Você está na página 1de 14

Anak Yang Hilang

Hamka

“Selamat tinggal! Anisah! Sudah tetap besok kanda hendak kembali ke

Jakarta.”

“Tentu lama pula kanda datang pulang.”

“Hal itu tak dapat ditentukan, Anisah; nyawa di dalam tangan Allah.”

“Tentu akan Kanda lupakan daku, jika kakanda sampai ke sana. Maklumlah

keindahan kota Jakarta.”

“Tidak, Anisah, tidak.”

“Tentu, kakanda lupa bukankah adinda ini hanya gadis kampung?.

“Gadis kampung? Itulah yang telah memautkan hatiku kepada kampung

halamanku, yang baru sekali ini aku injak, adik. Gadis kampung setia, gadis

kampung baik budi, jujur, tiada kenal tipu daya kota.”

“Tapi bodoh!”

“Mencarai orang pintar tidak sesusah mencari orang berbudi, Ani!”

Diam sesaat.

“Wahai kanda,…….. mengapa kita berkenalan dahulunya……..”, ujar Ani

memecah kehingan itu.

“O? Jadi adinda menyesal berkenalan dengan daku? Saya tak menyesal

berkenalan dengan dikau, adikku, saya merasa beruntung.”

“Bukan begitu maksudku, kandaku. Aku menyadari nasib, karena kita

segera saja berkenalan dan segera pula mesti bercerai. Ketika hati adinda

sangat gembira karena dapat berkenalan dengan kakanda, kakandapun

pergi. Kakanda telah melukai hatiku dengan perceraian. Entah tidakkan

bertemu lagi. “Kijang akan lepas ke rimba!”

Sedang berkata demikian, denagn tidak sadar sedikit jua, titilah beberapa

tetes air mata ke pipinya yang merah itu. Akan hal Yamin, mula-mula ia

tidak menyangka bahwa keadaan akan mendalam semacam itu. Seakan-akan


ia telah masuk ke dalam pintu lukah dan tak tahu lagi bagaimana hendak

keluar dari dalamnya; maka iapun tunduk ke bumi, oleh karena sangat pilu

hatinya.

Demikianlah, keadaan kedua anak muda itu, sama-sama menekur, laksana

menyesali perjalanan waktu yang seakan-akan tiada mengenal kasihan,

yang telah menjadaikan mereka beruntung sekejap mata saja.

Sebab itu haruslah diingat oleh dua orang yang bertemu, bahwa

pertemuan mempunyai warna perak, yang terbentang di sebelah timur di

pagi hari. Dan perpisahan adalah berwarna merah di senjakala. Warna

perak di waktu fajar, adalah lambing pertemuan yang indah. Warna merah

di senjakala adalah lambing perpisahan yang gundah, warna air mata dari

pada darah!

Yamin adalah anak seorang saudagar yang telah 25 tahun lamanya

meninggalkan negerinya, berjalan dari kampong karena beriba hati, sebab

bergaduh denagn mamak isterinya. Ketika itu dia miskin, maka

ditanyakannya kepada istrinya yang masih muda itu, manakah dia yang

suka, menurutkan mamak dan ayahnya bundanyakah atau menurutkan

suami berhilang-hilang kerantau orang. Isterinya itupun memilih yang

kedua, menurutkan suami.

Telah 25 tahun mereka meninggalkan negeri, bersumpah tiada akan

pulang-pulang ke kampong kalau orang yang benci kepada mereka itu masih

hidup. Setelah beberapa tahun tinggal di Jakarta, cinta mereka telah

terpaterikan Tuhan dengan seorang anak laki-laki, yaitu Yamin.

Meskipun kehidupan mereka itu hanya dari berdagang kecil-kecil saja,

mereka bersenanghati juga. Mereka tahan hidup sederhana dan berdikit-

dikit. Dalam pada itu, karena si suami. selalu memperhatikan kemajuan,

suka memikirkan zaman kemudian, anaknya yang hanya seorang itu saja,

mereka itupun dapat pula memasukkan Yamin ke sekolah yang agak baik.
Setelah 2 tahun Yamin duduk di sekolah Mulo, sampailah kabar kepada

mereka bahwa mamak isterinya itu telah berpulang kerahmatullah.

