Você está na página 1de 39

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 KONSEP ANDROPAUSE

2.1.1 Definisi Andropause

Kata andropause dibentuk dengan menggabungkan dua kata Yunani yaitu

Andras dalam bahasa Yunani yang berarti manusia laki-laki, Jeda dalam bahasa

Yunani berarti penghentian. Andropause adalah suatu kondisi yang timbul pada saat

maskulinitas menurun, oleh karena itu andropause adalah sindrom dimana perubahan

yang menyertai penuaan terkait dengan tanda-tanda dan gejala defisiensi androgen

pada pria yang lebih tua (usia> 50 tahun). Tanda dan gejala yang disertai dengan

tingkat serum testosterone yang rendah (Balasubramanian et al., 2012).

Andropause juga disebut oleh beberapa ahli sebagai Androgen Deficiency in

the Aging Male (ADAM), Artial Androgen Deficiency in the Aging Male (PADAM)

atau Aging-Associated Androgen Deficiency (AAAD). Istilah menopause pria tidak

pantas karena tidak ada gangguan atau penghentian menstruasi, dan viropause tidak

akurat karena tidak ada kehilangan virilisasi (Matsumoto et al., 2002; Morley et al.,

2003).

Andropause mengacu pada sindrom endokrin, somatik, dan perubahan psikis

yang terjadi pada laki-laki normal dengan penuaan. Istilah ini menekankan sifat

multidimensi perubahan yang berkaitan dengan usia, termasuk penurunan hormon

lain seperti hormon pertumbuhan (GH), Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1),

7
8

Dehydroepiandrosterone (DHEA), dan melatonin, tetapi tidak berhubungan aspek

sindrom penuaan laki-laki secara khusus dengan tingkat androgen. Istilah andropause

tidak sepenuhnya akurat karena sekresi androgen tidak berhenti sama sekali.

Andropause merupakan satu-satunya istilah yang berhubungan dengan sindrom

perubahan fisiologis yang berkaitan dengan usia dengan penurunan bertahap dan

progresif di tingkat testosteron yang terjadi dengan penuaan, andropause saat ini

digunakan para ahli untuk mempertahankan beberapa analogi dengan menopause

pada wanita (Matsumoto et al., 2002).

Penurunan hormon androgen pada pria andropause mengakibatkan keluhan

baik secara fisik maupun psikis sebab androgen memainkan peran penting dalam

pengembangan dan pemeliharaan fungsi reproduksi dan seksual laki-laki. Rendahnya

tingkat sirkulasi androgen dapat menyebabkan gangguan pada perkembangan seksual

laki-laki, menghasilkan kelainan bawaan pada saluran reproduksi laki-laki.

Rendahnya kadar androgen juga menyebabkan kesuburan berkurang, disfungsi

seksual, penurunan pembentukan otot dan mineralisasi tulang, gangguan metabolisme

lemak, dan disfungsi kognitif. Kadar testosteron menurun sebagai proses penuaan.

Gejala dan keluhan akibat penurunan hormon testosteron pada pria dapat memperoleh

manfaat dari terapi testosteron (Nieschlag et al., 2010).

2.1.2 Patofisiologi

Produksi testosteron pada pria dikendalikan oleh hipotalamus - hipofisis -

gonad (HPG) axis. Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) disekresikan dari

hipotalamus, sehingga merangsang kelenjar hipofisis untuk melepaskan hormon


9

luteinizing (LH), yang bekerja pada sel-sel testis Leydig untuk memproduksi

testosteron (Tunuguntla, 2005).

Sembilan puluh delapan persen dari testosteron dalam plasma terikat dengan

protein, 65 % dengan sex hormone binding globulin ( SHBG ) dan 33 % dengan

albumin, hanya terdapat 2 % testosteron bebas dalam serum. Bentuk non SHBG

terikat testosteron bersama dengan testosteron bebas, merupakan fraksi aktif biologis

testosteron. Hipotalamus-Pituitari-Gonad (HPG) merupakan sumbu kompleks dan

berinteraksi dengan sejumlah sistem endokrin lainnya, produksi hormon juga

dipengaruhi oleh penuaan. Sejumlah hormon mengalami penurunan akibat dari proses

penuaan, seperti halnya hormon androgenik (dehydroepiandrosterone dan sulfatnya)

yang dilepaskan dari kelenjar adrenal. Hormon melatonin yang disekresikan dari

pineal juga berkurang jumlahnya dengan adanya penuaan, dimana hormon ini

bertanggung jawab untuk gangguan tidur dan biorhythms. Level growth hormone

juga mengalami penurunan dengan adanya proses penuaan sehingga menurunkan

massa dan kekuatan otot, hal ini terlihat juga pada pria dengan keadan hipogonadisme

(Leifke et al., 2000).

Kadar hormon estrogen dan kortikosteroid pada pria tidak tampak signifikan

berubah pada saat proses penuaan. Penelitian terbaru membuktikan bahwa hormon

yang diproduksi oleh adiposit, leptin dapat berperan dengan androgen dalam

mempertahankan massa tubuh. Menurunnya tingkat testosteron total terlihat pada pria

hanya dalam dekade keenam kehidupan. Pengurangan kadar testosteron bebas terjadi

sebelumnya (1 % penurunan per tahun antara usia 40 tahun dan 70 tahun ). Penurunan
10

ini disebabkan oleh konsentrasi SHBG meningkat pada tingkat 1,2 % pertahun.

Fraksi testosteron bebas menurun secara proporsional seiring dengan peningkatan

jumlah situs testosteron mengikat SHBG. Penuaan berimbas pula pada fungsi sel

Leydig dan menunkan sensitivitas HPG axis. Sekitar 7% pria diantara 40-60 tahun,

20 % pada pria antara usia 60-80 tahun, dan 35 % lebih dari 80 tahun memiliki

konsentrasi total testosterone rendah, dibawah tingkat normal 350 ng/dL (Tunuguntla,

2005).

SHBG

Gambar 2.1
Perbandingan testosteron dalam sirkulasi pada pria muda dan tua
(Sumber : Morley et al., 2003)

2.1.3 Fisiologi Penurunan Hormon Testosteron

Testosteron merupakan hormon seks steroid pria (androgen) yang terpenting,

yang terbentuk dari kolesterol. Testosteron disekresikan oleh sel-sel interstitial

Leydig di dalam testis. Testis mensekresi beberapa hormon kelamin pria, yang secara

bersamaan disebut dengan androgen, termasuk testosteron, dehidrotestosteron dan


11

androstenedion. Testosteron jumlahnya lebih banyak dari yang lain sehingga dapat

dianggap sebagai hormon testiskuler yang terpenting, walaupun sebagaian besar

testosteron diubah menjadi hormon dehidrotestosteron yang lebih aktif pada jaringan

target.

Sebelum testosteron menjadi bioaktif biasanya androgen ini harus diubah

terlebih dulu menjadi dehidrotestosteron pada sel-sel target. Androgen pada

umumnya (testosteron, dehidrotestosteron, androstenedion, 17-ketosteroid) sangat

dibutuhkan untuk perkembangan sifat-sifat seks primer maupun sekunder

(maskulinitas) pada laki-laki. Testosteron sebagian besar (95%), disekresikan oleh

sel-sel Sertoli di dalam jaringan testis yang berada di antara jaringan-jaringan

interstitial yang hanya merupakan sekitar 5% dari seluruh jaringan testis. Testosteron

sisanya diproduksi oleh kelenjar adrenal. Disamping hormon-hormon steroid yang

disebutkan, testis masih memproduksi androgen yang kurang poten (bersifat

androgen lemah) seperti DHEA dan androstendion (Gerhard et al,. 2010).

Sel-sel Leydig selain memproduksi estradiol, masih juga mensekresikan

(dalam jumlah yang sangat kecil) estron, pregnenolon, progesteron, 17-alfa-hidroksi-

progesteron. Perlu diingat bahwa tidak semua dehidrotestosteron dan estradiol

disekresikan oleh sel-sel Leydig dari testis, tapi hormon-hormon seks steroid dapat

juga dibentuk oleh prekursor androgen dan estrogen pada jaringan perifer lainnya,

seperti kelenjar adrenalin bahkan 80% dari hormon steroid tadi yang dapat ditemukan

dalam peredaran darah berasal dari prekursor androgen (Rolf et al,. 2010).
12

Androgen dalam peredaran darah pada umumnya didapatkan dalam bentuk

yang terikat dengan suatu molekul protein (binding protein). Hanya sebagian kecil

testosteron saja di dalam peredaran darah terdapat dalam bentuk yang bebas sebagai

free testosterone. Free testosterone hanya dapat ditemukan sekitar 2% saja. Sekitar

38% testosteron terikat pada protein albumin, selebihnya sebanyak 60% terikat pada

globulin (SHBG) sex hormone binding globulin. Ikatan itu terkadang juga ditemukan

sebagai testosterone-estradiol-binding-globulin. Dengan ikatan-ikatan seperti itu

androgen-androgen menjadi lebih mudah dapat memasuki sel-sel targetnya dan

memberikan efek fisiologiknya (Rolf et al,. 2010).

