Você está na página 1de 20

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN


POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
TANGERANG SELATAN

ANALISIS LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT


LAPORAN REALISASI ANGGARAN
PEMBIAYAAN LUAR NEGERI
TAHUN 2012-2016

Ditulis Oleh:
Pandu Putra Wiratama (31)
NPM 1401160304
9-2 Alih Program

Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester IX


Mata Kuliah Analisis Laporan Keuangan
Politeknik Keuangan Negara STAN
Januari 2018
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 3
I. LATAR BELAKANG ............................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 5
I. STRUKTUR LAPORAN REALISASI ANGGARAN .......................................................... 5
II. DEFINISI DAN KLASIFIKASI ............................................................................................ 8
III. PERATURAN TERKAIT PENGELOLAAN PEMBIAYAAN .......................................... 10
IV. RISIKO PEMBIAYAAN ..................................................................................................... 12
V. ANALISIS PEMBIAYAAN ................................................................................................ 16
KESIMPULAN ..................................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 20

2
PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG
Setiap pemerintahan, memiliki tujuan untuk menyejahterakan rakyatnya melalui pembangunan
dan pelayanan, untuk itu negara membutuhkan sumber daya berupa manusia, fasilitas dan dana. Agar
sumber daya yang dimiliki dapat digunakan demi pencapaian tujuan tersebut, pemerintahan harus
melakukan pengelolaan keuangan yang efektif, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Di
Indonesia, pengelolaan keuangan negara telah dilaksanakan sejak masa penjajahan Belanda. Pada
tahun 1864, pemerintahan Hindia Belanda telah menetapkan Indische Comptabiliteiswet (ICW). Pada
waktu itu juga berlaku Reglement voorhet Administratief (RAB) Staatsblad 1933 Nomor 381.
Sedangkan untuk pelaksanaan pemeriksaan pertanggungjawaban keuangan negara
digunakan Instructure en verdure bepalingen voor de Algemene Rakenhower (IAR) Staatsblad 1933
Nomor 320.

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Undang –


Undangan peninggalan Belanda ini masih digunakan dalam pengelolaan keuangan negara di
Indonesia. Seiring berjalannya waktu, Undang-Undang peninggalan Belanda ini mengalami
perubahan, seperti Indische Comptabiliteiswet (ICW) / Undang-Undang Perbendaharaan Hindia
Belanda, Staatsblad 1925 No. 448, yang terakhir diubah dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 9
Tahun 1968. Sebagai upaya perbaikan pengelolaan keuangan negara, pemerintah membentuk tim
penyusun RUU Keuangan Negara atau RUU Perbendaharaan Negara. Terdapat 14 tim yang dibentuk
sejak tahun 1945, dan pada tanggal 6 Maret 2003, DPR RI mensyahkan UU No. 17 Tahun 2003
Tentang Keuangan Negara. Selang setahun setelah itu, DPR juga mengesahkan RUU tentang
Perbendaharaan Negara (UU No. 1 Tahun 2004) dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Kelahiran ketiga paket Undang-Undang tentang
keuangan negara tersebut menandai reformasi bidang keuangan negara yang selama kurun waktu
yang sangat panjang masih menggunakan Undang - Undang warisan kolonialisme Belanda.

Salah satu dampak dari penetapan paket Undang – Undang Keuangan Negara ini dapat terlihat
pada kebijakan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Setiap tahunnya, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan defisit dalam APBN tidak lebih dari 3 persen, sementara rasio
utang pemerintah dibatasi pada level 60 persen terhadap PDB. Masalah mengenai defisit APBN sudah
muncul sejak kemerdekaan Indonesia. Pada masa orde lama yang menganut kebijakan anggaran
moneter, pemerintah berkutat dengan masalah defisit dan inflasi, sedangkan pada masa orde baru
yang menerapkan kebijakan anggaran berimbang, utang luar negeri ditempatkan sebagai sumber
utama pembiayaan pembangunan, sementara pada era reformasi yang mengadopsi kebijakan anggaran
defisit, utang menjadi faktor penentu bagi keberlanjutan fiskal. Dari ketiga rezim pemerintahan
tersebut terdapat kesamaan yaitu adanya perbedaan antara pendapatan dan belanja dimana belanja

3
lebih besar daripada pendapatan, sehingga diperlukan pembiayaan/utang untuk menutupi kekurangan
tersebut.