Mertuanya yang laki-laki dan yang perempuan telah insaf akan

kesalahannya. Oleh karena mereka telah tua dan segenap pamili di

kampung telah lama ingin hendak bertemu dengan kedua laki-isteri serta

anaknya yang telah besar itu, ketiga beranak itupun diminta mereka pulang

dengan segera. Karena keras seruan kampung dan halaman, timbullah niat

dalam hati hendak pulanng. Apalagi uang dalam simpananpun ada pula. Se-

tinggi-tinggi melambung akan kembali ke tanah juga. Tetapi malang yang

tak dapat ditolak, mujur yang tak dapat diraih, si isteri meninggal dunia

dengan tiba-tiba, ditimpa penyakit yang tak berapa lama diidapkan.

Kesedihan yang menimpa dengan tiba-tiba itupun menambah kuat

permintaan orang di kampung supaya mereka pulang juga. Supaya segala

sengketa yang lama-lama didamaikan, dihabisi dengan asap kemanyan.

Tidak ada perang yang tak damai, tak ada dendam yang tak habis, lak ada

kesumat yang tak hapus. Apalagi awak-sama awak, senduk dan periuk lagi

berlaga. Memang pula Sutan Sati telah teragak hendak pulang, akan

melihat kampung halaman, sawah berjenjang dan tepian tempat mandi.

Maka datanglah bulan Juli, bulan pakansi anak sekolah. Sutan Sati

menimbang perniagaannya belum dapat ditinggalkannya. Sebab itu

disuruhnyalah Yamin pulang ke Padang selama pakansi itu. Kelak di mana

Yamin berbalik, dia sendiri akan pulang pula.

Yamin amat berbesar hati mendengar keputusan ayahnya. Sebab sejak

keeil ia telah didondong dibuaikan oleh ibunya dengan lagu-lagu negerinya

yang indah-indah, lagu Singgalang dan Kota Tua, Ilau'rang Pauh Bandar

Buat dan lagu pelayaran orang Salida. Ia baru mengenal negeri nenek

moyangnya dari buku-buku ilmu bumi, atau dari tutur kat a temen-

temannya yang pulang ke Padang sekali setahun. Belum dilihatnya Batang

Anai dan jalan kereta api yang berkelok-kelok, belum dilihatnya air mancur
di Kandang Empat, belum dia tahu bagaimana rupa Ngarai Sianok. Maka

berangkatlah dia ke kampungnya dekat Bukittinggi dengan hati yang amat

gembira. Lebih sebulan lamanya dia diam di kampung, mengecap udara

tanah pegunungan yang nyaman, melihat ladang tebu di Sungai Puar, di kaki

gunung Merapi. Di hadapannya terbentang pula tanah Singgalang dan

kampung Kota Baru, dengan rumah-rumah beratap ijuk dan seng menurut

bentuk adat Minangkabau, rumah gedung gajah mengeram.

Akhimya, setelah hari pakansi hanya tinggal sedikit, barulah dia

berkenalan dengan Anisah, gadis kampung itu !

Baru ketika itu Yamin merasai nikmat hidup. Barulah senyumnya

berarti, tangisnya berisi, keluhnya bermakna. Bukan lagi senyum palsu,

tangis yang kosong dan keluh kesakitan badan. Barulah keindahan alam

yang menarik dia pulang ke kampung itu bertambah hidup dalam hatinya.

bertambah berdebar-debar dalam sukmanya.

Waktu itu barulah dikarangkannya dalam pikirannya angan-angan,

bahwasanya jika sekolahnya telah tammat kelak, gadis kampunglah yang

akan dipilihnya jadi isterinya, yaitu Anisah, karena dia tak sombong.