Pada sel-sel target testosteron pada umumnya akan diubah menjadi

dehidrotestosteron, namun di dalam hepar sebagian besar testosteron akan diubah

menjadi berbagai macam metabolit, misalnya menjadi androsteron, epiandrosteron

dan etiokholanolon. Metabolit-metabolit tersebut setelah berkonjugasi dengan

glucuronic acid akan dikeluarkan melalui urin sebagai 17-ketosteroid. Dalam

penentuan kadar 17-ketosteroid di dalam urin, perlu disadari bahwa hanya sekitar 20-

30% ketosteroid urin itu berasal dari testosteron, sedangkan selebihnya berasal dari

metabolit hormon steroid adrenalis dan lainnya. Dengan demikian penentun kadar 17-

ketosteroid, urin tidak dapat mewakili atau dijadikan pedoman untuk menentukan

kadar steroid dari testis (Rolf et al,. 2010).

Nilai rujukan normal testosteron total adalah 300-1000 ng/dl. Sedangkan

kadar testosteron pada pria dewasa adalah sebagai berikut: free testosterone sebesar

0,47 – 2,44 ng/dl atau 1,6% -2,9%. Kadar hormon pada pria dianggap andropause
13

apabila dibawah 200 ng/dl (7 nmol/l), kadar maksimal hormon testosteron pada pria

andropause (usia > 50 tahun) diatas 720 ng/dl atau < 0,23 nmol/l untuk kadar free

testosterone (Rosner et al., 2007).

Kadar hormon testosteron pada pria Indonesia untuk testosteron bebas pada

usia 40-59 tahun sebesar 7.2-23 pg/ml, pada usia 60-80 tahun sebesar 5.6-19 pg/ml.

Nilai total testosterone pada pria Indonesia sebesar 280-800 ng/dl. Pria pada usia 45-

59 tahun mulai merasakan gejala dan keluhan andropause pada tingkat rata-rata

testosterone bebas sebesar 10.97 pg/ml dan kadar testosterone total sebesar 461.61

ng/dl. Pria pada usia 60-70 tahun merasakan gejala dan keluhan andropause pada

level testosterone bebas sebesar 10.10 pg/ml serta kadar testosteron total sebesar

493.99 ng/dl (Pangkahila, 2009).

Testosteron total terdiri dari 60% testosteron terikat globulin, 38% testosteron

terikat albumin, dan 2% testosteron bebas. Komponen aktif dari testosteron adalah

testosteron terikat albumin dan testosteron bebas yang kemudian diubah oleh enzim

menjadi estradiol (dengan aromatase) dan dehidrotestosteron (dengan 5α reduktase).

Free androgen index (FAI) menunjukan hubungan antara konsentrasi testosteron

dengan protein pengikat androgen (Rolf et al,. 2010).

2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penurunan Hormon Testosteron

Penurunan hormon pada hipogonad terjadi secara perlahan sehingga

seringkali tidak menimbulkan gejala. Keluhan baru timbul jika ada penyebab lain

yang mempercepat penurunan hormon testosteron dan hormon-hormon lainnya.


14

Beberapa faktor dibawah ini menjadi penyebab penurunan hormon testosteron antara

lain :

1. Faktor internal

Pengaruh internal bisa dari tubuhnya sendiri atau genetik. Terjadi karena

adanya perubahan hormonal/organik. Juga bisa karena sudah mengidap

penyakit tertentu seperti hipertensi, hiperkolesterol, obesitas atau DM.

2. Faktor eksternal

Pengaruh eksternal bisa didapat dari faktor lingkungan yang tidak lain

kondusif. Dapat bersifat fisik seperti kandungan bahan kimia bersifat

estrogenik yang sering digunakan dalam bidng pertanian,pabrik dan rumah

tangga. Juga dapat karena faktor psikis seperti kebisingan dan perasaan tidak

nyaman. Gaya hidup tidak sehat seperti merokok, minum-minuman keras,

pola makan tidak seimbang (Zen et al., 2009).

2.1.5 Gejala dan Keluhan akibat Penurunan Hormon Testosteron

1. Gangguan vasomotor

Tubuh terasa panas, berkeringat, insomnia, rasa gelisah dan takut terhadap

perubahan yang terjadi.

2. Gangguan fungsi kognitif dan suasana hati (psikis)

Mudah lelah, menurunnya konsentrasi, berkurannya kerjasama mental,

keluhan depresi, dan hilanya rasa percaya diri, menurunnya motivasi dan

inisiatif terhadap berbagai hal.

3. Gangguan virilitas
15

Menurunnya energi dan tenaga secara signifikan menurunnya kekuatan dan

massa otot, perubahan pertumbuhan rambut dan kualitas kulit, penumpukan

lemak pada daerah abdominal dan osteoporosis, karena berkurannya massa

tulang/densitas tulang, fraktur tulang yang meningkat.

4. Gangguan seksual

Menurunnya minat terhadap seksual, perubahan tingkah laku dan aktifitas

seksual, kualitas orgasme menurun, berkurannya kemampuan ereksi spontan,

berkurannya kemampuan ejakulasi, mengecilnya testis dan menurunnya

volume ejakulasi, menurunnya libido yang berimbas pada menurunnya minat

terhadap aktivitas seksual (Matsumoto et al., 2002 ; Nandy et al., 2008).

2.2 ANATOMI PENIS

2.2.1 Penis Manusia

Penis adalah alat kelamin eksternal dan merupakan organ kopulasi pria yang

juga berfungsi sebagai saluran keluar bersama urin dan semen. Penis terdiri atas: 1)

radix penis yang melekat pada regio (trigonum) urogenitale perineum, 2) korpus yang

tertutup sempurna oleh kulit, dan 3) glans penis yang berbentuk kerucut bulat. Radix

penis terdiri atas tiga masa jaringan erektil pada trigonum urogenitale, yakni dua buah

crus dan satu bulbus penis. Masing-masing crus penis melekat erat pada tepi ramus

ischiopubis pelvis dan tertutup oleh muskulus ischiocavernosus. Dekat tepi inferior

simpisis pubis, kedua crus tersebut membelok ke arah bawah dan depan menjadi

korpus kavernosum. Sewaktu melintas ke arah anterior, crus penis bersatu dengan

pasangannya. Bulbus penis berada di antara crura penis dan melekat pada aspek
16

inferior membran perinealis. Kearah anterior bulbus penis menyempit menjadi korpus

spongiosum, membelok ke arah bawah dan depan. Bulbus penis diliputi oleh

m.bulbospongiosus ditembus oleh uretra pars kavernosa yang melintas sampai glans

penis. Bagian uretra yang berada dalam bulbus penis ini memiliki pelebaran, sebagai

fossa intrabulbar. Kulit penis orang dewasa sangat tipis dan berwarna agak gelap dan

longgar (Gunardi, 2007 ; Jordan et al., 2012).

Korpus penis terdiri atas tiga masa erektil panjang, yang mampu membesar

bila terisi darah sewaktu ereksi. Korpus memiliki permukaan yang penamaannya

didasarkan sewaktu ereksi, permukaan sebelah posterosuperior penis disebut dorsum

penis dan aspek lawannya disebut permukaan uretral. Masa-masa erektil tersebut

adalah korpora kavernosa kanan dan kiri serta korpus spongiosum penis yang

letaknya digaris tengah permukaan uretral korpora kavernosa penis. Masa-masa

erektil ini saling melekat erat pada seluruh panjangnya. Tunika albuginea lapis luar

menutupi ketiga masa jaringan erektil ini. Tunika albuginea lapis dalam menutupi

korpora kavernosa penis dan terpisah dengan tunika albuginea lapis dalam yang

menutupi korpus spongiosum. Ujung korpora kavernosa berada dalam cekungan pada

aspek proksimal glans penis. Permukaan dorsal korpus penis berisi vena dorsalis

penis profunda. Dari sini, ke arah lateral kanan dan kiri, berturut-turut dijumpai arteri

dorsalis penis dan nervus dorsalis penis (Young et al., 2000).

