Você está na página 1de 14

KONSEP DASAR PENYAKIT SYSTEMIC LUPUS ERITEMATOSUS

(SLE)

A. DEFINISI
Penyakit lupus termasuk penyakit autoimun, artinya tubuh menghasilkan
antibodi yang sebenarnya untuk melenyapkan kuman atau sel kanker yang
ada di tubuh, tetapi dalam keadaan autoimun, antibodi tersebut ternyata
merusak organ tubuh sendiri. Organ tubuh yang sering dirusak adalah ginjal,
sendi, kulit, jantung, paru, otak, dan sistem pembuluh darah. Semakin lama
proses perusakan terjadi, semakin berat kerusakan tubuh. Jika penyakit lupus
melibatkan ginjal, dalam waktu lama fungsi ginjal akan menurun dan pada
keadaan tertentu memang diperlukan cuci darah. (Smelthzer, 2007).
Lupus Eritematosus Systemik (LES) adalah suatu penyakit autoimun
kronik yang ditandai oleh terbentuknya antibodi-antibodi terhadap beberapa
antigen diri yang berlainan. Antibodi-antibodi tersebut biasanya adalah IgG
atau IgM dan dapat bekerja terhadap asam nukleat pada DNA atau RNA,
protein jenjang koagulasi, kulit, sel darah merah, sel darah putih, dan
trombosit. Komplek antigen antibodi dapat mengendap di jaringan kapiler
sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas III, kemudian terjadi peradangan
kronik (Elizabeth, 2009).
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang
disebabkan oleh banyak faktor dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan
disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi
autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).

B. KLASIFIKASI
Ada 3 bentuk lupus yang dikenal yaitu :
1. Lupus systemik
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah gangguan autoimun kronis
dimana tubuh menghasilkan antibodi melawan jaringannya sendiri.
Kompleks imun ini bersirkulasi di dalam darah dan merangsang reaksi
inflamasi di pembuluh darah kecil, jaringan penyambung, dan membran
serosa seluruh tubuh, sehingga menimbulkan berbagai gejala.
2. Lupus discoid
Yaitu penyakit lupus yang menyerang kulit.
3. Lupus karena obat
Penyakit lupus yang muncul setelah penggunaan obat tertentu, seperti
hidralazin (Apresoline), metildopa (Aldomet), klorpromazin (Thorazine),
prokainamid (Pronestyl) (Barbara Engram, 2005).

C. ETIOLOGI
Sampai saat ini penyebab LES belum diketahui. Diduga faktor genetik,
infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi LES. Kecenderungan
terjadinya LES dapat berhubungan dengan perubahan gen MHC spesifik dan
bagaimana antigen sendiri ditunjukkan dan dikenali. Wanita lebih cenderung
mengalami LES dibandigkan pria, karena peran hormon seks. LES dapat
dicetuskan oleh stres, sering berkaitan dengan kehamilan atau menyususi.
Pada beberapa orang, pajanan radiasi ultraviolet yang berlebihan dapat
mencetuskan penyakit. Penyakit ini biasanya mengenai wanita muda selama
masa subur. Penyakit ini dapat bersifat ringan selama bertahn-tahun, atau
dapat berkembang dan menyebabkan kematian (Elizabeth, 2009).
1. Faktor Risiko
a. Faktor risiko genetik
Meliputi jenis kelamin (frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih
sering daripada pria dewasa), umur (lebih sering pada usia 20-40
tahun), etnik, dan faktor keturunan (frekuensinya 20 kali lebih sering
dalam keluarga di mana terdapat anggota dengan penyakit tersebut).
b. Faktor risiko hormon
Estrogen menambah risiko LES, sedang androgen mengurangi
risiko ini.
c. Sinar ultraviolet
Sinar ultraviolet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi
kurang efektif, sehingga LES kambuh atau bertambah berat. Ini
disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga
terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui
peredaran di pemuluh darah.
d. Imunitas
Pada pasien LES terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi
terhadap sel T.
e. Obat
Obat tertentu dalam presentasi kecil sekali pada pasien tertentu dan
diminum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat
(Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE).
f. Infeksi
Pasien LES cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-
kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi.
g. Stres
Stres berat dapat mencetuskan LES pada pasien yang sudah
memiliki kecenderungan akan penyakit ini (Arif Mansjoer, 2000).

D. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis dari LES biasanya dapat membingungkan, gejala yang palin
sering adalah sebagai berikut:
a Poliartralgia (nyeri sendi) dan artiritis (peradangan sendi).
b Demam akibat peradangan kronik
c Ruam wajah dalam pola malar (seperti kupu-kupu) di pipi dan hidung,
kata Lupus berarti serigala dan mengacu kepada penampakan topeng
seperti serigala.
d Lesi dan kebiruan di ujung kaki akibat buruknya aliran darah dan hipoksia
kronik
e Sklerosis (pengencangan atau pengerasan) kulit jari tangan
f Luka di selaput lendir mulut atau faring (sariawan)
g Lesi berskuama di kepala, leher dan punggung
h Edema mata dan kaki mungkin mencerminkan keterlibatan ginjal dan
hipertensi
i Anemia, kelelahan kronik, infeksi berulang, dan perdarahan sering terjadi
karena serangan terhadap sel darah merah dan putih serta trombosit
(Elizabeth, 2009).

E. PATOFISIOLOGI

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang


menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi
selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar
termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan
seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa
kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat
fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks
imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang
selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang
kembali. (Albar, 2003).

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium yang di lakukan terhadap pasien LES meliputi:


a ANA (anti nucler antibody). Tes ANA memiliki sensitivitas yang tinggi
namun spesifisitas yang rendah.
b Anti dsDNA (double stranded). Tes ini sangat spesifik untuk LES,
biasanya titernya akan meningkat sebelum LES kambuh.
c Antibodi anti-S (Smith). Antibodi spesifik terdapat pada 20-30% pasien.
d Anti-RNP (ribonukleoprotein), anti-ro/anti SS-A, antikoagulan
lupus)/anti-SSB, dan antibodi antikardiolipin. Titernya tidak terkait
dengan kambuhnya LES.
e Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik)
f Tes sel LE. Kurang spesifik dan juga positif pada artritis reumatoid,
sindrom sjogren, skleroderna, obat, dan bahan-bahan kimia lain.
g Anti ssDNA (single stranded)
h Pasien dengan anti ssDNA positif cenderung menderita nefritis (Arif
Mansjoer, 2000).

G. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Penatalaksanaan medis
Terapi dengan obat bagi penderita SLE mencakup pemberian obat-obat:
a. Antiradang nonstreroid (AINS)
AINS dipakai untuk mengatasi arthritis dan artralgia. Aspirin saat ini
lebih jarang dipakai karena memiliki insiden hepatotoksik tertinggi,
dan sebagian penderita SLE juga mengalami gangguan pada hati.
Penderita LES juga memiliki risiko tinggi terhadap efek samping obat-
obatan AINS pada kulit, hati, dan ginjal sehingga pemberian harus
dipantau secara seksama.
b. Kortikosteroid
c. Antimalaria
Pemberian antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila AINS
tidak dapat mengendalikan gejala-gejala LES. Biasanya antimalaria
mula-mula diberikan dengan dosis tinggi untuk memperoleh keadaan
remisi. Bersihnya lesi kulit merupakan parameter untuk memantau
pemakaian dosis.
d. Imunosupresif
Pemberian imunosupresif (siklofosfamid atau azatioprin) dapat
dilakukan untuk menekan aktivitas autoimun LES (Elizabeth, 2009).
2. Penatalaksanaan keperawatan
Perawat menemukan pasien SLE pada berbagai area klinik karena sifat
penyakit yang homogeny. Hal ini meliputi area praktik keperawatan
reumatologi, pengobatan umum, dermatologi, ortopedik, dan neurologi.
Pada setiap area asuhan pasien, terdapat tiga komponen asuhan
keperawatan yang utama.
a Pemantauan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan
instrument yang valid, seperti hitung nyeri tekan dan bengkak sendi
(Thompson & Kirwan, 1995) dan kuesioner pengkajian kesehatan
(Fries et al, 1980). Hal ini member indikasi yang berguna mengenai
pemburukan atau kekambuhan gejala.
b Edukasi sangat penting pada semua penyakit jangka panjang. Pasien
yang menyadari hubungan antara stres dan serangan aktivitas penyakit
akan mampu mengoptimalkan prospek kesehatan mereka. Advice
tentang keseimbangan antara aktivitas dan periode istirahat,
pentingnya latihan, dan mengetahui tanda peringatan serangan, seperti
peningkatan keletihan, nyeri, ruam, demam, sakit kepala, atau pusing,
penting dalam membantu pasien mengembangkan strategi koping dan
menjamin masalah diperhatikan dengan baik.
c Dukungan psikologis merupakan kebutuhan utama bagi pasien SLE.
Perawat dapat memberi dukungan dan dorongan serta, setelah
pelatihan, dapat menggunakan ketrampilan konseling ahli.
Pemberdayaan pasien, keluarga, dan pemberi asuhan memungkinkan
kepatuhan dan kendali personal yang lebih baik terhadap gaya hidup
dan penatalaksanaan regimen bagi mereka (Mansjoer, 2000).

