Você está na página 1de 10

1) Apa penyebab dan mekanisme badan lemah?

Secara umum, penyebab dari badan lemah dan mudah lelah adalah
akibat dari terjadinya anemia yang merupakan manifestasi klinis dan
komplikasi dari SLE. Mekanisme dari terjadinya anemia berbeda berdasarkan
jenis anemia yang dialami. Kemungkinan besar anemia yang dialami besar
adalah Anemia Penyakit Kronis dan Anemia Hemolitik Autoimun. Pada SLE,
jenis anemia yang kerap ditemukan adalah anemia penyakit kronik, anemia
defisiensi besi, anemia hemolitik autoimun, dan anemia karena penyakit
ginjal kronik. Anemia penyakit kronik adalah jenis yang paling banyak
dijumpai pada pasien lupus.
Pada penderita lupus, terutama lupus nefritis, terjadi inflitrasi sel
makrofag ke jaringan interstisial ginjal. Leukosit-leukosit ini akan
menghasilkan sitokin-sitokin inflamasi seperti IL-1, TNF-α, IFN- α, IFN-β,
dan TGF-β. Sitokin-sitokin tersebut memiliki efek inhibisi terhadap produksi
eritropoetin oleh ginjal. Sitokin inflamasi juga menyebabkan resistensi primer
pada sel progenitor hematopoesis terhadap mekanisme aksi eritropoetin.
Eritropoiesis yang terhambat mengakibatkan produksi eritrosit menurun
sehingga transportasi oksigen berkurang. Trasnportasi okosigen yang
berkurang mengakibatkan proses fosforilasi oksidatif menurun sehingga
pembentukkan ATP berkurang yang mengakibatkan terjadinya badan yang
lemah dan mudah lelah.
Selain mekanisme di atas, Schett, et.al juga menyebutkan kemungkinan
keterlibatan autoantibodi eritropoetin (anti-EPO) terhadap defisiensi
eritropoetin. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang menyebutkan sekitar
21% pasien SLE dengan anemia terdeteksi memiliki anti-EPO.

2) Apa penyebab dan mekanisme nyeri sendi

Nyeri yang hilang timbul juga diakibatkan sel-sel polimorfonuklear yang


menghancurkannya. Inflamasi sendi dijumpai pada 90% kasus SLE dengan
keluhan nyeri sendi dan kekakuan sendi pada pagi hari (morning stiffness),
terutama pada pergelangan tangan, lutut, dan jari-jari tangan. Hal ini disebabkan
deposit kompleks antigen-antibodi berdasarkan studi hingga 65% pasien lupus
mengalami gejala neuropsikiatrik suatu waktu dalam perjalanan penyakitnya,
dan hingga 85% mengalami gejala neuropsikiatrik dalam 2 tahun pertama
setelah diagnosis.
Mekanisme lainnya:
Sel plasma dalam sinovium akan membentuk anti-IgG (FR berupa IgM)  anti-
IgG menggangap sinovium tersebut autontigen  menimbulkan kompleks imun
di sendi  terjadi aktivasi komplemen  Pemanggilan sel-sel polimorfonuklear
 terjadilah penghancuran dari sinovium  menyebabkan nyeri pada sendi kaki
dan tangan

3) Apa penyebab dan mekanisme sariawan yang sering timbul di langit mulut?

Perubahan mikroskopik pada ulserasi mukosa oral serupa dengan lesi


kulit SLE dan imunoglobulin dan pelengkap ditemukan di membran basal
dan dinding pembuluh darah.

Baik antibodi anti-Rodan anti-nukleosom memegang peranan dalam


lupus kutaneus. Antibodi anti-Ro berhubungan dengan peningkatan risiko
berkembangnya ruam fotosensitif.
Meskipun telah ditemukan hubungan yang jelas antara gambaran
klinis tertentu dari SLE dengan auto- antibodi seperti antibodi anti-
ribosomal P dengan psikosis, antibodi anti-Ro dengan blok jantung bawaan
dan lupus kutaneus subakut, tetapi patogenisitas dari antibod i ini belum
diteliti secara adekuat. Sehingga mekanisme imuno-logis yang pasti dari
kelainan ini masih belum jelas. Patogenesis dari manifestasi selain
glomerulonefritis belum diketahui secara baik, meskipun kemungkinan
mekanisme yang mendasari adalah deposisi kompleks imun dengan
aktivasi komplemen pada tempat-tempat tertentu.