Korpus spongiosum penis dilintasi uretra. Dekat ujung penis, korpus

spongiosum membesar, membentuk bangunan semu kerucut yang disebut glans

penis. Basis glans penis mempunyai proyeksi melebar yang disebut korona glandis; di
17

belakang korona glandis ini terdapat penyempitan yang disebut kolum penis. Fossa

navicularis urethrae berada dalam glans penis dan bermuara lewat celah sagital pada

atau dekat apeks glans penis yang dikenal sebagai orificium urethrae externum

(Gunardi, 2007).

Kulit penutup glans penis terlipat, membentuk preputium penis. Bagian dalam

lapis preputium ini dilekatkan pada glans penis dan tepi mukosa orificium urethrae

externum melalui sebuah lipatan mukosa digaris tengah yang disebut frenulum

preputii. Sensitivitas kulit sekitar frenulum preputii sangat tinggi. Pada korona

glandis dan kolum penis dijumpai kelenjar-kelenjar sebasea yang menghasilkan

smegma (Young et al., 2000).

2.2.2 Anatomi Penis Tikus

Pada beberapa mamalia termasuk tikus, penis sebagai organ kopulasi untuk

mentransfer sperma dari hewan jantan ke betina. Penis memiliki 3 jaringan erektil

yaitu 2 korpora kavernosa yang terletak di bagian ventral di sisi kiri kanan penis dan

satu korpus spongiosum yang terletak di bagian dorsal. Tiap korpus kavernosum

dikelilingi oleh selapis membran tebal yaitu tunika albuginea yang terdiri dari ikatan-

ikatan jaringan kolagen, jaringan fibrous, dan otot-otot polos. Bagian-bagian ini

dipisahkan oleh endotel yang selanjutnya berhubungan dengan pembuluh darah

(Kelly, 2000).

Penis memiliki jaringan tulang yang dinamakan os. Penis atau baculum.

Baculum meningkatkan kekakuan dari penis, yang akan membesar dan berubah

bentuknya seiring dengan pertambahan usia hewan. Baculum menempati 28% dari
18

ujung distal penis, sedangkan korpus kavernosum menempati sebagian besar panjang

penis. Baculum dikelilingi oleh ruang vaskuler dari korpus spongiosum dan ujung

proksimalnya berdempetan dengan bagian distal korpus kavernosum oleh selapisan

fibrokartilago. Potongan melintang dari baculum dan korpus kavernosum

memperlihatkan bahwa kedua struktur dipisahkan oleh selapisan jaringan

fibrokartilago dengan ketebalan rata-rata 0,001 mm, serat-serat kolagen pada dinding

korpus spongiosum berbatasan langsung dengan baculum (Kelly, 2000).

Korpus kavernosum terdiri atas ruang-ruang vaskuler tunggal dan dikelilingi

dinding tebal yakni tunika albuginea. Ruang vaskuler bentuknya agak elips, pada

bagian ventral terdapat lekukan berbentuk tapal kuda yang dikelilingi oleh korpus

spongiosum. Tunika albuginea terdiri atas serat-serat kolagen dalam bentuk ikatan

paralel beraturan (Kelly, 2000).

Gambar 2.2
Anatomi Penis Tikus (Sumber : Kelly, 2000)
19

2.3 KONSEP HORMON TESTOSTERON

Testosteron adalah hormon seks pria yang tergolong hormon androgen. Istilah

androgen berarti hormon steroid yang mempunyai efek maskulinisasi, terdiri atas

testosteron, dihidrotestosteron, dan androstenedion. Testosteron merupakan hormon

utama dan terpenting diantara ketiganya, sedangkan dihidrotestosteron dan

androstenedion adalah bentuk androgen yang lemah. Semua androgen merupakan

senyawa steroid baik dalam testis maupun dalam adrenal, androgen dapat dibentuk

dari kolesterol atau langsung dari asetil koensim A.

2.3.1 Sintesis, Sekresi, dan Regulasi

Testosteron terutama disintesis dan disekresikan oleh testis. Testis

memproduksi antara 5-7 mg/hari atau sekitar 95% dari total produksi pada pria

dewasa, sisanya diproduksi oleh zona retikularis korteks adrenal. Pelepasan

testosteron mempunyai ritme sirkadian (circadian rhythm) dengan levelnya pada

sirkulasi mencapai puncaknya antara pukul 06.00-08.00 dan level terendah antara

pukul 18.00-20.00. Testosteron disintesis dari kolesterol pada sel Leydig testis.

Sumber kolesterol ini bisa berasal dari sintesis pada sel Leydig dan sirkulasi. Untuk

mempertahankan testosteron pada tingkat yang tepat maka kecepatan produksi harus

seimbang dengan metabolisme dan ekskresi. Pengaturan sintesis dan sekresi

testosteron adalah melalui Hypothalamic-Pituitary-Testicular Axis. Hipothalamus

mensekresi Gonadotrophin-Releasing Hormone (GnRH) yang mengatur sekresi LH

dan FSH (Follicle-Stimulating Hormone) dari hipofisis (pituitary) anterior. LH

menstimulasi sekresi testosteron dari sel Leydig dengan meningkatkan cyclic


20

adenosine monophosphate (cAMP) dan level kalsium intraseluler. Bila level

testosteron sudah mencukupi, maka testosteron akan menimbulkan negative-feed

back ke hipofisis dan hipothalamus. Sedangkan FSH utamanya berpengaruh terhadap

sel Sertoli untuk menginisiasi dan pemeliharaan proses spermatogenesis. FSH juga

menstimulasi sintesis dan pelepasan hormon inhibin dan activin dari sel Sertoli.

Inhibin menyebabkan negative-feed back ke hipofisis sehingga menekan pelepasan

FSH (Jones, 2012).

2.3.2 Testosteron pada Sirkulasi

Terdapat tiga fraksi testosteron pada serum. Proporsi yang paling besar (50-

80%) adalah testosteron yang terikat dengan sex hormone binding globulin (SHBG),

20-50% berikatan dengan albumin, dan 2-3% yang bebas atau tidak berikatan (free

testosteron). Free testosteron dimetabolisme dengan cepat oleh hepar dan mempunyai

half-life yang pendek, kira-kira 10 menit. Testosteron berikatan sangat kuat dengan

SHBG, tidak mempunyai efek biologis aktif dan mungkin berfungsi sebagai

simpanan hormon pada sirkulasi. Testosteron berikatan secara lemah dengan albumin

dan bisa lepas untuk menimbulkan efek biologis. Free testosteron dan testosteron

yang berikatan dengan albumin disebut bioavailable testosteron (Klingmuller et al.,

2006; Jones, 2012).

2.3.3 Metabolisme Testosteron

Testosteron dimetabolisme menjadi metabolit aktif dan inaktif. Metabolit aktif

testosteron adalah 17β-estradiol dan 5α-dihydrotestosterone (DHT). Testosteron

dikonversi menjadi 17β-estradiol oleh enzim aromatase. Enzim aromatase


21

mempunyai aktivitas yang tinggi pada jaringan lemak, khususnya pada lemak

visceral. Makin besar jumlah lemak maka produksi 17β-estradiol akan semakin besar.

Tempat lain aktivitas aromatase adalah pada testis, prostat, dan tulang. Konversi

testosteron menjadi DHT adalah oleh enzim 5α-reduktase. Proporsi testosteron yang

dikonversi menjadi 17β-estradiol dan DHT tergantung dari individu dan jenis

jaringan, misalnya produksi DHT lebih tinggi pada prostat dan estradiol lebih tinggi

pada tulang (Jones, 2012).

Testosteron dan androgen yang lain, termasuk DHT diinaktivasi melalui

reduksi, oksidasi, dan hidroksilasi oleh liver, yang kemudian berikatan dengan asam

glukoronat. Metabolit ini kemudian akan diekskresikan oleh ginjal (Jones, 2012).

