Você está na página 1de 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“Shalat dalam keadaan darurat ialah shalat yang dilaksanakan dalam keadaan
yang menyulitkan seseorang untuk melaksanakannya sesuai dengan rukun-rukun
shalat yang lengap.”[1] Dalam keadaan bagaimana pun, apapun, dimana pun, dan
kapan pun sebagai umat islam kita harus slalu mendirikan shalat. Begitu pun
dengan Orang yang sakit tetap diwajibkan melaksanakan sholat fardu. Selama
akal dan ingatan orang yang sakit masih sadar. Namun, kaum muslim yang
kadang meninggalkan sholat dengan dalih sakit atau memaksakan
diri sholat dengan tata-tata cara yang biasa dilakukan orang sehat. Akhirnya
merasakan beratnya sholat bahkan merasakan hal itu sebagai beban yang
menyusahkannya.
Tentang bagaimana orang yang terbaring lemah itu shalat,
sesungguhnya telah jelas bahwa tidak ada satu pun beban syari’at yang
diwajibkan kepada seorang di luar kemampuannya. Karena syari’at islam
dibangun di atas dasar ilmu dan kemampuan orang yang dibebani. Allah Ta’ala
sendiri menjelaskan hal ini dalam firman-Nya:
‫ّللاُ نَ ْفسا ً إِّالَّ ُو ْسعَ َها‬
‫ف ه‬ ُ ‫الَ يُ َك ِّله‬
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya,” (Qs. Al-Baqarah: 286).
Orang yang sakit tidak sama dengan yang sehat. Semua harus berusaha
melaksanakan kewajibannya menurut kemampuan masing-masing. Sehingga
nampaklah keindahan syari’at dan kemudahannya. Allah Ta’ala juga
memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakan ketakwaan menurut
kemampuan mereka dalam firman-Nya:
َ َ‫ّللاَ َما ا ْست‬
‫ط ْعت ُ ْم‬ َّ ‫فَاتَّقُوا‬
Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Qs. At-
Taghaabun/64:16)

1
Shalat adalah ibadah yang berhukum wajib. Wajib untuk dilaksanakan oleh
setiap kaum muslim, baik laki- laki mau pun perempuan, yang telah terhukum I
wajib untuk melaksanakan. Oleh sebab itu. Sholat harus dilaksanakan, meskipun
itu dalam kondisi tidak sehat atau sakit. Karna disaat sakit dan tidak bisa berdiri
atau tidak sanggup berdiri maka diperbolehkan untuk sholat dengan duduk, begitu
juga jika tidak mampu dengan duduk, maka boleh dilaksanakan dengan berbaring
dan jika bebaring tak mampu untuk melaksanakan maka diperbolehkan dengan
berbaring.karna agama islam adalah agama yang mudah dan tidak pernah
mempersulit pemeluknya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Shalat dalam keadaan sakit?
2. Apa yang dimaksud dengan Shalat dengan duduk?
3. Apa yang dimaksud dengan Sholat dengan berbaring?
4. Apa yang dimaksud dengan Sholat dengan terlentang?
5. Sebutkan tata cara sholat bagi orang sakit ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Shalat Dalam Keadaan Sakit


