Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
"
"Pagi, neng."
"Tumben hari ini datangnya agak siang?"
"Iya, neng. Anak ibu sakit, jadi ibu harus mengantarkannya ke puskesmas pagi ini," ucap ibu tua itu
melengos.
Ibu Yanti adalah tukang kebun yang bertugas di komplek perumahannya. Danti mengenalnya sekitar
setahun lalu. Majalah dinding sekolah meminta Danti untuk mewawancarai orang. Pilihannya adalah tukang
kebun, tukang parkir atau pekerja seks komersial. Setelah berpikir matang, Danti menjatuhkan pilihannya pada
tukang kebun. Ia berkata bahwa pekerjaan sebagai tukang kebun perlu dicari sisi menariknya. Tidak banyak
orang menganggap pekerjaan itu menarik. Dengan alasan itulah, Danti membuat keputusan untuk menulis
tentang pekerjaan itu.
Siang di bulan April, Depok sedang panas-panasnya. Sulit untuk mencari tukang kebun yang bekerja
ketika jam makan siang. Banyak kumpulan ibu-ibu yang berteduh di bawah pohon sambil menikmati nasi
bungkus dengan lahap. Perhatian Danti terfokus pada satu perempuan berusia 40-an. Ia masih bertarung di
antara panasnya kota Depok, peluh membasahi baju dan bulir-bulir keringan menetes dari pelipis, mengalir ke
pipi, kemudian jatuh ke kerahnya. Danti bukanlah orang yang pandai untuk memulai percakapan dengan orang
baru apalagi seorang ibu tua yang profesinya adalah tukang kebun. Ia ragu. Ia takut. Namun, ia tak punya pilihan
lain. Sesaat itu pula, kaki Danti otomatis menghampiri perempuan itu.
"Punten, Bu."
Sang ibu masih terdiam. Tidak bergerak. Ia tetap melanjutkan pekerjaannya. Danti tidak terbiasa
menerima penolakan. Ketika sang ibu tak membalas sapaannya, matanya langsung bergerak mencari
narasumber lain. Ketika mata Danti sibuk melanglang buana, ibu tua itu pun berdiri. Danti terkejut. Ia
memutuskan menyapanya lagi dengan suara lebih keras.
"Punten, Bu."
"Astagfirullahalazim. Neng ngagetin ibu saja. Ngapain neng berdiri di situ," tanya ibu tua itu.
"Ibu nggak dengar saya panggil?"
"Kenapa, neng? Maaf neng, pendengaran ibu agak terganggu. Neng harus ngomong lebih kenceng. Ibu
nggak bisa dengar," kata ibu tua itu dengan suara tinggi.
Pantas ibu ini tidak bereaksi ketika dipanggil pertama kali, begitu pikir Danti. Danti tersenyum ramah pada
perempuan itu.
"Nggak makan siang, bu?"
"Nanti saja, neng. Neng kenapa berdiri di sini panas-panas gini? Nanti hitam loh neng, nggak cantik lagi,"
tutur perempuan itu balik tersenyum pada Danti.
"Gini, bu. Saya ada tugas sekolah untuk wawancara orang. Saya boleh wawancara ibu?" tanya Danti
sopan.
Ibu tua ini tertawa tak habis-habisnya. Setelah melihat mimik serius pada muka Danti, tawanya berhenti.
Air mukanya menjadi serius dan heran.
"Ngapain neng wawancara ibu? Ibu mah bukan artis."
"Buat tugas sekolah, bu. Saya diminta untuk wawancara orang dengan pekerjaan yang tidak dipikirkan
oleh orang lain."
"Oh, begitu. Boleh atuh neng. Mari duduk di tempat agak teduh, kasihan neng nanti kepanasan," ucap
sang ibu mempersilahkan Danti untuk berjalan di depan. Tibalah mereka di dekat pohon Maja rindang. Sang ibu
duduk di rumput, kemudian mempersilahkan Danti duduk.
"Neng, nggak apa-apa kan duduk di rumput? Nanti gatal trus alergi lagi kulitnya?" tanya ibu tua itu.
"Nggak apa-apa, bu."
"Ibu ambilkan bangku ya? Di pos satpam situ biasanya ada bangku," ibu itu menunjuk pos satpam yang
500 meter jauhnya.
"Jangan, bu. Nggak usah repot-repot. Saya duduk di sini saja sama ibu biar lebih enak ngobrolnya. Nama
saya Danti, bu. Maaf, nama ibu siapa?"
"Nama saya Yanti," kata ibu tua itu.
"Berapa sekarang umur ibu?"
"Duh neng, ibu nggak pernah ngitung umur ibu. Umur kamu berapa?"
"Umur saya, bu? Saya 19 tahun."
"Muda sekali. Sudah muda, cantik, dan baik, pasti sudah menikah ya?"
"Belum, bu. Saya masih sekolah."
