Você está na página 1de 26

REFERAT

TATA LAKSANA RHINITIS VASOMOTOR

Disusun Oleh
Meti Destriyana 1618012047
Nida Nabilah Nur 1618012129
Serafina Subagio 1618012053

Perseptor
dr. Hadjiman Yotosudarmo, Sp. THT

KEPANITERAAN KLINIK SMF TELINGA HIDUNG TENGGOROK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RSUD JENDRAL AHMAD YANI METRO
2018
1

DAFTAR ISI

COVER

DAFTAR ISI ......................................................................................................1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ........................................................................................2

1.2 Tujuan .....................................................................................................6

1.3 Manfaat ...................................................................................................6

BAB II ISI

2.1 Anatomi Hidung ......................................................................................7

2.2 Perjalanan Saraf Otonom Hidung ...........................................................11

2.3 Patogenesis dan Patofisiologi Rhinitis Vasomotor .................................12

2.4 Tata Laksana Rhinitis Vasomotor ...........................................................16

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan .............................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................25

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rhinitis didefinisikan sebagai suatu kondisi inflamasi yang melibatkan

mukosa hidung. Gejala-gejala rhinitis meliputi sumbatan pada hidung,

hiperirratabilitas dan hipersekresi. Rhinitis bisa disebabkan oleh bermacam-

macam kondisi yang berbeda-beda alergi maupun non-alergi. Insidensi

rhinitis terlihat meningkat di kawasan eropa tepatnya setelah revolusi industri.

Satu dari lima orang Amerika diperkirakan menderita rhinitis.1,2

Rhinitis vasomotor adalah suatu inflamasi mukosa hidung yang bukan

merupakan proses alergi, bukan proses infeksi, menyebabkan terjadinya

obstruksi hidung dan rinorea. Rhinitis vasomotor/rhinitis non alergi adalah

suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi,

eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat

(kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin dan obat

topikal hidung dekongestan). 1,3


3

Insiden rhinitis non alergi (NAR) bervariasi dari studi ke studi. Salah satu

survey praktek kesehatan US, klasifikasi pasien dengan rhinitis adalah 43%

rhinitis alergi, 23% rhinitis non alergi, dan 34% rhinitis campuran. Di

Amerika Serikat, ada sekitar 60 juta pasien dengan rhinitis alergi dan 30 juta

dengan rhinitis vasomotor. NAR cenderung onset dewasa, dengan usia khas

presentasi antara 30 dan 60 tahun. Setelah gejala mulai, mereka sering

berlangsung seumur hidup. Pada orang dewasa, kebanyakan studi melaporkan

dominasi perempuan yang jelas, dengan perkiraan mulai dari 58% sampai

71%. 5

Etiologi dari rhinitis vasomotor dipercayai sebagai akibat dari terganggunya

keseimbangan dari saraf autonom pada mukosa hidung yang menyebabkan

terjadinya vasodilatasi dan hipersekresi. Keseimbangan vasomotor ini

dipengaruhi berbagai hal, antara lain: 1,3

a. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, misal

ergotamin, clorpromazin, obat antihipertensi, dan obat vasokonstriktor

lokal.

b. Faktor fisik, seperti asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang

tinggi, dan bau yang merangsang.

c. Faktor endokrine, seperti kehamilan, pubertas, dan hipotiroidisme.

d. Faktor psikis seperti cemas, tegang.

Pada rhinitis vasomotor, gejala seing di cetuskan oleh berbagai rangsangan

non-spesifik, seperti asap/rokok, bau yang menyengat, parfum, minuman

3
4

beralkohol, makanan pedas, udara dingin, pendingin, dan pemanas ruangan,

perubahan kelembapan, perubahan suhu luar, kelelahan, dan stress/emosi.

Pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan

oleh individu tersebut.1

Kelainan ini mempunyai gejala yang mirip dengan rhinitis alergi, namun

gejala dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dari kanan,

tergantung posisi pasien. Selain itu terdapat rinore yang mukoid atau serosa.

