Você está na página 1de 4

Peristiwa bencana alam yang terjadi di Indonesia seperti banjir, gempa bumi, tanah longsor,

dan tsunami tidak saja menimbulkan korban jiwa, tetapi juga korban yang selamat kehilangan
orang-orang yang dicintai, kehilangan harta benda dan juga mengalami kecelakaan fisik sehingga
mengalami perasaan duka yang mendalam. Perasaan duka yang mendalam ini menimbulkan
trauma yang mendalam, para korban mengalami suatu reaksi maladaptive yang terjadi sesudah
mengalami pengalaman traumatic. Reaksi yang maladaptive ini kemungknan dapat berlangsung
berbulan-bulan, bertahun-tahun, dan mungkin baru muncul setelah beberapa bulan atau tahun
setelah adanya pemaparan terhadap peristiwa traumatis. Reaksi tersebut seperti merasa sangat
tidak tenang, merasa sangat takut, kegelisahan yang tidak berkesudahan, dan menjadi mudah
mengalami panic. Kondisi-kondisi tersebut merupakan gangguan pasca trauma (Post Traumatic
stress disorder/PTSD) yaitu rekasi maladaptive yang berkelanjutan terhadap pengalaman
traumatis. Berbeda dengan orang dewasa, anak-anak berada dalam kondisi yang sangat rentan
terhadap dampak yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa yang menimbulkan trauma. Apabila tidak
diberikan penanganan yang tepat akan membawa anak mengalami penderitaan yang
berkepanjangan. Model penanganan bagi korban yang mengalami PTSD pada anak-anak tentu
berbeda dengan orang dewasa. Pada anak-anak model pendekatan yang dapat digunakan adalah
dengan bermain, atau yang dikenal dengan istilah play therapy.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Mukhadiono, Widyo, dan Wahyudi (2016) pada
bencana tanah longsor di Kabupaten Banjarnegara pada tahun 2014 yang menunjukkan bahwa
play therapy berpangaruh signifikan terhadap PTSD pada anak usia 4-12 tahun yang dibuktikan
dengan selisih skor PTSD sebelum dan sesudah play therapy pada kelompok intervensi dan
control. Pada penelitian ini terdapat 4 jenis permainan yang digunakan : (1) menggambar dan
bercerita diberikan pada minggu pertama. Anak-anak diminta untuk menggambar peristiwa/
kejadian traumatic/ tidak menyenangkan yang pernah dialami kemudian meminta anak untuk
menceritakan gambarnya. Dengan menggambar dan bercerita, anak dapat mengeluarkan konflik
dalam dirinya dan juga dapat memperkirakan jalan keluar yang bisa diambilnya. (2) permainan
puzzle yang diberikan pada minggu kedua. Permainan ini berfungsi untuk meningkatkan
kemampuan kognitifnya. Sehingga anak dapat berpikir logis terhadap realitas. (3) bermain balon
dan bermain ketapel yang diberikan pada minggu ketiga. Dengan adanya suara balon meletus dan
suara dentingan ketapel menunjukkan bahwa ketakutan anak tersebut tidak realistic. (4) pada
minggu keempat permainan yang diberikan adalah permainan plastisin. Anak diminta membentuk
plastisin sesuai dengan keinginannya. Melalui bermain plastisin ini anak dapat memindahkan
perasaan negatifnya ke objek pengganti, yaitu plastisin. Sebelum diberikan terapi bermain ini,
anak-anak korban bencana di Kabupaten Banjarnegara menunjukkan gangguan perilaku seperti
sembunyi jika mendengar suara keras sirine, ambulan, dan lain-lain, mengalami ketakutan tanpa
alasan yang jelas, tampak cemas, tampak sedih, dan menunjukkan perilaku agresif. Namun, setelah
diberikan keempat terapi bermain tersebut anak-anak menunjukkan gangguan perilaku yang
kadang-kadang tidak sesering sebelum diberikan terapi bermain. Gangguan terapi tersebut seperti
tampak cemas, mengalami mimpi buruk, tampak sedih, dan mudah marah.

Penelitian tentang play therapy selanjutnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Irman dan
Hadiarni (2012) pada post bencana gempa di kota Padang. Plat therapy dalam penelitian ini
diberikan untuk siswa MI dan MTS di kota Padang yang mengalami permasalahan psikologis
diantaranya perasaan cemas yang sangat mendalam, perasaan takut yang sangat tinggi, perasaan
was-was akan terjadi gempa yang lebih besar serta berpotensi tsunami, suasana batin kacau dan
tidak menetu, munculnya pemikiran yang irasional dalam menyikapi munculnya berbagai isu-isu
tentang gempa dan tsunami, menjalani aktivitas sehari-hari dalam kondisi yang tidak nyaman, dan
motivasi belajar yang menurun. Pada penelitian ini diberikan suatu model konseling melalui terapi
permainan kelompok yang dirasa paling efektif untuk menangani trauma pasca gempa. Karena
terapi bermain dalam bentuk berkelompok dapat melatih dan mengembangkan kompetensi diri
anak dan juga dapat digunakan sebagai media sharing atau berbagi pengalaman sehingga dapat
menormalkan reaksi anak. Permainan yang diterapkan dalam penelitian ini dilahirkan dari inspirasi
siswa yaitu (1) rangkaian nama, (2) saya tahu, siap melakukan, (3) marina menari, (4) pipet dan
karet gelang, (5) sevent boom, (6) gajah dan semut, (7) darat, laut, dan udara, (8) kapal tenggelam,
(9) connecting dots (think of the box game, (10) penjelajah sukses, (11) stand beside me because,
(12) serine oh serine, (13) disensitisasi, (14) pengendalian emosi, dan (15) beberapa permainan
lainnya. Setelah permainan selesai, dilakukan pembahasan bersama tentang permainan tersebut
dan meminta komitmen siswa tentang pemahamannya terhadap gempa yang berkaitan dengan
perilaku yang harus dilakukan saat terjadi gempa baik yang berpotensi tsunami ataupun tidak
sebagai upaya penyelamatan diri. Hasil yang diperoleh setelah diberikannya konseling melalui
permainan kelompok yaitu diantaranya (1) siswa terlihat tenang, lega, dan bahagia dengan alasan
kegiatan yang diiktinya menyenangkan, (2) perubahan sikap siswa dengan adanya suatu energy
baru, (3) siswa terlihat dapat berkomunikasi dengan baik pada teman sebayanya, (4) banyak siswa
mengharapkan kegiatan konseling dapat dilakukan lagi.