"Woalah. Sebesar neng, dulu anak ibu sudah satu."
Danti tertawa menghadapi jawaban ibu Yanti. Reaksi ini sudah biasa bagi kebanyakan perempuan yang
hidup di pedesaan. Mereka rata-rata menikah muda karena paksaan orang tua yang sudah tidak mampu lagi
menghidupi mereka. Menikah dan menjadi ibu seperti menjadi tujuan hidup.
"Jadi, ibu sekarang umur berapa?" tanya Danti lagi.
"Kalau neng umurnya 19 tahun, mungkin ibu sudah 90 tahunan ya? Atau 100 tahun."
"Mana mungkin, bu!" sela Danti sambil tertawa. Ibu ini sepertinya melantur, pikirnya.
"Habis ibu seperti sudah hidup lama sekali, nak. Ibu tidak tahu umur ibu berapa tahun. Tidak ada yang
pernah menanyakan hal itu pada ibu, baru neng saja," keluh ibu Yanti dengan muka memelas.
"Saya rasa umur ibu sekitar 60 tahunan. Mungkin. Saya bisa saja salah," ucap Danti.
"Iya. Mungkin saja ya, neng."
"Lalu, sudah berapa lama ibu jadi tukang sapu di daerah sekitar sini?"
"Sudah lama sekali, nak. Semenjak suami ibu meninggal 25 tahun yang lalu. Ibu bekerja jadi tukang
sapu."
"Ibu punya anak?"
"Punya, neng. Dua orang laki-laki. Anak laki-laki ibu yang kedua mungkin seumuran sama neng."
"Masih tinggal sama ibu?"
"Anak pertama ibu sudah menikah, yang kedua masih tinggal sama ibu."
"Oh gitu, bu. Saya mulai ya wawancaranya. Maaf ya, bu. Saya baru pertama kali, jadi kalau pertanyaan
saya tidak sopan menurut ibu. Saya mohon maaf."
"Iya, neng. Nggak masalah. Tanya saja hal yang mau neng tahu soal ibu."
"Dulu pertama kali memutuskan untuk jadi tukang sapu atas alasan apa, bu?" tanya Danti.
"Maksud neng?"
"Iya, bu. Maksud saya, kenapa ibu jadi tukang sapu?"
"Ya, karena nggak ada pekerjaan lain yang ibu bisa. Kebetulan tetangga ibu jadi tukang sapu. Dia bilang
ada pekerjaan sama seperti pekerjaannya. Ibu ambil saja, lagipula ibu butuh uang untuk kasih makan anak-
anak."
"Uangnya cukup, bu? Untuk makan dan sekolah anak-anak?"
"Alhamdulilah cukup, neng. Buat makan sehari-hari dan sekolah si sulung. Rejeki dari Allah nggak
kemana-mana. Kadang-kadang suka ada saja yang ngasih makanan atau uang lebih untuk ibu," jelas Ibu Yanti
panjang lebar.
"Jadi, ibu jadi tukang sapu karena kebetulan diajak tetangga ibu?"
"Iya, neng."
"Ibu pernah punya cita-cita?"
"Cita-cita itu apa, neng?"
"Mimpi, bu. Maksud saya, apakah ibu pernah punya sesuatu yang ibu inginkan?"
"Nggak ada, neng. Bisa makan tiap hari sudah bersyukur. Mimpi ibu mah liat anak-anak bahagia, bisa
makan dan tidur tenang, dan pada rajin sholat. Itu cukup, neng."
"Tapi, hal yang paling ibu inginkan itu apa?"
Ibu Yanti nampak berpikir lama untuk menjawab pertanyaan ini. Pandangan matanya kosong. Beberapa
menit kemudian, ia menatap Danti dan melengos. Bebannya dikerahkan pada hembusan nafas itu.
"Yang paling ibu inginkan ya, neng? Ibu ingin bapak, neng. Kangen sama bapak. Biasanya dulu kalau
sore, bapak suka berdiri di depan rumah. Lalu, manggi ibu, minta tolong dibuatkan kopi hitam pekat."
Jawaban Ibu Yanti membuat Danti tak bergerak. Ia mematung karena ia tidak tahu harus merespon apa.
"Duh, maaf ya neng. Ibu jadi terbawa perasaan kangen ke bapak," kata Ibu Yanti memijat kakinya
perlahan. Danti tersontak. Untuk mencairkan kekakuannya, ia mengeluarkan roti yang dibawanya sedari tadi.
"Bu, ini saya ada roti. Silahkan dinikmati, bu. Jadi, ngobrolnya enak sambil makan roti," ucap Danti.
"Terima kasih, neng."
"Selama ini bekerja, ada cerita apa bu?"