Kecantikannya bukan kecantikan buatan, merah bibirnya bukan karena

diberi gincu, tetapi merah ditimpa panas ketika ia menggara unggas di

sawahnya yang luas. Kemontokan mukanya bukan karena di luar

bedak,tetapi montok di lingkung kain telekung katika ia memikul perian

dari pancuran waktu subuh. Kehalusan perasaannya bukan karena kerap

kali mendengarkan lagu nyanyian di panggung bioskop, atau nyanyian yang

dikirimkan dengan Radio; tetapi halus karena mendengarkan genta kerbau

di tengah padang, puput dan nyanyi anak gembala didangau tinggal ketika

dia berhenti kepanasan, atau karena mendengarkan kecut kehilangan tebu

di ladang yang jauh.

Dua kali mereka bertemu di dangau di sawah, sambil melihat

keindahan alam di sekeliling mereka itu dan memandangi kedahsyatan


dunia yang tiada pernah putus. Waktu itulah baru Yamin mendengarkan

pantun-pantun dusun yang indah yang amat dalam artinya, yang meresap

dan sukar dipisahkan dari dalam jiwa tiap-tiap anak Minangkabau.

Ayam kurik rambaian tedung,

ekor terjulai masuk padi,

ambil sajak berilah makan.

Kupilih dalam tujuh kampung,

tuan seorang tempat hati,

yang lain boleh kuharamkan.

Kalau tuan kerimba esok,

patahkan kayu alang-alang,

hilirkan ke Tnljung Sani

Kalau tuan tercinta esok

lihatlah gunung Singgalang,

di balik itu badan kami

Ketika telah habis pakansi Yamin, dia mesti pulang ke Jakarta

dengan hati yang telah berlain dengan yang dahulu. Pulau-pulau yang

berserak di lautan lepas Bungus, dipandangnya sebagai dangau di sawah-

sawah yang luas di kampungnya, tempat Anisah dewasa itu ! Perahu-

perahu nelayan yang bersilang siur di tepi pantai dipandangnya serupa

sapid an kerbau yang dilepaskan orang di tengah sawah sesudah menyabit

padi, di sawah kepunyaan Anisah ! Bunyi mesin kapal mengingatkan dia

kepada kincir padi yang sedang menumbuk; semu~nya seakan-akan terjadi

di kampungnya sendiri. : .. Anisah.!

Yamin telah sampai di Jakarta, lalu bersekolah pula. Sayang, dia

tak dapat berkirim surat kepada Anisah, sebab amat cela pada

pemandangan orang di dusunnya seorang bujang berkirim suratkepada

gadis, dan kebalikannya, amat aib seorang gadis menerima surat-surat dari
laki-Iaki yang bukan muhrimnya.Tetapi di dalam hatinya rindu dendam itu

telah terpateri tiada dapat diorak lagi oleh pertukaran siang dan malam,

tak dapat lagi diceraikan oleh khizit dan dengki bani Adam . . . . . . .

Dua minggu kemudian ayahnyapun berangkat ke Padang, akan

memenuhi janjinya yang dahulu. Tinggallah Yamin menghunyikan rumahnya

di Jakarta dengan seorang perempuan yang telah tua, Mak Inem orang

gajiannya. Sepi amat rasanya rumah itu sejak ibunya meninggal, dan akan

sepi selama-lamanya, .…………..entah kalau Anisah yang jadi

pengaruhnya.

Setelah dua bulan ayahnya kampung, datanglah suratnya

menerangkan bahwa kapal di muka dia akan berangkat ke Jakarta dan

menyuruh Yamin menunggu dia di Tanjungpriok.

Setelah datang hari yang ditentukan itu, pergilah Yamin ke

Tanjungpriok menantikan ayahnya. Kapalpun rapatlah kepangkalan. Yamin

berdiri mencari-cari ayahnya diantara orang-orang yang berdiri di tepi

pagar dekat kapal itu; sapu tangan telah mulai dilambai-lambaikan orang,

dari kapal dan dari pelabuhan. Sutan Sati telah dapat melihat anaknya

yang berdiri di bawah menengok-nengok ke atas; sambil mencubit

isterinya yang masih muda, yang berdiri didekatnya, iapun berkata : "!tu

dia, ……itu dia, anakku…… Yamin, yang bersandar kepada tong itu, kau

lihat ?"