H. WOC SLE
Genetik, lingkungan, hormon, obat-obatan tertentu

Produksi autoimun berlebihan

Autoimun menyerang organ tubuh (self dan jaringan) Kerusakan jaringan

Penyakit lupus
Nyeri
Produksi antibodi terus menerus

Kulit Sendi Darah Paru Ginjal Hati Otak

Suplai O² ke
Kerusakan Athritis Hb Emphisema Ketidak Kesalahan
otak
integritas kulit seimbangan sistesa zat
cairan & yang di
Suplai O² elektrolit butuhkan
inflamasi Intoleransi Pola nafas Resti
nutrien tubuh
aktivitas tidak efektif kematian
Volume cairan Ketidakseimbangan
Gangguan body meningkat
BB ATP nutrisi kurang dari
image
kebutuhan tubuh
Terdapatnya
Perubahan status odema
Keletihan
kesehatan
Kelebihan volume
cairan
Kecemasan

(Sumber, Elizabeth, 2009).

I. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik di fokuskan
pada gejala sekarang dan gejala yang pernah di alami. Seperti keluhan
mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam / panas, anoreksia efek gejala
tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
a Kulit
Ruam eritematous, plak eritematouspada kulit kepala, muka atau
leher.
b Kardiovaskuler
Friction rup perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura,
lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis
menunjukan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari
kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan.
c Sistem muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan ketika bergerak, rasa kaku pada pagi
hari.
d Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri tas ruam yang berbentuk kupu-kupu
yang melintang pangkal hidung dan pipi.
e Sistem pernapasan
Pleuritis atau efusipleura.
f Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritomatous dan parpura di ujuna jari kaki, tangan, siku serta
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan
berlanjut nekrosit.
g Sistem renal
Edema dan hematuria.
h Sistem syaraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang,
korea atau manifestasi SPP lainnya.

2. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri b.d inflamasi dan kerusakan jaringan
b. Kerusakan integritas kulit b.d proses penyakit
c. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum
d. Kecemasan b.d kurangnya pengetahuan
e. Keletihan b.d malaise
f. Pola nafas tidak efektif b.d hiperventilasi
g. Kelebihan volume cairan b.d kelebihan cairan dalam tubuh aktibat
terdapatnya odema
h. Ketidaksimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia
mual muntah
i. Gangguan body image b.d adanya inflamasi

3. Intervensi keperawatan
a. Nyeri b.d inflamasi dan kerusakan jaringan
NOC
 Pain Level,
 Pain control,
 Comfort level
Kriteria hasil :
 Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu
menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri,
mencari bantuan)
 Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri
 Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda
nyeri)
 Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
 Tanda vital dalam rentang normal
NIC
 Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
 Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
 Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri pasien
 Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan
dukungan
 Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan
 Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi
dan inter personal)
 Ajarkan tentang teknik nafas dalam untuk menghilangkan nyeri
 Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
 Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
 Tingkatkan istirahat
 Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri
tidak berhasil (NANDA, 2013).