Pada mukokutan (ulserasi pada mulut) terdapat deposisi antibodi


anti-Rodan. Antibodi anto-Rodan berikatan dengan bagian DNA yang
melekat pada mukokutan, menginisiasi inflamasi lokal dan aktivasi
komplemen sehingga terbentuk kompleks imun di mukokutan.

Mukosa bukal, palatum keras, dan batas vermilion adalah lokasi yang
paling sering dilibatkan oleh lesi, yang dapat berupa tiga jenis (lesi diskoid,
lesi eritematosus, dan bisul) dan dapat berdampingan, menyebabkan
edema dan petekia. Lesi diskoid muncul sebagai daerah sentral eritema
dengan bintik-bintik putih yang dikelilingi oleh striae putih yang memancar
dan telangiektasia di pinggirannya. Lesi eritematosa sering disertai edema
dan petekia yang memerah pada langit-langit yang keras, meskipun
biasanya ditemukan secara kebetulan sebagai daerah makula datar dengan
batas yang tidak jelas. Ulkus cenderung terjadi kecil dan dangkal. Mereka
biasanya berdiameter 1-2 cm dan sekitar sepertiga pasien dapat meluas ke
dalam faring.

4) Bagaimana interpretasi dari keadaan umum?


Keadaan umum sakit sedang, tekanan darah: 120/80 mmHg sensorium
kompos mentis, frekuensi napas 20x/mnt, frekuensi nadi: 92x/menit, suhu
37,3 oC.

Keadaan umum Nilai normal Interpretasi


Sakit sedang Tidak tampak Abnormal
sakit
Tekanan darah 120 / 80 Normal
120/80 mmHg mmHg
Sensorium Compos Normal
compos mentis mentis
Frekuensi nafas 16 – 24 x Normal
20x/menit /menit
Frekuensi nadi 60 – 100 x Normal
92x/menit /menit
Suhu 37,3 C 36,5-37,5oC Normal

5) bagaimana gambaran abnormal dari keadaan spesifik


a) Kepala: alopesia (+)
b) konjungtiva palpebra pucat (+)

c) muka: malar rash (+)

d) edema palpebra
e) mulut: ulserasi pada palatum

f) Abdomen: asites

g) Edema tungkai

h) Kedua telapak tangan dan kaki terlihat bercak kemerahan.


6) Apa penyebab dan mekanisme urin bewarna keruh ?

Protein(albumin) yang dikeluarkan bersama urin akan memberikan


warna urin menjadi keruh

Template
a) Tatalaksana

Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan


agar tujuan terapi dapat tercapai. Berikut pilar terapi SLE :
 Edukasi dan Konseling Informasi yang benar dan dukungan dari orang
sekitar sangat dibutuhkan oleh pasien SLE dengan tujuan agar para pasien
dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE, antara
lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara
mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari
paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi
infeksi, dan perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan,
displidemia atau terjadinya osteoporosis.
 Program Rehabilitasi Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi
yang dilakukan oleh pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering
melakukan terapi fisik, terapi dengan modalitas, kemudian melakukan
latihan ortotik, dan lain-lain.
 Terapi medika mentosa
Rekomendasi
 Pengobatan SLE meliputi edukasi dan konseling, rehabilitasi medik dan
medika mentosa.
 Pemberian terapi kotrikosteroid merupakan lini pertama, cara penggunaan,
dosis dan efek samping perlu diperhatikan.
 Terapi pendamping (sparing agent) dapat digunakan untuk memudahkan
menurunkan dosis kortikosteroid, mengontrol penyakit dasar dan
mengurangi efek samping KS.

Gambar 3. Alogaritma penatalaksanaan SLE


Nefritis Lupus Klas I

Tidak memerlukan pengobatan spesifik. Pengobatan lebih ditujukan pada gejala-


gejala ekstra renal.