“Shalat adalah ibadah yang wajib dilaksanakan. Ketika kita sakit pun kita
wajib mendirikan sholat”[2]. Orang yang sakit tetap wajib sholat diwaktunya dan
melaksanakannya menurut kemampuannya, sebagaimana diperintahkan Allah
Ta’ala dalam firman-Nya:
َ َ‫ّللاَ َما ا ْست‬
‫ط ْعت ُ ْم‬ َّ ‫فَاتَّقُوا‬
Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Qs. At-
Taghâbûn/ 64:16) dan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
hadits ‘Imrân bin Hushain:
‫ص ِّهل قَائِّ ًما فَإِّ ْن لَ ْم ت َ ْست َِّط ْع فَ َقا ِّعدًا فَإ ِّ ْن لَ ْم‬ َّ ‫سلَّ َم َع ْن ال‬
َ ‫ص ََلةِّ فَقَا َل‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللاُ َعلَ ْي ِّه َو‬ َّ ِّ‫سأ َ ْلتُ ال َّنب‬
َ ‫ي‬ َ َ‫ير ف‬ ْ ‫كَان‬
ُ ‫َت بِّي بَ َوا ِّس‬
‫تَ ْست َِّط ْع فَعَلَى َج ْنب‬
Pernah Penyakit wasir menimpaku, lalu akau bertanya kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tentang cara sholatnya. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab: “Sholatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka
duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah.” (HR al-Bukhari no.
1117)
Apabila melakukan shalat pada waktunya terasa berat baginya, maka
diperbolehkan menjamâ’ (menggabung) shalat , shalat Zhuhur dan Ashar,
Maghrib dan ‘Isya` baik dengan jamâ’ taqdîm atau ta’khîr, dengan cara memilih
yang termudah baginya. Sedangkan shalat Shubuh maka tidak boleh dijama’
karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya. Di antara dasar
kebolehan ini adalah hadits Ibnu Abas Radhiyallahu 'anhuma yang berbunyi :

‫طر‬ َ ‫َاء ِّبا ْل َمدِّينَ ِّة فِّي َغي ِّْر خ َْوف َو َال َم‬ ِّ ‫ب َو ْال ِّعش‬
ِّ ‫ص ِّر َو ْال َم ْغ ِّر‬
ْ َ‫ظ ْه ِّر َو ْالع‬
ُّ ‫سلَّ َم بَيْنَ ال‬
َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ َّ ‫سو ُل‬
َ ِّ‫ّللا‬ ُ ‫َج َم َع َر‬
ُ‫قَا َل (أَب ُْو ُك َريْب) قُ ْلتُ ِّالب ِّْن َعبَّاس ِّل َم فَ َع َل ذَلِّكَ قَا َل َك ْي َال يُحْ ِّر َج أ ُ َّمتَه‬
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjama’ antara Zhuhur dan
Ashar, Maghrib dan Isya’ di kota Madinah tanpa sebab takut dan hujan. Abu
Kuraib rahimahullah berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Abas Radhiyallahu

3
'anhu : Mengapa beliau berbuat demikian? Beliau Radhiyallahu 'anhu menjawab:
Agar tidak menyusahkan umatnya." [HR Muslim no. 705]
Dalam hadits di atas jelas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
membolehkan kita menjamâ’ shalat karena adanya rasa berat yang menyusahkan
(Masyaqqah) dan sakit adalah Masyaqqah. Ini juga dikuatkan dengan
menganalogikan orang sakit dengan orang yang terkena istihâdhoh yang
diperintahkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam untuk mengakhirkan shalat
Zhuhur dan mempercepat Ashar dan mengakhirkan Maghrib serta mempecepat
Isya’.
Diwajibkan bagi orang yang sakit untuk shalat dengan berdiri apabila mampu
dan tak khawatir sakitnya bertambah parah, karena berdiri dalam shalat wajib
merupakan rukun shalat. Allah Azza wa Jalla berfirman: "Berdirilah untuk Allah
(dalam shalatmu) dengan khusyu" [al-Baqarah/ 2:238]. Diwajibkan juga bagi
orang yang mampu berdiri walaupun dengan menggunakan tongkat, bersandar ke
tembok atau berpegangan pada tiang, berdasarkan hadits Ummu Qais
Radhiyallahu 'anha yang berbunyi:

‫علَ ْي ِه‬
َ ‫ع ُمودًا فِي ُمص َََّّلهُ يَ ْعت َ ِم ُد‬ َ َ‫س َّل َم لَ َّما أ‬
َ َ‫سنَّ َو َح َم َل اللَّحْ َم اتَّ َخذ‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫أَنَّ َر‬
َّ ‫سو َل‬

"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika berusia lanjut dan


lemah, beliau memasang tiang di tempat shalatnya sebagai sandaran". [HR Abu
Dawud & dishahihkan al-Albani dlm Silsilah Ash-Shohihah 319].

