri.
 Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis, atau trombositopenia yang disebabkan
oleh antibodi yang dihasilkan oleh seorang individu yang menghasilkan antibodi
terhadap sel darah merahnya sendiri.
 Reaksi obat, antibodi diarahkan untuk melawan obat tertentu (atau
metabolitnya)byang secara nonspesifik diadsorpsi pada permukaan sel (contohnya
adalah hemolisis yang dapat terjadi setelah pemberian penisilin).
 Pemfigus vulgaris disebabkan oleh antibody terhadap protein desmosom yang
menyebabkan terlepasnya taut antarsel epidermis.
2. Sitotoksisitas Selular Bergantung Antibodi

41
Bentuk jejas yang diperantarai antibodi ini
meliputi pembunuhan melalui jenis sel
yang membawa reseptor untuk bagian Fc
IgG; sasaran yang diselubungi oleh
antibodi dilisis tanpa difagositosis ataupun
fiksasi komplemen. ADCC dapat
diperantarai oleh berbagai macam leukosit,
termasuk neutrofil, eosinofil, makrofag,
dan sel NK. Meskipn secara khusus ADCC
diperantarai oleh antibodi IgG, dalm kasus
tertentu (misalnya, pembunuhan parasit yang diperantarai oleh eosinofil) yang digunakaan
adalah IgE.
3. Disfungsi sel yang diperantarai oleh
antibodi
Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan
untuk melawan reseptor permukaan sel
merusak atau mengacaukan fungsi tanpa
menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Oleh
karena itu, pada miastenia gravis, antibodi
terhadap reseptor asetilkolin dalm motor end-
plate otot-otot rangka mengganggu transmisi
neuromuskular disertai kelemahan otot.
Sebaliknya, antibodi dapat merangsang fungsi otot. Pada penyakit Graves, antibodi
terhadap reseptor hormon perangsang tiroid (TSH) merangsang epitel tiroid dan
menyebabkan hipertiroidisme.

Tipe III : reaksi imun kompleks


Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigen-antibodi
(imun), diikuti dengan aktivitas komplemen dan akumulasi leukosit polimorfonuklear.
Kompleks imun dapat melibatkan antigen eksogen seperti bakteri dan virus, atau antigen
endogen seperti DNA. Kompleks imun patogen terbentuk dalam sirkulasi dan kemudian
mengendap dalam jaringan ataupun terbentuk di daerah ekstravaskular tempat antigen
tersebut tertanam (kompleks imun in situ).

42
Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut terbentuk
dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai organ , atau terlokalisasi pada organ tertentu
(misalnya, ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan mengendap pada
tempat khusus. Tanpa memperhatikan pola distribusi, mekanisme terjadinya jejas jarungan
adalah sama; namun, urutan kejadian dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya kompleks
imun berbeda.
Penyakit Komplek Imun Sistemik
Patogenesis penyakit kompleks
imun sistemik dapat dibagi menjadi tiga
tahapan: (1) pembentukan kompleks
antigen-antibodi dalam sirkulasi dan (2)
pengendapan kompleks imun di berbagai
jaringan, sehingga mengawali (3) reaksi
radang di berbagai tempat di seluruh tubuh.
Patofisiologi:
Kira-kira 5 menit setelah protein
asing (misalnya, serum antitetanus kuda)
diinjeksikan, antibodi spesifik akan
dihasilkan; antibodi ini bereaksi dengan
antigen yang masih ada dalam sirkulasi
untuk membentuk kompleks antigen-
antibodi (tahap pertama). Pada tahap
kedua, kompleks antigen-antibodi yang
terbentuk dalam sirkulasi mengendap
dalam berbagai jaringan. Dua faktor
penting yang menentukan apakah
pembentukan kompleks imun
menyebabkan penyakit dan pengendapan
jaringan:
Ukuran kompleks imun. Kompleks
yang sangat besar yang terbentuk
pada keadaan jumlah antibodi yang
berlebihan segera disingkirkan dari