Keluhan ini jarang disertai dengan gejala mata.1

Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam 3 golongan,

yaitu 1) golongan bersin (sneezers), gejala biasanya memberikan respon baik

dengan terapi antihistamin dan glukokortikosteroid topikal, 2) golongan

rinore (runners), gejala dapat diatasi dengan pemberian anti kolinergik

topikal, dan 3) golongan tersumbat (blockers), kongesti umumnya

memberikan respon baik dengan terapi glukokortikosteroid topikal dan

vasokonstriktor oral. 1

Tabel 1. Perbedaan Karakteristik antara Rhinitis Alergi dan Rhinitis


Vasomotor
Karakteristik Rhinitis Alergi Rhinitis Vasomotor
Mulai serangan Belasan tahun Dekade ke 3 – 4
Riwayat terpapar Riwayat terpapar allergen ( - )
allergen ( +)
Etiologi Reaksi Ag - Ab Reaksi neurovaskuler terhadap
terhadap beberapa rangsangan mekanis
rangsangan spesifik atau kimia, juga faktor
psikologis

4
5

Gatal & bersin Menonjol Tidak menonjol


Gatal dimata Sering dijumpai Tidak dijumpai
Test kulit Positif Negatif
Sekret hidung Peningkatan eosinofil Eosinofil tidak meningkat
Eosinofil darah Meningkat Normal
Ig E darah Meningkat Tidak meningkat
Neurektomi Tidak membantu Membantu
n. vidianus

Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu menyingkirkan

adanya rhinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat. Dalam

anamnesa dicari faktor yang mempengaruhi timbunya gejala. Rhinitis

vasomotor dibuat dengan menyingkirkan kemungkinan lainnya dengan

anamnesa, pemeriksaan fisik pada hidung dengan rinoskopi anterior

didapatkan konka nasalis berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi dapat

pula pucat, edema mukosa hidung dan permukaan konka dapat licin atau

berbenjol-benjol (hipertrofi). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid,

biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore sekret yang ditemukan

serosa yang banyak jumlahnya. Pada pemeriksaan laboratorium dilakukan

untuk menyingkirkan rhinitis alergik karena dapat ditemukan eosinofil di

dalam sekresi hidung, akan tetapi dalam jumlah sedikit. Tes cukit kulit

biasanya negative, kadar IgE spesifik tidak meningkat. Perubahan foto

rontgen, penebalan membrana mukosa sinus tidaklah spesifik dan tidak

bernilai untuk diagnosis. Rhinitis vasomotor bisa terjadi bersama-sama

dengan rhinitis alergik. Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa

yang edema dan mungkin tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus

telah terlibat.1,2,3

5
6

Menejemen pengelolaan pada rhinitis vasomotor bervariasi antara lain dengan

menghindari penyebab, psikoterapi, penggunaan medikamentosa, serta terapi

bedah, tetapi sampai saat ini belum memberikan hasil yang optimal. 1

1.2 Tujuan

a. Tujuan umum penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan

penyakit rhinitis vasomotor secara singkat.

b. Tujuan khusus penulisan makalah ini antara lain:

1. Untuk mengidentifikasi anatomi dan patofisiologi yang

berhubungan dengan penyakit rhinitis vasomotor.

2. Untuk mengetahui gambaran umum penyakit rhinitis vasomotor.

3. Untuk mengidentifikasi tatalaksana penyakit rhinitis vasomotor.

1.3 Manfaat

a. Bagi penulis: dapat mengetahui, menganalisis hasil tulisan dan dapat

menambah wawasan tentang tatalaksana penyakit rhinitis vasomotor.

b. Bagi masyarakat: dapat menambah wawasan tentang penyakit rhinitis

vasomotor.

c. Bagi pembaca : dapat dijadikan sebagai bahan referensi.

6
BAB II

ISI

2.1 Anatomi Hidung

Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung

dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung luar

berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1

a. Pangkal hidung (bridge)

b. Batang hidung (dorsum nasi)

c. Puncak hidung (hip)

d. Ala nasi

e. Kolumela

Lubang hidung (nares anterior)

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke

belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum

nasi kanan dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares

anterior, tepat dibelakang disebut dengan vestibulum. Vestibulum dilapisi

oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar subasea dan rambut panjang
8

yang disebut vibrise. Sedangkan nares posterior (koana) yang

menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Tiap kavum nasi mempunyai

empat buah dinding, yaitu dinding lateral, medial, inferior, dan superior.1

Gambar 1 Anatomi Hidung

Gambar 2. Batas lateral kavum nasi (lubang hidung)

Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan

tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os etmoid, 2)

vomer, 3) krista nasalis os maksila dan 4) krista nasalis os palatine. Bagian

tulang rawan adalah 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2)

kolumela. 1

8
9

Gambar 3. Kartilago septum nasi sisi lateral

Dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu yang terbesar bagian bawah

konka inferior kemudian lebih kecil adalah konka media dan lebih kecil lagi

konka superior dan yang terkecil disebut konka suprema yang biasanya

rudimenter. Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat meatus nasi

yang jumlahnya tiga buah, yaitu meatus inferior, meatus media, dan meatus

superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung

dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara

(ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka

media dan dinding lateral rongga hidung yang bermuara pada sinus frontalis,

sinus etmoid anterior dan sinus maksilaris. Pada meatus superior yang

merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara

sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid.1

Gambar 4. Konka nasi

9
10

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os

maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan

dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari

rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari

os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya

serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung

dibentuk oleh os sphenoid.1

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa secara histologi dan fungsional dibagi

atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa

olfaktori). Mukosa pernafasan dilapisi oleh epitel pseudokolumnar berlapis

yang mempunyai silia dan terdapat sel-sel goblet. Dalam keadaan normal

warna mukosa adalah merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut

lendir. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret

terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan

silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret

kental, dan obat-obatan. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung,

konka superior, dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel

pseudostratified columnar tidak bersilia. Daerah mukosa penghidu berwarna

coklat kekuningan.1

Rongga hidung bagian bawah mendapat perdarahan dari cabang arteri

maksilaris interna, diantaranya adalah ujung a. palatina mayor dan a.

splenopalatina yang keluar dari foramen splenopalatina bersama n.

10
11

splenopalatina. Hidung bagian depan mendapat perdarahan dari a. fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis cabang a. splenopalatina, a.

etmoidalis anterior, a. palatina mayor, dan a. labialis superior yang

membentuk Pleksus Kiesselbach yang mudah cedera oleh trauma sehingga

sering menjadi sumber epistaksis anterior. Bagian depan dan atas rongga

hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis anterior yang

merupakan cabang dari n. nasosiliaris yang berasal dari n. ophtalmicus.

Rongga hidung lainnya sebagian lainnya mendapat persarafan sensoris dari n.

maksilaris melalui ganglion spenopalatina. Ganglion spenopalatina selain

memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau

otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut sensoris dari n.

maksilaris (N V2), serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor

dan serabut simpatis dari n. petrosus profunda.1

Ganglion spenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung

posterior konka media. N. olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari

permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel

reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di sepertiga atas hidung.1

2.2 Perjalanan Saraf Otonom Hidung

Saraf otonom yang mempersarafi mukosa hidung berasal dari nervus vidianus

yang mengandung serabut saraf simpatis dan serabut saraf parasimpatis.

Nervus vidianus terbentuk dari 2 saraf yaitu n. petrosus superfisialis mayor

dan n. petrosus profunda. Nervus petrosus superficialis mayor yang terdapat

11
12

pada dasar fossa cranialis media yang bersifat parasimpatis dari Vertebra

Cervicalis VII menuju ganglion pterigopalatina. Nervus petrosus profunda

merupakan nervus yang bersifat simpatis yang meninggalkan pleksus carotis

internus.

Nervus vidianus terbentuk pada pertemuan kedua nervus tersebut pada dasar

kepala dan memasuki canalis vidianus (pterygoid) pada dinding anterior

foramen laserum. Nervus tersebut memasuki ganglion pterygopalatina dari

arah permukaan posterior dan inervasi simpatis dan parasimpatis

didistribusikan pada semua lokasi yang berhubungan dengan ganlion tersebut

( canalis nasalis, cavum oris, sinus paranasalis dan glandula lakrimalis

melalui cabang N.V1 dan N. V2 ).

Fossa pterygopalatina mempunyai bentuk kerucut yang terbalik, terletak di

sebelah lateral cavum nasi, anterior inferior dari fossa cranialis media,

inferior di apex orbita dan medial dari fossa infratemporalis. Fossa

pterygopalatina berhubungan dengan orbita, fossa cranialis medialis, cavum

nasi, nasofaring, cavum oris dan fossa infratemporalis . Fossa pterygopalatina

terdapat n. maxilaris, N.V2 (cabang kedua dari N. V), pterygopalatina dan

arteri maxillaris.