Pada tahun 2001, pemerintah mengadopsi standar Internasional Government Finance Statistics
(GFS) dalam penyajian APBN. Penandanya adalah diterapkannya kebijakan anggaran defisit, dimana
struktur APBN dipilah kedalam lima bagian; pendapatan, belanja, keseimbangan primer, defisit
anggaran, dan pembiayaan. Pembiayaan/utang sebagai faktor penentu keberlanjutan fiscal APBN
tentu memerlukan pengelolaan yang tepat. Selain dapat digunakan untuk mendorong pembangunan
guna peningkatan perekonomian, pembiayaan juga memiliki risiko – risiko yang perlu dikontrol dan
dimitigasi. Oleh karena itu dibentuklah satu unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang
mengelola pembiayaan APBN, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. Agar
memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang pengelolaan pembiayaan, penulis ingin melakukan
analisis terhadap pembiayaan APBN dalam kurun waktu 2013 sampai dengan 2016, khususnya
pembiayaan luar negeri.

4
PEMBAHASAN

I. STRUKTUR LAPORAN REALISASI ANGGARAN


Laporan keuangan pemerintah awalnya berbasis kas, kemudian setelah terjadi penyempurnaan
dalam pengelolaan keuangan negara, basis laporan keuangan berubah menjadi cash toward accrual,
dan saat ini basis laporan keuangan pemerintah adalah basis akrual. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 71 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), komponen-komponen yang
terdapat dalam satu set laporan keuangan berbasis akrual terdiri dari laporan pelaksanaan anggaran
(budgetary reports) dan laporan finansial. Dalam laporan tersebut terbagi lagi menjadi beberapa
laporan yang diurainkan di bawah ini :

1. Laporan pelaksanaan anggaran


a. Laporan Realisasi Anggaran;
b. Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih;
2. Laporan finansial
a. Laporan Operasional;
b. Laporan Perubahan Ekuitas;
c. Neraca;
d. Laporan Arus Kas;
3. Catatan atas Laporan Keuangan.

Laporan pelaksanaan anggaran adalah Laporan Realisasi Anggaran dan Laporan Perubahan Saldo
Anggaran Lebih, sedangkan yang termasuk laporan finansial adalah Laporan Operasional, Laporan
Perubahan Ekuitas, Neraca dan Laporan Arus Kas. Akun – akun dalam laporan tersebut dijelaskan
lebih detail dalam Catatan Atas Laporan Keuangan.

Laporan Realisasi Anggaran (LRA) menyediakan informasi mengenai anggaran dan realisasi
pendapatan-LRA, belanja, transfer, surplus/defisit-LRA, dan pembiayaan dari suatu entitas pelaporan.
Informasi tersebut berguna bagi para pengguna laporan dalam mengevaluasi keputusan mengenai
alokasi sumber-sumber daya ekonomi, akuntabilitas dan ketaatan entitas pelaporan terhadap anggaran
karena menyediakan informasi-informasi yaitu :

1. Informasi mengenai sumber, alokasi, dan penggunaan sumber daya ekonomi;


2. Informasi mengenai realisasi anggaran secara menyeluruh yang berguna dalam mengevaluasi
kinerja pemerintah dalam hal efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran.

LRA menyediakan informasi yang berguna dalam memprediksi sumber daya ekonomi yang akan
diterima untuk mendanai kegiatan pemerintah pusat dan daerah dalam periode mendatang dengan cara
menyajikan laporan secara komparatif. Selain itu, LRA juga dapat menyediakan informasi kepada

5
para pengguna laporan keuangan pemerintah tentang indikasi perolehan dan penggunaan sumber daya
ekonomi dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan, sehingga dapat menilai apakah suatu
kegiatan/program telah dilaksanakan secara efisien, efektif, dan hemat, sesuai dengan anggarannya
(APBN/APBD), dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Seperti dijelaskan sebelumnya, setiap komponen dalam LRA dijelaskan lebih lanjut dalam
Catatan atas Laporan Keuangan. Penjelasan tersebut memuat hal-hal yang mempengaruhi pelaksanaan
anggaran seperti kebijakan fiskal dan moneter, sebab-sebab terjadinya perbedaan yang material antara
anggaran dan realisasinya, serta daftar-daftar yang merinci lebih lanjut atas angka-angka yang
dianggap perlu untuk dijelaskan. Namun dari segi struktur, LRA Pemerintah Pusat, Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki struktur yang berbeda. Perbedaan ini lebih
diakibatkan karena adanya perbedaan sumber pendapatan pada pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Penyusunan dan penyajian LRA didasarkan pada akuntansi anggaran, akuntansi pendapatan-LRA,
akuntansi belanja, akuntansi surplus/ defisit, akuntansi pembiayaan dan akuntansi sisa lebih/kurang
pembiayaan anggaran (SiLPA/SiKPA), yang mana berdasar pada basis kas.

1. Akuntansi Anggaran
Salah satu perbedaan utama akuntansi pemerintahan dengan akuntansi perusahaan komersial
terletak pada akuntansi anggaran. Dalam pemerintahan, pencatatan telah dimulai pada saat
anggaran (APBN/APBD) disahkan dan dialokasikan. Akuntansi anggaran merupakan teknik
pertanggungjawaban dan pengendalian manajemen yang digunakan untuk membantu
pengelolaan pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan. Akuntansi anggaran
diselenggarakan sesuai dengan struktur anggaran yang terdiri dari anggaran pendapatan,
belanja, dan pembiayaan.