2.3.4 Efek Biologis Testosteron dan Metabolitnya

Hormon testosteron secara langsung dapat menimbulkan efek biologis dan

dapat melalui metabolitnya yaitu DHT dan 17β-estradiol. Diferensiasi seksual pada

embrio, selama pubertas, dan memelihara virilisasi, utamanya tergantung dari

kombinasi efek dari testosteron dan DHT. DHT, mempunyai peran yang lebih besar

terhadap kedalaman suara, peningkatan produksi sebum, dan pembesaran dari

genetalia eksterna, termasuk panjang penis. Pentingnya DHT pada kasus ini, dapat

dibuktikan pada keadaan gangguan fungsi enzim 5α-reduktase, akan menyebabkan

terjadinya mikropenis (Jones, 2012).

Efek tostosteron dan DHT sangat tergantung dari topografi tubuh.

Pertumbuhan jenggot tergantung dari testosterone, sedangkan pertumbuhan rambut

aksila dan pubis tergantung dari DHT. DHT menghambat pertumbuhan rambut
22

kepala sehingga bisa menyebabkan kebotakan pada beberapa pria. Pertumbuhan dan

kekuatan otot tergantung dari testosteron dan tidak tergantung pada DHT. Testosteron

merangsang haematopoiesis melalui dua mekanisme, yaitu: menstimulasi produksi

erythropoietin renal dan ekstra-renal dan efek langsung pada sumsum tulang.

Estrogen (17β-estradiol) pada pria berguna untuk memelihara kekuatan tulang dan

penutupan epifisis. Pria dengan defisiensi enzim aromatase akan menjadi

osteoporosis. Terdapat banyak bukti bahwa testosteron mempunyai efek terhadap

metabolisme, meningkatkan sensitivitas insulin dan toleransi glukosa, pada

metabolisme lemak dapat menurunkan kadar kolesterol dan meningkatkan HDL

(high-density lipoprotein). Testosteron juga berefek sebagai vasodilator melalui efek

langsung terhadap otot polos. Estradiol juga berefek sebagai vasodilator melalui

pengaruhnya terhadap nitrit oksida. Testosteron mempunyai efek psikotropik yang

penting terhadap otak, yaitu dapat meningkatkan motivasi, meningkatkan mood dan

libido, meningkatkan fungsi kognitif seperti visual-spatial skill, memori jangka

pendek, dan kemampuan matematika (Sakka et al., 2010).

Disfungsi ereksi dihubungkan dengan terjadinya defisiensi testosteron.

Penelitian yang dilakukan pada binatang, menunjukkan bahwa kekurangan

testosterone menyebabkan kehilangan elastik fiber, digantikan dengan jaringan

kolagen pada tunika albuginea, selubung saraf, dan otot polos pembuluh darah. Lebih

jauh, ditemukan adanya jaringan lemak pada tunika albuginea dan korpus

kavernosum. Bukti-bukti ini menggambarkan bahwa testosteron berperan penting

dalam mempertahankan struktur penis dan untuk terjadinya aktivitas normal dari NO,
23

yang merupakan zat utama dalam proses terjadinya ereksi, sangat tergantung dari

testosterone (Sakka et al., 2010).

Setelah umur 40 tahun level testosteron akan turun 1-2% per tahun. Beberapa

studi melaporkan terjadi penurunan level testosteron mencapai kurang dari 12 nmol/l

pada pria umur 40-60 tahun sebesar 7%, 60-80 tahun sebesar 21%, dan umur lebih

dari 80 tahun sebesar 35%. Penurunan produksi testosteron ini terjadi karena

kegagalan pada hipothalamus, hipofisis, dan testis. Hal ini menyebabkan terjadinya

peningkatan kejadian osteoporosis, anemia, penurunan kognitif, depresi, metabolik

sindrom, dan disfungsi ereksi pada usia tua (Guyton dan Hall, 2002; Jones, 2012).

2.4 KONSEP TERAPI SULIH TESTOSTERON

Hipogonadisme mempengaruhi sekitar 40% dari pria berusia 45 tahun atau

lebih tua, meskipun kurang dari 5% dari orang-orang yang benar-benar didiagnosis

dan diobati untuk kondisi tersebut. Meskipun terdapat beberapa kontroversi, terapi

sulih testosteron telah ditetapkan sebagai pengobatan utama yang aman dan efektif

untuk hipogonaidisme (Bebb, 2011).

Indikasi terapi pada pria yakni keadaan hipogonad yang menunjukan gejala

klinis yang kompleks seperti adanya gejala-gejala hipogonadisme dan penurunan

level hormon testosteron. Ambang batas level hormon testosteron yang menimbulkan

gejala-gejala hipogonad bervariasi tergantung jenis gejala dan individu (Arver dan

Lehtihet, 2008).

Formulasi dari testosteron adalah formula yang mampu menormlisasi level

testosteron yang beredar dan juga dapat menimbulkan level yang fisiologis dari
24

metabolit aktifnya yaitu: estradiol dan DHT. Bentuk-bentuk sediaan testosteron

adalah testosteron oral, testosteron bukal, testosteron gel, trasdermal testosteron

patchess, testosteron injeksi dan implan. Testosteron mempunyai waktu paruh yang

pendek tetapi dengan esterifikasi waktu paruhnya dapat diperpanjang setelah injeksi

intramuskuler. Jenis-jenis ester yang telah digunakan adalah propionat, fenilpropionat

isocaproat, enanthate, undecanoat, decanoat (Arver dan Lehtihet, 2008).

Salah satu jenis preparat sulih testosteron yang ada adalah sustanon ‘250’

yang merupakan oil-based injectable esterized testosteron yang terdiri dari testosteron

propionat 30 mg, fenilpropionat 60 mg, testosteron isocaproat 60 mg, dan testosteron

decanoat 100 mg (Roberts, 2010).

Dahulu penurunan kadar testosteron terkait usia dianggap tidak bisa diobati,

tetapi paradigma ini sekarang telah berubah. Saat ini terapi sulih hormon adalah yang

paling direkomendasikan untuk penanganan andropause. Pemberian testosteron

adalah pilihan paling baik saat ini. Belum ada kesepakatan ambang standar untuk

memulai pengobatan defisiensi testosteron. Kadar testosteron 200 ng/dl yang diambil

pada pagi hari dianggap rendah. Tetapi angka ini tidak dapat dikaitkan dengan usia.

Karena nilai 300 ng/dl mungkin normal untuk pria berusia 65 tahun, tapi tidak normal

untuk usia 30 tahun. Prinsip penetalaksanaan terapi testosteron adalah

mempertahankan kadar testosteron pada nilai normal, tetapi di berikan jika kadar

testosteron cenderung turun, tanpa menunggu kadar testosteron tersebut berada

dibawah nilai normal.


25

2.4.1 Preparat Terapi Sulih Testosteron

Beberapa jenis sediaan preparat pemberian testosteron yang direkomendasikan

untuk terapi penggantian/sulih testosteron adalah sebagai berikut :

1. Gel : 5 sampai 10 gram gel testosteron diterapkan setiap hari.

2. Tablet : 80 mg testosteron undecanoate diminum dua kali sehari dengan

makanan.

3. Injeksi 1000 mg testosterone undecanoate intramuskular yang diberikan

pada pada minggu ke- 0, 6, 18, 30 dan minggu ke- 42 dapat meningkatkan

komponen kesehatan mental dan kualitas hidup pada pria hipogonad,

khususnya vitalitas ( mencerminkan tingkat energi ), fungsi sosial dan peran

fungsi fisik. Meskipun skor komposit kesehatan fisik tidak menunjukkan

peningkatan signifikan secara statistik, akan tetapi ada kecenderungan

peningkatan yang ditunjukkan pada minggu ke-30, hingga minggu ke-48

menunjukkan peningkatan yang berkelanjutan dalam kekuatan fisik (Bassil

et al., 2009).

Berikut adalah preparat testosteron yang ada di indonesia:

1. Per oral

a. Testosteron undecanoat 400 mg

b. Meterolone tablet 25 mg

2. Per intramuskular injeksi

a. Kombinasi testosteron propionat 30 mg, testosteron phenypropionat 60

mg, testosteron decanoat 100mg ampul (sustanon)


26

b. Testosteron undecanoat 1000 mg ampul (nebido)

3. Testosteron transdermal

Gel testosteron (tostrex 2% gel) (Zen et al., 2009).