"Cerita apa ya neng? Duh, si neng ini pertanyaannya susah-susah sekali. Ibu nggak pernah ditanyain
beginian. Cerita mah nggak ada neng. Semuanya ya seperti biasa saja," Ibu Yanti tertawa kebingungan. Ia
merasa tidak enak karena tidak bisa menjawab pertanyaan Danti. Perempuan muda ini langsung mengambil alih
percakapan lagi. Ia tahu bahwa ia telah salah langkah dengan mengajukan pertanyaan umum.
"Ibu bilang anak yang kedua seumuran saya ya, bu?"
"Iya, neng."
"Sekolah dimana?"
"Nggak sekolah, neng. Dia kerja bangunan. Ikut adik saya."
Tampang Danti tidak kuasa menahan muka herannya. Ia ingin sekali bertanya alasan anaknya tidak
bekerja. Ia merasa bahwa anak seumurannya belum pantas untuk bekerja. Sekolah adalah tempat mereka
berada, tapi Danti menahan reaksi itu. Ia melanjutkan tugas wawancaranya.
"Sudah berapa lama anak ibu kerja sebagai tukang bangunan?"
"Baru dua tahun, neng. Semenjak dia lulus SMP. Katanya nggak mau sekolah lagi. Mau bantu ibu saja
untuk cari uang buat makan."
"Ibu sendiri, lebih ingin anak ibu sekolah atau bekerja?" tanya Danti.
"Bekerja sajalah, neng. Sekolah juga rasa-rasanya nggak membantu anak Ibu untuk mendapatkan
pekerjaan lebih baik. Ujung-ujungnya, dia kerja di pabrik. Sama saja. Sekarang, tukang bangunan gajinya nggak
jauh beda sama buruh pabrik. Nabung beberapa tahun, nanti bisa beli motor trus ngojek. Dulu anak pertama ibu
kerja di pabrik. Susah neng sekarang kerja di pabrik. Orang-orang mulutnya jahat sekali. Anak ibu dituduh
macam-macam lalu dipecat."
"Dituduh macam-macam bagaimana maksud ibu?"
"Dituduh berbuat tidak senonoh pada pegawai perempuan. Perempuannya ngadu ke bosnya. Dipecatlah
anak ibu."
"Tidak senonoh bagaimana, bu?"
"Iya, katanya pegang-pegang pantat."
"Tapi, itu semua bohong kan bu?"
"Iya, neng. Pacarnya si perempuan ini kesal sama anak ibu karena pernah diadukan nipu-nipu absen
kantor."
"Astaga. Kenapa bisa sejahat itu, bu?"
"Namanya juga orang, neng. Ada saja pikiran dan perbuatannya."
"Lalu, sekarang anak ibu bekerja apa?"
"Dia pindah ke luar kota, ikut istrinya, sekarang jadi petani di sawah warisan keluarga istrinya. Sekali-kali,
ia suka kirim uang buat ibu kalau memang ada lebih."
"Kembali soal pekerjaan ibu. Sebagai tukang sapu, ibu bisa dapat penghasilan berapa per bulannya?"
"Alhamdulilah ya, neng. Kalau dulu ibu bisa dapat Rp 200.000,- per bulan. Sekarang, bisa dapat sampai
Rp 450.000,-"
"Berarti sekitar Rp 15.000,- per harinya sekarang ya, bu?"
"Ya, begitulah neng. Ibu nggak pandai berhitung. Dapat segitu ya syukuri saja."
"Ibu kerja dari jam berapa sampai jam berapa?"
"Biasanya dari jam sembilan pagi sampai jam empat sore, neng."
"Kalau tidak biasanya bagaimana?"
"Bisa dari jam tujuh pagi sampai jam enam sore, neng. Itu juga setiap hari. Tapi, setelah lima tahun ini
ada pergantian. Ibu nggak harus bekerja selama itu."
"Jadi, sekarang ibu hanya bekerja setengah hari?"
"Iya, neng."
"Bayarannya berkurang dong, bu?"
"Nggak, neng. Ibu juga awalnya berpikir demikian. Tapi, ternyata uangnya justru naik. Ibu juga bingung."
"Kok bisa begitu, bu?"
"Waktu itu ada tukang sapu marah-marah. Dia mengompori yang lain untuk minta naik gaji. Ributlah neng
waktu itu sama orang yang di atas-atas. Ibu ngeliatin saja. Setelah itu, ya, beginilah neng. Alhamdulilah juga sih
ibu," ucap Ibu Yanti tersenyum.
"Lalu, kenapa ibu nggak gabung sama tukang sapu yang lain kalau jam istirahat begini?"
"Gabung kok, neng. Kebetulan ini sedang banyak kerjaan saja. Ibu lebih suka kerjaan selesai baru
gabung dan ngobrol. Kalau setengah-setengah nanti kerjaan ibu nggak beres."
"Oh, gitu bu."
"Iya, neng."
"Jadi, ibu kerjaannya nyabutin rumput kering trus menyapu sampai bersih ya?"
"Betul, neng."