Anggaran pendapatan meliputi estimasi pendapatan yang dijabarkan menjadi alokasi estimasi
pendapatan. Anggaran belanja terdiri dari apropriasi yang dijabarkan menjadi otorisasi kredit
anggaran (allotment). Anggaran pembiayaan terdiri dari penerimaan pembiayaan dan
pengeluaran pembiayaan.

2. Akuntansi Pendapatan-LRA
Pendapatan negara/daerah merupakan iuran rakyat yang diamanatkan kepada Pemerintah,
sehingga akuntansi pendapatan-LRA disusun untuk memenuhi kebutuhan pertanggungjawaban
sesuai dengan ketentuan dan untuk keperluan pengendalian bagi manajemen pemerintah pusat
dan daerah.

6
Pendapatan-LRA diakui pada saat uang diterima pada Rekening Kas Umum Negara/Daerah,
yang mana pencatatan pendapatan-LRA dilaksanakan berdasarkan azas bruto, yaitu mencatat
jumlah bruto penerimaan, dan tidak mencatat jumlah netonya (setelah dikompensasikan dengan
pengeluaran), namun ketika biaya atas pendapatan tersebut bersifat variabel dan tidak dapat
dianggarkan terlebih dahulu dikarenakan proses belum selesai, maka dapat mencatat nilai
netonya.

Pemerintah mungkin saja melakukan kekeliruan dalam menghitung tagihan pendapatan yang
mengakibatkan kelebihan penerimaan pendapatan, jika hal ini terjadi maka pemerintah harus
mengembalikan pendapatan tersebut. Pengembalian yang sifatnya sistemik (normal) dan
berulang (recurring) terjadi atas penerimaan pendapatan-LRA pada periode penerimaan (tahun
anggaran berjalan) maupun pada periode sebelumnya (tahun anggaran sebelumnya) dibukukan
sebagai pengurang pendapatan-LRA. Namun, untuk koreksi dan pengembalian yang sifatnya
tidak berulang (non-recurring) atas penerimaan pendapatan-LRA yang terjadi pada periode
penerimaan pendapatan-LRA dibukukan sebagai pengurang pendapatan-LRA pada periode
yang sama. Sedangkan untuk Koreksi dan pengembalian yang sifatnya tidak berulang (non-
recurring) atas penerimaan pendapatan-LRA yang terjadi pada periode sebelumnya dibukukan
sebagai pengurang Saldo Anggaran Lebih pada periode ditemukannya koreksi dan
pengembalian tersebut.

3. Akuntansi Belanja
Akuntansi belanja disusun selain untuk memenuhi kebutuhan pertanggungjawaban sesuai
dengan ketentuan, juga dapat dikembangkan untuk keperluan pengendalian bagi manajemen
untuk mengukur efektivitas dan efisiensi belanja tersebut. Pengeluaran untuk belanja dapat
dilakukan dengan 2 cara, yaitu secara langsung dikeluarkan oleh Bendahara Umum
Negara/Daerah (BUN/BUD), atau melalui bendahara pengeluaran. Jika pengeluaran dilakukan
oleh BUN/BUD maka belanja diakui pada saat terjadinya pengeluaran dari Rekening Kas
Umum Negara/Daerah, sedangkan jika pengeluaran melalui bendahara pengeluaran maka
pengakuan belanja dilakukan pada saat pertanggungjawaban atas pengeluaran tersebut disahkan
oleh unit yang mempunyai fungsi perbendaharaan.

Jika terjadi kekeliruan dalam pengeluaran belanja maka koreksi atas pengeluaran belanja
(penerimaan kembali belanja) yang terjadi pada periode pengeluaran belanja dibukukan sebagai
pengurang belanja pada periode yang sama. Apabila diterima pada periode berikutnya, koreksi
atas pengeluaran belanja dibukukan dalam pendapatan-LRA dalam pos pendapatan lain-lain-
LRA.

7
4. Akuntansi Surplus/Defisit-LRA
Selisih antara pendapatan-LRA dan belanja selama satu periode pelaporan dicatat dalam pos
Surplus/Defisit-LRA. Surplus-LRA terjadi jika jumlah pendapatan-LRA selama suatu periode
lebih besar daripada jumlah belanja pada periode tersebut, begitupula sebaliknya, defisit-LRA
terjadi jika jumlah pendapatan-LRA lebih kecil dari jumlah belanja selama satu periode
pelaporan tersebut.