2.3 Patogenesis dan Patofisiologi Rhinitis Vasomotor

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional. Fungsi

hidung dan sinus paranasal adalah: 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi

12
13

udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam

pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal, 2) fungsi penghidu

karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung

stimulus penghidu, 3) fungsi fonetik berguna untuk resonansi suara,

membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui

konduksi tulang, 4) fungsi statis dan mekanik untuk meringankan beban

kepala, proteksi terhadap trauma, dan pelindung panas, 5) refleks nasal.1

Ada beberapa mekanisme yang berinteraksi dengan hidung yang

menyebabkan terjadinya rhinitis vasomotor pada berbagai kondisi

lingkungan. Sistem saraf otonom mengontrol suplai darah ke dalam mukosa

nasal dan sekresi mukus. Diameter dari arteri hidung diatur oleh saraf

simpatis sedangkan saraf parasimpatis mengontrol sekresi glandula dan

mengurangi tingkat kekentalannya, serta menekan efek dari pembuluh darah

(kapiler). Efek dari hipoaktivitas saraf simpatis atau hiperaktivitas saraf

parasimpatis bisa berpengaruh pada pembuluh darah tersebut yaitu

menyebabkan terjadinya peningkatan edema interstisial dan akhirnya terjadi

kongesti yang bermanifestasi klinis sebagai hidung tersumbat. Aktivasi dari

saraf parasimpatis juga meningkatkan sekresi mukus yang menyebabkan

terjadinya rinorea yang eksesif. 1,3

Teori lain menyebutkan adanya peningkatan peptida vasoaktif yang

dikeluarkan sel-sel seperti sel mast. Peptida ini termasuk histamin, leukotrien,

prostaglandin, dan kinin. Peningkatan peptida vasoaktif ini tidak hanya

13
14

mengontrol diameter pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, hidung

tersumbat, juga meningkatkan efek dari asetilkolin pada sistem saraf

parasimpatis pada sekresi nasal, yang meningkatkan terjadinya rinorea.

Pelepasan dari peptida ini bukan diperantarai oleh IgE seperti pada rhinitis

alergik. Pada beberapa kasus rhinitis vasomotor, eosinofil atau sel mast

kemungkinan didapati meningkat pada mukosa hidung. Terlalu hiperaktifnya

reseptor iritans yang berperan pada terjadinya rhinitis vasomotor. Banyak

kasus rhinitis vasomotor berkaitan dengan agen spesifik atau kondisi tertentu.

Contoh beberapa agen atau kondisi yag mempengaruhi kondisi tersebut

adalah perubahan temperatur, kelembaban udara, parfum, aroma masakan

yang terlalu kuat, asap rokok, debu, polusi udara, dan stres (fisik dan

psikis).1,3

Mekanisme terjadinya rhinitis vasomotor oleh karena aroma dan emosi secara

langsung melibatkan kerja dari hipotalamus. Aroma yang kuat akan

merangsang sel-sel olfaktorius terdapat pada mukosa olfaktori. Kemudian

berjalan melalui traktus olfaktorius dan berakhir secara primer maupun

sesudah merelay neuron pada dua daerah utama otak, yaitu daerah olfaktoris

medial dan olfaktoris lateral. Daerah olfaktoris medial terletak pada bagian

anterior hipotalamus. Jika bagian anterior hipotalamus teraktivasi misalnya

oleh aroma yang kuat serta emosi, maka akan menimbulkan reaksi

parasimpatetik di perifer sehingga terjadi dominasi fungsi syaraf parasimpatis

di perifer, termasuk di hidung yang dapat menimbulkan manifestasi klinis

berupa rhinitis vasomotor. 1,3

14
15

Dari penelitian telah diketahui bahwa vaskularisasi hidung dipersarafi sistem

adrenergik maupun oleh kolinergik. Sistem saraf otonom ini yang mengontrol

vaskularisasi pada umumnya dan sinusoid vena pada khususnya,

memungkinan kita memahami mekanisme bendungan koana. Stimulasi

kolinergik menimbulkan vasodilatasi sehingga koana membengkak atau

terbendung, hasilnya terjadi obstruksi saluran hidung. Stimulasi simpatis

servikalis menimbulkan vasokonstriksi hidung. 1,3

Dianggap bahwa sistem saraf otonom, karena pengaruh dan kontrolnya atas

mekanisme hidung, dapat menimbulkan gejala yang mirip rhinitis alergika.