"Suka sebal nggak bu kalau lihat orang suka buang sampah sembarangan dari mobil atau motor?" tanya
Danti penasaran.
"Nggak, neng. Dulu waktu baru kerja, ibu sebal sekali sampai pernah ngedumel sendiri. Sekarang, ibu
diam saja. Ibu angkat sampahnya. Toh ibu bekerja untuk itu. Ibu dibayar untuk bersihin sampah-sampah yang
dibuang ke jalan."
"Tapi, orang-orang itu kan buang sampah bukan pada tempatnya?"
"Itu urusan mereka lah, neng. Mereka milih buang ke jalan. Ibu dibayar buat bersihin jalanan. Ya, sudah."
Ucapan Ibu Yanti ini membuat Danti berpikir lagi. Selama ini, ia selalu mengira bahwa setiap tukang sapu
jalanan akan menyumpahi setiap pengendara roda dua ataupun empat yang membuang sampah sembarangan,
tapi tidak dengan Ibu Yanti. Ia memilih tidak memikirkannya lebih jauh. Ia hanya fokus pada tugasnya saja untuk
membuat jalan tetap bersih tak peduli orang akan membuang sampah di jalanan terus atau tidak.
"Neng, maaf sekali. Jam istirahat ibu sudah mau habis. Ibu harus kembali bekerja. Neng masih ada yang
mau ditanyain?"
"Tapi, ibu kan belum makan?"
"Tadi kan sudah makan roti dari neng."
"Itu kan hanya roti, bu."
"Iya, itu sudah makan kan neng. Irit uang neng, lagipula ibu nggak lapar banget."
Danti mematung lagi untuk kesekiankalinya. Ia tak pernah mendengar orang yang tak makan untuk
mengirit uang. Setidaknya, tidak pernah selama 19 hidupnya di mana keadaan sekelilingnya selalu berada pada
kondisi cukup. Danti mencoba menahan pilunya dengan mengajukan satu pertanyaan lagi.
"Satu pertanyaan lagi ya, bu? Saya penasaran sekali mengapa ibu buru-buru harus bekerja. Maksud
saya, ibu masih bisa istirahat lebih lama toh teman-teman ibu yang lain juga masih duduk."
Ibu Yanti berdiri dan membersihkan rok panjangnya dari rumput-rumput kering yang menempel. Ia
merapihkan peralatannya untuk bekerja.
"Yah, neng. Ibu kan harus bekerja. Masa bekerja saja ibu harus repot mikirin teman-teman ibu kok masih
istirahat. Mereka masih lelah mungkin. Bisa jadi juga, ibu yang lebih dulu istirahat. Pokoknya mah, ibu kerja saja,
dapat uang, dibelikan makanan, dan ditabung. Lain-lainnya biar Allah saja yang mikirin. Ibu mah doa saja, neng."
Danti tidak mengerti. Kepalanya berputar tentang artikel yang harus ditulisnya. Ia tidak menemukan
sesuatu hal yang menarik untuk dituliskan. Ralat. Ia tidak menemukan hal yang mungkin dianggap menarik oleh
pembacanya. Cerita Ibu Yanti menarik untuknya, tapi belum tentu cerita ini akan menarik bagi orang lain. Danti
mengucapkan salam perpisahan pada Ibu Yanti sambil berpikir. Ia berjalan menjauh dari ibu tukang sapu itu.
Kemudian, ia berhenti. Ia berdiri diam dan menoleh ke ibu Yanti. Ibu tua itu mengayunkan tangannya
mengucapkan selamat jalan pada Danti. Danti tersenyum dan kembali berjalan ke ibu Yanti.
"Bu, ini ada rejeki. Bukan apa-apa, tapi semoga nanti bisa buat beli makan malam buat ibu dan anak ibu."
"Woalah, neng. Nggak usah repot-repot."
"Nggak boleh ditolak kalau rejeki, bu."
"Iya, ya, neng. Syukur alhamdulilah ya, neng. Terima kasih banyak. Semoga yang baik-baik ya buat,
neng."
"Sama-sama, bu. Saya yang terima kasih ke ibu sudah boleh diganggu waktu makan siangnya."
"Nggak apa-apa toh, neng. Ibu juga senang."
"Mari, bu."
"Ya, neng. hati-hati."
Beberapa minggu kemudian, mading sekolah ramai. Orang-orang berkumpul untuk membaca satu artikel
pendek yang ditulis Danti soal tukang sapu. Ia menuliskannya dengan sederhana. Begini isinya:
Saya ragu apabila tulisan ini mampu menggerakkan hati pembaca sama seperti hal tersebut
menggerakkan hati saya. Hal sesederhana menjadi tukang sapu tidak pernah masuk dalam daftar cita-cita kita
bersama. Kita memilih menjadi sesuatu untuk dibanggakan seperti guru, pilot, tentara atau presiden sekalipun.