43
sirkulasi oleh sel fagosit mononuklear sehingga relatif tidak membahayakan.
Kompleks paling patogen yang terbentuk selama antigen berlebih dan berukuran kecil
atau sedang, disingkirkan secara lebih lambat oleh sel fagosit sehingga lebih lama
berada dalam sirkulasi.
Status sistem fagosit mononuklear. Karena normalnya menyaring keluar kompleks
imun, makrofag yang berlebih atau disfungsional menyebabkan bertahannya
kompleks imun dalam sisrkulasi dan meningkatkan kemungkinan pengendapan
jaringan.
Faktor lain yang mempengaruhi pengendapan kompleks imun yaitu muatan kompleks
(anionic vs kationik), valensi antigen, aviditas
antibodi, afinitas antigen terhadap berbagai
jaringan, arsitektur tiga dimensi kompleks
tersebut, dan hemodinamika pembuluh darah
yang ada.tempat pengendapan kompleks imun
yang disukai adalah ginjal, sendi, kulit, jantung,
permukaan serosa, dan pembulah darah kecil.
Lokasinya pada ginjal dapat dijelaskan
sebagian melalui fungsi filtrasi glomerulus,
yaitu terperangkapnya kompleks dalam
sirkulasi pada glomerulus. Belum ada
penjelasan yang sama memuaskan untuk
lokalisasi kompleks imun pada tempat
predileksi lainnya.

44
Untuk kompleks yang meninggalkan sirkulasi dan mengendap di dalam atau di luar
dinding pembuluh darah, harus terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Hal ini
mungkin terjadi pada saat kompleks imun berkaitan dengan sel radang melalui reseptor Fc
dan C3b dan memicu pelepasan mediator vasoaktif dan/ atau sitokin yang meningkatkan
permeabilitas. Saat kompleks tersebut mengendap dalam jaringan, terjadi tahap ketiga, yaitu
reaksi radang. Selama tahap ini (kira-kira 10 hari setelah pemberian antigen), muncul
gambaran klinis, seperti demam, utikaria, artralgia, pembesaran kelenjar getah bening, dan
proteinuria.
Di mana pun kompleks imun mengendap, kerusakan jaringannya serupa. Aktivitas
komplemen oleh kompleks imun merupakan inti patogenesis jejas, melepaskan fragmen yang
aktif secara biologis seperti anafilatoksin (C3a dan C5a), yang meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah dan bersifat kemotaksis untuk leukosit polimorfonuklear. Fagositosis
kompleks imun oleh neutrofil yang terakumulasi menimbulkan pelepasan atau produksi
45
sejumlah substansi proinflamasi tambahan, termasuk proataglandin, peptida vasodilator, dan
substansi kemotaksis, serta enzim lisosom yang mampu mencerna membran basalis, kolagen,
elastin, dan kartilago. Kerusakan jaringan juga diperantarai oleh radikal bebas oksigen yang
dihasilkan oleh neutrofil teraktivasi. Kompleks imun dapat pula menyebabkan agregasi
trombosit dan mengaktivasi faktor Hageman; kedua reaksi ini meningkatkan proses
peradangan dan mengawali pembentukan mikrotrombus yang berperan pada jejas jaringan
melalui iskemia lokal. Lesi patologis yang dihasilkan disebut dengan vasokulitis jika terjadi
pada pembuluh darah, glomerulonefritis jika terjadi di glomerulus ginjal, arthritis jika terjadi
di sendi, dan seterusnya.
Jelasnya hanya antibodi pengikat komplemen (yaitu IgG dan IgM) yang dapat
menginduksi lesi semacam itu. Karena IgA dapat pula mengaktivasi komplemen melalui jalur
alternatif, kompleks yang mengandung IgA dapat pula menginduksi jejas jaringan. Peran
penting komplemen dalam patogenesis jejas jaringan didukung oleh adanya pengamatan
bahwa pengurangan kadar komplemen serum secara eksperimental akan sangat menurunkan
keparahan lesi, demikian pula yang terjadi pada neutrofil. Selama fase aktif penyakit,
konsumsi komplemen menurunkan kadar serum.

Penyakit kompeks imun lokal (reaksi arthus )


Reaksi Arthus dijelaskan sebagai area lokalisata nekrosis jaringan yang disebabkan
oleh vaskulitis kompleks imun akut. Reaksi ini dihasilkan secara eksperimental dengan
menginjeksikan suatu antigen ke dalam kulit seekor hewan yang sebelumnya telah
diimunisasi (yaitu antibodi preformed terhadap antigen yang telah ada di dalam sirkulasi).