Demikian juga orang bungkuk diwajibkan berdiri walaupun keadaannya


seperti orang rukuk. Syeikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah berkata, "Diwajibkan
berdiri bagi seorang dalam segala caranya, walaupun menyerupai orang ruku'
atau bersandar kepada tongkat, tembok, tiang ataupun manusia

B. Sholat Dengan Duduk


Orang sakit yang mampu berdiri namun tidak mampu ruku' atau sujud , dia
tetap wajib berdiri. Dia harus shalat dengan berdiri dan melakukan rukuk dengan
menundukkan badannya. Bila dia tak mampu membungkukkan punggungnya
sama sekali, maka cukup dengan menundukkan lehernya, kemudian duduk, lalu

4
menundukkan badannya untuk sujud dalam keadaan duduk dengan mendekatkan
wajahnya ke tanah sebisa mungkin.
Orang sakit yang khawatir akan bertambah parah sakitnya atau memperlambat
kesembuhannya atau sangat susah berdiri, diperbolehkan shalat dengan
duduk, kesulitan (Masyaqqah) membolehkan seseorang mengerjakan shalat
dengan duduk. Apabila seorang merasa susah mengerjakan shalat berdiri, maka ia
boleh mengerjakan shalat dengan duduk, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala :

‫ّللاُ ِّب ُك ُم ْاليُس َْر َو َال ي ُِّريدُ ِّب ُك ُم ْالعُس َْر‬


َّ ُ‫ي ُِّريد‬
"Allah Azza wa Jalla menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu" [al-Baqarah/ 2:185].
Sebagaimana orang yang berat berpuasa bagi orang yang sakit, walaupun
masih mampu puasa, diperbolehkan baginya berbuka dan tidak berpuasa;
demikian juga shalat, apabila berat untuk berdiri, maka boleh mengerjakan shalat
dengan duduk.
Orang yang sakit apabila mengerjakan shalat dengan duduk sebaiknya duduk
bersila pada posisi berdirinya berdasarkan hadîts ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha yang
berbunyi:

‫ص ِّلهي ُمت ََربهِّعًا‬


َ ُ‫سلَّ َم ي‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللاُ َعلَ ْي ِّه َو‬ َّ ِّ‫َرأَيْتُ النَّب‬
َ ‫ي‬

"Aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dengan bersila"


Juga, karena duduk bersila secara umum lebih mudah dan lebih tuma’ninah
(tenang) daripada duduk iftirâsy”[3]. Apabila rukuk, maka lakukanlah dengan
bersila dengan membungkukkan punggung dan meletakkan tangan di lutut, karena
ruku’ dilakukan dengan berdiri.
Dalam keadaan demikian, masih diwajibkan sujud di atas tanah dengan dasar
keumuman hadits Ibnu Abas Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi:

‫َار بِّيَ ِّد ِّه َعلَى أَ ْن ِّف ِّه َو ْاليَدَي ِّْن‬


َ ‫ظم ْال َج ْب َه ِّة َوأَش‬ َ ‫سلَّ َم قَا َل أ ُ ِّم ْرتُ أ َ ْن أ َ ْس ُجدَ َعلَى‬
ُ ‫س ْبعَ ِّة أ َ ْع‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللاُ َعلَ ْي ِّه َو‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬
َّ ‫سو َل‬
َ ِّ‫ّللا‬
‫اف ْال َقدَ َمي ِّْن‬ِّ ‫ط َر‬ ْ َ ‫الرجْ َلي ِّْن َوأ‬
‫َو ِّ ه‬

5
"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Aku
diperintahkan untuk bersujud dengan tujuh tulang; Dahi – beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan tangannya ke hidung- kedua telapak
tangan, dua kaki dan ujung kedua telapak kaki"
Bila tetap tidak mampu, ia melakukan sujud dengan meletakkan kedua telapak
tangannya ke tanah dan menunduk untuk sujud. Bila tidak mampu, hendaknya ia
meletakkan tangannya di lututnya dan menundukkan kepalanya lebih rendah dari
pada ketika ruku’.

