Você está na página 1de 6

NAMA : RADEN DANI FAUZAN

NIM : 14232824
KELAS : PERPETAAN/SMT VII

ANALISIS MASALAH JUAL BELI ATAS TANAH PERTANIAN YANG BERAKIBAT MENJADI
TANAH ABSENTEE
( SURAT TEGURAN KEPALA KANTOR PERTANAHAN KAB.JEMBER KEPADA PPAT)

Absentee berasal dari kata absent yang berarti tidak hadir. Ketentuan tersebut
melarang pemilikan tanah pertanian oleh orang yang bertempat tinggal di luar kecamatan
tempat letak tanah tersebut. Larangan ini tidak berlaku terhadap pemilik tanah yang
bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah
yang bersangkutan, dengan syarat jarak antara tempat tinggal pemilik itu dan tanahnya
masih memungkinkan untuk pengerjaan tanah tersebut secara efisien.

Dalam pembahasan pasal 10 UUPAtelah dijelaskan bahwa yang mempunyai tanah


pertanian wajib mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, sehingga
dibentuklah ketentuan untuk menghapuskan penguasaan tanah pertanian yang disebut
dengan tanah absentee.Tanah absentee yaitu pemilikan tanah yang letaknya diluar
daerah tempat tinggal yang mempunyai tanah tersebut. Dengan kata lain tanah absentee
adalah tanah yang letaknya berjauhan dengan pemiliknya.

Ketentuan-ketentuan tersebut diatur dalam pasal 3 peraturan pemerintah No.224


tahun 1960 dan pasal 1 peraturan pemerintah No.41 taqhun 1964 ( sebagai tambahan
pasal 3a-3e ) sedangkan dasar hukumnya adalah pasal 10 ayat 2 UUPA. Adapun larangan
pemilikan tanah secara absentee berpangkal pada dasar hukum yang terdapat dalam
Pasal 10 ayat (1) UUPA, yaitu sebagai berikut :

“Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian
pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif,
dengan mencegah cara-cara pemerasan”.
Untuk melaksanakan amanat UUPA, maka Pasal 3 ayat (1) PP No. 224/1961 jo. PP No.
41/1964 menentukan sebagai berikut :

“Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat letak
tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya
kepada orang lain di Kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke Kecamatan
letak tanah tersebut”.

Selanjutnya Pasal 3d PP No. 224/1961 jo. PP No. 41/1964 menentukan :

“Dilarang untuk melakukan semua bentuk memindahkan hak baru atas tanah pertanian
yang mengakibatkan pemilik tanah yang bersangkutan memiliki bidang tanah di luar
Kecamatan di mana ia bertempat tinggal”.

Dengan demikian, terdapat beberapa esensi yang merupakan ketentuan dari absentee,
antara lain :

1. Tanah-tanah pertanian wajib dikerjakan atau diusahakan sendiri secara aktif.


2. Pemilik tanah pertanian wajib bertempat tinggal di Kecamatan tempat letak
tanahnya.
3. Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat letak
tanahnya, wajib mengalihkan hak atas tanahnya atau pindah ke Kecamatan letak
tanah tersebut.
4. Dilarang memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah pertanian kepada orang
atau badan hukum yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Kecamatan
tempat letak tanahnya.
5. Larangan pemilikan tanah secara absentee hanya mengenai tanah pertanian.

Pada inti pokok dari undang-undang tersebut adalah pemilikan tanah pertanian oleh
orang yang bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letak tanahnya. Namun larangan
tersebut tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di kecamatan yang
berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan, asal jarak antara
tempat tinggal pemilik itu dan tanahnya menurut pertimbangan pada waktu itu masih
memungkinkan untuk mengerjakan tanahnya secara efisien.