Si isteripun melihat kepada tempat yang ditunjukkan. Nyata

olehnya, dan hatinya mulai berdebar-debar, seluruh tubuhnya mulai lemah

tiada berdaya, mukanya kian pucat. Sebab yang ditunjukkan suaminya itu

ialah kekasihnya sendiri, Yamin !

Perempuan itu ialah Anisah !

Kapalpun bertambah lama bertambahrapat kepangkalan. Yamin

telah melihat ayahnya, berkain sarung Bugis sutera; berbaju jas putih,

berkaca mata, bertongkat kayu pecat. Maka gembiralah hatinya sambil


melambai-lambaikan sapu tangan. Maka kelihatan pula olehnya seorang

perempuan muda berdiri dekat ayahnya, diam-diam saja sehagai patung.

Mula-mula samar, kemudian nyata,………… nyata, bahwa perempuan itu

Anisah, yang dicintainya dan buah mimpinya selama ini. Hampir dia

bersorak karena sangat girang melihat kekasih yang senantiasa diingat-

ingatnya itu telah berdiri di hadapannya dengan tidak disangka-sangkanya

Tetapi, mengapa dia tidak berpakaian anak gadis lagi? Mengapa

wajahnya lesu saja rupanya ? Mengapa ayah memegang-megang tangannya?

Mengapa apakah yang telah terjadi?

Wajah Yamin menjadi suram pula!

Kapalpun merapat, tangga diturunkan orang, penumpang telah siap

dengan barang-barangnya, kuli-kuli naik kapal berduyun-duyun, bersama

dengan jongos-jongos hotel yang mencari penumpang. Di pelabuhan sangat

ribut bunyi berbagai-bagai gerobak dan sorak pekerja yang mondar-

mandir. Yaminpun naiklah ke kapal bersama-sama dengan orang lain-lain

yang menjemput pamilinya pula. Dan rahasia itu belum juga dapat

diketahuinya.

Sampailah dia di hadapan ayahnya. Kelihatan ayahnya itu lebih

gagah dari dahulu, rambutnya yang telah mulai putih itu telah hitam

kembali, sebab ditolong oleh obat rambut. Di dekatnya berdiri Anisah,

sebenar-benamya Anisah. Sepatah perkataan tak ke luar dari mulutnya.

"Yamin," ujar ayahnya, "ini ibumu yang baru. Dan Anisah ! Inilah

anak adangmu! *)

Ketika itu barulah Yamin mengerti duduk perkara. Kepalanyapun

jadi pusing bagai ditimpa barang yang amat berat, hamper dia terjatuh.

Tetapi pandai sekali dia menghilangkan, sehingga tidak kelihatan oleh

ayahnya. Kebetulan Sutan Sati sedang diganggu oleh kuli-kuli pelabuhan,

yang berebut-rebut meminta barang-barang yang akan diangkatnya. '


"Adakah mak Cik selamat di dalam pelayaran?" tanya Yamin,

"Selamat, tak kurang suatu apa," jawab Anisah.

Dengan wajah berseri-seri karena girang, Sutan Sati melihat

anak dan isterinya itu. Tidak lama kemudian mereka itupun turunlah ke

darat.

Sebulan telah lalu, maka kelihatan orang di dalam rumah itu hidup

bersepi-sepi saja tidak sedikit juga terbuka cahaya kegembiraan di

dalamnya laksana di ranah pekuburan.

Sehabis makan malam. Yamin masuk ke dalam kamarnya, terbenam

di dalam buku-buku pelajarannya. Rupanya tengah membaca, tapi

sebenarnya ia bermenung termangu-mangu. Pikirannya menjalar tak

bertujuan. Apabila hari telah pagi pula, barulah ia kelihatan. Si ayah

membaca surat-surat kabar yang terbit sore itu, si isteri menjahit dan

merenda dengan diam-diam.

