Você está na página 1de 3

Mahkota Untukmu

Gedung yang menyembunyikanku ini kurasa akan runtuh beberapa detik lagi, satu peluru
saja di terbangkan kurasa aku akan mati. "Hei menyerahlah kamu harus keluar nak.. dan buang
saja kitabmu itu buat apa?kamu hanya akan rugi" Aku mendengar teriakan para tetara iblis itu,
seragamnya tebal dilapisi rompi anti peluru, dasar pengecut bagaimana bisa mereka menembak
orang lain sementara dia memakai rompi karena takut tertembak. "Aku tidak akan menyerah,
apapun itu, Ibu Bapakku pantas dapat mahkota dan jubahnya" Aku mendesis bicara sendiri di
gedung yang hampir roboh, gelap, tidak ada cahaya kecuali gemerlap cahaya petir yang
menerobos celah-celah bangunan yang rapuh "H4, kita tinggal kan saja gedung ini, lagi pula
bocah tengik itu akan mati sendiri bersama pusing-puing bangunan.. " Aku mendengar yang
lainnnya bicara, hujan sangat deras saat Aku keluar untuk memastikan apakah masih ada tentara
diluar. "Alhamdulillah... " Aku lega tentara itu sudah meninggalkan tempat ini, dan benar saja
bangunan yang baru saja kutinggalkan roboh tak karuan.

Aku berjalan mengendap-endap, mencari tempat yang sepi, hingga aku menemukan
lapangan luas yang ditumbuhi rerumputan tinggi sudah lama tak terurus, aku berlari cepat-cepat
menerobos rerumputan, menyembunyikan diri. Aku berjongkok menatap langit, rembulan yang
indah, tapi akan lebih indah lagi jika ada Bapak dan Ibu disini, tapi itu mustahil, mereka sudah
meninggal, aku menggelengkan kepala, menghapus semua ocehanku yang hanya akan
mengurangi waktuku, dan aku memilih kembali menyibukkan diri dengan kitabku yang menjadi
penyebab aku dikejar oleh para tentara, "tinggal lima lembar lagi, " aku lagi-lagi mendesis
sendiri, tersenyum, walau sebenarnya pipiku basah oleh air mata bercampur keringat, lalu
membaca bacaan yang kupegang.

Pagi hari segera datang, aku berinisiatif berpindah tempat, mencari yang lebih aman,
semalam aku sama sekali tidak tidur, aku menghabisakan empat lembar, aku tidak mau
menyianyiakan waktu. Aku bangkit, rerumputan ini hanya menyembunyikanku di malam hari,
tapi tidak di siang hari, tentra itu akan berpatroli disini, aku menyeret kakiku yang berdarah, aku
terus memaksa kakiku untuk menjauh dari tempat mengerikan ini, tempat dimana tak seoranglun
boleh beragama, siapapun yang ketahuan memiliki agama akan dibantai habis-habisan, dibunuh
dengan kejam. Seperti bapak, Ibu, dan kedua Kakakku.
Aku berlarian melewati sungai yang mengalir deras, susah payah aku menyebrang, air
yang kulewati seketika menjadi merah terkena darahku, aku nyengir kesakitan "tak apa... yang
penting Ibu dan bapak dapat mahkota, lagi pula tinggal satu lembar lagi," aku menyemangati
diriku sendiri, tersenyum teringat gurat wajah Bapak yang tegas memaksaku untuk menghapal
kita.