Sesuai dengan yang dikemukakan diatas bahwa semua bentuk pemindahan hak milik
atas tanah pertanian yaitu jual beli, hibah, dan tukar menukar yang mengakibatkan
pemilikan baru secara absente dilarang. Larangan itu juga mengenai golongan pegawai
negeri kecuali dalam hibah dan waris. Sanksi yang akan dikenakan jika kewajiban diatas
tidak dilaksanakan atau terjadi pelanggaran terhadap sesuai yang diterangkan diatas
maka tanah yang bersangkutan akan diambil oleh pemerintah untuk kemudian
didistribisikan dalam rangka landreform. Dan kepada bekas pemiliknya diberikan ganti
kerugian sesui peraturan yang berlaku bagi para bekas pemilik tanah kelebihan.

Jadi Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT Yxxxxxxxx,SH.,M.Kn memang tidak benar
adanya. Karena ketiga orang pembeli jarak tempat tinggalnya jauh dengan obyek jual beli
sehingga menimbulkan adanya tanah absentee. Putusan Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten Jember sudah benar adanya yaitu dengan menolak pendaftaran peralihan hak
dan melakukan teguran kepada PPAT karena tidak menaati peraturan.

1. Analisis Perjanjian Terselubung Jual Beli Tanah Dengan Hak Beli Kembali

Perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali merupakan kekuasaan untuk
membeli kembali barang yang telah dijual diterbitkan dari suatu janji, dimana si penjual
diberikan hak untuk mengambil kembali barangnya yang dijual dengan mengembalikan
harga pembelian asal dalam tempo waktu tertentu yang disertai dengan penggantian
berupa biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan pembelian dan penyerahan,
serta biaya yang diperlukan untuk melakukan pembetulan (diatur dalam pasal 1519 KUH
Perdata). Objek dari perjanjian ini adalah benda tak bergerak, khusunya mengenai tanah.
Perkembangan perjanjian jual beli tanah dengan hak membeli kembali di masyarakat saat
ini tidak pernah terjadi lagi, karena bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria
No.5/1960 maka jual beli tanah dengan hak membeli kembali dianggap batal demi
hukum. Oleh karena itu, pembebanan hak tanggungan terhadap perjanjian jual beli tanah
dengan hak membeli kembali tidak dapat dilakukan. Apabilajual beli tanah dengan hak
membeli kembali ini ada terjadi di masyarakat, maka lebih mengarah ke perjanjian
hutang-piutang dengan jaminannya adalah tanah.

Dalam kasus antara M.Noortjahjopramono dan Soemantoro sebenanya dikategorikan


sebagai suatu “perjanjian Hutang-Piutang dengan Jaminan”. Putusan yang dikeluarkan
oleh Mahkamah Agung dalam acara Peninjauan Kembali (request civil) telah benar
adanya. Akta yang dibuat oleh Notaris dalam kasus ini tidak dapat dibenarkan dan
merupakan suatu kekeliruan. Karena antara M.Noortjahjopramono dan Soemantoro
hanya terjadi perjanjian hutang-piutang dengan jaminan yaitu tanah. Selain itu dalam
UUPA, tidak ada peralihan hak atas tanah karena perjanjian Menjual Tanah dengan Hak
Membeli Kembali.

2. Analisis Kasus Sengketa Pembebasan Tanah Untuk Proyek Pembangunan

Dalam kasus ini, sudah benar putusan Mahkamah Agung dengan membatalkan
putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh. Selain itu tanah yang menjadi objek sengketa
sebenarnya termasuk dalam tanah negara. Hal ini karena luas yang dikuasai melebihi
ketentuan luas maksimum sesuai yang telah ditetapkan oleh UUPA. Maka tanah tersebut
statusnya menjadi tanah negara. Apalagi tanah tersebut telah ditelantarkan sehingga
sesuai peraturan maka diambil oleh negara dan menjadi tanah negara. Apabila kemudian
dibagikan kepada masyarakat harus sesuai dengan peraturan yang ada. Walau diketahui
oleh Kepala Desa setempat, tapi statusnya hanya penggarap bukan pemilik. Tanah
tersebut masih dengan status tanah negara. Walaupun telah menjadi Hak Negara akan
tetapi ahli waris masih memiliki Hak Kepunyaan atas tanah tersebut.

