Você está na página 1de 17

Nama : Fadhli Aufar Kasyfi

NIM : 04111001091
Analisis Masalah

1. Seorang anak laki-laki 3 tahun, BB 13 kg, datang dengan kejang.


a. Bagaimana klasifikasi dan jenis kejang?
1. Berdasarkan etiologi :
- Kejang Primer/idiopatik merupakan kejang yang terjadi tanpa ada sebab yang jelas
ataupun penyakit yang mendasarinya.
- Kejang Sekunder/simptomatis merupakan kejang yang timbul sebagai suatu gejala
dari penyakit yang diderita oleh pasien tersebut. Faktor-faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya kejang sekunder adalah:
 Faktor perinatal,kelainan yang timbul akibat gangguan pada proses kehamilan.
 Malformasi otak congenital
 Factor genetik
 Penyakit infeksi seperti ensefalitis dan meningitis
 Kejang demam
 Gangguan metabilisme (Hipoglikemia,Hiponatremia)
 Trauma kepala
 Tumor Otak
 Toksin/keracunan
 Gangguan sirkulasi/peredaran darah
 Penyakit degeneratif susunan saraf.
 Epilepsi
2. Berdasarkan lokasi lesi :
- Kejang Parsial : jika dimulai dari daerah tertentu dari otak

 Parsial sederhana : pasien tidak kehilangan kesadaran, terjadi sentakan-


sentakan pada bagian tertentu dari tubuh. Biasanya berlangsung kurang dari 1
menit.
 Parsial kompleks : Dimulai dengan kejang parsial sederhana, kemudian
berkembang menjadi perubahan kesadaran yang disertai gejala motorik, gejala
sensorik, otomatisme (mengecap-ngecapkan bibir, mengunyah, menarik-narik
baju). Beberapa kejang parsial kompleks mungkin berkembang menjadi kejang
generalisata. Biasanya berlangsung 1-3 menit.
- Kejang Generalisata : jika aktivasi terjadi pd kedua hemisfere otak secara bersama-
sama
 Tonik-klonik : merupakan bentuk paling banyak terjadi, pasien tiba-tiba jatuh,
kejang, nafas terengah-engah, keluar air liur, bisa terjadi sianosis,
inkontinensia urin, atau menggigit lidah, terjadi beberapa menit, kemudian
diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala atau tidur.
 Mioklonik : biasanya tjd pada pagi hari, setelah bangun tidur, pasien
mengalami sentakan yang tiba-tiba, jenis yang sama (tapi non-epileptik) bisa
terjadi pada pasien normal.
 Atonik : jarang terjadi, pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot sampai
terjatuh, tapi bisa segera recovered
 Klonik : gerakan menyentak, repetitive, tajam, lambat, dan tunggal atau
multiple di lengan, tungkai dan torso.
 Tonik : peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku, kontraksi) wajah dan
tubuh bagian atas, fleksi lengan dan ekstensi tungkai, mata dan kepala
mungkin berputar ke satu sisi, dapat menyebabkan henti nafas.

2. Dari rekam medis tercatat bahwa masih kejang saat datang ke rumah sakit, selah
diberikan diazepam per rektal 2 kali dan intravena 1 kali kejang masih belum eratasi.
Kejang berhenti setelah diberikan drip fenitoin. Kejang didahului demam. Pasca
kejang penderita tidak sadar.
a. Mengapa kejang tidak berhenti setelah diberikan tatalaksana?
Sesuai dengan mekanisme kerja dari diazepam yaitu bekerja pada sistem
GABA dengan memperkuat hambatan neuron GABA. Namun pada kasus ini,
hal tersebut masih belum bisa mengatasi kejang sehingga diperlukan obat jenis
lain yaitu drip fenitoin yang bekerja pada kanal sodium (Na+).

3. Sekitar 3 jam setelah masuk rumah sakit, kesadaran penderita nampak membaik.
Orang tua memperhatikan lengan dan tungkai sebelah kanan nampak lemah dn
penderita sering tersedak.
4. Pada riwayat penyakit sebelumnya, saat usia 9 bulan, penderita mengalami kejang
dengan demam tinggi. Dirawat di rumah sakit selama 15 hari dengan diagnosis
meningitis.