Rinopati vasomotor disebabkan oleh gangguan sistem saraf autonom dan

dikenal sebagai disfungsi vasomotor. Reaksi vasomotor ini terutama akibat

stimulasi parasimpatis (atau inhibisi simpatis) yang menyebabkan

vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular disertai edema dan

peningkatan sekresi kelenjar. Bila dibandingkan mekanisme kerja pada

rhinitis alergik dengan rhinitis vasomotor, maka reaksi alergi merupakan

akibat interaksi antigen antibodi dengan pelepasan mediator yang

menyebabkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas

yang menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan hidung serta gejala

bersin dan rasa gatal. Pelepasan mediator juga meningkatan aktivitas kelenjar

dan meningkatkan sekresi, sehingga mengakibatkan gejala rinorea. Pada

reaksi vasomotor yang khas, terdapat disfungsi sistem saraf autonom yang

menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis (penurunan kerja simpatis)

yang akhirnya menimbulkan peningkatan dilatasi arteriola dan kapiler disertai

15
16

peningkatan permeabilitas yang menyebabkan transudasi cairan dan edema.

Hal ini menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan hidung serta gejala

bersin dan gatal. Peningkatan aktivitas parasimpatis meningkatkan aktivitas

kelenjar dan menimbulkan peningkatan sekresi hidung yang menyebabkan

gejala rinorea. Pada reaksi alergi dan disfungsi vasomotor menghasilkan

gejala yang sama melalui mekanisme yang berbeda. Pada reaksi alergi, ia

disebabkan interaksi antigen-antibodi, sedangkan pada reaksi vasomotor ia

disebabkan oleh disfungsi sistem saraf autonom. 1,3

2.4 Tatalaksana Rhinitis Vasomotor

Penatalaksanaan yang digunakan pada rhinitis vasomotor bervariasi,

tergantung pada faktor penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis

besar penatalaksanaan dibagi menjadi tiga macam, yaitu: 2,3

a. Non Farmakologi

1. Menghindari penyebab

Jika agen iritan diketahui, terapi terbaik adalah dengan pencegahan

dan menghindari. Jika tidak diketahui, pembersihan mukosa nasal

secara periodik mungkin bisa membantu. Bisa dilakukan dengan

menggunakan semprotan larutan saline atau alat irigator seperti

Grossan irigator. 1,3

2. Stimulasi Osilasi Kinetik (KOS)4

Patogenesis yang belum jelas mengenai non allergic rhinitis dan

tidak adanya penanda imunologis, membuat interaksi saraf yang

16
17

menarik dalam hal ini. Dalam rongga hidung yang sehat, aliran

udara dirasakan oleh sistem saraf. Proses peradangan bisa

menyebabkan pembengkakan mukosa, dimana sistem saraf tidak

dapat mendeteksi aliran udara yang melewati permukaan. Gagasan

di balik penatalaksanaa menggunakan stimulasi osilasi kinetik

(KOS) yang diteliti di penelitian saat ini adalah menerapkan

mekanika osilasi mirip dengan turbulensi alami akan memiliki efek

positif pada inflamasi di lapisan permukaan mukosa.4

KOS mengaktifkan ujung saraf sensoris di mukosa dengan aferen

pada saraf trigeminal, dan reflek otonomik syaraf trigeminal.

Selanjutnya, ganglion sphenopalatine terletak beberapa milimeter

di bawah mukosa hidung dan menstimulasi sensorik dan

meneruskan impuls (getaran mekanis frekuensi rendah) ke

hipothalamus, pasien dengan NAR dan RM mengalami penurunan

rekurensi yang jauh lebih besar. Gejala nasal yang dilaporkan

sendiri, baik secara keseluruhan (RQSS) dibandingkan dengan

plasebo pasien yang dirawat.4

Efek dari KOS dapat bertahan 2 hari segera setelah perawatan tapi

masih dapat berlanjut 14 hari pasca perawatan dengan beberapa

tindakan. Terapi ini mudah dilakukan, bisa ditoleransi dengan baik

oleh pasien, dan efek sampingnya sedikit dan ringan. Pengobatan

yang sekarang digunakan (steroid dan vasokonstriktor) tidak

17
18

memberikan efek yang memuaskan dan cenderung memiliki efek

adiktif.4

KOS menggunakan sistem invasif minimal. Alat ini terdiri dari

kontrol dan kateter sekali pakai dan ikat kepala dari Chordate

Medical AB, Stockholm, Swedia. Pengontrol terhubung ke kateter.