Pagi-pagi benar si ayah pergi mengurus perniagaannya, si anak

berangkat sekolah dengan tiada peduli. Dan si isteri kerap kali mengeluh

seorang diri.

Pada suatu malam terjadilah hal yang am at sulit. Tak ubah sebagai

gunung Merapi, yang telah lama tertutup lubang kepundannya, meletus

dengan dahsyat. Sutan Sati pergi ke perjamuan nikah-kawin, Yamin duduk

di dalam kamarnya dan dikuncinya pintu dari dalam. Tiba-tiba pintu kamar

itu diketuk orang dari luar. Dengan tangan amat gemetar Yamin membuka

pintu itu. lbunyapun masuk; Anisah kekasihnya!

Dengan muka yang amat tenang Yamin melihat gerak-gerik ibu

tirinya itu dan dengan lambat pintunya ditutupnya kembali.

"Apa kabar, mak Cik?" tanyanya.

"Saya ingin hendak berkata-kata dengan engkau !" .

Kalau ayah pulang, dan didapatinya kita berdua-dua saja di dalam

kamar ini, bukanlah tidak baik?"


"Benar, Yamin! Benar tak baik dipandang mata. Tetapi percayalah engkau,

kedatanganku ke kamarmu ini bukan hendak melanggar garis. Saya masuk

hanyalah hendak menyatakan perasaan yang tak dapat saya sembunyikan

lagi, yakni belas kasihan memikirkan nasibmu; orang muda, yang baru saja

menempuh hidup telah kena cobaan yang amat berat, yang belum pantas

dipikulnya. Saya tak dapat melupakan bahwa tanganmu telah memimpin

hatiku kepada perasaan bahagia dan pengharapan. Tetapi bahagia yang

kita angan-angan itu hanya mimpi belaka. Saya kasihan akan nasib diriku,

tetapi saya lebih kasihan lagi memikirkan nasibmu."

"Tidak, ibu, ..... .... soal itu bagi kita tidak sulit. Karena sebagai

orang Islam kita wajib percaya kepada takdir. Apa yang telah ditentukan

Tuhan harus kita terima dengan sabar. Semua hal itu telah dipilihnya

dengan takdirnya.

" Betul, tetapi……….”

"Tidak ada "tetapinya" ! Ayah tak salah, dia telah melalui jalan

yang patut dilalui menurut adat dan syarak. Dipinangnya anak orang

dengan pengharapan, dan pengharapannya itupun terkabul. K aum kerabat

ibu tak salah pula memberikan ibu kepada ayah, karena mereka tiada tahu

perhubungan kita. Untung kitalah rupanya yang belum dipertemukan

Tuhan,cinta kekasih dengan kekasih bertukarlah dengan cinta ibu kepada

anaknya."

Anisah duduk di pinggir tempat tidur Yamin; kepalanya tertekuk

kelantai. Yamin duduk di kursi membelakangi meja tulisnya, di bawah

cahaya lampu listerik 5 lilin, sehingga suram kelihatan kamar itu. Hanya

bunyi detik-detik jam yang kedengaran, dan dipinggir-pinggir jalan raya

yang jatuh kedengaran suara orang menyerukan jualan buah-buahan

jualannya dengan cara "Jakarta."

Waktu. itu iblis mencoba juga hendak memasukkan daya ke dalam

hati Yamin. Kalau kiranya tiada teguh imannya, akan lalu juga tipu
muslihatnya yang kejam itu. Lebih kurang 5 menit dia berperang dalam

hatinya,maka menanglah iman, berdiri di atas punggung hawa-nafsu yang

telah tersungkur jatuh ke bumi dan iblls itupun Iari kemalu-maluan.

" Keluarlah, ibu, kembalilah ke dalam kamar itu. Sebentar lagi tentu ayah

pulang."

