Você está na página 1de 21

STUDI TERHADAP KELEMAHAN PENDETEKSIAN TRANSAKSI

DUNIA MAYA (E-COMMERCE) DI INDONESIA

Adhysty Vidyana, Tubagus Chairul Amachi

Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

adhysty.vidyana21@ui.ac.id

Abstrak

Makalah ini membahas mengenai aturan pemajakan transaksi e-commerce, tantangan dalam pemajakannya, faktor-
faktor yang menyebabkan lemahnya pendeteksian transaksi e-commerce dan upaya yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan efektivitas pendeteksian transaksi e-commerce. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian
menggunakan pendekatan dengan metode kualitatif. Pengumpulan data untuk keperluan analisis diperoleh melalui
penelitian dokumen meliputi studi kepustakaan dan wawancara dengan akademisi, otoritas pajak dari Pelaksana
Subdit Perjanjian & Kerjasama Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak, dan dari konsultan pajak.
Berdasarkan penelitian, peraturan dan sistem pemeriksaan serta pengawasan transaksi e-commerce di Indonesia
masih rendah. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah agar membuat aturan yang lebih jelas mengenai transaksi e-
commerce dan meningkatkan sistem administrasi perpajakan serta meningkatkan sumber daya otoritas pajak.
Pemerintah juga diharapkan dapat melakukan kerjasama dengan perbankan dan kementerian lainnya demi adanya
integrasi peraturan yang mengatur transaksi e-commerce ini.

Kata Kunci: Bentuk Usaha Tetap; E-commerce; Pajak Penghasilan; Pajak Pertambahan Nilai; Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda

Study on Weakness Detection of Virtual World (E-Commerce) Transaction in Indonesia

Abstract

This thesis discuss about the rules of taxation of e-commerce transactions, the challenges in taxing the transactions,
factors that led to the weakness of detection e-commerce transactions and efforts should be made to improve the
effectiveness of detection e-commerce transactions. This thesis is based on research using qualitative methods
approach. The collection of data for analysis of documents obtained through research includes the study of literature
and interviews with academics, the tax authority of the Executive Sub-Directorate of International Tax Cooperation
Agreement of the Directorate General of Taxation, and from a tax consultant. Based on research, regulation and
inspection systems and e-commerce transaction monitoring in Indonesia is still low. Therefore, it is expected the
government to make the rules clearer about e-commerce transactions and improve tax administration system and the
resource tax authorities. The government is also expected to make cooperation with banks and other ministries for
the sake of the integration of the rules governing these e-commerce transactions.

Keywords: E-commerce; Income Tax; Permanent Establishments; Tax Treaty; Value Added Tax

Studi Terhadap..., Adhysty Vidyana, FE UI, 2014


PENDAHULUAN

Penemuan internet merupakan sebuah penemuan yang berdampak besar bagi masyarakat.
Saat ini makin banyak kegiatan perekonomian yang dilakukan dengan media internet.
Perdagangan elektronik dengan media internet, atau yang lebih dikenal dengan e-commerce,
didefinisikan sebagai transaksi pembelian dan penjualan barang dan jasa secara fisik
menggunakan peralatan komunikasi elektronik, seperti telepon, komputer pribadi, online kiosk,
Automatic Teller Machine (ATM), smart card atau smart phone, melalui saluran telekomunikasi
seperti jaringan telepon publik tradisional, jaringan komputer, jaringan komputer yang bergerak,
dan sejenisnya (Mustika, 2008).
E-commerce menimbulkan beberapa masalah dalam sistem penagihan pajak. Transaksi e-
commerce terjadi dalam waktu yang singkat, sehingga sangat sulit untuk melacak siapa saja
pelaku transaksinya. Bentuk barang atau jasa yang diperdagangkan kebanyakan berformat digital
(non fisik) seperti software, video, musik, e-magazine, sehingga cukup menyulitkan dalam
penentuan obyek pajaknya. Di samping itu, bukti transaksinya adalah bukti elektronik sehingga
membuat transaksi e-commerce semakin susah untuk dideteksi. Dan kendala yang terakhir adalah
bahwa transaksi online tak hanya terjadi di dalam wilayah pabean Indonesia saja, namun
terkadang menembus batas geografis negara lain. Karena sifatnya lintas negara, banyak
perusahaan e-commerce yang menjalankan bisnis secara online di suatu negara, meskipun tidak
ada keberadaan secara fisik perusahaan di negara tersebut. Hal ini tentu akan menimbulkan
kesimpangsiuran mengenai negara mana yang berhak memungut pajaknya, dikarenakan
pengenaan pajak hanya mencakup sebatas di wilayah teritorial suatu negara.
Dalam Pasal 2 Ayat (5) Undang-Undang PPh, dijelaskan mengenai pengertian Bentuk
Usaha Tetap (BUT) yang salah satunya mencakup adanya keberadaan fisik tempat usaha berupa
tanah, gedung, peralatan, mesin, dan komputer, agen elektronik, atau peralatan yang dimiliki,
disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik. Dari definisi BUT di UU PPh
tersebut, perusahaan e-commerce di luar Indonesia sulit untuk dikategorikan sebagai BUT,
kecuali ada server yang terletak di Indonesia. Pasalnya, beberapa perusahaan e-commerce beserta
seluruh asetnya tidak terletak di Indonesia dan tidak melaksanakan kegiatan yang secara fisik di
Indonesia. Padahal bisa saja pendiri dan pemegang saham perusahaan e-commerce tersebut
adalah orang Indonesia, dan notabene target konsumennya adalah orang Indonesia sendiri. Tanpa