5. Akuntansi Pembiayaan
Pembiayaan (financing) adalah seluruh transaksi keuangan pemerintah, baik penerimaan
maupun pengeluaran, yang perlu dibayar atau akan diterima kembali, yang dalam penganggaran
pemerintah terutama dimaksudkan untuk menutup defisit dan atau memanfaatkan surplus
anggaran. Penerimaan pembiayaan antara lain dapat berasal dari pinjaman, dan hasil privatisasi
BUMN/BUMD. Sementara, pengeluaran pembiayaan antara lain digunakan untuk pembayaran
kembali pokok pinjaman, pemberian pinjaman kepada entitas lain, dan penyertaan modal oleh
pemerintah di BUMN/BUMD.

Penerimaan pembiayaan diakui pada saat uang diterima pada Rekening Kas Umum
Negara/Daerah, dan dicatat berdasarkan azas bruto. Sedangkan Pengeluaran pembiayaan diakui
pada saat dikeluarkan dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah.

6. Akuntansi Sisa Lebih/Kurang Pembiayaan Anggaran (SiLPA/SiKPA)


SiLPA/SiKPA adalah selisih lebih/kurang antara realisasi penerimaan dan pengeluaran selama
satu periode pelaporan atau selisih lebih/kurang antara realisasi pendapatan-LRA dan
penerimaan pembiayaan dengan belanja dan pengeluaran pembiayaan selama satu periode
pelaporan. Nilai SilPA/SiKPA pada akhir periode pelaporan inilah yang nantinya dipindahkan
ke Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih. Apabila dalam LRA terdapat transaksi mata uang
asing maka harus dicatat/dibukukan dalam mata uang rupiah atau dikonversi terlebih ke rupiah.

II. DEFINISI DAN KLASIFIKASI


Pengertian pembiayaan menurut Undang-undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi
hasil.

Menurut Kasmir (2008:96) mengemukakan bahwa :

“Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai

8
untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau
bagi hasil.Dalam pembiayaan mengandung berbagai maksud, atau dengan kata lain dalam
pembiayaan terkandung unsur – unsur yang direkatkan menjadi satu.”

Adapun unsur - unsur ysng terkandung dalam pembiayaan menurut Kasmir (2008:98) adalah sebagai
berikut:

1. Kepercayaan
Kepercayaan merupakan suatu keyakinan bahwa pembiayaan yang diberikan benar – benar
diterima kembali dimasa yang akan datang sesuai jangka waktu yang sudah diberikan.
Kepercayaan yang diberikan oleh Bank sebagai dasar utama yang melandasi mengapa suatu
pembiayaan berani dikucurkan. Oleh karena itu sebelum pembiayaan dikucurkan harus dilakukan
penyelidikan dan penelitian terlebih dahulu secara mendalam tentang kondisi Nasabah, baik
secara intern maupun ekstern.
Kesepakatan antara si pemohon dengan pihak Bank. Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu
perjanjian dimana masing - masing pihak menandatangani hak dan kewajiban masing - masing.
Kesepakatan ini kemudian dituangkan dalam akad pembiayaan dan ditandatangani kedua belah
pihak.

2. Jangka Waktu
Setiap pembiayaan yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka waktu ini mencakup
masa pengembalian pembiayaan yang telah disepakati. Jangka waktu merupakan batas waktu
pengembalian angsuran yang sudah disepakati kedua belah pihak. Untuk kondisi tertentu jangka
waktu ini bisa diperpanjang sesuai dengan kebutuhan.

3. Risiko
Akibat adanya tenggang waktu, maka pengembalian pembiayaan akan memungkinkan suatu
risiko tidak tertagihnya atau macet pemberian suatu pembiayaan. Semakin panjang jangka waktu
pembiayaan maka semakin besar risikonya, demikian pula sebaliknya. Risiko ini menjadi
tanggungan Bank, baik risiko disengaja, maupun risiko yang tidak disengaja, misalnya karena
bencana alam atau bangkrutnya usaha nasabah tanpa ada unsur kesengajaan lainnya, sehingga
tidak mampu melunasi pembiayaan yang diperoleh.

4. Balas Jasa
Dalam Bank Konvensional balas jasa dikenal dengan nama bunga. Disamping balas jasa dalam
bentuk bunga Bank juga membebankan kepada Nasabah biaya administrasi yang juga merupakan
keuntungan Bank. Bagi Bank yang berdasarkan prinsip Syariah balas jasanya dikenal dengan bagi
hasil.

9
Dalam laporan realisasi anggaran, pembiayaan terbagi menjadi pembiayaan dalam negeri dan
pembiayaan luar negeri.

Terlihat bahwa pembiayaan luar negeri terkait dengan pinjaman luar negeri Indonesia.