46
Karena pada mulanya terdapat kelebihan antibody, kompleks imun terbentuk sebagai antigen
yang berdifusi ke dalam dinding pembuluh darah; kompleks ini dipresipitasi pada tempat
injeksi dan memicu reaksi radang yang sama serta gambaran histologist seperti yang telah
dibahas untuk penyakit kompleks imun sistemik. Lesi Arthus berkembang selama beberapa
jamdan mencapai puncaknya 4 hingga 10 jam setelah injeksi, ketika terlihat adanya edema
pada tempat injeksi disertai perdarahan berat yang kadang-kadang diikuti ulserasi.

Tipe IV : Reaksi tipe lambat


Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas
humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai
imunitas seluler. Imunitas selular merupakan mekanisme utama respons terhadap berbagai
macam mikroba, termasuk patogen intrasel seperti Mycobacterium tuberculosis dan virus,
serta agen ekstrasel seperti protozoa, fungi, dan parasit. Namun, proses ini juga dapat
mengakibatkan kematian sel dan jejas jaringan, baik akibat pembersihan infeksi yang normal
ataupun sebagai respons terhadap antigen sendiri (pada penyakit autoimun). Hipersensitivitas
tipe IV diperantarai oleh sel T tersensitisasi secara khusus bukan antibodi dan dibagi lebih
lanjut menjadi dua tipe dasar: (1) hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T CD4+,
dan (2) sitotoksisitas sel langsung, diperantarai olehsel T CD8+. Pada hipersensitivitas tipe
lambat, sel T CD4+ tipe TH1 menyekresi sitokin sehingga menyebabkan adanya perekrutan
sel lain, terutama makrofag, yang merupakan sel efektor utama. Pada sitotoksisitas seluler, sel
T CD8+ sitoksik menjalankan fungsi efektor.
Hipersensitivitas tipe lambat (DTH-Delayed-Tipe Hypersensitivity)
Contoh klasik DTH adalah reaksi tuberkulin. Delapan hingga 12 jam setelah injeksi
tuberkulin intrakutan, muncul suatu area eritema dan indurasi setempat, dan mencapai
puncaknya (biasanya berdiameter 1 hingga 2 cm) dalam waktu 24 hingga 72 jam (sehingga
digunakan kata sifat delayed [lambat/ tertunda]) dan setelah itu akan mereda secara
perlahan.secara histologis , reaksi DTH ditandai dengan penumpukan sel helper-T CD4+
perivaskular (“seperti manset”) dan makrofag dalam jumlah yang lebih sedikit. Sekresi lokal
sitokin oleh sel radang mononuklear ini disertai dengan peningkatan permeabilitas
mikrovaskular, sehingga menimbulkan edema dermis dan pengendapan fibrin; penyebab
utama indurasi jaringan dalam respons ini adalah deposisi fibrin. Respons tuberkulin
digunakan untuk menyaring individu dalam populasi yang pernah terpejan tuberkulosis
sehingga mempunyai sel T memori dalam sirkulasi. Lebih khusus lagi, imunosupresi atau

47
menghilangnya sel T CD4+ (misalnya, akibat HIV) dapat menimbulkan respons tuberkulin
yang negatif, bahkan bila terdapat suatu infeksi yang berat.
Patofisiologi :
Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel dan juga antigen kelas II
pada permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses antigen mikobakterium
tersebut. Proses ini membentuk sel CD4+ tipe TH1 tersensitisasi yang tetap berada di dalam
sirkulasi selama bertahun-tahun. Masih belum jelas mengapa antigen tersebut mempunyai
kecendurungan untuk menginduksi respons TH1, meskipun lingkungan sitokin yang
mengaktivasi sel T naïf tersebut tampaknya sesuai. Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin
berikutnya pada orang tersebut, sel memori memberikan respons kepada antigen yang telah
diproses pada APC dan akan diaktivasi (mengalami transformasi dan proliferasi yang luar
biasa), disertai dengan sekresi sitokin TH1. Sitokin TH1 inilah yang akhirnya
bertanggungjawab untuk mengendalikan perkembangan respons DHT. Secara keseluruhan,
sitokin yang paling bersesuaian dalam proses tersebut adalah sebagai berikut:
 IL-12 merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah interaksi awal
dengan basil tuberkel. IL-12 sangat penting untuk induksi DTH karena merupakan
sitokin utama yang mengarahkan diferensiasi sel TH1; selanjutnya, sel TH1 merupakan
sumber sitokin lain yang tercantum di bawah. IL-12 juga merupakan penginduksi
sekresi IFN-γ oleh sel T dan sel NK yang poten.
 IFN-γ mempunyai berbagai macam efek dan merupakan mediator DTH yang paling
penting. IFN-γ merupakan aktivator makrofag yang sangat poten, yang meningkatkan
produksi makrofag IL-12. Makrofag teraktivasi mengeluarkan lebih banyak molekul
kelas II pada permukaannya sehingga meningkatkan kemampuan penyajian antigen.
Makrofag ini juga mempunyai aktivitas fagositik dan mikrobisida yang meningkat,
demikian pula dengan kemampuannya membunuh sel tumor. Makrofag teraktivasi
menyekresi beberapa faktor pertumbuhan polipeptida, termasuk faktor pertumbuhan
yang berasal dari trombosit (PDGF) dan TGF-α, yang merangsang proliferasi
fibroblas dan meningkatkan sintesis kolagen. Secara ringkas, aktivitas IFN-γ
meningkatkan kemampuan makrofag untuk membasmi agen penyerangan; jika
aktivasi makrofag terus berlangsung, akan terjadi fibrosis.
 IL-2 menyebabkan proliferasi sel T yang telah terakumulasi pada tempat DTH. Yang
termasuk dalam infiltrat ini adalah kira-kira 10% sel CD4+ yang antigen-spesifik,