Salah satu jenis preparat sulih testosteron yang ada adalah Sustanon ‘250’ yang

merupakan oil-based injectable esterized testosterone yang terdiri dari testosteron

propionat 30 mg, testosteron fenilpropionat 60 mg, testosterone isokaproat 60 mg, dan

testosteron dekanoat 100 mg. Ada dua keuntungan menggabungkan beberapa ester dalam

formula yang sama seperti pada Sustanon ‘250’. Di sini, dengan menggunakan beberapa

ester memungkinkan konsentrasi total cukup tinggi 250 mg/mL tanpa memerlukan

persentase besar dari zat yang mempertinggi kelarutan dalam vehicle. Secara umum,

kelarutan dari ester yang berbeda dari steroid hampir independen satu sama lain, jadi

misalnya jika vehicle (minyak ditambah zat yang dapat mempertinggi kelarutan) dapat

melarutkan 100 mg/mL satu ester steroid saja atau 100 mg/mL ester steroid yang lain, hal

ini mungkin bisa melarutkan total 200 mg/mL sebagai kombinasi keduanya. Hal ini dapat

menambah kenyamanan. Keuntungan kedua dari pencampuran ini adalah bahwa lama

kerja obat dapat diperpanjang dengan menggunakan ester long-acting dalam campuran

tanpa menyebabkan onset yang lambat bila ester seperti itu diberikan secara terpisah.

Dengan demikian kerja sustanon ‘250’ dimulai segera setelah penyuntikan dan

dipertahankan selama kurang lebih 3 minggu (Roberts, 2010).

Terapi sulih testosteron dianjurkan untuk pria yang mengalami sindrom

defisiensi androgen, agar dapat memperbaiki fungsi seksual dan kepadatan tulang.

Hasil terapeutik sebaiknya dapat meningkatkan kadar testosteron sampai kadar 400-
27

800 mg/dl untuk pria dewasa muda. Untuk pria dewasa tua sebaiknya mencapai kadar

yang lebih rendah yaitu 300-500 mg/dl (Bhasin et al., 2006).

Terapi sulih testosteron pada umumnya dilakukan dalam jangka panjang, dan

memerlukan pemeriksaan evaluasi dan monitor yang teratur, termasuk pemeriksaan

kadar hormon dan reaksi yang terjadi.

2.4.2 Efek samping testosteron replacement

Efek samping dalam penggunaan injeksi testosteron dosis tinggi berbeda pada

setiap individu. Gejala-gejala hiperandrogen adalah:

1. Efek pada gonadotropin, spermatogenesis, dan fungsi seksual

2. Efek pada metabolisme dan beberapa sistem organ:

a. Efek anabolik (efek pada keseimbangan nitrogen, perkembangan otot, dan

sebagainya)

b. Efek pada hematopoesis dan formasi trombus

c. Retensi air dan garam

d. Efek metabolik lainnya (termasuk efek pada ginjal, pernapasan, dan

metabolisme tulang)

3. Efek virilisasi

4. Mempengaruhi sistem saraf pusat

5. Efek terhadap hepar dan hipersensitivitas

6. Efek teratogenik

Efek samping testosteron dosis tinggi antara lain hirsutisme, acne, dan

alopecia, dan yang berkaitan dengan sistem reproduksi wanita yaitu amenore dan
28

infertilitas. Hiperandrogenisme juga dapat menyebabkan penyakit kardiovaskuler

yang serius (seperti hipertensi, penyakit mikrovaskuler, dan dislipidemi), dan

penyakit metabolik lainnya (Diabetes Melitus tipe 2). (Bassil et al., 2009; Wang et

al., 2010).

2.5 PERAN ANDROGEN PADA JARINGAN EREKTIL PENIS TIKUS

2.5.1 Androgen Menjaga Integritas Struktur Tunika Albuginea dan Jaringan

Ikat Matrix Fibroelastik.

Testosteron berperan dalam proses proliferasi sel pada jaringan penis dengan

cara mengubah testosteron menjadi 5α-dihidrotestosteron (DHT) oleh enzim delta 3

ketosteroid-5α-reduktase (5α-reduktase), yang berikatan dengan protein tertentu oleh

reseptor androgen (AR). Kompleks reseptor steroid ini bertranslokasi ke dalam inti

sel dan memulai gen transkripsi, sehingga mengakibatkan ekspresi gen target

androgen yang memainkan peran penting pada pertumbuhan jaringan penis (Yan et

al., 2014).

Ablasi androgen yang dikarenakan kastrasi pada hewan percobaan

menimbulkan tanda yang jelas dalam peningkatan matriks ekstraselular, bersamaan

dengan pengurangan pada otot polos hingga jaringan ikat, rasionya mencapai 2 kali

lipat. Pengurangan jaringan yang kaya akan fibroelastik ini mempengaruhi struktur

jaringan penis dan melemahkan hemodinamik penis, sehingga terjadi disfungsi

ereksi. Beberapa studi mengungkapkan bahwa androgen berperan memodulasi

matriks ekstraselular melalui ekspresi faktor pertumbuhan (Natoli et al., 2005).


29

Peran faktor pertumbuhan masih perlu diteliti lebih lanjut pada jaringan penis.

Penurunan serat elastis dan perubahan fitur mikroskopis dapat menyebabkan

disfungsi ereksi dengan merusak fungsi venooklusif dari tunika albuginea. Studi

kasus baru-baru ini telah berhasil membuktikan adanya pemulihan fungsi ereksi pada

pria yang mengalami disfungsi ereksi yang disebabkan kebocoran vena setelah

diberikan terapi androgen. Pengamatan ini menunjukkan bahwa androgen berperan

dalam mempertahankan struktur jaringan ereksi (Yassin et al., 2006; Kurbatov et al.,

2008; Traish dan Guay, 2009)

2.5.1 Androgen Menjaga Fungsi dan Struktur Endotelia Vaskular

Peranan androgen dibuktikan oleh para peneliti bahwa endotel pembuluh

darah memodulasi tonus otot polos korpus kavernosum melalui produksi NO dan

faktor parakrin, seperti prostaglandin, endotelin, platelet diturunkan faktor

pertumbuhan, dan mengubah faktor pertumbuhan b1 [TGF-b1] (Moreland, 2000;

Bivalacqua et al., 2003; Solomon et al., 2003; Guay, 2005, 2007; Musicki dan

Burnett, 2007; Watts et al., 2007).

Berbagai keadaan pada endothelium (seperti iskemia, hipoksia dan

arteriosclerosis) dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan tingkat faktor

parakrin, yang mengubah fungsi dan pertumbuhan sel otot polos. Sebuah studi

terbaru oleh Liu et al (2007), menunjukkan bahwa kehilangan androgen oleh karena

kastrasi atau terapi 5α-reduktase inhibitor menghasilkan kerusakan pada struktur

endothelium, sebagaimana yang dibuktikan dengan menggunakan microskop elekron

(Moreland, 2000).
30

Endotelium dari hewan yang tidak dikastrasi menunjukkan permukaan yang

halus dengan tampilan ultrastruktur yang teratur sedangkan endothelium pada hewan

yang dikastrasi memiliki permukaan kasar dan menonjol, serta tampak tidak teratur.

Tercatat terdapat perubahan kontak antar sel dan adhesi sel darah merah pada

permukaan endothelium. Pemberian testosteron pada hewan yang dikastrasi

berangsur-angsur terjadi pengembalian struktur integritas pada endothelium dan

tercatat masih terdapat beberapa lesi yang tersisa. Data dari penelitian ini

menunjukkan bahwa kekurangan androgen menghasilkan kerusakan endotel vaskular

dan integritas struktural endotel dipulihkan dengan pemberian androgen (Traish dan

Guay, 2009).

Akishita et al (2007) melaporkan bahwa dalam 187 pasien rawat jalan laki-

laki berturut-turut yang menjalani pengukuran flow-mediated vasodilatasi (PMK) dari

arteri brakialis menggunakan ultrasonografi, testosteron bebas dan total secara

signifikan berkorelasi dengan persentase PMD. Korelasi ini tergantung dari usia,

indeks massa tubuh, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes mellitus, dan merokok,

menunjukkan efek perlindungan dari testosteron endogen pada endothelium.