C. Shalat Dengan Berbaring


Orang sakit yang tidak mampu melakukan shalat berdiri dan duduk, cara
melakukannya adalah dengan berbaring, boleh dengan miring ke kanan atau ke
kiri, dengan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Ini berdasarkan sabda
Rasulullah dalam hadits ‘Imrân bin al-Hushain Radhiyallahu 'anhu :

‫ص ِّهل قَائِّ ًما فَإ ِّ ْن لَ ْم ت َ ْست َِّط ْع فَقَا ِّعدًا فَإ ِّ ْن لَ ْم ت َ ْست َِّط ْع فَ َعلَى َج ْنب‬
َ

"Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak
mampu juga maka berbaringlah" [HR al-Bukhâri no. 1117]
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menjelaskan pada
sisi mana seseorang harus berbaring, ke kanan atau ke kiri, sehingga yang utama
adalah yang termudah dari keduanya. Apabila miring ke kanan lebih mudah, itu
yang lebih utama baginya dan apabila miring ke kiri itu yang termudah maka itu
yang lebih utama. Namun bila kedua-duanya sama mudahnya, maka miring ke
kanan lebih utama dengan dasar keumuman hadits ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha
yang berbunyi:

‫ور ِّه‬ ُ ‫شأ ْ ِّن ِّه ُك ِّله ِّه ِّفي نَ ْعلَ ْي ِّه َوت ََر ُّج ِّل ِّه َو‬
ِّ ‫ط ُه‬ َ ‫سلَّ َم يُ ِّحبُّ الت َّ َي ُّمنَ ِّفي‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللاُ َعلَ ْي ِّه َو‬ َ ِّ‫ّللا‬ ُ ‫َكانَ َر‬
َّ ‫سو ُل‬

"Dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyukai mendahulukan

6
sebelah kanan dalam seluruh urusannya, dalam memakai sandal, menyisir dan
bersucinya" [HR Muslim no 396].
Melakukan ruku’ dan sujud dengan isyarat merendahkan kepala ke dada,
ketentuannya , sujud lebih rendah dari ruku’. Apabila tidak mampu menggerakkan
kepalanya, maka para ulama berbeda pendapat dalam tiga pendapat:
1. Melakukannya dengan mata. Sehingga apabila rukû’ maka ia memejamkan
matanya sedikit kemudian mengucapkan kata (ُ‫س ِّم َع هللاُ ِّل َم ْن َح ِّمدَه‬
َ ) lalu membuka
matanya. Apabila sujud maka memejamkan matanya lebih dalam.
2. Gugur semua gerakan namun masih melakukan shalat dengan perkataan.
3. Gugur kewajiban shalatnya. Inilah adalah pendapat yang dirajihkan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah merajihkan pendapat
kedua dengan menyatakan, “yang rajih dari tiga pendapat tersebut adalah
gugurnya perbuatan saja, karena ini saja yang tidak mampu dilakukan. Sedangkan
perkataan, tetap tidak gugur, karena ia mampu melakukannya dan Allah berfirman
:

َ َ‫ّللاَ َما ا ْست‬


‫ط ْعت ُ ْم‬ َّ ‫فَاتَّقُوا‬
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah Azza wa Jalla menurut kesanggupanmu"
[at-Taghâbun/ 64:16].

D. Sholat Dengan Terlentang


Orang sakit yang tidak mampu berbaring, boleh melakukan shalat dengan
terlentang dan menghadapkan kakinya ke arah kiblat, karena hal ini lebih dekat
kepada cara berdiri. Misalnya bila kiblatnya arah barat maka letak kepalanya di
sebelah timur dan kakinya di arah barat. Apabila tidak mampu menghadap kiblat
dan tidak ada yang mengarahkan atau membantu mengarahkannya, maka
hendaklan ia shalat sesuai keadaannya tersebut, berdasarkan firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala :

‫سا إِّ َّال ُو ْسعَ َها‬


ً ‫ّللاُ نَ ْف‬
َّ ‫ف‬ُ ‫َال يُ َك ِّله‬
"Allah Azza wa Jalla tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya" [al-Baqarah/ 2:286]