48
meskipun sebagian besar adalah sel T “penonton” yang tidak spesifik untuk agen
penyerang asal.
 TNF dan limfotoksin adalah sitokin yang menggunakan efek pentingnya pada sel
endotel: (1) meningkatnya sekresi nitrit oksida dan prostasiklin, yang membantu
peningkatan aliran darah melalui vasodilatasi local; (2) meningkatnya pengeluaran
selektin-E, yaitu suatu molekul adhesi yang meningkatkan perlekatan sel
mononuklear; dan (3) induksi dan sekresi faktor kemotaksis seperti IL-8. Perubahan
ini secara bersama memudahkan keluarnya limfosit dan monosit pada lokasi
terjadinya respon DHT.
Inflamasi Granulomatosa
Granulomatosa adalah bentuk khusus DHT yang terjadi pada saat antigen bersifat
persisten dan/ atau tidak dapat didegradasi. Infiltrate awal sel T CD4+ perivaskular secara
progresif digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 hingga 3 minggu; makrofag yang
terakumulasi ini secara khusus menunjukkan bukti morfologis adanya aktivitas, yaitu
semakin membesar , memipih, dan eosinofilik (disebut sebagai sel epiteloid). Sel epiteloid
kadang-kadang bergabung di bawah pengaruh sitokin tertentu (misalnya, IFN-γ) untuk
membentuk suatu sel raksasa (giant cells) berinti banyak. Suatu agregat mikroskopis sel
epiteloid secara khusus dikelilingi oleh lingkaran limfosit, yang disebut granuloma, dan
polanya disebut sebagai inflamasi granulomatosa. Pada dasarnya, proses tersebur sama
dengan proses yang digambarkan untuk respons DHT lainnya. Granuloma yang lebih dahulu
terbentuk membentuk suatu sabuk rapat fibroblast dan jaringan ikat. Pengenalan terhadap
suatu granuloma mempunyai kepentingan diagnostik karena hanya ada sejumlah kecil kondisi
yang dapat menyebabkannya.
DHT merupakan suatu mekanisme pertahanan utama yang melawan berbagai patogen
intrasel, yang meliputi mikobakterium, fungus, dan parasit tertentu, dan dapat pula terlibat
dalam penolakan serta imunitas tumor. Peran utama sel T CD4+ dalam hipersensitivitas tipe
lambat tampak jelas pada penderita AIDS. Karena kehilangan sel CD4+, respons penjamu
terhadap patogen ekstrasel, seperti Mycobacterium tuberculosis, akan sangat terganggu.
Bakteri akan dimangsa oleh makrofag, tetapi tidak dibunuh, dan sebagai pengganti
pembentukan granuloma, terjadi akumulasi makrofag yang tidak teraktivasi yang sulit untuk
mengatasi mikroba yang menginvasi.
Selain bermanfaat karena peran protektifnya, DHT dapat pula menyebabkan suatu
penyakit. Dermatitis kontak adalah salah satu contoh jejas jaringan yang diakibatkan oleh

49
hipersensitivitas lambat. Penyakit ini dibangkitkan melalui kontak dengan pentadesilkatekol
(juga dikenal sebagai urushiol, komponen aktif poison ivy atao poisin oak) pada penjamu
yang tersensitisasi dan muncul sebagai suatu dermatitis vesikularis. Mekanisme dasarnya
sama dengan mekanisme pada sensitivitas tuberculin. Pajanan ulang terhadap tanaman
tersebut, sel CD4+ TH1 tersensitisasi akan berakumulasi dalam dermis dan bermigrasi menuju
antigen yag berada di dalam epidermis. Di tempat ini sel tersebut melepaskan sitokin yang
merusak keratinosit, menyebabkan terpisahnya sel ini dan terjadi pembentukan suatu vesikel
intradermal.