Ikat kepala digunakan untuk mengamankan posisi kateter. Kateter

dilapisi dengan lapisan pelumas parafin, dimasukkan ke dalam

nasal rongga, di kedua sisinya. Selama pengobatan KOS, ujungnya

bergetar 15 menit dengan tekanan rata-rata 95 mbar dan amplitudo

osilasi 100 mbar pada frekuensi 68 Hz. Setelah 15 menit, osilasi

berhenti dan kateternya mengempis dan bergerak ke arah sisi lain.

Serat parasimpatik berasal dari otak tengah dan kemudian berjalan

bersama dengan serat saraf kranial ketujuh. Sinyal aferen dari

rongga hidung mencapai sistem saraf pusat melalui beberapa jalur

yang berbeda. Contoh yang paling jelas dari interkoneksi yang erat

antara stimulasi saraf aferen trigeminal dan respon kardiovaskular

yang disebut trigemino-cardiac reflex.4

Tatalaksana KOS terbukti efektif pada rhinitis non alergi. Dalam

studi control placebo 71 subjek dengan alergi non alergi, tataksana

dengan KOS megurangi hidung tersmbat seteah 1 minggui setelah

tatatalaksana.4

18
19

Mekanisme potensial bisa melibatkan perubahan mengenai

keseimbangan antara bagian simpatis dan parasimpatis dari sistem

saraf otonom.4

3. Operatif

Jika rhinitis vasomotor tidak berkurang dengan terapi diatas,

prosedur pembedahan dapat dilakukan antara lain dengan

Cryosurgery / Bedah Cryo yang berpengaruh pada mukosa dan

submukosa. Operasi ini merupakan tindakan yang cukup sukses

untuk mengatasi kongesti, tetapi ada kemungkinan untuk terjadinya

hidung tersumbat post operasi yang berlangsung lama dan

kerusakan dari septum nasi. Neurectomi n.vidianus merusak baik

hantaran simpatis and parasimpatis ke mukosa sehingga dapat

menghilangkan gejala rinorea. Kauterisasi dengan AgNO3 atau

elektrik cauter dapat dilakukan tetapi hanya pada lapisan mukosa.

Cryosurgery lebih dipertimbangkan daripada kauterisasi karena

dapat mencapai lapisan submukosa. Reseksi total atau parsial pada

konka inferior berhasil baik. 1,3

Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan melakukan

olahraga dapat meningkatkan daya tahan dan kondisi penderita

rhinitis vasomotor. Peningkatan aktivitas fisik berpengaruh pada

pengurangan produksi dari protein yang memacu timbulnya mukus.