Pengembalian atau remodeling dari kerusakan endothelia, sebagian tergantung pada

penggabungan Premature Circulating Progenitor Cells (PCs) dan Mature

Circulating Endothelial Progenitor Cells (EPCs). Foresta et al (2006, 2008) meneliti

efek terapi testosteron berkepanjangan pada pria dengan hipogonadisme

hipogonadotropik pada PCs dan EPCs. Para penulis menyimpulkan bahwa pasien

dengan hipogonadisme mengalami penurunan tingkat PCs dan EPCs dan terapi
31

testosteron menghasilkan peningkatan yang signifikan dalam sel-sel ini. Para penulis

menyimpulkan bahwa hipogonadisme dikaitkan dengan angka penurunan sirkulasi

PCs dan EPCs. Peningkatan proliferasi, migrasi, dan aktivitas koloni-pembentukan

EPCs disebabkan oleh androgen melalui jalur AR-mediasi (Foresta et al., 2008).

Defisiensi androgen menginduksi cedera pada sel endothelia yang melapisi

permukaan vaskular, pada penis mengalami peningkatan sintesis dan pelepasan TGF-

b1, endothelin dan prostanoids kontraktil, tetapi kadar NO menurun. Secara biologis

hasil dari kerusakan endotel akan membawa perubahan fenotipe otot polos, yang

menyebabkan peningkatan deposisi ekstraseluler matriks (fibrosis), atrofi sel, dan

menghambat pertumbuhan sel (hipoplasia). Fibrosis ini dapat menyebabkan

perubahan kontraktilitas yang mengarah ke disfungsi ereksi vaskulogenik (Traish dan

Guay, 2009).

2.5.2 Androgen dan Remodeling Struktural Jaringan Kavernosa Trabekular

Korpus kavernosum penis mengandung pembuluh darah dengan karakteristik

yang khusus ditandai dengan trabecular angioarchitecture kompleks terdiri dari jenis

sel yang berbeda yang berinteraksi dalam matriks ekstraselular dengan komponen

utamanya adalah kolagen, serat elastis, dan Hyaluronan. Jenis sel utama termasuk sel

otot polos kavernosum (CSMC), sel endotel, sel saraf, dan fibroblas. CSMC berada

di kelompok dalam ruang trabekular dan mirip dengan VSMC, mereka berinteraksi

dengan sel-sel endotel yang mengatur aliran darah dalam ruang karvenosum karena

sifat kontraktil mereka. Testosteron memodulasi proliferasi CSMC dan fibroblas

melalui jalur signal AR-dependent (Liu et al., 2006).


32

Dalam model hewan percobaan, kekurangan testosteron dilaporkan

menginduksi perubahan histologis yang signifikan dalam struktur trabekular

kavernosum seperti apoptosis sel endotel yang melapisi ruang sinusoidal, dan

berkurangnya CSMC disertai dengan peningkatan deposisi jaringan ikat

menyebabkan hilangnya kavernosus secara bertahap. Evaluasi ultrastruktural

menunjukkan disorganisasi spasial CSMC, dengan sejumlah besar vakuola

sitoplasma yang mengandung bahan flocculent dan sejumlah penurunan myofilament

sitoplasma (Traish dan Guay, 2009).

Selain itu, jaringan penis dari kelinci orchiectomized memperlihatkan

akumulasi yang mengandung sel-sel lemak (adipocytes) di wilayah subtunika dari

corpora cavernosa, diferensiasi sel prekursor stroma ke dalam garis adipogenic yang

memproduksi sel-sel lemak atau proses transdiferensiasi melibatkan CSMC telah

dikemukakan sebagai mekanisme yang mungkin terjadi (Traish dan Guay, 2009).

Dalam sebuah studi oleh Yamamoto et al (2004) mengemukakan apoptosis sel

endotel pada jaringan kavernosa dari tikus yang dikastrasi dikaitkan dengan

peningkatan ekspresi protein p53. Peningkatan masuknya kalsium ke dalam sel

kavernosus setelah kastrasi dan aktivasi endonuklease endogen berikutnya bisa

mewakili mekanisme apoptosis yang mungkin terjadi setelah kastrasi. Faktor

pertumbuhan endotel vaskular (VEGF) adalah mediator parakrin yang terlibat dalam

remodeling penis. VEGF bertindak melalui mekanisme parakrin meningkatkan

integritas CSMC, proliferasi, dan migrasi ke lokasi yang tepat di ruang kavernosa

selama proses perkembangan vaskulogenik. Perbedaan usia terkait dalam ekspresi


33

VEGF dan CSMC dari tikus dalam mengekspresikan tingkat VEGF. Injeksi VEGF

intrakavernous dalam model tikus menghambat apoptosis dengan mengembalikan

integritas CSMC (Rajasekaran et al., 2003).

Transformasi faktor pertumbuhan b1 (TGF-b1) adalah sitokin pleiotropik

yang disekresi oleh sel-sel otot polos in vitro dan oleh sel endotel in vivo, dalam

kondisi normal fungsinya untuk mengatur homeostasis penis dengan langsung

menghambat proliferasi sel dan sintesis matriks ekstraselular. Peningkatan signal

TGF-b1 dilaporkan untuk merangsang fibroblast manusia untuk meningkatkan

sintesis kolagen dalam kedua corpora cavernosa dan tunika albuginea. Hipoksia

jaringan merupakan penyebab utama untuk meningkatkan ekspresi TGF-b1 dengan

konsekuensi fibrosis pada korpus kavernosum selanjutnya terjadi ablasi bilateral

saraf kavernosa atau gangguan vaskular aterosklerotik. Dalam model tikus, ekspresi

TGF-b1 in-vivo pada penis tampaknya diatur oleh androgen, sementara kekurangan

androgen bisa menginduksi TGF-b1 sintesis. Perbaikan struktur kavernosum bersifat

reversible, terapi sulih testosteron pada tikus yang dikastrasi mampu menstimulasi

DNA baru pada CSMC dan sel endothelial (Ryu et al., 2004; Vincenzo et al., 2009).

2.6 KONSEP RESEPTOR ANDROGEN

Reseptor androgen merupakan anggota dari reseptor nuklear. Reseptor androgen

memediasi aksi androgen dalam menjalankan fungsinya dalam perkembangan dan

fungsi organ reproduksi pada pria dan wanita. Mutasi AR dapat menyebabkan

berbagai macam penyakit seperti testicular feminization mutation (Tfm) syndrome,

kanker prostat dan Kennedy’s disease (Xinchang, 2010).


34

Testosteron paling banyak diproduksi pada testis (pria) dan diubah menjadi

DHT pada beberapa target organ termasuk prostat. Androgen memiliki struktur

hidrofobik steroid kolesterol, yang memungkinkan untuk bergerak bebas dari luar sel

menuju ke dalam sel. Target intraselular androgen adalah AR. Setelah berikatan

dengan androgen, AR bergerak menuju nukleus dan mengatur transkripsi pada target

gen androgen. (Lambert, 2007).

2.6.1 Struktur Reseptor Androgen pada Manusia

Gen AR berada pada kromosom Xq11.2-q12dan disusun dari 8 ekson dengan

rentang 186 kbp . AR NTD dikode oleh bagian wkson 1. Ekson 2 dan 3 mengkode

AR DBD yang masing-masing untuk satu zinc cluster domain. AR LBD dikode oleh

bagian ekson 4, 5, 6, 7, dan 8. Protein AR terdiri dari 919 asam amino, yang memiliki

berat molekul 110 kD dan disusun oleh 3 structural domain:

1. N-Terminal domain (NTD) atau transactivation domain, memiliki tingkat

sekuen homologi yang paling sedikit dan paling bervariasi dalam ukuran

dibandingkan dengan anggota steroid receptor family. Domain ini berperan

dalam meregulasi transkripsi gen target serta regulasi transkripsional via

interaksi protein-protein dengan faktor transkripsi lainnya. Karakter penting

dari N-terminal domain adalah adanya ulangan GAC, sandi untuk gluutamin.

Pada laki-laki normal terdapat 17-29 ulangan.

2. DNA Binding Domain (DBD) terdiri dari 68 asam amino, merupakan bagian

yang paling dijaga dari molekul reseptor, yang menentukan spesifisitas

interaksi AR dengan DNA. DBD terdiri dari 2 kelompok, salah satunya


35

berperan dalam ikatan DNA secara langsung dan memiliki P-box untuk

pengenalan spesifik androgen response element (ARE), sementara yang

lainnya berperan dalam interaksi protein dan unit stabilisasi untuk dimerisasi

dua molekul reseptor.

3. Ligand Binding Domain (LBD), secara prinsip fungsi LBD adalah mengikat

androgen dengan afinitas tinggi. Selain itu, LBD juga berperan dalam

lokalisasi nuklear, dimerisasi reseptor, dan berinteraksi dengan protein

lainnya. Sekuen asam amino dari region ini menunjukkan homologi sebesar

50% dengan reseptor glukokortikoid, meneralokortikoid, dan progesteron.