Beberapa hari lalu, tepatnya tiga hari sebelum sekarang, aku bersama Bapak dan Ibuku
duduk bersama di pematang sawah, kami tertawa bersama, aku memegangi kitabku, baru saja
aku murajaah bersama Bapak, "Andi... kalau sudah selesai murajaah segera kamu segera
kembalikan kitabmu, takut nanti tertinggal lalu diliat tentara gila itu "aku saat itu hanya
mengagguk, gaya khas anak kecil yang menghormati Bapaknya atau lebih tepatnya takut
Bapaknya, "tapi pak.. buat apa si kita hapalan..Andi nggak kuat pak.. ini susah " aku mendengus,
"hei jangan bicara seperti itu, kamu bilang kamu ingin jadi anak yang baik bukan?" Bapakku
mengelus kepalaku, kumisnya sedikit bergerak tertiup angin sawah, Ibuku tersenyum melihat
kami, "nak.. kalau kamu bisa hapal kitab ini, kelak bapak ibumu bisa punya mahkota dan jubah
kehormatan, kami akan sangat bahagia, dan di luar itu semua, alasan kami menyuruhmu
menghapal kitab ini agar kamu bisa jadi tentara " aku mengernyitkan dahi, "tentara?bukannya
bapak benci tentara?semua yang membunuh kakak andi, bukankah dia tentara?yang membunuh
Aling dan Koh Dudung , bukankah dia tentara?" Aku mendongak merasa bingung, Bapak saat
itu tertawa, tawa yang amat menyenangkan dipandang dan diingat. "bukan tentara yang itu Andi,
tapi... tentara Allah.. hafiz, penjaga kitab suci Al Qur'an" bapak tersenyum, aku masih bingung
usiaku masih tujuh tahun. "baiklah Andi.. sekarang kau kembalikan kitab itu ke rumah, simpan
baik-baik" aku mengangguk, pulang ke rumah. Seperti biasa Bapak dan Ibu kembali bekerja di
sawah.

Saat aku berjinjit hendak meletakkan kitabku di atas lemari, saat itu juga aku mendengar
suara ledakan, ledakan yang amat keras, disertai teriakan para warga, aku yang ketakutan berlari,
menenteng kitabku erat-erat, aku harus pergi menyusul Ibu dan Bapak. Tapi sayangnya terlambat
sekali, saat aku sampai di sawah, ada banyak tentara disana, dengan senapan di tangannya, aku
melihat dari kejauhan tububh Bapak dan Ibu yang terbaring berlumuran darah, aku terkejut aku
hendak teriak, tapi samar-samar aku melihat tangan Bapak bergerak, apa artinya? Bapak jelas-
jelas melambaikan tangannya, dengan sisa-sisa tenaga ia memberiku isyarat untuk berlari
menjauh, sejauh-jauhnya. Aku bingung, tubuhku membeku disana, hingga suara senapan
menyadarkanku, kaki sebelah kiriku terkena peluru, salah satu tentara memergokiku dengan
kitab ditanganku, dengan kaki yang berdarah aku berlari mencari persembunyian secepat
mungkin. Sampai saat ini. Hanya menuggu waktu aku akan mati.

Aku akhirnya sampai di pinggir sungai, "aku harus menghapalnya lagi satu lembar" aku
memaksa kakiku mencari tempat yang jauh dari para iblis berseragam itu, aku masuk ke dalam
hutan, entahlah mungkin untuk sementara waktu, ini tempat teraman. Aku membuka kembali
kitabku, aku lupa kalau semenjak tiga hari ini aku tidak makan, dengan darah yang terus
mengucur, aku bersyukur bisa bertahan selama tiga hari, aku hanya memohon agar aku bisa
menyelesaikan ini.

Aku terus mengulang ayat, dengan sisa tenagaku, sulit sekali mebacanya, tinggal lima
ayat lagi, aku bersikeras memaksa diri sendiri, "hey.. disini ada darah, H4 kemari! ada yang harus
kita singkirkan lagi, menyenangkan bukan?"suara tentar gila itu sudah dekat, mereka tertawa-
tawa, aku tau cepat atau lambat, aku akan tertangkap, aku tidak peduli, aku hanya ingin ini
selesai.

"Hei nak.. " aku tidak menoleh saat salah satu dari mereka memanggilku, aku hanya terus
melantunkan ayat terakhir hapalanku, "hei .. aku akan mengampunimu jika kau mau melepaskan
kitabmu itu”, yang satu lagiikut bicara"baiklah jika itu maumu, maaf kamu harus mati nak..."
tor... peluru dihujamkan, tapi meleset, aku sudah tergeletak sedetik sebelum peluru itu mengenai
kepalaku, Allah lebih dulu menyelamatkanku, dia memanggiku tepat saat aku berhasil menhapal
ayat terkhir, aku rasa saat itu aku tersenyum, "terimakasih Allah... sudah menjaga tentaramu,
Bapak.. Ibu.. selamat atas jubah dan mahkota kehormatan kalian, Andi tidak pernah menyesal
menuruti nasihat kalian"

Sedangkan tentara yang mengelilingi Andi tercengang menatap mayat Andi yang
tersenyum, dengan kitab yang terpegang erat ditangannya.

Você também pode gostar