Penjelasan lain menyebutkan dengan olahraga dapat menyebabkan

19
20

terjadinya vasokonstriksi membran, karena dengan olahraga dapat

meningkatkan kadar adrenalin sehinggga dapat mengurangi sekresi

mukus. Juga dengan olahraga akan membentuk reflek

nasopulmonal yaitu dengan meningkatkan volume tidal (VT) paru

dan diharapkan bila paru terbuka maksimal maka hidung juga akan

lebih terbuka, sehingga dapat mengurangi sumbatan hidung. Ini

bukanlah suatu solusi permanen dalam menangani rhinitis

vasomotor, tetapi dapat dipertimbangkan sebagai salah satu bentuk

pencegahan terjadinya eksaserbasi gejala. 1,3

b. Farmakologi

Antihistamin mempunyai respon yang beragam. Membantu pada pasien

dengan gejala utama rinorea. Selain antihistamin, pemakaian

antikolinergik juga efektif pada pasien dengan gejala utama rinorea. Obat

ini adalah antagonis muskarinik. Obat yang disarankan seperti

Ipratropium bromida, juga terdapat formula topikal dan atrovent, yang

mempunyai efek sistemik lebih sedikit. Penggunaan obat ini harus

dihindari pada pasien dengan takikardi dan glaukom sudut sempit. 1,3

Steroid topikal membantu pada pasien dengan gejala utama kongesti,

rinorea dan bersin. Obat ini menekan respon inflamasi lokal yang

disebabkan oleh vasoaktif mediator yang dapat menghambat

Phospolipase A2, mengurangi aktivitas reseptor asetilkolin, menurunkan

basofil, sel mast dan eosinofil. Efek dari kortikostreroid tidak bisa segera,

20
21

tapi dengan penggunaan jangka panjang, minimal sampai 2 gr sebelum

hasil yang diinginkan tercapai. Steroid topikal yang dianjurkan seperti

Beclomethason, Flunisolide dan Fluticasone. Efek samping dengan

steroid yaitu edem mukosa dan eritema ringan. 1,3

Dekongestan atau simpatomimetik agen digunakan pada gejala utama

hidung tersumbat. Untuk gejala yang multipel, penggunan dekongestan

yang diformulasikan dengan antihistamin dapat digunakan. Obat yang

disarankan seperti Pseudoefedrin, Phenilprophanolamin dan Phenilephrin

serta Oxymetazoline (semprot hidung). Obat ini merupakan agonis

reseptor α dan baik untuk meringankan serangan akut. Pada penggunaan

topikal yang terlalu lama (> 5 hari) dapat terjadi rhinitis medikamentosa

yaitu rebound kongesti yang terjadi setelah penggunaan obat topikal > 5

hari. Kontraindikasi pemakaian dekongestan adalah penderita dengan

hipertensi yang berat serta tekanan darah yang labil. 1,3

Pemberian preparat Kalsium seperti Dumocalsin atau preparat Kalk dapat

juga digunakan. Pada rhinitis vasomotor terjadi peningkatan acetilkholin

sebagai akibat dari dominasi parasimpatis untuk menurunkan kadar asetil

cholin maka diperlukan adanya enzyme asetilcholin esterase. Dengan

pemberian prerat Kalk dapat meningkatkan kerja enzyme asetil cholin

esterase sehingga dapat memecah asetilkolin yang menumpuk tersebut. 1,3

21
22

Gambar 3. Algoritme tatalaksana Rhinitis Vasomotor7

22
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Rhinitis vasomotor adalah suatu inflamasi pada mukosa hidung yang bukan

merupakan proses alergi, non infeksius dan menyebabkan terjadinya obstruksi

hidung dan rinorea. Etiologinya dipercaya sebagai akibat ketidakseimbangan

saraf otonom pada mukosa hidung sehingga terjadi pelebaran dan

pembengkakan pembuluh darah di hidung.

Terapi rhinitis vasomotor secara garis besar dibagi kedalam terapi

nonfarmakologi, farmakologi, dan pembedahan. Terapi nonfarmakologi

berupa menghindari faktor yang dapat mencetuskan timbulnya rhinitis

vasomotor. Saat ini telah dikembangkan penelitian untuk terapi rhinitis non

alergi/rhinitis vasomotor menggunakan stimulasi osilasi kinetik (KOS)

dengan menerapkan mekanika osilasi mirip dengan turbulensi alami akan

memiliki efek positif pada inflamasi di lapisan permukaan mukosa.

Sedangkan terapi farmakologi dari rhinitis vasomotor adalah pemberian obat

obatan simtomatis seperti antihistamin, steroid topikal ataupun peroral, serta


24

agen dekongestan atau obat-obatan simpatomimetik. Selain itu, pada

penderita rhinitis vasomotor dapat juga dilakukan tindakan operatif berupa

bedah-beku, elektrokauter, atau konkotomi parsial konka inferior. Dapat pula

dilakukan neuroktomi n. vidianus bila dengan tindakan lainnya tidak

memberikan hasil optimal.

24
25

DAFTAR PUSTAKA

1. Elise Kasakeyan. Rhinitis Vasomotor. Dalam : Soepardi EA, Nurbaiti

Iskandar, Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi ke-7. Jakarta : Balai

Penerbit FK UI, 2014. h. 135–6.

2. Sanico A, Togias A. Noninfectious, nonallergic rhinitis (NINAR). Dalam:

Lalwani KA,Ed. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and

Neck Surgery second edition. New York: Lange McGrawHill Comp, 2007.p.

112-117.

3. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 196-222.

4. Juto, J.E., Axelson, M. 2014. Kinetic Oscillation Stimulation as Treatment of

Non Allergic Rhinitis: an RCT Study. Acta Oto-Laryngologica. 134: 506-512.

25

Você também pode gostar