Studi Terhadap..., Adhysty Vidyana, FE UI, 2014


adanya regulasi perpajakan yang tepat atas transaksi e-commerce, potensi penerimaan pajak atas
transaksi e-commerce dapat menjadi hilang.
Banyak upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah untuk meningkatkan efektivitas
pendeteksian transaksi e-commerce seperti memberikan sistem administrasi pajak yang sederhana
dan efisien, perluasan definisi BUT dalam peraturan perpajakan domestik dan internasional,
melakukan kerjasama dengan institusi keuangan, meningkatkan sumber daya petugas DJP dan
melakukan pengawasan terhadap perusahaan ISP di Indonesia. Pemerintah juga dapat mencontoh
langkah-langkah negara lain dalam menangani kasus perpajakan e-commerce ini.
Penulis bermaksud melakukan studi atas lemahnya pendeteksian transaksi di dunia maya
(e-commerce) di Indonesia dan peraturan pelaksanaannya atas transaksi e-commerce yang
diharapkan dapat mencegah upaya penghindaran pajak antar negara atau meminimalisir risiko
penghindaran pajak yang menjadi penghambat penerimaan negara. Mengingat pesatnya
perkembangan perdagangan internet, dan pertumbuhan yang diharapkan dalam volume transaksi,
pendeteksian transaksi e-commerce akan menjadi tantangan yang signifikan untuk administrasi
perpajakan Indonesia dan undang-undang. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut diperlukan.
Sehingga Penulis mengambil studi ini untuk memperjelas konsep-konsep terkait masalah ini dan
mengajukan saran untuk meningkatkan efektivitas pendeteksian transaksi e-commerce di
Indonesia.
Studi ini dilakukan dengan berfokus terhadap analisa bentuk transaksi e-commerce di
Indonesia, tantangan dalam pemajakan e-commerce, faktor-faktor kelemahan pendeteksian
transaksi e-commerce, dan upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efektivitas
pendeteksian transaksi e-commerce. Tinjauan literature perpajakan e-commerce diuraikan pada
bagian kedua makalah ini. Bagian ketiga menjelaskan metode kajian yang dilakukan. Bagian
keempat makalah ini menganalisis peraturan perpajakan yang berlaku untuk transaksi e-
commerce, tantangan dalam pemajakan, faktor-faktor yang menyebabkan lemahnya pendeteksian
transaksi e-commerce, dan upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efektivitas
pendeteksian transaksi e-commerce di Indonesia. Selanjutnya simpulan dan saran dikemukakan di
bagian penutup.

Studi Terhadap..., Adhysty Vidyana, FE UI, 2014


TINJAUAN PUSTAKA

David Baum (1999) menyatakan bahwa e-commerce sebagai suatu set teknologi, aplikasi,
dan proses bisnis yang dinamis yang menghubungkan perusahaan, konsumen, dan komunitas
tertentu melalui transaksi elektronik dan perdagangan barang, pelayanan, dan informasi yang
dilakukan secara elektronik. Pada dasarnya transaksi e-commerce berbeda dengan transaksi
perdagangan biasa. Transaksi e-commerce memiliki beberapa karakteristik, diantaranya:
a. Transaksi tanpa batas
Dengan internet pengusaha e-commerce dapat memasarkan produknya secara internasional
cukup dengan membuat situs web atau dengan memasang iklan di situs-situs internet tanpa
batas waktu 24 jam, dan tentu saja pelanggan dari seluruh dunia mengakses situs tersebut dan
melakukan transaksi secara online.
b. Transaksi Anonim
Para penjual dan pembeli dalam transaksi melalui internet tidak bertemu muka satu dengan
yang lainnya. Penjual tidak memerlukan nama dari pembeli sepanjang mengenai
pembayarannya telah diotorisasi oleh penyedia sistem pembayaran yang ditentukan yang
biasanya dengan menggunakan kartu kredit.
c. Produk digital dan non digital
Produk-produk seperti software komputer, musik dan produk digital lainnya dapat dipasarkan
secara elektronik dengan cara men-download secara elektronik.
d. Produk barang tak berwujud
Banyak perusahaan yang bergerak di bidang e-commerce dengan menawarkan barang tak
berwujud seperti data software dan ide-ide yang dijual melalui internet.