Dengan tiada menjawab sepatah kata jua, keluarlah perempuan muda itu

dengan langkah yang maha-berat; tangannya dibimbing oleh Yamin.

sampai ke pintu. Setelah Anisah sampai ke pintu kamarnya,

kedengaranlah bunyi sepatu suaminya di pekarangan .

Sudah larut hari tengah mahm, belum jua Yamin hendak tidur;

pikirannya melayang ,ke zaman yang telah lampau. Ia ingat bagaimana

cinta hatinya telah dicurahkannya kepada Anisah dahulu ! Tetapi Anisah

telah jatuh ke dalam pangkuan ayahnya. Ia ingat, kesukaran itu selalu

berdekat dengan kedukaan.

Ia menarik nafas panjang.

Maka terbayang pula di matanya bagaimana ke dudukan ayahnya

seketika ibunya meninggal. Bagaimana ayah yang sedih itu telah mulai

gembira oleh karena telah berobah ganti isteri dengan yang muda.

Alangkah besar 'durhakanya, kalau kegembiaraan ayahnya yang telah tua

itu diganggunya dengan suatu gangguan yang teramat hebat sekali !

Kalau diturutkannya saja kata hatinya dan darah mudanya maulah ia

melanggar aturan yang telah diatur oleh segenap agama dan peri budi

keinanusiaan, lebih-lebih karena cinta itu tiada ter batas. Hanya manusia

jua yang membatas-batasi dia Wahyu Iblis !

Tiba-tiba hatipun berasa aman, demi terpikir olehnya suatu

timbangan yang amat adil dan suci, walaupun akan menyakitkan Juga dalam

mulanya. Setelah itu barulah matanya tertidur .

Akan tetapi Anisah amat gelisah di tempat tidurnya. Kepalanya

amat pening, dia ditimpa demam. Kejadian yang baru lalu itu sangat
mempengaruhi perasaan hatinya, sehingga semangatnya yang lemah itu

tiada tahan lagi.

Ketika Sutan Sati bangun dari tidumya pagi-pagi, didekatinyalah

isterinya. Ia hendak membangunkan perempuan itu, tapi ia terkejut sebab

dirasainya badan Anisah amat panas; ia pun bertutur-tutur seorang diri

menyebut-nyebut perkara yang lamalama; nama Yaminpun terbawa-bawa.

Amat cemas pikiran orang tua itu melihat keadaan itu. Maka pergilah ia ke

kamar Yamin hendak· memberi tahukan keadaan mak Ciknya itu kepadanya.

Sesampainya di situ dilihatnya pintu kamar terbuka, dan " .. " " Yamin

tidak ada !

Dicarinya pekarangan luar, tidak bertemu ! Ditanyakannya kepada

Mak Inem, babu itupun tidak tahu ke mana Yamin pergi. Dia kembali ke

kamar anaknya"itu, dilihatnya almari Yamin telah kosong. Kain-kainnya dan

sebagain kitab-kitabnya "tidak ada lagi.

Yamin sudah pergi ! Rupanya itulah kesudahan pikirannya pada

malam itu.

Dalam dia kebingungan memikir-mikir anak tunggalnya itu, keheran-

heranar.. mengenangkan ke mana agaknya Yamin pergi dan apakah salahnya

tiba - tiba kedengaran pula olehnya rintih dan igauan isterinya; sebab itu

ia pun kembali ke dalam kamamya, lalu duduk dekat kalang hulunya. .

Disuruhnya Inem mencari Yamin ke Pasar Senen atau ketempat

yang lain - lain, tetapi Yamin tidak juga bertemu. Memang dia tidak ada

disitu.

Sampai sepetang-petang hari Sutan Sati duduk di dekat isterinya

yang demam itu. Ia di timpa dua macam kebingungan; karena memikirkan

hal anak dan hal isteri !' Tidak tentu apa yang akan disebutnya, pikirannya

berkacau-bilau. Ditanyakannya kepada isterinya apa yang sakit, tapi

Anisah tidak menjawab; dia hanya mengempas ke kiri dan mengempas ke

kanan saja.
Setelah hari petang datanglah seorang tetangga yang baru kembali

dari Tanjung Priok, menerangkan, bahwa dia melihat Yamin berdiri atas

geladak kapal "Nagoya Maru" yang hendak berlayar ke Jepang. Kata

tetangga itu, dia tidak tahu bilakah Yamin naik ke sana; hanya setelah

kapal renggang dari pelabuhan barulah dia kelihatan.