Sementara, tukang sapu adalah tukang sapu. Bukan untuk dibanggakan. Realita membentuknya. Ia belajar lebih
dari seorang guru yang duduk di depan kelas dan meminta muridnya mengerjakan 50 soal latihan. Guru yang
tidak mempersiapkan bahan materi. Hanya berdiri di depan papan tulis tanpa ide baru yang mampu
disalurkannya ke murid-murid. Mungkin sebenarnya ia lupa bahan ajarnya sendiri.
Tukang sapu adalah tukang sapu dengan kehidupan seadanya, ia memberikan segala yang ia punya dan
bisa. Sementara, pilot, tentara atau presiden memberikan sebagian dari keseluruhan yang dipunyainya. Talenta
yang tersia ada justru pada orang-orang yang seharusnya berkewajiban lebih untuk 'memberi'. Tukang sapu
adalah tukang sapu. Namanya Ibu Yanti. Ia mengajarkan bahwa ide edisi ini untuk membahas mengenai
pekerjaan yang tidak diinginkan adalah bodoh. Masa depan adalah realita. Kenyataan yang membuat kita lupa
menikmati kata 'sekarang'. Tidak ada hal semacam pekerjaan yang diinginkan atau tidak diinginkan. Semua
pekerjaan mengarahkan kita pada sesuatu yang harus kita lakukan.
Tukang sapu adalah tukang sapu. Ia bersyukur menjadi tukang sapu. Ia mengingatkan juga bahwa ada
yang lebih penting daripada cerita dikhianati teman sendiri, mempertanyakan kesetiaan teman, dibohongi pacar,
dan pergumulan kehidupan lainnya. Ada masalah lebih penting dari mengasihani diri sendiri kemudian
berkelompok mengasihani diri secara massal. Atau yang lebih parah, berkumpul lalu mengasihani orang lain
supaya membuat diri kita masing-masing lebih baik.
Tukang sapu adalah tukang sapu. Apa yang menarik dari pekerjaan menjadi tukang sapu? Saya akan
menjawab dengan pertanyaan: "Siapa kamu boleh menilai menarik dan tidak menariknya jadi tukang sapu?"
Danti berdiri dari kejauhan memperhatikan gerombolan orang memenuhi mading. Ia tahu bahwa mereka
berkumpul karena gosip yang mengatakan Danti menghina teknik mengajar guru di sekolah mereka, namun
yang mereka temukan hanya seonggok artikel pendek biasa.
Jam istirahat habis. Bel berdentang dan bisikan-bisikan yang tertinggal di lorong kelas yang dapat
didengar Danti membuatnya tersenyum setengah mati. Lenguhan-lenguhan itulah yang Danti nantikan. Itulah
hidup.
Jakarta - Pemprov DKI Jakarta mengerahkan 15 ribu pasukan oranye untuk
menghilangkan genangan air di jalanan Jakarta. 15 Ribu Pekerja Prasarana dan
Sarana Umum (PPSU) itu disebar ke tiap-tiap kelurahan untuk membersihkan
sampah dan memelihara sarana umum lainnya. Bagaimana kesejahteraan mereka?
Kadis Kebersihan DKI Jakarta, Isnawa Aji, menjelaskan, para pasukan oranye itu
tetap bekerja sesuai UU Tenaga Kerja yaitu maksimal 8 jam per hari. Para petugas
itu juga diberikan gaji di atas UMR setiap bulannya.
"Mereka kita gaji Rp 3,1 juta per bulan, selain itu mereka juga dapat tambahan
berupa BPJS kesehatan, BPJS ketenagakerjaan dan lain-lain," ujar Aji saat
dikonfirmasi detikcom, Rabu (17/2/2016).
Bagi petugas yang sudah punya anak, Pemprov DKI juga memberikan fasilitas KJP
supaya anaknya bisa bersekolah. Pasukan oranye juga layaknya pegawai lainnya,
tiap hari raya mereka menerima THR sebesar 1 kali gaji.
"Mereka juga mendapat prioritas untuk tinggal di Rusun dan dapat naik TransJakarta
gratis," tambah Aji.
Pasukan Oranye bekerja/Dikhy Sasra-detikcom
Setiap kelurahan terdiri dari 40 sampai 70 pasukan oranye. Jumlah yang banyak ini
dianggap Aji tidak akan berbenturan antar individu. Aji menjelaskan, pihaknya sudah
meminta tiap-tiap lurah untuk memberikan tugas-tugas ke tiap pasukan oranye.
"Mereka tidak akan berbenturan tugasnya satu sama lain karena Lurah sudah
memerintahkan kamu bertugas apa, kamu sebagai tukang bersih, kamu tukang
sapu, kamu tukang angkut. Jadi Tupoksinya sudah ada masing-masing. Di samping
itu, di tiap kelurahan ada 3 shift kerja jadi biar 24 jam ada petugas di tiap kelurahan,"
jelas Aji.
