Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
(SLE)
A. DEFINISI
Penyakit lupus termasuk penyakit autoimun, artinya tubuh menghasilkan
antibodi yang sebenarnya untuk melenyapkan kuman atau sel kanker yang
ada di tubuh, tetapi dalam keadaan autoimun, antibodi tersebut ternyata
merusak organ tubuh sendiri. Organ tubuh yang sering dirusak adalah ginjal,
sendi, kulit, jantung, paru, otak, dan sistem pembuluh darah. Semakin lama
proses perusakan terjadi, semakin berat kerusakan tubuh. Jika penyakit lupus
melibatkan ginjal, dalam waktu lama fungsi ginjal akan menurun dan pada
keadaan tertentu memang diperlukan cuci darah. (Smelthzer, 2007).
Lupus Eritematosus Systemik (LES) adalah suatu penyakit autoimun
kronik yang ditandai oleh terbentuknya antibodi-antibodi terhadap beberapa
antigen diri yang berlainan. Antibodi-antibodi tersebut biasanya adalah IgG
atau IgM dan dapat bekerja terhadap asam nukleat pada DNA atau RNA,
protein jenjang koagulasi, kulit, sel darah merah, sel darah putih, dan
trombosit. Komplek antigen antibodi dapat mengendap di jaringan kapiler
sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas III, kemudian terjadi peradangan
kronik (Elizabeth, 2009).
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang
disebabkan oleh banyak faktor dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan
disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi
autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).
B. KLASIFIKASI
Ada 3 bentuk lupus yang dikenal yaitu :
1. Lupus systemik
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah gangguan autoimun kronis
dimana tubuh menghasilkan antibodi melawan jaringannya sendiri.
Kompleks imun ini bersirkulasi di dalam darah dan merangsang reaksi
inflamasi di pembuluh darah kecil, jaringan penyambung, dan membran
serosa seluruh tubuh, sehingga menimbulkan berbagai gejala.
2. Lupus discoid
Yaitu penyakit lupus yang menyerang kulit.
3. Lupus karena obat
Penyakit lupus yang muncul setelah penggunaan obat tertentu, seperti
hidralazin (Apresoline), metildopa (Aldomet), klorpromazin (Thorazine),
prokainamid (Pronestyl) (Barbara Engram, 2005).
C. ETIOLOGI
Sampai saat ini penyebab LES belum diketahui. Diduga faktor genetik,
infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi LES. Kecenderungan
terjadinya LES dapat berhubungan dengan perubahan gen MHC spesifik dan
bagaimana antigen sendiri ditunjukkan dan dikenali. Wanita lebih cenderung
mengalami LES dibandigkan pria, karena peran hormon seks. LES dapat
dicetuskan oleh stres, sering berkaitan dengan kehamilan atau menyususi.
Pada beberapa orang, pajanan radiasi ultraviolet yang berlebihan dapat
mencetuskan penyakit. Penyakit ini biasanya mengenai wanita muda selama
masa subur. Penyakit ini dapat bersifat ringan selama bertahn-tahun, atau
dapat berkembang dan menyebabkan kematian (Elizabeth, 2009).
1. Faktor Risiko
a. Faktor risiko genetik
Meliputi jenis kelamin (frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih
sering daripada pria dewasa), umur (lebih sering pada usia 20-40
tahun), etnik, dan faktor keturunan (frekuensinya 20 kali lebih sering
dalam keluarga di mana terdapat anggota dengan penyakit tersebut).
b. Faktor risiko hormon
Estrogen menambah risiko LES, sedang androgen mengurangi
risiko ini.
c. Sinar ultraviolet
Sinar ultraviolet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi
kurang efektif, sehingga LES kambuh atau bertambah berat. Ini
disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga
terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui
peredaran di pemuluh darah.
d. Imunitas
Pada pasien LES terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi
terhadap sel T.
e. Obat
Obat tertentu dalam presentasi kecil sekali pada pasien tertentu dan
diminum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat
(Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE).
f. Infeksi
Pasien LES cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-
kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi.
g. Stres
Stres berat dapat mencetuskan LES pada pasien yang sudah
memiliki kecenderungan akan penyakit ini (Arif Mansjoer, 2000).
D. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis dari LES biasanya dapat membingungkan, gejala yang palin
sering adalah sebagai berikut:
a Poliartralgia (nyeri sendi) dan artiritis (peradangan sendi).
b Demam akibat peradangan kronik
c Ruam wajah dalam pola malar (seperti kupu-kupu) di pipi dan hidung,
kata Lupus berarti serigala dan mengacu kepada penampakan topeng
seperti serigala.
d Lesi dan kebiruan di ujung kaki akibat buruknya aliran darah dan hipoksia
kronik
e Sklerosis (pengencangan atau pengerasan) kulit jari tangan
f Luka di selaput lendir mulut atau faring (sariawan)
g Lesi berskuama di kepala, leher dan punggung
h Edema mata dan kaki mungkin mencerminkan keterlibatan ginjal dan
hipertensi
i Anemia, kelelahan kronik, infeksi berulang, dan perdarahan sering terjadi
karena serangan terhadap sel darah merah dan putih serta trombosit
(Elizabeth, 2009).
E. PATOFISIOLOGI
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Penatalaksanaan medis
Terapi dengan obat bagi penderita SLE mencakup pemberian obat-obat:
a. Antiradang nonstreroid (AINS)
AINS dipakai untuk mengatasi arthritis dan artralgia. Aspirin saat ini
lebih jarang dipakai karena memiliki insiden hepatotoksik tertinggi,
dan sebagian penderita SLE juga mengalami gangguan pada hati.