5. Pada usia satu tahun, penderita mengalami kejang dengan demam sebanyak 2 kali.
Usia 18 bulan penderita kemali mengalami kejang yang disertai demam tinggi.
Penderita berobat ke dokter dan diberi obat asam valproat. Setelah 5 bulan berobat,
orangtua menghentikan pengobatan karena penderita tidak pernah kejang. Penderita
sudah bisa bicara lancar, memakai baju sendiri, dan mengendarai sepeda roda tiga.
a. Bagaimana dampak penghentian pengobatan setelah 5 bulan?
Dalam panduan yang diterbitkan oleh American Academy of Neurology
mengenai penghentian obat anti epilepsi pada pasien yangbebas kejang, antara
lain dijelaskan bahwa pemberian obat dapat dihentikan setelah pasien bebas
kejang selama 2 hingga 5 tahun. Oleh karena itu pengehntian pemakaian asam
valproat dapat meningkatkan terjadinya kejang yang berulang pada kasus ini.

6. Pemeriksaan fisik: anak nampak sadar, suhu 38,5oC, TD 90/45 mmHg, nadi 120
kali/menit, laju nafas 40 kali/menit.

7. Pemeriksaan neurologis: pergerakan lengan dan tungkai kanan nampak terbatas dan
kekuatannya lebih lemah dibanding sebelah kiri, lengan dan tungkai kanan dapat
sedikit diangkat namun sama sekali tidak dapat melawan tahanan dari pemeriksa,
lengan dan tungkai kiri dapat melawan tahanan kuat sewajar usianya, tonus otot dan
refleks fisiologis lengan dan tungkai kanan meningkat, dan ditemukan refleks
Babinsky di kaki sebelah kanan.

8. Apa diagnosis dan diagnosis banding dari kasus ini?


DD:
 Amphetamine Toxicity
 Brain Neoplasms
 Cocaine Toxicity in Emergency Medicine
 Febrile Seizures in Emergency Medicine
 Heavy Metal Toxicity
 Medication-Induced Dystonic Reactions
 Pediatric Meningitis and Encephalitis
 Somatoform Disorder: Conversion
 Sympathomimetic Toxicity
 Syncope

WD: Status Epileptikus

9. Bagaimana prognosis kasus ini?


Vitam : Bonam
Fungsionam : Dubia ad Malam
Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis. Perkembangan
mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal.
Kejang yang berulang dan berlangsung lama atau lebih dari 5 menit dapat
membahayakan anak. Masalahnya, setiap kali kejang anak mengalami asfiksi atau
kekurangan oksigen dalam darah. Setiap menit, kejang bisa mengakibatkan kerusakan
sel-sel pada otak, karena terhambatnya aliran oksigen ke otak. Tak adanya aliran
oksigen ke otak ini bisa menyebabkan sebagian sel-sel otak mengalami kerusakan.
Kerusakan di otak ini dapat menyebabkan epilepsi, kelumpuhan, bahkan retardasi
mental.

Hipotesis: Anak laki-laki 3 tahun mengalami kejang dengan demam disertai hemiparese
dekstra.
BAB I

PENDAHULUAN

Status Epileptikus merupakan masalah kesehatan umum yang diakui meningkat akhir-
akhir ini terutama di Negara Amerika Serikat. Ini berhubungan dengan mortalitas yang tinggi
dimana pada 152.000 kasus yang terjadi tiap tahunnya di USA menghasilkan
kematian.1 Begitu pula dalam praktek sehari-hari Status Epileptikus merupakan masalah yang
tidak dapat secara cepat dan tepat tertangani untuk mencegah kematian ataupun akibat yang
terjadi kemudian.1

Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang gawat
darurat. Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami sekali
kejang selama hidupnya. Kejang penting sebagai suatu tanda adanya gangguan neurologis.
Keadaan tersebut merupakan keadaan darurat. Kejang mungkin sederhana, dapat berhenti
sendiri dan sedikit memerlukan pengobatan lanjutan, atau merupakan gejala awal dari
penyakit berat, atau cenderung menjadi status epileptikus1

Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten dapat
berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan atau otonom yang
disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron otak. Status epileptikus
adalah kejang yang terjadi lebih dari 30 menit atau kejang berulang lebih dari 30 menit tanpa
disertai pemulihan kesadaran.1

Tatalaksana kejang seringkali tidak dilakukan secara baik. Karena diagnosis yang
salah atau penggunaan obat yang kurang tepat dapat menyebabkan kejang tidak terkontrol,
depresi nafas dan rawat inap yang tidak perlu. Langkah awal dalam menghadapi kejang
adalah memastikan apakah gejala saat ini kejang atau bu kan. Selanjutnya melakukan
identifikasi kemungkinan penyebabnya
BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Definisi

Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status
epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang
tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung
lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami
kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus
dipertimbangkan sebagai status epileptikus.2

2.2. Epidemiologi

Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka kejadian
kira-kira 60.000 – 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik umum yang terjadi di
Amerika Serikat setiap tahunnya.3 Pada sepertiga kasus, status epileptikus merupakan gejala
yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada
pasien yang didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat
antikonvulsan.Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen, tetapi
mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status epileptikus kira-kira
10 persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu distribusi bimodal dengan puncak pada
neonatus, anak-anak dan usia tua.2

Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari Status Epileptikus dapat
dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua Status Epileptikus kebanyakan
sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada Negara
miskin, epilepsy merupakan kejadian yang tak tertangani dan merupakan angka kejadian
yang paling tinggi.