Tapi, pasukan oranye juga layaknya petugas pelayan masyarakat pada umumnya.
Sewaktu-waktu bila ada petugas yang sedang libur namun terjadi bencana darurat
dia bisa langsung dipanggil oleh kelurahan untuk segera bekerja.
"Kalau ada yang sifatnya emergency, dia bisa langsung dipanggil untuk kerja. Jadi
meski dia libur, tetap bisa kita panggil kalau mendadak atau darurat," ungkapnya.
Petugas Kebersihan di Jakarta Belum Digaji 4 Bulan
TEMPO.CO, Jakarta - Sudah empat bulan lamanya para pekerja kebersihan di wilayah Jakarta
Timur belum menerima gaji bulanan mereka. Para petugas kebersihan yang terdaftar sebagai
pekerja kontrak di Suku Dinas Kebersihan Jakarta Timur itu terpaksa menjalani hidup tanpa
penghasilan hingga harus berutang sampai jutaan rupiah untuk menutupi biaya hidup sehari-
hari.
Sandy, 50 tahun, salah satu petugas kebersihan di kawasan perempatan lampu merah Tamini
Square, menuturkan, sejak Januari 2014, status kepegawaian Sandy dan sejumlah rekannya
telah dialihkan dari sebuah perusahaan swasta menjadi petugas kebersihan DKI.
"Kami dijanjikan dapat gaji sebesar Rp 2,4 juta, tapi sampai sekarang gaji itu belum kami terima,"
katanya saat ditemui di tempatnya bekerja, di pinggir jalan Tamini Square, Jakarta Timur, Rabu,
16 April 2014. "Sampai sekarang belum ada kabar kapan gaji kami cair."
Padahal, sejak dialihkan dari pihak swasta, Sandy sudah menandatangani buku rekening Bank
DKI yang nantinya digunakan untuk menerima pembayaran gaji. Namun, sejak memberikan
tanda tangan itu pada Januari lalu, dia tidak menerima buku tabungan Bank DKI miliknya.
"Katanya masih dipegang kepala seksinya," katanya.
Sewaktu masih bekerja di kantor swasta selama tiga tahun, Sandy mengatakan gaji yang
diterimanya sebesar Rp 900 ribu per bulan selalu lancar dibayarkan. Dia mengatakan sudah
mencoba menanyakan mengenai masalah mandeknya pembayaran gaji tersebut kepada pihak
Suku Dinas Kebersihan Jaktim. "Tapi jawabannya selalu nanti-nanti, tanpa ada tanggal jelas,"
kata Sandy.
Akibat tidak punya pemasukan, Sandy punya utang sampai jutaan rupiah untuk menutupi
kebutuhan sehari-hari. Dia juga sudah menggadaikan sebuah sepeda motor bebek miliknya
kepada seorang tetangga sebesar Rp 2,5 juta untuk memenuhi kebutuhan hidup. "Saya juga
punya utang Rp 1,2 juta di warung buat ambil beras, gula, dan kopi. Tapi sampai sekarang
belum bisa bayar," ujarnya lirih.
Akibat sepeda motornya sudah digadaikan, warga Kampung Tengah, Kramat Jati, itu terpaksa
berjalan kaki untuk bekerja karena tidak memiliki kendaraan lain. Selain itu, dia punya seorang
anak yang masih duduk di bangku kelas III SD. Istri Sandy, Sri Ningsri, 40 tahun, yang juga
bekerja sebagai petugas kebersihan mengalami nasib serupa. Bersama Sandy, status pekerjaan
Sri dialihkan dari perusahaan swasta menjadi tenaga kontrak di Suku Dinas Kebersihan pada
Januari lalu.
Tidak hanya Sandy dan Sri, mandeknya pembayaran gaji oleh Sudin Kebersihan juga dialami
sepuluh petugas kebersihan lain. Sandy dan istrinya berharap agar gaji mereka dan beberapa
teman itu dapat segera dibayarkan oleh pemerintah. "Kami kerja tiap hari, ya, masak enggak
dibayar? Mau makan pakai apa?" ujar Sri.
Dihubungi terpisah, Kepala Sudin Kebersihan Jakarta Timur Apul Silalahi mengakui bahwa
memang ada masalah pencairan dana untuk gaji para tenaga kontrak ini. "Belum turun dari
Dinas Kebersihan Provinsi," katanya. Namun dia berjanji gaji para petugas akan dibayarkan
dengan cara dirapel pada pekan ini. "Kemarin dapat informasi, uangnya sudah siap dicairkan
dan akan segera ditransfer ke rekening para petugas kebersihan pekan ini." (Baca berita lain:
Tata Kota Jakarta Kalahkan Manila dan Addis Adaba)
Bagi sejumlah penyapu jalan Jakarta yang berusia di atas 45 tahun,
memperoleh ijazah setara SD merupakan perjuangan. Ijazah itu menjadi
penentu kelanjutan penghidupan mereka. Demi itulah mereka mengikuti
ujian, satu ruangan bersama anak belasan tahun.