Nefritis Lupus Klas II

Jika tidak disertai oleh proteinuria yang bermakna (> 1 gram/24 jam) dan
sedimen tidak aktif, maka tidak diperlukan pengobatan yang spesifik.
Jikadisertaidenganproteinuriyang >1gram/24jam, titer anti-ds-DNA yang tinggi
dan hematuri, diberikan prednison 0.5-1.0 mg/kg/hari selama 6-12 minggu.
Kemudian dosis diturunkan perlahan-lahan (5-10 mg) tiap 1-3 minggu dan
dilakukan penyesuaian dosis untuk menekan aktivitas lupus

Nefritis Lupus Klas Ill dan IV

Terapi lnduksi

Tujuan terapi induksi adalah untuk mencapai keadaan remisi aktivitas lupus yang
ditandai oleh resolusi gejala-gejala ekstra renal, manifestasi serologik menjadi
lebih baik, serta resolusi dari hematuri, kristal seluler, dan konsentrasi kreatinin
serum berkurang atau paling tidak menetap 5·14 Obat-obat yang dipakai untuk
terapi induksi adalah:

a. Pulse glukortikoid

 Pada pasien dengan lupus yang sangat aktif (Acute Kidney Injury, rapidly
progresive glomerulonephritis, dan kelainan ekstra renal yang berat),
diberikan pulse metilprednisolon sebanyak 500-1000 mg iv/hari untuk
menginduksi efek anti- inflamasi yang cepat. Setelah 3 hari pemberian,
dilanjutkan dengan prednison dengan dosis 0.5-1 .0 mg/hari . Prednison
diberikan bersama obat-obat imunosupresan yang lain. 

b. Siklofosfamid

Siklofosfamid diberikan dengan dosis 750 mg/ m2 tiap bulan selama 6
buIan. Diberikan bersama prednison dengan dosis 0.5 mg/kg/hari, yang
kemudian diturunkan perlahan-lahan sampai dosis 0.25 mg/kg/hari
terutama untuk mengontrol gejala ekstra renal.15·16 

c. Mikofenolat mofetil

 Sejak kurang lebih 10 tahun terakhir, mikofenolat mofetil dipakai untuk
terapi induksi NL kelas Ill dan IV,17·18·19 terutama untuk menghindari efek
samping siklofosfamid (hipoplasia gonad, dan sistitis hemoragik). Untuk
terapi induksi dosis mikofenolat mofetil yang dianjurkan 1 gram 2x sehari
diberikan sampai 6 bulan 

d. Azatioprin

Diberikan dengan dosis 2 mg/kg/hari dikombinasikan dengan prednison 0.5
mg/kg/hari.20 Dosis prednison kemudian diturunkan perlahan-lahan sampai
0,25 mg/kg/hari. Untuk terapi induksi, azatioprin diberikan selama 6 bulan.
e. Rituximab
Rituximab adalah suatu anti CD-20 yang bekerja pada limfosit B.
Digunakan untuk menginduksi remisi pada pasien nefritis lupus yang berat,
yang tidak memberikan respons dengan pemberian siklofosfamid atau MMF.
Meskipun hasil beberapa penelitian tidak menunjukkan perbedaaan
bermakna, tetapi masih dimungkinkan permberian rituximab pada pasien
yang resisten, mencegah flare, dan mengurangi jumlah atau dosis
immunosupresan lain.21
Tacrolimus + MMF atau Azatioprin + steroid Dipakai pada pasien nefritis
lupus proliferatif (klas IV) yang superimposed dengan nefritis lupus
membranosa (klas V). Remisi yang terjadi pada pemakaian obat ini lebih
tinggi dari pada hanya memakai Selain itu, efek samping yang terjadi juga
lebih sedikit pada pasien yang mendapat tacrolimus + MMF atau azatioprin +
steroid.