b. Kerusakan integritas kulit b.d proses penyakit


NOC
 Tissue integrity : skin and mucous membranes
 Hemodyalis akses
Kriteria hasil :
 Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan
 Tidak ada luka/lesi pada kulit
 Menunjukksn pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan
mencegah terjadinya cedera berulang
 Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban
kulit dan peerawatan alami
NIC
 Anjurkan pasien untuk mengunakan pakaian yang longgar
 Hindari kerutan pada tempat tidur
 Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
 Mobilisasi pasien ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
 Monitor kulit akan adanya kemerahan
 Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada daerah tertekan
 Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien (NANDA, 2013).
c. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum
NOC
 Energy conservation
 Activity tolerance
 Self care :ADLs
Kriteria hasil :
 Mampu beraktivitas sehari-hari secara mandiri
 Tanda tanda vital normal
NIC
 Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik
dalammerencanakan progran terapi yang tepat.
 Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu
dilakukan
 Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yangsesuai dengan
kemampuan fisik, psikologi dan social
 Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang
diperlukan untuk aktivitas yang diinginkan
 Bantu untuk mendpatkan alat bantuan aktivitas seperti kursi
roda, krek
 Bantu untu mengidentifikasi aktivitas yang disukai
 Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang
 Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan
dalam beraktivitas
 Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktivitas
 Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan
penguatan
 Monitor respon fisik, emoi, social dan spiritual (NANDA,
2013).
d. kecemasan b.d kurangnya pengetahuan
NOC
 Anxiety control
 Coping
Kriteria hasil :
 Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala
cemas
 Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik
untuk mengontol cemas
 Vital sign dalam batas normal
 Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat
aktivitas menunjukkan berkurangnya kecemasan
NIC
 Gunakan pendekatan yang menenangkan
 Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien
 Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama
prosedur
 Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi
takut
 Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan
prognosis
 Dorong keluarga untuk menemani anak
 Lakukan back / neck rub
 Dengarkan dengan penuh perhatian
 Identifikasi tingkat kecemasan
 Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan
 Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan,
persepsi
 Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi
 Barikan obat untuk mengurangi kecemasan (NANDA, 2013).
e. Keletihan b.d malaise
NOC
 Endurance
 Concentration
 Energy conservation
 Nutritional status : energy
Kriteria hasil
 Memverbalisasikan peningkatan energi dan merasa lebih baik
 Menjelaskan penggunaan energi untuk mengatasi kelelahan
NIC
 Energy Management
 Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas
 Dorong anal untuk mengungkapkan perasaan terhadap
keterbatasan
 Kaji adanya factor yang menyebabkan kelelahan
 Monitor nutrisi dan sumber energi tangadekuat
 Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi secara
berlebihan
 Monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas
 Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
(NANDA, 2013).
f. Pola nafas tidak efektif b.d hiperventilasi
NOC
 Respiratory status : Ventilation
 Respiratory status : Airway patency
 Vital sign Status
Kriteria hasil :
 Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih,
tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum,
mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
 Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa
tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang
normal, tidak ada suara nafas abnormal
 Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi,
pernafasan)
NIC
 Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila
perlu
 Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
 Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas
buatan
 Pasang mayo bila perlu
 Lakukan fisioterapi dada jika perlu
 Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
 Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
 Lakukan suction pada mayo
 Berikan bronkodilator bila perlu
 Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
 Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
 Monitor respirasi dan status O2 (NANDA, 2013).
g. Kelebihan volume cairan b.d kelebihan cairan didalam tubuh
NOC
 Electrolit and acid base balance
 Fluid balance
 Hydration
Kriteria hasil :
 Terbebas dari edema, efusi, anaskara
 Bunyi nafas bersih, tidak ada dyspneu/ortopneu
 Terbebas dari distensi vena jugularis, reflek hepatojugular (+)
 Memelihara tekanan vena sentral, tekanan kapiler paru, output
jantung dan vital sign dalam batas normal
 Terbebas dari kelelahan, kecemasan atau kebingungan
 Menjelaskanindikator kelebihan cairan
NIC
 Timbang popok/pembalut jika diperlukan
 Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
 Pasang urin kateter jika diperlukan
 Monitor hasil lAb yang sesuai dengan retensi cairan (BUN ,
Hmt , osmolalitas urin )
 Monitor status hemodinamik termasuk CVP, MAP, PAP, dan
PCWP
 Monitor vital sign
 Monitor indikasi retensi / kelebihan cairan (cracles, CVP ,
edema, distensi vena leher, asites)
 Kaji lokasi dan luas edema
 Monitor masukan makanan / cairan dan hitung intake kalori
harian
 Monitor status nutrisi
 Berikan diuretik sesuai interuksi
 Batasi masukan cairan pada keadaan hiponatrermi dilusi
dengan serum Na < 130 mEq/l
 Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul
memburuk (NANDA, 2013).
h. Ketidaseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
anoreksia mual muntah’
NOC
 Nutritional Status : food and Fluid Intake
Kriteria hasil :
 Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
 Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
 Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
 Tidak ada tanda tanda malnutrisi
 Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
NIC
 Kaji adanya alergi makanan
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori
dan nutrisi yang dibutuhkan pasien.
 Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe
 Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C
 Berikan substansi gula
 Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
 Berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasikan dengan
ahli gizi)
 Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
 Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
 Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
 Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang
dibutuhkan (NANDA, 2013).
i. Gangguan body image b.d adanya inflamasi
NOC
 Body image
 Self esteem
Kriteria hasil :
 Body image positif
 Mampu mengidentifikasi kekuatan personal
 Mendiskripsikan secara faktual perubahan fungsi tubuh
 Mempertahankan interaksi sosial
NIC
 Kaji secara verbal dan nonverbal respon klien terhadap
tubuhnya
 Monitor frekuensi mengkritik dirinya
 Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan dan
prognosis penyakit
 Dorong klien mengungkapkan perasaannya
 Identifikasi arti pengurangan melalui pemakaian alat bantu
 Fasilitasi kontak dengan individu lain dalam kelompok kecil
(NANDA, 2013).

DAFTAR PUSTAKA

Albar S. Lupus eritematosus sistemik. (2003). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I, edisi Ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

Engram, Barbara, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, volume I, EGC,


Jakarta , 1999
Elizabeth, C. (2000). Buku Saku Patofisiologi. Buku Kedokteran.

North. America Nursing Diagose Association ( NANDA ). (2013). Asuhan


Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis. (Nurarif, Amin Huda &
Hardhi). Yogyakarta : Mediaction Publishing.
Smelthzer, suzanne. (2007). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner and
Suddart edisi * Volume 3. Jakarta : EGC.

Mansjoer, Arif. (2000). Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketika. Jakarta : Media.

Você também pode gostar