Diawali keengganan, mereka menghadapi rasa malu dan tidak percaya diri.
Bermodal kemeja putih pinjaman hingga mencicil uang sekolah, mereka
berupaya menggapai ijazah itu.
”Paling sulit itu, ya, matematika, yang perkalian bersusun itu. Takut tidak
lulus ini. Kalau lainnya, yakin bisa,” kata Rahim di sela-sela rehat seusai
menyapu ruas jalan antara Hotel Le Meridien dan City Walk, Jalan
Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, yang menjadi tugasnya.
Ujian selama tiga hari itu merupakan puncak dari sekolah malam selama 3
bulan terakhir. Biaya sekolah Rp 800.000 ia cicil empat kali. Hingga
sekarang, biaya itu pun belum ia lunasi.
Selama masa ujian, bapak dua anak itu mengantongi kemeja putih di balik
seragam kerjanya yang berwarna oranye. Kemeja putih dan celana kain
hitam merupakan syarat mengikuti ujian. Kemeja putih pinjaman dari
kawan itu ia simpan baik-baik sebelum dikenakan agar tak kotor selama ia
bekerja.
Awalnya, Rahim malu karena dalam usianya yang sudah tua itu harus
kembali ke bangku sekolah, bahkan sekelas dengan anak belasan tahun.
Warga Kembangan itu memutuskan mengikuti Ujian Kejar Paket A demi
mempertahankan pekerjaannya saat ini. Untuk persiapan ujian, ia belajar
bersama anaknya yang duduk di bangku SMA.
Zaenal mengaku kurang percaya diri saat ujian kali ini karena usianya.
”Yaaa… namanya juga sudah tua,” kata warga Lenteng Agung itu.
Selama lebih dari 25 tahun bekerja sebagai penyapu jalan, baru kali ini
Zaenal mengantongi penghasilan Rp 3,1 juta. Sebelumnya, bertahun-tahun
menjadi tukang sapu di perusahaan swasta, pendapatannya hanya sekitar
Rp 1 juta sebulan.
”Ya karena sekarang gaji lumayan, ya, saya tidak keberatan kalau harus
sekolah lagi,” kata Zaenal yang sudah melunasi biaya sekolah dengan cara
mencicil dua kali.
Meningkatkan martabat
Baginya, ijazah setara SD itu merupakan jaminan rasa aman untuk terus
bekerja. Perempuan berambut pendek itu sama sekali tak pernah sekolah.
Ia belajar membaca dan berhitung dari teman-temannya.
”Tak hanya warga DKI Jakarta, peserta ujian Paket A juga berasal dari
daerah yang merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan, begitu juga
peserta Paket B dan C. Mereka berusaha memperbaiki kondisi ekonomi
dan menambah pengetahuan dengan ikut program Paket A, B, atau C,”
ujarnya.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Mei 2016, di halaman
1 dengan judul "Penyapu Jalan Memburu Masa Depan".
Profesi Tukang Sapu Jalanan
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sampah merupakan masalah yang dihadapi hampir seluruh Negara di dunia. Tidak hanya di
Negara-negara berkembang, tetapi juga di Negara-negara maju, sampah selalu menjadi masalah.
Rata-rata setiap harinya kota-kota besar di Indonesia menghasilkan puluhan ton sampah. Sampah-
sampah itu diangkut oleh truk-truk khusus dan dibuang atau ditumpuk begitu saja di tempat yang
sudah disediakan tanpa diapa-apakan lagi. Dari hari ke hari sampah itu terus menumpuk dan
terjadilah bukit sampah seperti yang sering kita lihat.
Sampah yang menumpuk itu, sudah tentu akan mengganggu penduduk di sekitarnya. Selain
baunya yang tidak sedap, sampah sering dihinggapi lalat. Dan juga dapat mendatangkan wabah
penyakit. Walaupun terbukti sampah itu dapat merugikan, tetapi ada sisi manfaatnya. Hal ini karena
selain dapat mendatangkan bencana bagi masyarakat, sampah juga dapat diubah menjadi barang
yang bermanfaat. Kemanfaatan sampah ini tidak terlepas dari penggunaan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam menanganinya.
B. RUMUSAN MASALAH
Berikut adalah pertanyaan yang terkait mengenai topik makalah ini sebagai rumusan masalah:
· Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan masyarakat tidak menyadari betapa
pentingnya Kebersihan Lingkungan ?
· Bagaimana peranan pemerintah tentang kesadaran lingkungan ?
· Apakah pemerintah menjamin atas jasa tukang sampah atau tukang sapu jalanan ?
· Bagaimanakah latar belakang seorang tukang sampah ?
· Bagaimanakah kondisi sosial tukang sampah ?
· Bagaimanakah interaksi sosial tukang sampah dng masyarakat lain ?