III. PERATURAN TERKAIT PENGELOLAAN PEMBIAYAAN


1. Undang-undang Nomor 17 tahun 2003

Seberapa besar pemerintah boleh berutang diatur dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2003
tentang Keuangan Negara, Penjelasan Pasal 12 ayat (3) yang menyatakan bahwa:

a. Batas maksimal defisit APBN dan APBD adalah tiga persen dari PDB
b. Total outstanding (jumlah) utang pemerintah maksimal 60 persen dari PDB.

Rasio-rasio tersebut ditetapkan untuk menjaga agar utang pemerintah tetap berada pada batas
yang masih dapat dikelola dengan baik dan menjamin kesinambungan fiskal.

2. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004

Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 38 mengatur bahwa:
a. Pembebanan biaya pengadaan utang /hibah Pemerintah pada APBN
b. Tata cara pengadaan utang negara dan penerusan utang/ hibah luar negeri kepada Pemda dan
BUMN/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)

10
3. Undang-undang Nomor 24 tahun 2002

Pengelolaan SUN diharapkan mampu mendukung pengembangan pasar SUN (Primary and
Secondary Market).

4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor No. 37/KMK.08/2013

Sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor No. 37/KMK.08/2013 tentang Strategi Pengelolaan
Utang Negara tahun 2013-2016, tujuan umum pengelolaan utang negara dapat dibagi per periode
waktu yaitu:

a. Tujuan jangka panjang


1) Mengamankan kebutuhan pembiayaan APBN melalui utang dengan biaya minimal pada
tingkat risiko terkendali, sehingga kesinambungan fiskal dapat terpelihara.
2) Mendukung upaya untuk menciptakan pasar Surat Berharga Negara (SBN) yang dalam,
aktif dan likuid.
b. Tujuan jangka pendek
Memastikan tersedianya dana untuk menutupi defisit dan pembayaran kewajiban pokok
utang secara tepat waktu dan efisien. Dalam jangka pendek, kebijakan utang mengacu pada
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan APBN setiap tahunnya dengan sasaran pencapaian
konsolidasi fiskal dan penurunan lebih lanjut rasio utang negara terhadap PDB hingga di
bawah 60% (enam puluh persen) yang dilakukan dengan; mempertahankan stabilitas ekonomi
makro; mendorong pertumbuhan ekonomi yang memadai; melakukan restrukturisasi dan
reprofiling utang untuk mengurangi risiko pembiayaan kembali; melanjutkan konsolidasi
fiskal; dan mendukung pengembangan pasar SUN.
5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara,
Yang antara lain mengatur tentang tujuan penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN),
yaitu untuk membiayai APBN.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengadaan Dan Penerusan
Pinjaman Dalam Negeri Oleh Pemerintah, yang antara lain mengatur tentang penggunaan
pinjaman dalam negeri.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri
dan Penerimaan Hibah.
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.08/2012 tentang Tata Cara Pengadaan Pembiayaan
Yang Bersumber Dari Kreditor Swasta Asing.

11
IV. RISIKO PEMBIAYAAN
APBN merupakan dokumen hasil dari perencanaan masa lalu untuk kegiatan masa di masa depan.
Namun perlu kita sadari bahwa masa depan memiliki ketidakpastian, perencanaan yang telah disusun
bisa saja tidak berjalan lancar akibat adanya tekanan dan perubahan yang tidak diantisipasi
sebelumnya. Segala sesuatu yang timbul di masa mendatang yang dapat menimbulkan tekanan fiscal
terhadap APBN merupakan definisi dari risiko fiskal. Definisi ini didasari atas kondisi bahwa risiko
terhadap APBN tidak hanya berupa tambahan defisit yang hanya terkait dengan pendapatan dan
belanja negara, tetapi juga berupa adanya tekanan di sisi pembiayaan. Risiko fiskal, utamanya
bersumber dari berbagai aktivitas pemerintah yang berkaitan dengan kebijakan fiskal yang mengatur
perekonomian negara melalui instrumen pendapatan dan belanja negara. Sumber risiko fiskal dapat
diidentifikasi ke dalam lima kelompok, yaitu (1) risiko asumsi dasar ekonomi makro; (2) risiko
pendapatan negara; (3) risiko belanja negara; (4) risiko pembiayaan; dan (5) risiko fiskal tertentu.

Risiko pembiayaan anggaran diidentifikasi terdiri dari risiko utang pemerintah dan risiko
kewajiban kontinjensi pemerintah pusat.