Gambar 2.3
Struktur reseptor androgen (sumber: Nieschlag et al., 2010)
36

Antara DBD dan LBD terdapat hinge region (dikode oleh region 5 ekson 4),

yang terdiri dari bagian utama AR nuclear targeting signal dan memediasi

perpindahan AR dari sitoplasma menuju nukleus.(Galani et al., 2008)

Domain androgen binding reseptor meliputi 30% dari seluruh reseptor dan

bertanggung jawab untuk pengikatan androgen secara spesifik. Reseptor androgen

berinteraksi dengan DNA dalam bentuk homodimer dengan 2 kompleks reseptor

hormon yang identik. Kompleks dimer ditransfer dari sitosol masuk ke dalam

nukleus, dan kompleks dimer tersebut mengenali sekuen spesifik (androgen sensitive

region (ASR)) dari genom DNA yang mengakibatkan rangsangan transkripsi dan

sintesis gen androgen-dependent (Galani et al., 2008).

Testosteron mencapai target sel melalui difusi pasif. Testosteron terikat dengan

reseptor androgen menyebabkan perubahan konfirmasi dan pelepasan Heat Shock

Protein (HSP). HSP bertanggung jawab untuk menjaga reseptor dalam keadaan

inaktif dan dapat dilepaskan dari kompleks reseptor. Kehilangan protein tersebut

menyebabkan pelepasan domain fungsional dari reseptor dan diperlukan dalam

transpor nukleus, dimerasi, dan pengikatan DNA.

2.6.2 Regulasi Ekspresi Reseptor Androgen pada Tikus

Regulasi dari reseptor androgen pada hewan pertama kali dilakukan pada

prostat. Pada tikus penurunan androgen menyebabkan penurunan kadar reseptor

androgen pada prostat. Ukuran prostat tikus menurun hingga 15% dibandingkan

kelompok kontrol. Involusi organ prostat merupakan proses yang reversibel.

Pemberian hormon testosteron menunjukkan regenerasi prostat yang baik, termasuk


37

ekspresi reseptor androgen. Stabilitas reseptor androgen ditingkatkan oleh ligannya.

Androgen menyebabkan regulasi gen untuk mendeteksi regenerasi perkembangan

prostat. Regulasi dari ekspresi reseptor androgen tergantung pada usia dan organ yang

spesifik. Pada tikus, respon mRNA reseptor androgen menurun terhadap androgen

seiring meningkatnya maturasi seksual . Level ekspresi reseptor androgen menurun

secara permanen setelah masa pubertas namun hal ini dapat diatasi dengan

penambahan androgen. Pada tikus jantan dewasa, keterbatasan perkembangan dari

penis direlasikan dengan penurunan dari androgen reseptor pada korpus kavernosum,

os penis dan berbagai jaringan erektil pada penis, namun pada nukleus epitel kulit dan

sel-sel reseptor uretra androgen masih berekspresi (Tan et al., 2005).

Ekspresi androgen reseptor dengan pola yang berbeda ditemukan di testis

tikus ketika ekspresi reseptor androgen tergantung pada tingkat tertentu. Reseptor

pada sel Sertoli hanya terdeteksi secara spesifik tahap spermatogenik. Mekanisme

dependent ekspresi reseptor androgen tidak diketahui secara pasti. Ekspresi reseptor

androgen dalam sel peritubular myoid, arteriol, dan sel-sel Leydig tidak berhubungan

dengan tahap perkembangan tubulus seminiferus. Testosteron atau metabolitnya

mengontrol seluruh ekspresi dari reseptor androgen pada testis tikus. Tidak terdapat

reseptor androgen yang terdeteksi setelah pengambilan endogen testosteron. Pada

model sel, mRNA reseptor androgen mengalami penurunan sebesar level androgen

sedangkan level dari immunoreaktif reseptor androgen sellular meningkat. Penelitian

secara in vitro menunjukkan peningkatan paruh waktu reseptor androgen disponsori

oleh androgen. Stabilitas perbaikan dari protein reseptor yang diinduksi melalui ligan
38

dapat menghasilkan protein reseptor androgen meskipun tingkat transkripsi gen

menurun (Gao et al., 2005).

2.6.3 Molekul Reseptor Androgen pada Tikus

Reseptor androgen termasuk superfamili faktor transkripsi ligan-dependent.

Reseptor tersebut termasuk androgen, estradiol, progesteron, glucocorticoids,

mineralocorticoids, retinoids, thyroid hormon, dan vitamin D. Reseptor tersebut

memiliki 3 karakteristik struktur diantaranya : aminoterminal domain yang terlibat

dalam regulasi gen, DNA binding domain yang mengandung dua zinc fingers untuk

berikatan dengan DNA, C-terminal domain yang berikatan dengan ligan. Penjagaan

dari nukleotida sequence tertinggi pada DNA binding domains dan ligand binding

domains. Amino-terminal domains dari reseptor ini menunjukkan sedikit homolog.

Ligand binding domain dan DNA binding domain berperan dalam transport nucleus

dari reseptor (Tan et al., 2005).

Protein reseptor androgen manusia dikodekan oleh satu gen yang terletak pada

lengan panjang dari kromosom X. Androgen reseptor eDNA juga telah dikloning

untuk tikus, anjing, kelinci percobaan dan katak. Urutan perbandingan reseptor tikus

androgen dengan reseptor androgen manusia mengungkapkan 83% nukleotida

homolog dan 85% homolog pada tingkat asam amino. Reseptor androgen promotor

kedua pada tikus yang diatur oleh 5α-dihidrotestosteron dan elemen penekan di

wilayah 5' telah ditemukan, untuk sequence TATA atau CCAAT tidak ditemukan.

Ekspresi Sp 1 meningkat selama masa diferensiasi seksual pada tikus. Sp 1 mungkin

memiliki fungsi pengaturan dalam transkripsi gen reseptor androgen. An age-


39

dependent factor (ADF) telah dilaporkan sebagai elemen pengaturan direseptor

androgen promotor tikus yang terkait dengan usia dan ekspresinya tergantung dari

reseptor androgen (Gao et al., 2005).

2.6.4 Reseptor Androgen Signaling Pathway

Androgen memediasi sebagian besar perkembangan dan respon fisiologi

organ reproduksi pria. Androgen juga sangat penting untuk deferensiasi seksual pada

pria, maturasi organ seksual saat masa pubertas serta proses spermatogenesis dan

regulasi gonadotropin. Prinsip steroid androgen, testosteron dan metabolit DHT (5-

Alpha-dihidrotestosteron) ialah memediasi efek biologis mereka terutama berikatan

dengan AR (Androgen Receptor), androgen diinduksi dari anggota superfamili

reseptor nukleus dari faktor transkripsi (Heinlein dan Chang, 2002 ; Lee, 2003).

Struktur AR dapat dibagi menjadi 4 fungsi domain : NH2-terminal

transactivation domain (A/B domain), DBD (DNA-Binding Domain), hinge region

dan LBD (Ligand-Binding Domain). NH2-terminal AF1 (Activation Function-1)

berfungsi pada kinerja ligand-independent ketika artifisialnya dipisahkan dari LBD

serta menciptakan reseptor konstitutif aktif. Fungsi dari Ligand-dependent AF2

bertempat di LBD, dimana sangat responsible untuk mengaktifkan transkripsi yang

optimal dalam respon pada ligan (Culig et al., 2003).

Androgen Reseptor terikat membentuk kompleks dengan HSP (Heat-Shock

Protein). Ikatan androgen ke AR diinduksi dari HSPs sehingga subsequensi reseptor

berdimerisasi dan bertranslokasi kedalam nukleus, memfasilitasi AR untuk mengikat

elemen respon kognitif serta merekrut koregulator untuk mengekspresi gen target.
40

Aktivitas transkripsional AR sangat dipengaruhi oleh protein regulator. Coactivator

seperti halnya ARA70 (Androgen Receptor Coactivator, 70-Kd) dan ARA55

menstabilkan proses pengikat ligan ke AR. Kemampuan dari AR untuk bertranslokasi

kedalam nukleus diregulasi oleh beberapa coregulators, sebagai contoh F-Actin

binding protein: Filamin. Didalam nukleus, AR berinteraksi dengan DNA dengan

menargetkan spesifik nukleotida dengan sequence palindromik ARE (Androgen

Response Element) (Lee, 2003).