· Seperti apakah penilaian masyarakat terhadap tukang sampah?
· Bagaimanakah kondisi pemukimannya ?
C. TUJUAN
Dalam penulisan makalah ini, kami selaku penulis mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Untuk menambah wawasan tentang kehidupan tukang sapu.
2. Mengetahui latar belakang tentang adanya tukang sapu.
3. Mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi munculnya tukang sapu.
4. Menghargai pekerjaan seorang tukang sapu.
5. Bagaimana kehidupan seorang tukang sapu.
6. Bagaimana interaksi soal tukang sapu dengan masyarakat sekitar.
D. Metodologi Penelitian
Metode adalah kegiatan yang digunakan dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Metode yang
terbaik untuk menyelesaikan suatu masalah adalah metode yang sistematis dan sesuai dengan
kebutuhan masalahnya. Metode yang kami gunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode
deskriptif. Deskriptif diartikan suatu sifat penyajian data yang mencirikan masalah yang akan dibahas.
Metode deskriptif adalah metode untuk menguraikan dan menggambarkan dengan jelas
permasalahan secara detail berdasarkan data yang terkumpul. Dalam informasi mengenai pemulung
dan lingkungan hdupnya, kami melakukan observasi langsung di lapangan. Lapangan yang
dimaksudkan adalah tempat tinggal pemulung itu sendiri dan dalam hal ini adalah pemukiman
pemulung di daerah Narogong, Rawalumbu, yang terletak di kawasan Bekasi, Jawa Barat. Dengan
melakukan observasi langsung di lapangan, kami dapat mengetahui secara langsung bagaimana
kehidupan para pemulung dan bagaimana keseharian mereka sebagai pemulung.
BAB II
PEMBAHASAN
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan kami mengenai hasil dari observasi ini, bahwa kehidupan para tukang sampah
sangatlah mengharukan dari segi ekonomi hingga segi batin. Seperti di lecehkan oleh masyarakat,
hingga dihina oleh bangsanya sendiri. Sehingga kami merasa sangat iba terhadap apa yang mereka
rasakan dan kami pun tak lupa bersyukur dengan apa yang saat ini kami rasakan sehingga kami
dapat menuntut ilmu hingga sejauh ini, karena masih banyak orang-orang yang kurang beruntung
daripada kami.
Pekerjaan menjadi tukang sampah bukanlah pekerjaan hina seperti yang selama ini kita
bayangkan. Karena kami melihat dan merasakan bahwa sistem pekerjaan mereka mengandung
unsur kekeluargaan dan gotong royong yang sangat jauh berbeda dengan orang-orang yang kerja di
balik meja megah dan berayun-ayun di atas kursi putar yang hanya bisa mengandalkan teori,
memerintah dan saling menjatuhkan sesama rekannya. Dan factor yang menyebabkan mereka
berprofesi sebagai tukang sampah yaitu faktor ekonomi, keterbatsan pendidikan dan keterbatasan
modal
Strategi yang dikembangkan tukang sampah agar tetap bertahan hidup dengan cara
mempertahankan jaringan social baik secara vertical maupun horizontal, banyak orang memandang
sebelah mata profesi tukang sampah padahal dengan keberadaan tukang sampah sangatlah
membantu masyarakat dalam upaya membersihkan lingkungan dan daerahnya. Meski cukup
memberi jasa terhadap masyarakat sekitar, namun perhatian masyarakat terhadap tukang sampah
relative kecil. Oleh karena itu, kami menghimbau kepada semuanya khususnya kepada mahasiswa,
bahwa jasa tukang sampah sangatlah berharga dalam membantu membersihkan tempat tinggal dan
lingkungan kita. Tukang sampah itu adalah “Super Hero untuuk dunia ini” bisa terbayangkan jika 3
hari saja ia tidak membersihkan lingkungan dan daerah kita.
B. saran
Cara pengendalian sampah yang paling sederhana adalah dengan menumbuhkan kesadaran
dari dalam diri untuk tidak merusak lingkungan dengan sampah. Selain itu diperlukan juga kontrol
sosial budaya masyarakat untuk lebih menghargai lingkungan, walaupun kadang harus dihadapkan
pada mitos tertentu. Peraturan yang tegas dari pemerintah juga sangat diharapkan karena jika tidak
maka para perusak lingkungan akan terus merusak sumber daya.
Sudah saatnyalah pemerintah memberikan konstribusi yang baik bagi pemulung agar bisa
dipandang positif untuk masyarakat. Tempatkan mereka pada posisi yang baik.Berikanlah modal
untuk bisa mengembangkan usaha ataupun membuat lapangan pekerjaan baru.Berikan pendidikan
yang layak agar mereka bisa menjadi anak bangsa yang berprestasi dan jadikanlah tempat
pemukiman pemulung supaya tidak kumuh dan kotor, karena tempat seperti itu yang menjadi
penyakit.