Regimen yang terdiri dari tacrolimus + MMF atau azatioprin +steroid disebut
imunosupresan multitarget.21

Beberapa obat lain yang juga dipakai untuk induksi adalah:

 lmunoglobulin iv

 Siklosporin
 Leflunomid
 
 Antibodi monoclonal
 
 Inhibitor komplemen


Pemakaian obat-obatan ini masih terbatas dan hasil pengobatan belum


jelas.8·14 lebih aman dibandingkan dengan penggunaan imunosupresan
lainnya

f. Siklosporin, diberikan dengan dosis 2-2.5 mg/kg/ hari, selama 2 tahun 



g. Rituximab, sebagai terapi aditif pada penggunaan dengan MMF atau
siklofosfamid intravena 

h. Abatacept, suatu modulator selektif sel T 

i.
Belimumab, suatu antibodi monoklonal yang mengikat stimulator limfosit
B soluble
 i. ACTH, merupakan pilihan terapi yang potensial terutama
pada nefritis lupus klas V.21

Untuk mengurangi efek samping siklofosfamid yang mungkin terjadi pada


pemberian untuk waktu yang lama , beberapa penelitian menganjurkan
pemberian Azatioprin atau mikofenolat mofetil setelah induksi dengan
siklofosfamid.21•22

Nefritis Lupus Klas V

Bila pada hasil biopsi ginjal didapatkan tipe campuran NL Klas V dengan Klas Ill
atau Klas IV, maka terapi diberikan sesuai untuk terapi NL Klas Ill dan IV
 Pada NL
Klas V diberikan prednison dengan dosis 1 mg/kg/hari selama 6-12 minggu.
Prednison kemudian diturunkan menjadi 10-15 mg/hari selama 1-2 tahun.
Beberapa penelitian mengkombinasikan prednison dengan siklosporin,
klorambusil, azatioprin, atau mikofenolat mofetil.

Pengobatan optimal untuk NL Klas V belum jelas, perjalanan klinis dan prognosis
sangat bervariasi, meskipun dari beberapa penelitian pengunaan MMF untuk
terapi induksi dan pemeliharaan banyak dilaporkan.
Nefritis Lupus Klas VI

Pengobatan lebih ditujukan pada manifestasi ekstra renal. Untuk memperlambat


penurunan fungsi ginjal dilakukan terapi suportif seperti restriksi protein,
pengobatan hipertensi, pengikat fosfor, dan vitamin D.

PENGOBATAN UMUM PADA NL

Restriksi protein 0.6-0.8 gram/kgBB/hari bila sudah terdapat gangguan fungsi


ginjal
 Pemberian ACE-i dan ARB untuk mengurangi proteinuri

Mengontrol faktor-faktor risiko dan efek samping obat Dislipidemia, dianjurkan


pemberian statin Hipertensi, dengan ACE-I atau ARB sebagai pilihan utama
dengan target TD <130/80 mmHg Sindrom antifosfolipid, diberikan golongan
aspirin

Terapi Pemeliharaan (maintenance therapy) Tujuan terapi pemeliharaan adalah


untuk mencegah relaps dan menekan aktivitas penyakit, mencegah progresifitas
ke arah penyakit ginjal kronis dan men- cegah efek samping pengobatan yang
lama.

a. Kortikosteroid, tetap merupakan komponen utama dalam terapi pemeliharaan


nefritis lupus, dan tidak ada studi klinis yang tidak memakai/
menggunakan steroid dalam terapi pemeliharaan. Dosis kortikosteroid
dipertahankan seminimal mungkin, yang dengan dosis tersebut aktivitas
lupus tetap terkontrol 


b. Siklofosfamid, diberikan dengan dosis 0.75 gram iv setiap 3 bulan sampai 2


tahun 
 Saat ini pemakaian siklofosfamid >3-6 bulang sebaiknya dihindari
karena efek siklofosfamid seperti alopesia, sistitis hemoragika, kanker
kandung kencing, kerusakan gonad dan menopause yang lebih awal.21 


c. Mikofenolat mofetil, dosis diberikan sebanyak 1-2 gram sehari sekurang-


kurangnya 2 tahun 


d. Azatioprin, diberikan dengan dosis 2 mg/kg/hari sekurang-kurangnya 2 tahun



 Penggunaan azatioprin selama kehamilan, 


Você também pode gostar