1. Risiko Utang Pemerintah


Risiko utang Pemerintah terdiri dari risiko tingkat bunga, nilai tukar dan pembiayaan kembali.
Pengungkapan risiko utang Pemerintah dimaksudkan untuk memberikan informasi mengenai
perkembangan risiko dari tahun ke tahun dan memberikan proyeksi risiko utang pada periode
yang akan datang. Pengelolaan risiko utang Pemerintah yang baik akan memberi persepsi positif
kepada pasar atas instrumen utang yang diterbitkan oleh Pemerintah. Di samping itu, penilaian
atas risiko utang akan sangat memengaruhi pilihan kebijakan dan strategi pengelolaan utang.

a. Risiko Tingkat Bunga, Nilai Tukar, dan Pembiayaan Kembali


 Risiko tingkat bunga merupakan potensi tambahan beban pembayaran bunga utang akibat
peningkatan suku bunga. Perkembangan risiko tingkat bunga dalam kurun waktu tahun
2009 sampai dengan bulan Juni tahun 2013 menunjukkan tren yang menurun. Hal ini
antara lain disebabkan oleh kebijakan pengelolaan utang yang menerapkan strategi
penerbitan/ pengadaan utang baru dengan tingkat bunga tetap dan tenor yang panjang,
khususnya melalui penerbitan Obligasi Negara dan sukuk di pasar domestik.

12
Namun di tahun 2014 sampai dengan tahun 2016 terdapat tren peningkatan persentase
pembayaran bunga utang dari total belanja pemerintah pusat. Meskipun persentasenya
mengalami penurunan, namun nominal pembayaran bunga utang meningkat setiap
tahunnya, hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah pembiayaan dari tahun ke tahun.

 Risiko nilai tukar adalah potensi tambahan beban pembayaran kewajiban utang valas
(bunga dan pokok utang) akibat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.
Secara keseluruhan, perkembangan risiko nilai tukar dalam kurun waktu tahun 2012
sampai dengan bulan Juni tahun 2016 menunjukkan indikasi yang membaik seiring
dengan semakin berkurangnya porsi utang dalam valuta asing terhadap total utang dan
terhadap PDB. Pada tahun 2013 dan tahun 2015 indikator risiko nilai tukar sempat
mengalami peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya sebagai dampak dari
kenaikan posisi (outstanding) utang valas akibat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap
mata uang asing terutama dolar Amerika Serikat.

13
Jumlah pembiayaan dalam mata uang rupiah memiliki porsi yang lebih tinggi
dibandingkan mata uang negara lain. Namun perlu diperhatikan bahwa adanya pelemahan
nilai rupiah terhadap mata uang negara lain dapat meningkatkan risiko nilai tukar dalam
pembiayaan, sehingga nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing perlu dijaga.

 Risiko pembiayaan kembali (refinancing risk) adalah potensi ketidakmampuan


Pemerintah membiayai utang jatuh tempo melalui penerbitan/pengadaan utang baru
dengan biaya dan risiko yang wajar. Perkembangan risiko pembiayaan kembali selama
kurun waktu tahun 2012 sampai dengan bulan Juni tahun 2016 relatif stabil. Besaran
penerbitan/pengadaan utang baru dengan tenor pendek (1, 3, dan 5 tahun) memang sedikit
mengalami peningkatan, sebagai bagian dari upaya Pemerintah dalam merespon
permintaan investor yang cukup besar pada instrumen SBN tenor pendek.

b. Potensi Kekurangan (shortage) pada Pembiayaan Melalui Utang


Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, penambahan utang Pemerintah didominasi oleh
instrumen SBN. Penerbitan SBN dipengaruhi oleh faktor sentimen pasar baik domestik
maupun global, yang secara langsung memengaruhi jumlah permintaan (bid) serta tingkat
biaya yang diminta (yield). Sementara itu, pengadaan instrumen pinjaman terutama pinjaman
yang bersifat komersial juga dipengaruhi oleh risiko sentimen pasar, walaupun sebagian
risikonya telah diserap oleh lembaga keuangan sebagai perantara (intermediary) dalam bentuk
tingkat suku bunga (interest rate) yang lebih tinggi dibandingkan SBN.

2. Risiko Kewajiban Kontinjensi Pemerintah Pusat


Kewajiban kontinjensi merupakan kewajiban potensial bagi Pemerintah yang timbul akibat
adanya peristiwa masa lalu dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadinya atau tidak
terjadinya suatu peristiwa di masa depan, yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali
Pemerintah. Terealisasinya kewajiban kontinjensi merupakan risiko fiskal bagi Pemerintah karena
mengakibatkan terjadinya tambahan pengeluaran. Risiko kewajiban kontinjensi Pemerintah Pusat
diidentifikasi bersumber dari pemberian dukungan dan/atau jaminan pemerintah pada proyek
pembangunan infrastruktur, program jaminan sosial nasional dan jaminan sosial PNS, dan
lembaga keuangan tertentu.
a. Dukungan dan/atau Jaminan Pemerintah pada Proyek Pembangunan Infrastruktur
Risiko fiskal yang memiliki keterkaitan atas proyek pembangunan infrastruktur berasal dari
dukungan dan/atau jaminan yang diberikan oleh Pemerintah terhadap beberapa proyek, yaitu
percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000 MW atau Fast Track Program
(FTP) Tahap I dan Tahap II, percepatan penyediaan air minum, proyek kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha (KPBU), percepatan pembangunan jalan tol trans Sumatera,