Setelah anaknya hilang itulah baru terbuka kesadaran pikiran

Sutan Sati sedikit-sedikit Diingatnya bahwa istrinya masih muda, sebaya

dengan anaknya. Selama mereka bergaul, mereka serupa orang lain saja.

Dia telah insaf, bahwa diantara kedua makhluk itu sudah ada pertalian

cinta murni. Tetapi keduanya sama-sama pandai mengemudikan diri,

pandai menutup rahasia, sehingga mereka itu jadi kurban kepandaian itu.

Sakit Anisah bertambah larut juga.

Kira-kira pukul 3 hari akan siang. Anisah membangunkan suaminya.

Pada hal Sutan Sati baru tertidur, karena sangat mengantuk menjagai dia.

Sutan Sati sangat terkejut, dan iapun datang mendekati isterinya.

"Beri maaf saya, engku, karena saya belum sanggup menyelenggarakan

engku dengan sepatutnya."

"Apa yang kau sebut ini, Ani !".

"Ya, ..............saya telah merasa, janjiku akan sampai,-beri

maaf saya, engku."

"Kau tak bersalah. Tak ada yang patut saya "maafkan."

"Sudah tahukah engkau duduk perkara itu ?"

"Sudah ..... sudah, sayli sudah tahu semuanya.

Engkau tak salah, Ani; Yamin pun tak salah. Saya yang salah, yang tak

tahu diri meminang seorang gadis muda karena hanya percaya kepada isi

dompetku saja,sehingga saya patahkan hati anakku

sendiri, saya kecewakan jiwa seorang' anak' perempuan yang masih

penuh mempunyai pengharapan 'dalam' hidupnya !"

"Itupun tidak, engkupun tak ,salah, karena engkau melalui jalan yang lurus
menurut 'adat dan syarak ..... . Maafkanlah saya, engku

Cahaya fajarpun menyingsinglah dari 'jihat timur, ,disambut oleh

kokok ayam dalam kandang. Hari hujan rintik - rintik. Penjual buah-buahan

dari Udik kelihatan' berempat berlima, berjalan tergesa-gesa menuju ke

kota Jakarta karena takut kesiangan ....

Waktu itulah malakul maut membimbing arwah perempuan muda

yang cantik jelita itu ke alam' baka' dengan tenang dan damai Di dekat

tempat tidur kelihatan Sutan' Sati menangkup mencium muka mayat, yang,

masih panas, itu, dan membasuh dia ,dengan air mata. Sudah dua kali hal

yang serupa itu dialaminya selama hidupnya!

"O Allah, Ya Tuhanku ! Telah Tuhan panggil dari sisiku dua orang

isteriku. Sekarang anakku yang tunggal, tak' tentu lagi dimana dia !

Anakku wahai! Hatiku telah tebakar, karena ,duka. Tak berhenti-

henti ayah meratapi engkau,buyung , Tapi engkau tidak juga pulang !

Pipi ayah telah cekung, air mata, telah kering, sehingga tak ada lagi

akan keluar jika aku masih boleh menangis karena girang menyambut

engkau kembali.

Anakku! Kepada tiap-tiap ,orang yang lalu lintas ayah tanyakan,

adakah dia bertemu derigan engkau. Semuanya men jawab "tidak", dan

mereka itupun, pergilah ,meninggalkan 'ayah, sambil menggeleng-gelengkan

kepala karena belas kasihan.

Aniku! •.•.. celaka nasibku semenjak engkau tinggalkan tidak ada lagi

yang akan mengurap-urap. Kepalaku yang telah beruban dengan tangan

lemah-Iemput !,

Minah katakanlah dan pesankanlah dari kuburmu, di manakah

gerangan anak kita sekarang ini !