Sejumlah coregulators sendiri melakukan kegiatan enzimatik seperti

fosforilasi atau asetilasi, memodifikasi baik kromatin sekitarnya maupun promotor

dari gen target atau coregulators lainnya. Prototypic coactivators jenis ini yang

memiliki aktivitas acetyltransferase termasuk CBP (CREB Binding Protein) dimana

p300 terkait erat dengan coactivators reseptor nucleus, diantaranya pCAF (p300 /

CBP Associated Factor), SRC1 (steroid Receptor koaktivator-1), dan SRC3 (Culig et

al., 2003).

PIAS (Protein Inhibitor of Activated Signal Transducer dan Activator of

Transcription (STAT)) dan ANPK (Androgen Receptor-Interacting Nuclear Kinase)

juga berinteraksi dengan koaktif AR. Transkripsi aktivasi oleh AR akhirnya

membutuhkan perekrutan RNA Pol II (RNA polimerase-II) dengan promotor gen

target. Rekrutmen RNA Pol II dimediasi melalui perakitan GTFs (General Faktor

Transkripsi) untuk membentuk kompleks pra-inisiasi, langkah pertama adalah

pengikatan TBP (TATA box-Binding Protein) dekat lokasi awal transkripsi. TBP

adalah bagian dari kompleks multiprotein, TFIID (Transcription Factor-IID), yang


41

juga berisi TAFII umum dan promotor spesifik (Faktor TBP-Associated) protein.

TBP binding menginduksi DNA, membawa urutan terakhir dari elemen TATA dalam

jarak dekat, hal ini memungkinkan interaksi antara GTFs dan steroid kompleks

reseptor-coregulator. TFIID berikatan langsung ke TBP dan berfungsi untuk

merekrut kompleks TFIID-RNA Pol II. TFIID domain, selain berinteraksi dengan

TFIID dan RNA Pol II, ternyata juga melayani dalam inisiasi transkripsi dan

elongasi. ATPase dan kinase TFIIE dan TFIIH helikase kemudian direkrut untuk

RNA Pol II untuk memudahkan pemisahan untai DNA sebelum inisiasi transkripsi.

TFIID dan TFIIB direkrut untuk RNA pol II asetat oleh p300 dan p/CAF (Lee, 2003).

Aktivitas ligase ubiquitin telah diidentifikasi dalam dua AR coactivators,

ARA 54 dan E6-AP. Coactivators dengan aktivitas ubiquitin ligase ini berkontribusi

dalam transkripsi reseptor nucleus melalui target degradasi represor. AR juga dapat

berinteraksi dengan sejumlah faktor transkripsi termasuk Activator Protein-1,

SMAD3 (Sma dan Mad Terkait), NF-kappaB (Nuclear Factor-kappaB), SRY (Sex-

menentukan Region-Y), dan Ets famili faktor transkripsi. Korepressor transkripsi AR

androgen dapat dikaitkan dengan tiga represor: cyclin-D1, calreticulin dan HBO1.

Cyclin-D1 berfungsi menghambat AR transaktivasinya melalui mekanisme

independen dalam regulasi siklus sel. Calcium-binding protein calreticulin berlokasi

didalam endoplasmic reticulum and nucleus dan juga dapat dikarakteristikkan

sebagai kompresor AR. AR korepressor HBO1 merupakan bagian dari family MYST

protein dimana memiliki karakteristik yang homolog dengan zinc finger dan

membawa sebuah acetyltransferase domain. AR biasanya dianggap berfungsi sebagai


42

homodimer, namun telah ditemukan heterodimer dengan reseptor nukleus lainnya

termasuk ER (Estrogen Receptor), GR (Glukokortikoid Receptor) dan TR4 (testis

Orphan Receptor-4) dan dalam setiap hasil kasus penurunan aktivitas transkripsi AR

(Petre et al., 2002).

Mode transkripsi atau mode genom merupakan tindakan dari steroid,

androgen juga dapat mengerahkan efek nongenomik dengan cepat. Steroid

nongenomic action biasanya melibatkan second messenger signal transduction

cascades. Nongenomic action dari androgen dapat terjadi melalui beberapa reseptor.

Androgen dapat mengaktifkan cAMP dan PKA melalui SHBG (Sex Hormone

Binding Globulin) / SHBG kompleks (Heinlein dan Chang, 2002).

Androgen juga merangsang elevasi di Ca2 + intraselular melalui GPCR (G-

Protein yang berpasangan dengan Reseptor) dengan mengaktifkan masuknya

nonvoltage-gated Ca2+ channels. Elevasi kalsium intraseluler mengaktifkan kaskade

transduksi sinyal, termasuk PKA (Protein Kinase-A), PKC (Protein Kinase-C), dan

MAPKs (mitogen-Activated Protein Kinase), yang dapat memodulasi aktivitas ARs

dan faktor transkripsi lainnya. AR juga berinteraksi dengan intraseluler tyrosine

kinase c-Src, memicu aktivasi c-Src. Salah satu target dari c-Src adalah protein

adaptor SHC (SH2 Mengandung Protein), sebuah regulator akhir dari jalur MAPK

(Culig et al., 2003).

Reseptor androgen difosforilasi oleh ERK2 dikaitkan dengan aktivitas

transkripsi AR serta meningkatkan kemampuan untuk merekrut ARA70 koaktivator.

Koaktivators famili SRC transkripsi antara lain SRC 1, SRC 3, dan TIF2 (Transkripsi
43

Perantara Factor-2) adalah target dari MAPK fosforilasi yang menghasilkan

peningkatan kemampuan dari koaktivators ini untuk merekrut kompleks koaktivator

tambahan untuk reseptor DNA-binding. Nongenomic distimulasi secara cepat melalui

second messenger cascades oleh androgen pada akhirnya dapat memberi efek

biologis melalui modulasi aktivitas transkripsi faktor transkripsi AR atau lainnya.

Modulasi tersebut dapat terjadi melalui fosforilasi langsung aktivator transkripsi atau

koregulator. AR juga dapat diaktifkan tanpa adanya ligan yang sama. Androgen

signaling pathway diprakarsai oleh berbagai faktor pertumbuhan (Heinlein dan

Chang, 2002).

Gambar 2.4
Androgen Signaling Pathway (Sumber : Culig, et al., 2003)
44

2.7 KONSEP TIKUS GALUR WISTAR (Rattus norvegicus)

2.7.1 Karakteristik tikus

Tikus yang digunakan untuk penelitian di laboratorium terdiri dari beberapa

galur yang memiliki kekhususan tertentu antara lain galur Sprague-dawley yang

berwarna albino putih berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya

dan galur wistar yang ditandai dengan kepala besar dan ekor lebih pendek. Tikus

putih (Rattus norvegicus) merupakan salah satu hewan percobaan di laboratorium.

Hewan ini dapat berkembangbiak secara cepat dan dalam jumlah yang cukup besar.

Pada percobaan ini, tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa

dikondisikan menjadi andropause dengan cara melakukan kasterasi (menghilangkan

testis). Tindakan ini akan mengakibatkan penurunan kadar testosteron pada tikus

sehingga terjadi andropause. Berikut ini adalah data biologis tikus :

Tabel 2.1
Serum LH, FSH dan Level Testosteron (ng/ml serum)
pada Tikus Jantan (Sumber: Wang et al., 2005)
Usia LH FSH Testosteron
(hari)
0-5 660±58 3,37±0,5 0,76±0,16
6-10 285±33 4,52±0.2 0,55±0,10
11-15 282±22 3,86±0,6 0,63±0,17
16-20 215±37 2,79±0,3 0,87±0,21
21-25 262±53 3,51±0,3 0,37±0,07
26-30 421±15 0,61±0,01 0,95±0,30
31-40 288±32 1,92±0,3 0,78±0,21
41-50 366±75 2,69±0,6 0,94±0,19
51-60 193±20 3,24±0,6 1,10±0,28
61-70 219±55 5,07±0,2 1,82±0,32
71-80 230±37 3,86±0,3 2,15±0,32
Nilai serum diatas berdasarkan penelitian pada 14 tikus dan data disajikan dengan
nilai Mean±S.E.M
45

Tabel 2.2
Data Biologis Tikus Wistar ( Sumber: Russel et al., 2008)

Você também pode gostar