14
pembiayaan infrastruktur melalui pinjaman langsung dari Lembaga Keuangan Internasional
kepada Badan Usaha Milik Negara dan penyediaan pembiayaan infrastruktur daerah melalui
penugasan kepada PT SMI (Persero). Pemberian dukungan/jaminan ini membawa
konsekuensi fiskal bagi Pemerintah dalam bentuk dukungan peningkatan kewajiban
kontinjensi Pemerintah yang kemudian dapat menjadi tambahan potensi beban bagi APBN
apabila terjadi gagal bayar (default).

b. Risiko Program Jaminan Sosial Nasional dan Jaminan PNS


Program jaminan sosial nasional merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 40 tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yang telah diimplementasikan
sejak 1 Januari 2014 untuk program jaminan sosial kesehatan dan 1 Juli 2015 untuk program
jaminan sosial ketenegakerjaan. Potensi risiko fiskal dari penyelenggaraan program jaminan
sosial nasional bersumber dari ketidaksesuaian antara penerimaan iuran dengan pembayaran
klaim manfaat program jaminan sosial. Sementara penyelenggaraan Jaminan Sosial Pegawai
Negeri Sipil, sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
mengamanatkan kepada Pemerintah untuk memberikan Jaminan Pensiun (JP), Jaminan Hari
Tua (JHT), dan perlindungan antara lain berupa Jaminan Kesehatan (JK), Jaminan
Kecelakaan Kerja (JKK), dan Jaminan Kematian (JKm) kepada ASN. Saat ini baru program
JKK dan JKm bagi ASN yang telah diimplementasikan. Sedangkan program JP dan JHT
masih dalam proses pembahasan desain program. Perubahan skema atau desain program JP
dan JHT bagi PNS diyakini menjadi potensi risiko fiskal yang cukup besar apabila tidak
didesain secara cermat dan hati-hati.

c. Risiko Fiskal dari Lembaga Keuangan Tertentu


Risiko fiskal yang berasal dari Lembaga Keuangan Tertentu timbul karena adanya peraturan
perundangan yang mewajibkan Pemerintah untuk menambah modal lembaga keuangan, yaitu
Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia (LPEI), dalam hal modal lembaga keuangan tersebut di bawah jumlah tertentu.
Oleh karena itu, Pemerintah perlu melakukan pemantauan terhadap kegiatan serta
perkembangan posisi permodalan dari Lembaga Keuangan tersebut agar tidak menimbulkan
potensi risiko fiskal.
Risiko fiskal lainnya yang bersumber dari Lembaga Keuangan Tertentu adalah risiko
penugasan khusus ekspor kepada LPEI. Sumber risiko penugasan khusus terjadi dalam hal
adanya kejadian gagal bayar atas penugasan khusus, dan program ekspor yang dijadikan
penugasan tidak memberikan manfaat secara perekonomian sehingga tidak menghasilkan
devisa bagi negara.

15
V. ANALISIS PEMBIAYAAN
Pembiayaan tidak akan terjadi apabila negara tidak mengalami defisit pada APBN-nya.
Perkembangan defisit APBN dapat terlihat dari grafik di bawah ini.

Defisit APBN setiap tahunnya meningkat, sehingga dibutuhkan pembiayaan untuk dapat memastikan
bahwa kegiatan yang direncanakan dapat dilaksanakan. Defisit APBN terhadap GDP ditetapkan
maksimal pada angka 3%. Dalam kurun waktu 2012 sampai dengan 2016, rasio defisit terhadap PDB
masih dibawah 3% namun semakin mendekati angka 3%. Defisit APBN sejak tahun 2012 sampai
dengan 2016 lebih banyak didanai dengan Surat Berharga Negara. Peningkatan pembiayaan melalui
Surat Berharga Negara merupakan langkah pemerintah untuk meningkatkan kemandirian dalam hal
pembiayaan, mendukung perkembangan pasar keuangan di Indonesia dan biaya yang lebih murah
dibandingkan pembiayaan melalui pnjaman.

16
Peningkatan defisit APBN pada tahun 2015 dan 2016 terjadi akibat adanya pembangunan
infrastruktur besar – besaran yang dilakukan oleh presiden Joko Widodo. Presiden Joko Widodo
memusatkan pembangunan infrastruktur pada sektor transportasi, mulai dari pembangunan rel kereta
api, pembangunan bandara, pembangunan jalan tol, program tol laut dan infrastruktur transportasi
lainnya. Fokus pada pembangunan sarana infrastruktur adalah agar dapat memudahkan distribusi
barang ke semua daerah di Indonesia sehingga diharapkan harga barang antar pulau di Indonesia tidak
memiliki perbedaan yang terlalu besar. Selain itu pembangunan sarana transportasi dapat merangsang
geliat perekonomian di suatu daerah dan membuka potensi pariwisata suatu daerah.