50
51
Sitotoksisitas Yang Diperantarai Sel T
Pada pembentukan hipersensitivitas tipe IV ini, sel T CD8+ tersensitisasi membunuh
sel target yang membawa antigen. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, molekul MHC tipe
I berikatan dengan peptida virus intrasel dan menyajikannya pada limfosit T CD8+. Sel
efektor CD8+, yang disebut limfosit T sitotoksik (CTL, cytotoxic T-lymphocytes), yang
berperan penting dalam resistensi terhadap infeksi virus. Pelisisan sel terinfeksi sebelumnya
terjadi replikasi virus yang lengkap pada akhirnya menyebabkan penghilangan infeksi.
Diyakini bahwa banyak peptida yang berhubungan dengan tumor muncul pula pada
permukaan sel tumor sehingga CTL dapat pula terlibat dalam imunitas tumor.
Telah terlihat adanya dua mekanisme pokok pembunuhan oleh sel CTL: (1)
pembunuhan yang bergantung pada perforin-granzim dan (2) pembunuhan yang bergantung
pada ligan Fas-Fas. Perforin dan granzim adalah mediator terlarut yang terkandung dalam
granula CTL, yang menyerupai lisosom. Sesuai dengan namanya, perforin melubangi
membran plasma pada sel target; hal tersebut dilakukan dengan insersi dan polimerisasi
molekul perforin untuk membentuk suatu pori. Pori-pori ini memungkinkan air memasuki sel
dan akhirnya menyebabkan lisi osmotik. Granula limfosit juga mengandung berbagai
protease yang disebut dengan granzim, yang dikirimkan ke dalam sel target melalui pori-pori
perforin. Begitu sampai ke dalam sel, granzim mengaktifkan apoptosis sel target. CTL
teraktivasi juga mengeluarkan ligan Fas (suatu molekul yang homolog dengan TNF), yang
berikatan dengan Fas pada sel target. Interaksi ini menyebabkan apoptosis. Selain
imunitasvirus dan tumor, CTL yang diarahkann untuk melawan antigen histokompatibilitas
permukaan sel juga berperan penting dalam penolakan graft.

52
KERANGKA KONSEP

Terpapar alergen --------- Riwayat orang tua asma

Reaksi Hipersensitifitas tipe 1

Perekrutan sel mast dan eosinofil

Sekresi histamin, leukotrien, prostaglandin , ECF, NCF

Infiltrasi limfosit Spasme Vasodilator Perangsangan


pada stroma konjungtiva Otot polos a.Konju posterior Nosiseptor

Blefarospasme Injeksi Konjungtiva Gatal

Peningkatan kolagenisasi Horner Trantas Dots


dan hialinisasi (pada limbus)

Giant papil

Kesimpulan :
Seorang anak laki-laki berusia 9 tahun menderita Keratokonjungtivitis Vernalis ODS

53
Daftar Pustaka

1. Staff Ilmu Penyakit Mata FK UGM, Keratokonjungtivitis Vernalis dalam


http://www.tempo.com.id/medika/042002.htm

2. Al-Ghozie, M., Handbook of Ophthalmology : A Guide to Medical Examination, FK


UMY, Yogyakarta, 2002

3. Wijana, N., Konjungtiva dalam Ilmu Penyakit Mata, 1993, hal: 41-69

4. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah., Buku Pedoman Kesehatan Mata Telinga dan
Jiwa, 2001

5. Vaughan, D.G, Asbury, T., Eva, P.R., General Ophthalmology, Original English Language
edition, EGC, 1995

6. Ilyas, S., Konjungtivitis Vernalis dalam Ilmu Penyakit Mata, Edisi III, Cetakan I, Fakultas
Kedokteran UI, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2004

Siregar, S.P. & Widyastuti, S.B. 2004. Konjungtivitis Vernalis dalam Sari Pediatri,
Vol.5, No. 4. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UI

54

Você também pode gostar