Você está na página 1de 3

Bergerak

By : Rhenald Kasali

“Sebagian besar orang yang melihat belum tentu bergerak, dan yang bergerak belum tentu
menyelesaikan (perubahan). ”

Kalimat ini mungkin sudah pernah Anda baca dalam buku baru Saya, “ChaNge”. Minggu lalu,
dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Indosat, iseng-iseng Saya mengeluarkan dua
lembaran Rp 50.000. Ditengah-tengah ratusan orang yang tengah menyimak isi buku, Saya
tawarkan uang itu. “Silahkan, siapa yang mau boleh ambil,” ujar Saya. Saya menunduk ke
bawah menghindari tatapan ke muka audiens sambil menjulurkan uang Rp 100.000.

Seperti yang Saya duga, hampir semua audiens hanya diam terkesima. Saya ulangi kalimat
Saya beberapa kali dengan mimik muka yang lebih serius. Beberapa orang tampak tersenyum,
ada yang mulai menarik badannya dari sandaran kursi, yang lain lagi menendang kaki
temannya. Seorang ibu menyuruh temannya maju, tetapi mereka semua tak bergerak.
Belakangan, dua orang pria maju ke depan sambil celingak-celinguk. Orang yang maju dari sisi
sebelah kanan mulanya bergerak cepat, tapi ia segera menghentikan langkahnya dan
termangu, begitu melihat seseorang dari sisi sebelah kiri lebih cepat ke depan. Ia lalu kembali
ke kursinya.

Sekarang hanya tinggal satu orang saja yang sudah berada di depan Saya. Gerakannya begitu
cepat, tapi tangannya berhenti manakala uang itu disentuhnya. Saya dapat merasakan tarikan
uang yang dilakukan dengan keragu-raguan. Semua audiens tertegun.

Saya ulangi pesan Saya, “Silahkan ambil, silahkan ambil.” Ia menatap wajah Saya, dan Saya
pun menatapnya dengan wajah lucu. Audiens tertawa melihat keberanian anak muda itu. Saya
ulangi lagi kalimat Saya, dan Ia pun merampas uang kertas itu dari tangan Saya dan kembali
ke kursinya. Semua audiens tertawa terbahak-bahak. Seseorang lalu berteriak, “Kembalikan,
kembalikan!” Saya mengatakan, “Tidak usah. Uang itu sudah menjadi miliknya.”

Setidaknya, dengan permainan itu seseorang telah menjadi lebih kaya Rp.100.000. Saya tanya
kepada mereka, mengapa hampir semua diam, tak bergerak. Bukankah uang yang Saya
sodorkan tadi adalah sebuah kesempatan? Mereka pun menjawab dengan berbagai alasan:

“Saya pikir Bapak cuma main-main ………… ”


“Nanti uangnya toh diambil lagi.”
“Malu-maluin aja.”
“Saya tidak mau kelihatan nafsu. Kita harus tetap terlihat cool!”
“Saya enggak yakin bapak benar-benar akan memberikan uang itu …..”
“Pasti ada orang lain yang lebih membutuhkannya. …”
“Saya harus tunggu dulu instruksi yang lebih jelas…..”
“Saya takut salah, nanti cuma jadi tertawaan doang……. ..”
“Saya, kan duduk jauh di belakang…”
dan seterusnya.

Saya jelaskan bahwa jawaban mereka sama persis dengan tindakan mereka sehari-hari.
Hampir setiap saat kita dilewati oleh rangkaian opportunity (kesempatan) , tetapi
kesempatan itu dibiarkan pergi begitu saja. Kita tidak menyambarnya, padahal kita ingin agar
hidup kita berubah. Saya jadi ingat dengan ucapan seorang teman yang dirawat di sebuah
rumah sakit jiwa di daerah Parung. Ia tampak begitu senang saat Saya dan keluarga
membesuknya. Sedih melihat seorang sarjana yang punya masa
depan baik terkerangkeng dalam jeruji rumah sakit bersama orang-orang tidak waras. Saya
sampai tidak percaya ia berada di situ. Dibandingkan teman-temannya, ia adalah pasien yang
paling waras. Ia bisa menilai “gila” nya orang di sana satu persatu dan berbicara waras
dengan Saya. Cuma, matanya memang tampak agak merah. Waktu Saya tanya apakah ia
merasa sama dengan mereka, ia pun protes. “Gila aja….ini kan gara-gara saudara-saudara
Saya tidak mau mengurus Saya. Saya ini tidak gila.
Mereka itu semua sakit…..”. Lantas, apa yang kamu maksud ’sakit’?”

“Orang ’sakit’ (gila) itu selalu berorientasi ke masa lalu, sedangkan Saya selalu berpikir ke
depan. Yang gila itu adalah yang selalu
mengharapkan perubahan, sementara melakukan hal yang sama dari hari ke hari…..,” katanya
penuh semangat.” Saya pun mengangguk-angguk.

Pembaca, di dalam bisnis, gagasan, pendidikan, pemerintahan dan sebagainya, Saya kira kita
semua menghadapi masalah yang sama. Mungkin benar kata teman Saya tadi, kita semua
mengharapkan perubahan, tapi kita tak tahu harus mulai dari mana. Akibatnya kita semua
hanya melakukan hal yang sama dari hari ke hari, Jadi omong kosong perubahan akan datang.
Perubahan hanya bisa datang kalau orang-orang mau bergerak bukan hanya dengan omongan
saja.

Dulu, menjelang Soeharto turun orang-orang sudah gelisah, tapi tak banyak yang berani
bergerak. Tetapi sekali bergerak, perubahan seperti menjadi tak terkendali, dan perubahan
yang tak terkendali bisa menghancurkan misi perubahan itu sendiri, yaitu perubahan yang
menjadikan hidup lebih baik. Perubahan akan gagal kalau pemimpin-pemimpinnya hanya
berwacana saja. Wacana yang kosong akan destruktif.

“Manajemen tentu berkepentingan terhadap bagaimana menggerakkan orang-orang yang tidak


cuma sekedar berfikir, tetapi berinisiatif, bergerak, memulai, dan seterusnya.”

Get Started. Get into the game. Get into the playing field, Now. Just do it!

“Janganlah mereka dimusuhi, jangan inisiatif mereka dibunuh oleh orang-orang yang
bermental birokratik yang bisanya cuma bicara di dalam rapat dan cuma membuat peraturan
saja.”
Makanya tranformasi harus bersifat kultural, tidak cukup sekedar struktural. Ia harus bisa
menyentuh manusia, yaitu manusia-manusia yang aktif, berinisiatif dan berani maju.

Manusia pemenang adalah manusia yang responsif. Seperti kata Jack Canfield, yang menulis
buku Chicken Soup for the Soul, yang membedakan antara winners dengan losers adalah :

“Winners take action…they simply get up and do what has to be done…”.

Selamat bergerak!

Você também pode gostar