2.3. Etiologi

Penyebab status epileptikus sangat bervariasi tiap individu. Pada orang dewasa,
penyebab utama adalah antiepileptikus potensi rendah (34 %) dan penyakit serebrovaskular
(22%), termasuk akut atau remote stroke dan perdarahan. Penyebab lain status epileptikus
adalah hipoglikemia, hipoksemia, trauma, infeksi (meningitis, ensefalitis, dan abses otak),
alkohol, penyakit metabolik, toksisitas obat, dan tumor.2

2.4. Klasifikasi

Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena penanganan
yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya status epileptikus
dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan – area tertentu dari korteks (Partial onset)
atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset)- kategori utama lainnya bergantung pada
pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.

Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus. Satu


versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum (tonik-klonik,
mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (sederhana atau kompleks).
Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum (overt atau subtle) dan status
epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks, absens). Versi ketiga dengan
pendekatan berbeda berdasarkan tahap kehidupan (batas pada periode neonatus, infan dan
anak-anak, anak-anak dan dewasa, hanya dewasa).

Klasifikasi status epileptikus adalah sebagai berikut:4

1. Overt generalized convulsive status epilepticus

Aktivitas kejang yang berkelanjutan dan intermiten tanpa ada kesadaran


penuh.

a. Tonik klonik

b. Tonik

c. Klonik

d. Mioklonik

2. Subtle generalized convulsive status epilepticus diikuti dengan generalized


convulsive status epilepticus dengan atau tanpa aktivitas motorik.

3. Simple/partial status epilepticus (consciousness preserved)

a. Simple motor status epilepticus


b. Sensory status epilepticus

c. Aphasic status epilepticus

4. Nonconvulsive status epilepticus(consciousness impaired)

a. Petit mal status epilepticus

b. Complex partial status epilepticus.

2.5. Patofisiologi

Patofisiologi status epileptikus terdiri dari banyak mekanisme dan masih sangat
sedikit diketahui. Beberapa mekanisme tersebut adalah adanya kelebihan proses eksitasi atau
inhibisi yang inefektif pada neurotransmiter, dan adanya ketidak seimbangan aktivitas
reseptor eksitasi atau inhibisi di otak. Neurotransmiter eksitatorik utama yang berperan dalam
kejang adalah glutamat. Faktor – faktor apapun yang dapat meningkatkan aktivitas glutamat
akan menyebabkan terjadinya kejang.

Neurotransmiter inhibitorik yang berperan dalam kejang adalah GABA. Antagonis


GABA seperti penisilin dan antibiotik dapat menyebabkan terjadinya kejang. Selain itu,
kejang yang berkelanjutan akan menyebabkan desensitisasi reseptor GABA sehingga mudah
menyebabkan kejang.5

Kerusakan CNS dapat terjadi oleh karena ketidakseimbangan hormon dimana


terdapat glutamat yang berlebihan yang akan menyebabkan masuknya kalsium dalam sel
neuron dan akhirnya menyebabkan apoptosis (eksitotoksik). Selain itu, juga dapat disebabkan
oleh GABA dikeluarkan sebagai mekanisme kompensasi terhadap kejang tetapi GABA itu
sendiri menyebabkan terjadinya desensitisasi reseptor, dan efek ini diperparah jika terdapat
hipertermi, hipoksia, atau hipotensi.5

Terdapat dua fase dalam status epileptikus yaitu fase pertama ( 0 – 30 menit) dan
fase kedua (> 30 menit). Pada fase pertama, mekanisme kompensasi masih baik dan
menimbulkan pelepasan adrenalin dan noradrenalin, meningkatnya aliran darah ke otak,
meningkatnya metabolisme, hipertensi, hiperpireksia, hiperventilasi, takikardi, dan asidosis
laktat. Pada fase kedua, mekanisme kompensasi telah gagal mempertahankan sehingga
autoregulasi cerebral gagal dan menimbulkan odem otak, depresi pernafasan, aritmia jantung,
hipotensi, hipoglikemia, hiponatremia, gagal ginjal, rhabdomiolisis, hipertermia, dan DIC.

Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase.
Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak
dan cardiac output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan darah,
peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang diakibatkan
asidosis laktat. Perubahan saraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan ke
fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana tekanan darah , pH dan glukosa
serum kembali normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga
aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat),
perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan syaraf yang irreversibel. Aktivitas kejang
yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika peningkatan pernafasan
yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari
seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan
otak berlanjut.5

Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi maksimal
pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri, serebellum,
hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat
efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer.
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan
melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan
pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion Natrium
dan Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.5
2.6. Manifestasi Klinis

Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah
keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan
bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira
44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.

A. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)

Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial
dalam mengakibatkan kerusakan.Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang
parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum.Pada status tonik-klonik umum,
serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran
diantara serangan dan peningkatan frekuensi.

Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-
otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus.Pasien menjadi sianosis selama
fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2.Adanya takikardi dan peningkatan tekanan
darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum
terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik.
Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.
A. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)

Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului


fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.

B. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)

Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran
tanpa diikuti fase klonik.Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran
dari Lenox-Gestaut Syndrome.
A. Status Epileptikus Mioklonik

Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati.Sentakan mioklonus adalah


menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran.Tipe dari
status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk,
tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.

B. Status Epileptikus Absens

Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau
dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan
mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai“slow motion
movie” dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang
umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak.Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3
Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat.Respon terhadap status
epileptikus Benzodiazepin intravena didapati.

C. Status Epileptikus Non Konvulsif

Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks,
karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai dengan
stupor atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia,delusional, cepat
marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada
beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave
discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.

D. Status Epileptikus Parsial Sederhana

a. Status Somatomotorik

Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada
satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang
menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara
unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu
menunjukkan periodic lateralized epileptiform discharges pada hemisfer yang berlawanan
(PLED), dimana sering berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak.
Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau
gangguan berbahasa (status afasik).

b. Status Somatosensorik

Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik


unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.

E. Status Epileptikus Parsial Kompleks

Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup
untuk mencegah pemulihan diantara episode.Dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara,
dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan.Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus
temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh.Kondisi ini
dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status
epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.
BAB III

PENATALAKSANAAN STATUS EPILEPTIKUS

Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan


anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera
mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU). Protokol penatalaksanaan status
epileptikus pada makalah ini diambil berdasarkan konsensus Epilepsy Foundation of America
(EFA). Lini pertama dalam penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin.
Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam
(Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari
g-aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks
Reseptor-Barbiturat.

Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang
mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di
bawah), dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil
menghentikan kejang sebanyak 65 persen.

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam


dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan
akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi
Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan
depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.

Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan


Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih
dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek
samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi
Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan jarum
suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis
dan “purple glove syndrome”. Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan
fenitoin, karena akan terjadi presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.

Status Epileptikus Refrakter

Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit.
Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang
cukup banyak seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau
hipokalsemia persisten. Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan
psikogenik dapat meniru kejang epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat
tinggi dibandingkan dengan yang berespon terhadap terapi lini pertama.

Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan


Valproat atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan
medikasi dengan kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton.
Penggunaan ini dimonitor oleg EEG, dan jika tidak ada kativitas kejang, maka dapat
ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang dengan dosis awal.

Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus

Pada : awal menit

1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu
intubasi)

a. Periksa tekanan darah

b. Mulai pemberian Oksigen

c. Monitoring EKG dan pernafasan

d. Periksa secara teratur suhu tubu

e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis


2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa,
hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa
AGDA (Analisa Gas Darah Arteri)

3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat

4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg


IV atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernicke’s encephalophaty

5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)

6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena
dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika
kejang tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan
kecepatan 150 mg per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika
kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg
per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat
menelan.

Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung

1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperature

2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan


100 mg per menit

Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung

Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus


intravena hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg
per kg per jam; kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah
kejang telah berhenti. Pertahankan tekanan darah stabil.

-atau-

Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg
per kg per menit, titrasi dengan bantuan EEG.

-atau-
Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan
berdasarkan gambaran EEG.

DAFTAR PUSTAKA

1. Nia Kania, dr., SpA., MKes,Kejang pada Anak, Disampaikan pada acara Siang Klinik
Penanganan Kejang Pada Anak di AMC Hospital Bandung, 12 Februari 2007.

2. Penatalaksanaan status epileptikus, Available at : http://owthey.blogspot.com/ diakses 1


April 2011.

3. Darto Saharso,Status Epileptikus. Divisi Neuropediatri Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak –


FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya

4. Huff, Steven. Status Epilepticus. Available from: http://emedicine.medscape.com/ diakses 3


April 2011

5. Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R, Whitehouse W. The treatment of


convulsive status epilepticus in children. Arch Dis Child 2000; 83:415-19.

6. Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epilepticus. Pediatr Clin North Am
2001;48:683-94.

Você também pode gostar