Terhadap ahli warisnya Teungku Oebit sebagai pemilik awal benar adanya putusan
Mahkamah Agung dengan memberikan ganti kerugian oleh negara karena tanah
kelebihan tersebut diserahkan kepada Negara. Para penggarap seharusnya
mengembalikan uang ganti rugi yang diterima karena mereka bukanlah pemilik tanah
tersebut.
3. Analisis Kasus Penerapan Asas Kepatutan Ganti Rugi Perbaikan Rumah

Dalam kasus ini, putusan yang dikeluarkan baik oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi, dan Mahkamah Agung yang menerima gugatan penggugat dan memerintahkan
tergugat yaitu anak ponakan untuk meninggalkan rumah tersebut. Sesuai asas kepatutan,
tergugat memang telah melanggarnya karena asas kepatutan ini berakar pada sifat
peraturan hukum pada umunya yaitu usaha mengadakan keseimbangan dari berbagai
kepentingan yang ada di dalam masyarakat. Jadi tergugat yang telah mendiami tanpa izin
rumah milik bibinya dianggap mementingkan kepentingan pribadinya dan melanggar hak
orang lain.

Akan tetapi karena tergugat telah mendiami dan merawat rumah tersebut putusan
Mahkamah Agung yang mewajibkan kepada penggugat untuk memberikan biaya pindah
benar adanya. Biaya tersebut sebagai biaya pengganti karena telah merawat rumah
selama ditinggal penggugat sekaligus sebagai biaya untuk tergugat mencari tempat
tinggal yang baru.

4. Analisis Kasus Keabsahan Jual Beli Tanah

Dalam kasus ini, transaksi jual beli yang dilakukan sudah seharusnya batal demi
hukum karena Marunnu (Tergugat) bukanlah pemilik sah tanah tersebut. Tanah objek
sengketa tersebut merupakan tanah ahli waris pernikahan kedua I Meleng dengan La
Cewang yaitu La Codding.Karena La Codding juga meninggal maka ahli waris yang berhak
adalah anak-anak La Codding (Cucu dari I Meleng dan La Cewang). Mungkin karena masih
saat meninggal anak-anaknya masih kecil maka Marunnu yang merupakan Saudari Tiri La
Codding yang menjaganya. Akan tetapi tindakan Marunnu menjual tanah tersebut tidak
tepat.
Sehingga putusan oleh Mahkamah Agung yaitu membatalkan transaksi jual-beli dan
memerintahkan tanah tersebut dikembalikan kepada pewaris yang sah yaitu anak-anak La
Codding sebagai ahli waris tanpa ada ganti rugi lagi. Marunnu juga seharusnya
mengembalikan besarnya biaya transaksi jula beli tanah tersebut kepada Malle bin
Ummareng sesuai dengan transaksi awal.

5. Analisis Kasus Tanah Hak Guna Bangunan Habis Masa Berlakunya

Dalam kasus ini antara Nyonya Lie sebagai Penggugat dan Ahmad bin Ali Cs sebagai
Tergugat dengan kasus menuntut sebagai pemilik yang sah rumah yang dibangun oleh
Penggugat di atas tanah yang status Hak Guna Bangunnya telah berakhir, putusan yang
dikeluarkan oleh Mahkamah Agung telah benar adanya. Putusan Mahkamah Agung yang
membatalkan Putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi karena dinilai telah salah
menerapkan hukum. Penggugat membangun rumah diatas bangunan yang telah
dirobohkan karena masa HGB nya telah habis. Penggugat berstatus sebagai penyewa dan
saat membangun tidak meminta izin kepada tergugat.

Walaupun HGB milik tergugat telah habis dan tidak ada pengajuan pembaharuan hak
tetapi tidak boleh penggugat mengajukan Hak Pakai diatas tanah tersebut. Karena
walaupun hak atas tanahnya berakhir tergugat tetap memiliki Hak Kepunyaan atas tanah
tersebut. Sehingga tergugat masih bisa melakukan permohonan HAT yang baru. Jadi
Putusan Mahkamah Agung telah benar adanya yaitu menolak gugatan Penggugat.

Você também pode gostar