Penderita LES juga memiliki risiko tinggi terhadap efek samping obat-
obatan AINS pada kulit, hati, dan ginjal sehingga pemberian harus
dipantau secara seksama.
b. Kortikosteroid
c. Antimalaria
Pemberian antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila AINS
tidak dapat mengendalikan gejala-gejala LES. Biasanya antimalaria
mula-mula diberikan dengan dosis tinggi untuk memperoleh keadaan
remisi. Bersihnya lesi kulit merupakan parameter untuk memantau
pemakaian dosis.
d. Imunosupresif
Pemberian imunosupresif (siklofosfamid atau azatioprin) dapat
dilakukan untuk menekan aktivitas autoimun LES (Elizabeth, 2009).
2. Penatalaksanaan keperawatan
Perawat menemukan pasien SLE pada berbagai area klinik karena sifat
penyakit yang homogeny. Hal ini meliputi area praktik keperawatan
reumatologi, pengobatan umum, dermatologi, ortopedik, dan neurologi.
Pada setiap area asuhan pasien, terdapat tiga komponen asuhan
keperawatan yang utama.
a Pemantauan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan
instrument yang valid, seperti hitung nyeri tekan dan bengkak sendi
(Thompson & Kirwan, 1995) dan kuesioner pengkajian kesehatan
(Fries et al, 1980). Hal ini member indikasi yang berguna mengenai
pemburukan atau kekambuhan gejala.
b Edukasi sangat penting pada semua penyakit jangka panjang. Pasien
yang menyadari hubungan antara stres dan serangan aktivitas penyakit
akan mampu mengoptimalkan prospek kesehatan mereka. Advice
tentang keseimbangan antara aktivitas dan periode istirahat,
pentingnya latihan, dan mengetahui tanda peringatan serangan, seperti
peningkatan keletihan, nyeri, ruam, demam, sakit kepala, atau pusing,
penting dalam membantu pasien mengembangkan strategi koping dan
menjamin masalah diperhatikan dengan baik.
c Dukungan psikologis merupakan kebutuhan utama bagi pasien SLE.
Perawat dapat memberi dukungan dan dorongan serta, setelah
pelatihan, dapat menggunakan ketrampilan konseling ahli.
Pemberdayaan pasien, keluarga, dan pemberi asuhan memungkinkan
kepatuhan dan kendali personal yang lebih baik terhadap gaya hidup
dan penatalaksanaan regimen bagi mereka (Mansjoer, 2000).
H. WOC SLE
Genetik, lingkungan, hormon, obat-obatan tertentu
Penyakit lupus
Nyeri
Produksi antibodi terus menerus
Suplai O² ke
Kerusakan Athritis Hb Emphisema Ketidak Kesalahan
otak
integritas kulit seimbangan sistesa zat
cairan & yang di
Suplai O² elektrolit butuhkan
inflamasi Intoleransi Pola nafas Resti
nutrien tubuh
aktivitas tidak efektif kematian
Volume cairan Ketidakseimbangan
Gangguan body meningkat
BB ATP nutrisi kurang dari
image
kebutuhan tubuh
Terdapatnya
Perubahan status odema
Keletihan
kesehatan
Kelebihan volume
cairan
Kecemasan
I. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik di fokuskan
pada gejala sekarang dan gejala yang pernah di alami. Seperti keluhan
mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam / panas, anoreksia efek gejala
tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
a Kulit
Ruam eritematous, plak eritematouspada kulit kepala, muka atau
leher.
b Kardiovaskuler
Friction rup perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura,
lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis
menunjukan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari
kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan.
c Sistem muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan ketika bergerak, rasa kaku pada pagi
hari.
d Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri tas ruam yang berbentuk kupu-kupu
yang melintang pangkal hidung dan pipi.
e Sistem pernapasan
Pleuritis atau efusipleura.
f Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritomatous dan parpura di ujuna jari kaki, tangan, siku serta
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan
berlanjut nekrosit.
g Sistem renal
Edema dan hematuria.
h Sistem syaraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang,
korea atau manifestasi SPP lainnya.
2. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri b.d inflamasi dan kerusakan jaringan
b. Kerusakan integritas kulit b.d proses penyakit
c. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum
d. Kecemasan b.d kurangnya pengetahuan
e. Keletihan b.d malaise
f. Pola nafas tidak efektif b.d hiperventilasi
g. Kelebihan volume cairan b.d kelebihan cairan dalam tubuh aktibat
terdapatnya odema
h. Ketidaksimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia
mual muntah
i. Gangguan body image b.d adanya inflamasi
3. Intervensi keperawatan
a. Nyeri b.d inflamasi dan kerusakan jaringan
NOC
Pain Level,
Pain control,
Comfort level
Kriteria hasil :
Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu
menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri,
mencari bantuan)
Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri
Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda
nyeri)
Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
Tanda vital dalam rentang normal
NIC
Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri pasien
Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan
dukungan
Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan
Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi
dan inter personal)
Ajarkan tentang teknik nafas dalam untuk menghilangkan nyeri
Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
Tingkatkan istirahat
Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri
tidak berhasil (NANDA, 2013).
DAFTAR PUSTAKA
Albar S. Lupus eritematosus sistemik. (2003). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I, edisi Ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Mansjoer, Arif. (2000). Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketika. Jakarta : Media.