Penelitian selanjutnya yaitu penelitian tentang play therapy yang dirasa selama ini belum
maksimal dalam pelaksanaanya. Karena play terapi yang dilaksanakan cukup menggunakan media
yang ada, siap pakai, maupun yang sudah tersedia di sekitar. Penelitian ini dilakukan oleh Lilis,
Hamron, dan Dede di Jawa Tengah di berbagai kabupaten yang rawan bencana seperti Kabupaten
Kebumen, Kabupaten Wonosobo, dan Kabupaten Klaten. Responden dari penelitian ini bukanlah
anak-anak yang mengalami trauma PTSD melainkan para terapis, para tenaga pendidik anak usia
dini, tokoh-tkoh masyarakat dan Badan Penaggulangan Bencana Daerah serta Dinas Pendidikan
setempat di tingkat kabupaten. Metode yang digunakan yaitu metode studi pustaka dengan
mengumpulkan data-data sekunder untuk mengumpulkan informasi awal tentang pengembangan
media play therapy yang telah dipergunakan di daerah bencana di Jawa Tengah dan metode survei
dengan menggunkan kuisioner untuk mengumpulkan data primer. Perolehan data primer dan
sekunder dilakukan melalui pengamatan langsung ke lapangan dan wawancara dengan responden.
Hasil dari penelitian ini yaitu adanya penemuan tentang play therapy yang berbasis multiple
intelligence yang meliputi 6 aspek perkembangan anak usia dini yaitu (1) aspek perkembngan
bahasa, (2) aspek fisik motoric, (3) aspek perkembangan kognitif, (4) aspek nilai moral agama, (5)
aspek seni, dan (6) aspek perkembangan social emosional. Dengan metode ini diharapkan dapat
mengatasi dan mengurangi perilaku-perilaku menyimpang pada anak pasca bencana. Play therapy
yang bebasis multiple intelligence ini mampu memberikan terapi kepada anak dengan
menggabungkan satu kecerdasan dengan kecerdasan lainnya. Artinya, suatu media seharusnya
dapat mengembangkan berbagai kecerdasan, misalnya media tanah liat bukan hanya untuk
mengembangkan kecerdasan motoric halus saja, tetapi juga harus dapat mengembangkan
kecerdasan lainnya.

Penelitian play therapy yang pernah dilakukan di USA pada tahun 2010 dengan
menggunakan dua studi kasus pada korban bencana badai katrina dirasakan mampu mengurangi
trauma PTSD yang dirasakan oeh anak-anak. Studi kasus ini dilakukan oleh Erin, Marilyn, dan
Sindy kepada dua anak yang mengalami peristiwa badai katrina. Yang pertama bernama John yang
berumur 4 tahun. John mengalami gangguan perilaku seperti mimpi buruk, berbicara berlebihan
tentang badai, takut air, takut untuk tidur sendiri, ledakan kemarahan, dan gangguan tidur. Hal ini
dirasakan selama 9 bulan setelah terjadinya badai katrina. Play therapy diberikan selama 8 sesi
dengan waktu 45-50 menit. Permainan yang dilakukan merupakan suatu permainan yang mampu
mengingatkan John terhadap pengalaman traumatisnya. Setelah beberapa sesi telah diberikan,
kecemasan John dalam bermain mulai berkurang, sudah mampu tidur sndiri, tidak menempel pada
kedua orang tua, dan bahkan tidak takut dengan air yang dibuktikan pada saat akhir pekan john
bersama keluarganya berkunjung ke salah satu wisata air tanpa merasa tertekan ataupun menangis.
Studi kasus yang kedua dilakukan pada anak yang bernama Michael. Michael mengalami
ketakutan terhadap suatu keadaan yang mengingatkannya tentang badai yang telah terjadi seperti
petir, awan mendung, hujan, dan bau makanan tertentu. selain itu Michael juga mengalami mual
dan perut sakit saat mencium bau makanan baik makanan yang dimasak ibunya ataupun makanan
yang ada di restoran. play therapy yang diberikan berupa permainan yang sama dengan yang
diberikan ke John yaitu permainan yang mengingatkan tentang terjadinya badai katrina sehingga
menimbulkan kecemasan, ketakutan, rasa control, keamanan, kekuatan, dan agresi. Yang pada
akhirnya Michael merasa membutuhkan teman baru untuk bermain, bahkan Michael pergi bermain
ke rumah sepupunya. Pemberian terapi dihentikan dengan sesi sebanyak 26 sesi yang berlangsung
sekitar 6 bulan dan saat keadaan Michael memulai membaik dan merasa lebih aman.

Você também pode gostar