Siapa yang akan menjaga aku kalau sakit, siapa yang akan merobek

kafanku, siapa yang mengantarkan ayah ke kubur, jika ayah mati seorang

diri sepeninggal engkau, buyung !’

Você também pode gostar

  • ANAK
    ANAK
    Documento8 páginas
    ANAK
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações
  • Bab I
    Bab I
    Documento23 páginas
    Bab I
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações
  • Malam Sekaten
    Malam Sekaten
    Documento9 páginas
    Malam Sekaten
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações
  • Lampiran 2
    Lampiran 2
    Documento3 páginas
    Lampiran 2
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações
  • Panggilan Rasul Hamzad Rangkuti
    Panggilan Rasul Hamzad Rangkuti
    Documento12 páginas
    Panggilan Rasul Hamzad Rangkuti
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações
  • Lampiran 2
    Lampiran 2
    Documento3 páginas
    Lampiran 2
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações
  • Inyik Utih
    Inyik Utih
    Documento10 páginas
    Inyik Utih
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações
  • Inyik Utih
    Inyik Utih
    Documento10 páginas
    Inyik Utih
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações
  • Jatayu
    Jatayu
    Documento4 páginas
    Jatayu
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações
  • Kawin
    Kawin
    Documento9 páginas
    Kawin
    Diah Ayu Nuril Azizah
    100% (1)
  • Jatayu
    Jatayu
    Documento4 páginas
    Jatayu
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações
  • Dijemput Mamaknya
    Dijemput Mamaknya
    Documento29 páginas
    Dijemput Mamaknya
    Diah Ayu Nuril Azizah
    100% (1)
  • Hikayat Nabi Khidir
    Hikayat Nabi Khidir
    Documento15 páginas
    Hikayat Nabi Khidir
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações
  • Inyik Utih
    Inyik Utih
    Documento5 páginas
    Inyik Utih
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações
  • Tumor Cerebral
    Tumor Cerebral
    Documento15 páginas
    Tumor Cerebral
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações
  • Inyik Utih
    Inyik Utih
    Documento5 páginas
    Inyik Utih
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações
  • Inyik Utih
    Inyik Utih
    Documento5 páginas
    Inyik Utih
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações
  • KEWIRAUSAHAAN1
    KEWIRAUSAHAAN1
    Documento16 páginas
    KEWIRAUSAHAAN1
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações
  • KEWIRAUSAHAAN1
    KEWIRAUSAHAAN1
    Documento16 páginas
    KEWIRAUSAHAAN1
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações
  • Fix Makalah Karies
    Fix Makalah Karies
    Documento10 páginas
    Fix Makalah Karies
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações
  • Catatan Hisptung
    Catatan Hisptung
    Documento5 páginas
    Catatan Hisptung
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações
  • UEU Undergraduate 1085 BABI
    UEU Undergraduate 1085 BABI
    Documento8 páginas
    UEU Undergraduate 1085 BABI
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações
  • 1 - Konsep Wirausaha
    1 - Konsep Wirausaha
    Documento20 páginas
    1 - Konsep Wirausaha
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações
  • Sungai
    Sungai
    Documento8 páginas
    Sungai
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações
  • Cinta Dan Darah
    Cinta Dan Darah
    Documento6 páginas
    Cinta Dan Darah
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações
  • Biografi AA Navis
    Biografi AA Navis
    Documento11 páginas
    Biografi AA Navis
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações
  • BIANGLALA
    BIANGLALA
    Documento6 páginas
    BIANGLALA
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações
  • Anak Tinggal
    Anak Tinggal
    Documento12 páginas
    Anak Tinggal
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações
  • Angin Dari Gunung
    Angin Dari Gunung
    Documento5 páginas
    Angin Dari Gunung
    Diah Ayu Nuril Azizah
    Ainda não há avaliações