Selain memperbanyak pembiayaan melalui instrument surat berharga negara, sejak tahun 2012 sampai
dengan 2016, pemerintah lebih banyak melakukan pembiayaan dalam negeri dibandingkan
pembiayaan luar negeri. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kontrol terhadap risiko nilai tukar rupiah
terhadap mata uang luar negeri.

Berdasarkan data dari Laporan Realisasi Anggaran dari tahun 2012 sampai dengan 2016,
menunjukkan bahwa proporsi realisasi pembiayaan luar negeri sangat kecil dibandingkan dengan
pembiayaan dalam negeri.

Dari tabel di atas terlihat bahwa pembiayaan LN neto memiliki jumlah yang jauh lebih kecil jika
dibandingkan dengan pembiayaan DN neto. Selain itu jumlah pembiayaan LN neto menunjukkan
angka negative, hal ini menunjukkan bahwa pemerintah lebih banyak melakukan pembayaran cicilan

17
pokok dibandingkan dengan penarikan pinjaman luar negeri. Namun perubahan pembiayaan Luar
Negeri neto setiap tahun mengalami perubahan yang cukup fluktuatif.

2013 2014 2015 2016


Pembiayaan DN Neto 22% 7% 18% 12%
Pembiayaan LN Neto 75% -113% 223% 168%

Pada tahun 2013, realisasi pembiayaan LN neto mengalami peningkatan sebesar 75% dari tahun 2012,
sedangkan pada tahun 2014 pembiayaan LN neto mengalami penurunan sebesar 113% dari tahun
2013. Namun pembiayaan luar negeri neto pada tahun 2015 dan 2016 kembali meningkat dari tahun
sebelumnya di masing - masing sebesar 223% dan 168%. Peningkatan pembiayaan LN neto di tahun
2015 dan 2016 diakibatkan oleh adanya peningkatan di penarikan pinjaman luar negeri. Penarikan
pinjaman luar negeri terdiri dari pinjaman program dan pinjaman proyek. Pinjaman program
merupakan pinjaman yang diterima dalam bentuk cash financing yang memerlukan policy matrix
untuk pencairannya. Pinjaman program digunakan untuk membiayai defisit tunai APBN. Sedangkan
pinjaman proyek digunakan untk membiayai kegiatan/proyek pembangunan tertentu.

Dari tabel di atas dapat kita lihat bahwa penarikan pinjaman program lebih besar jika dibandingkan
dengan pinjaman proyek. Hal ini mengindikasikan bahwa pembiayaan luar negeri yang dilakukan
lebih banyak dilakukan untuk mendanai defisit APBN dibandingkan dengan mandanai suatu proyek
tertentu. Penggunaan pinjaman untuk proyek tentunya lebih baik dibandingkan dengan pinjaman
dalam bentuk cash, karena pinjaman dalam bentuk proyek akan menghasilkan aset tetap yang
memiliki nilai manfaat lebih dibandingkan dengan pinjaman dalam bentuk cash.

Dari tabel di atas terlihat bahwa penarikan pinjaman program meningkat drastis di tahun 2015 jika
dibandingkan dengan penarikan pinjaman program di tahun 2014.

18
KESIMPULAN
Setiap tahun defisit APBN terus bertambah, hal ini menyebabkan pemerintah harus mencari sumber
pendanaan untuk menutup defisit tersebut. Pembiayaan APBN terdiri dari pembiayaan dalam negeri
dan pembiayaan luar negeri. Dari Laporan Realisasi Anggaran, jumlah pembiayaan dalam negeri
memiliki jumlah yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pembiayaan luar negeri. Hal ini
menunjukkan bahwa pemerintah berupaya menurunkan risiko – risiko pembiayaan yang ada. Dengan
peningkatan pembiayaan dalam negeri, pemerintah telah menurunkan risiko nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing. Pemerintah juga dapat melakukan pembiayaan dengan biaya yang lebih
rendah. Selain itu penggunaan surat berharga negara yang lebih besar jika dibandingkan pinjaman,
menunjukkan upaya pemerintah untuk turut mengembangkan pasar keuangan di Indonesia dan
meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berinvestasi melalui instrument ritelnya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiaaan dan Risiko – Kementerian Keuangan. Profil Utang dan
Penjaminan Pemerintah Pusat Bulan Juli 2017.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiaaan dan Risiko – Kementerian Keuangan. Pegungkapan


Risiko Fiskal Dalam Nota Keuangan 2017.

Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2012 Audited

Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2013 Audited

Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2014 Audited

Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2015 Audited

Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2016 Audited

20

Você também pode gostar