7
Orang sakit yang tidak mampu shalat dengan terlentang maka shalatnya sesuai
keadaannya dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

َ َ‫ّللاَ َما ا ْست‬


‫ط ْعت ُ ْم‬ َّ ‫فَاتَّقُوا‬
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah Azza wa Jalla menurut
kesanggupanmu" [at-Taghâbun/ 64:16]
Orang yang sakit dan tidak mampu melakukan shalat dengan semua gerakan
di atas (Ia tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya dan tidak mampu juga
dengan matanya), hendaknya ia melakukan shalat dengan hatinya. Shalat tetap
diwajibkan selama akal seorang masih sehat. Dan Apabila shalat orang yang sakit
mampu melakukan perbuatan yang sebelumnya tidak mampu, baik keadaan
berdiri, ruku’ atau sujud, maka ia wajib melaksanakan shalatnya dengan
kemampuan yang ada dan menyempurnakan yang tersisa. Ia tidak perlu
mengulang yang telah lalu, karena yang telah lalu dari shalat tersebut telah sah.
Apabila yang orang sakit tidak mampu melakukan sujud di atas tanah,
hendaknya ia cukup menundukkan kepalanya dan tidak mengambil sesuatu
sebagai alas sujud. Hal ini didasarkan hadîts Jâbir Radhiyallahu 'anhu yang
berbunyi:
‫علَ ْي ِه َفأ َ َخذَهُ َف َر َمى‬ َ ُ‫ فَأ َ َخذَ ع ُْودًا ِلي‬،‫سا َد ٍة َفأ َ َخذَ َها فَ َر َمى بِهَا‬
َ ‫ص ِلِّي‬ َ ‫علَى ِو‬ ُ ‫أَنَّ َر‬
َ ُ‫س ْو َل هللا عَا َد َم ِر ْيضًا فَ َرآهُ ي‬
َ ‫ص ِلِّي‬
َ ‫س ُج ْودَكَ أ َ ْخ َف‬
َ‫ض ِم ْن ُرك ُْو ِعك‬ ُ ‫ست َ َط ْعتَ َوإِالَّ فَأ َ ْو ِم إِ ْي َما ًء َواجْ عَ ْل‬ ِ ‫علَى األ َ ْر‬
ْ ‫ض إِ ِن ا‬ َ :َ‫ قَال‬،‫بِ ِه‬
َ ‫ص ِ ِّل‬

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjenguk orang sakit, beliau


melihatnya sedang mengerjakan shalat di atas (beralaskan) bantal, beliau pun
mengambil dan melemparnya, kemudian mengambil kayu untuk dijadikan alas
shalatnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Shalatlah di atas tanah
apabila engkau mampu dan bila tidak maka dengan isyarat dengan menunduk
(al-Imâ`) dan jadikan sujudmu lebih rendah dari ruku'mu".

E. Tata Cara Shalat Orang Sakit

Mengutip buku panduan fiqih tarapan Madrasah Ibtida’iya menyebutkan tata


cara sholat orang sakit.

“Cara mengerjakannya, maka perhatikanlah baik baik keterangan dibawah ini !

8
1. Kalau tidak dapat berdiri boleh mengerjakannya sambil duduk. Yaitu telapak
kaki kiri diduduki dan telapak kaki kanan diberdirikan (seperti saat duduk
tasyahud awal atau duduk iftirasy).
2. Membaca niat dan takbiratul ihram dengan mengangkat kedua tangan setinggi
bahu (seperti sholat saat berdiri )
3. Membaca surat al fatihah dan surat pendek atau surat lainnya yang ada didalam
al qur’an yang di hafal (dilalukan seperti dalam shalat sambil berdiri).
4. Rukuk dan tumaknina dengan duduk membungkuk sedikit dan membaca doa
ruku’.
5. Iktidal dan tumakninah dengan kembali ke posisi semulam yaitu duduk tegak
dan membaca doa iktidal.
6. Dua sujud, duduk diantara dua sujud tasyahud awal (duduk iftisary) dan
tasyahud akhir sama seperti kita mengerjakannya sambil berdiri.
Cara mengerjakannya, maka perhatikanlah baik baik keterangan dibawah ini !
1. Apabila seseorang yang sakit mengerjakan shalat dengan berbaring, hendaklah
ia menghadap kiblat, yaini kepada berada disebelah utara dan kaki sebelah selatan.
2. Membaca niat dan takbiratul ihram dengan mengangkat kedua tangan setinggi
bahu.
3. Bersedekap dan membaca surat al fatihah dan surat pendek lainnya yang ada
didalam al-qur’an yang sudah dihafal.
4. Rukuk dan sujud menggerakkan kepada kemuka. Pada saat sujud, kepala lebih
ditundudukkan.
5. Untuk iktidal dan duduk diantara dua sujud, cukup kembali ke posisi semula dan
membaca doanya sama seperti bacaan dalam shalat berdiri.
6. Begitu juga dengan tasyahud awal dan tasyahud akhir, cukup kembali ke posisi
semula dengan membaca doanya sama seperti ketika shalat berdiri.
Cara mengerjakannya, maka perhatikanlah baik baik keterangan dibawah ini !
1. Kedua kaki diarahkan kekiblat. Jika memugkinkan, kepada diberi bantal agar
mukanya dapa menghadap kekiblat.dengan demikian kepada berada disebalah
timur dan kaki sebelah barat.
2. Bacaan dalam shalat telentang sama dengan bacaan dalam shalat sambil berdiri.
3. Gerakan dalam shalatnya sama dengan gerakan shalat sambil berbaring

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Shalat adalah ibadah yang berhukum wajib. Wajib untuk dilaksanakan oleh
setiap kaum muslim, baik laki- laki mau pun perempuan, yang telah terhukum I
wajib untuk melaksanakan. Oleh sebab itu. Sholat harus dilaksanakan, meskipun
itu dalam kondisi tidak sehat atau sakit. Karna disaat sakit dan tidak bisa berdiri
atau tidak sanggup berdiri maka diperbolehkan untuk sholat dengan duduk, begitu
juga jika tidak mampu dengan duduk, maka boleh dilaksanakan dengan berbaring
dan jika bebaring tak mampu untuk melaksanakan maka diperbolehkan dengan
berbaring.karna agama islam adalah agama yang mudah dan tidak pernah
mempersulit pemeluknya.
Orang sakit yang khawatir akan bertambah parah sakitnya atau memperlambat
kesembuhannya atau sangat susah berdiri, diperbolehkan shalat dengan
duduk, Orang yang sakit apabila mengerjakan shalat dengan duduk sebaiknya
duduk bersila pada posisi berdirinya berdasarkan hadîts ‘Aisyah Radhiyallahu
'anha yang berbunyi:

‫ص ِّلهي ُمت ََربهِّعًا‬


َ ُ‫سلَّ َم ي‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللاُ َعلَ ْي ِّه َو‬ َّ ِّ‫َرأَيْتُ النَّب‬
َ ‫ي‬

"Aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dengan bersila"


Orang sakit yang tidak mampu melakukan shalat berdiri dan duduk, cara
melakukannya adalah dengan berbaring, boleh dengan miring ke kanan atau ke
kiri, dengan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat
Orang sakit yang tidak mampu berbaring, boleh melakukan shalat dengan
terlentang dan menghadapkan kakinya ke arah kiblat, karena hal ini lebih dekat
kepada cara berdiri.

10
B. Saran
[1] . Amir Abyan, Zainal Muttaqin, Fiqih, Semarang : PT Karya Thoha Putra,
2004, hal. 113
[2] . Imam Mujtaba, DKK, Fiqih, Jakarta, 2007, hal.62
[3] . http.majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183
[4] . Imam Mujtaba, DKK, Fiqih, Jakarta, 2007, hal.63-66

11
DAFTAR PUSTAKA

Amir Abyan, Zainal Muttaqim. (2004). Fiqih. Semarang: PT Karya Thoha Putra.
Andres Anwarudin, DKK. (2007). Fiqih. Jakarta: Yudhi Tira.
http.majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo
Solo 57183

12

Você também pode gostar