Gambaran Umum Model-model E-Commerce


Transaksi e-commerce pada dasarnya terbagi menjadi dua yaitu, Business to Business
(B2B) serta Business to Consumer (B2C). (Wahyu dan Winardi, 2007)
a. Business to business memiliki karakteristik:
1) Trading partners yang sudah saling mengetahui dan antara mereka sudah terjalin
hubungan yang berlangsung cukup lama.
2) Pertukaran data dilakukan secara berulang-ulang dan berkala dengan format data yang
telah disepakati bersama.

Studi Terhadap..., Adhysty Vidyana, FE UI, 2014


3) Salah satu pelaku tidak harus menunggu rekan mereka lainnya untuk mengirimkan data.
4) Model yang umum digunakan adalah peer to peer, di mana processing intelligence dapat
didistribusikan di kedua pelaku bisnis.

b. Business to Consumer memiliki karakteristik:


1) Terbuka untuk umum, di mana informasi disebarkan secara umum pula.
2) Servis yang digunakan juga bersifat umum, sehingga dapat digunakan oleh orang banyak.
3) Servis yang digunakan berdasarkan permintaan.
4) Sering dilakukan sistem pendekatan client-server.
 
Model-Model E-Commerce Menurut Ketentuan Perpajakan Indonesia
Menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-62/PJ/2013 tentang Penegasan
Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi E-Commerce, model bisnis transaksi e-commerce dibagi
menjadi 4 (empat), yaitu :

Tabel 1 Model E-Commerce dalam SE-62/PJ/2013


 
Model E-
Pengertian Contoh
Commerce
Online Kegiatan menyediakan tempat kegiatan usaha berupa Toko Internet tokopedia.com,
Marketplace di Mal Internet sebagai tempat Online Marketplace Merchant rakuten.com, lazada.com
menjual barang dan/atau jasa
Classified Ads Classified Ads adalah kegiatan menyediakan tempat dan/atau waktu olx.com, berniaga.com
untuk memajang konten (teks, grafik, video penjelasan, informasi,
dan lain-lain) barang dan/atau jasa bagi Pengiklan untuk memasang
iklan yang ditujukan kepada Pengguna Iklan melalui situs yang
disediakan oleh Penyelenggara Classified Ads
Daily Deals Daily Deals merupakan kegiatan menyediakan tempat kegiatan usaha livingsocial.co.id,
berupa situs Daily Deals sebagai tempat Daily Deals Merchant groupon.com
menjual barang dan/atau jasa kepada Pembeli dengan menggunakan
Voucher sebagai sarana pembayaran.
Online Retail Online Retail adalah kegiatan menjual barang dan/atau jasa yang bhinneka.com,
dilakukan oleh Penyelenggara Online Retail kepada Pembeli di situs gramedia.com
Online Retail.
Sumber : Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-62/PJ/2013 (telah diolah kembali oleh Penulis)

Studi Terhadap..., Adhysty Vidyana, FE UI, 2014


Penghasilan Atas Kegiatan E-Commerce
a. Penghasilan Usaha
Model transaksi e-commerce seperti online marketplace dan online retail dapat dikategorikan
secara nyata sebagai transaksi penjualan barang. Dalam transaksi ini kegiatan pemilihan
barang dan pemesanan dapat dilakukan melalui internet. Sedangkan kegiatan pengiriman
barang dilakukan melalui jasa pengiriman. Penghasilan yang diterima atas transaksi tersebut
dapat dikategorikan sebagai penghasilan usaha.
b. Penghasilan Royalti
Penghasilan dari transaksi e-commerce dapat berupa penghasilan royalti disebabkan oleh
adanya penggunaan hak atas suatu copyright atau paten atau adanya pemberian informasi
(know-how) yang belum diungkapkan. Kriteria yang dapat digunakan untuk mengkategorikan
sebagai penghasilan royalti dari transaksi digital information seperti penggunaan program
komputer, musik, gambar, artikel, adalah apabila dalam transaksi tersebut ada transfer of
copyrights right.

Internet dan Implikasinya Terhadap Perpajakan Internasional


Dengan berkurangnya kehadiran fisik dari suatu perusahaan yang ingin memasarkan
produknya keluar negeri karena penggunaan e-commerce, maka penggunaan e-commerce telah
menyebabkan pergeseran aktivitas ekonomi dari negara sumber penghasilan ke negara domisili.
Segala aktivitas hampir semuanya dilakukan di negara domisili, sedangkan di negara sumber
hanya fasilitas online dengan menggunakan internet untuk dapat melakukan pemesanan dan
transaksi dengan e-commerce. Kondisi seperti disebutkan di atas, dalam jangka panjang dapat
menyebabkan penurunan pendapatan pajak negara sumber dari transaksi internasional.
Berdasarkan ketentuan perpajakan internasional yang berlaku saat ini, hak melakukan
pemungutan pajak terhadap non-resident yang memperoleh penghasilan dari laba usaha berada
pada negara sumber apabila penghasilan tersebut diperoleh melalui permanent establishment di
negara sumber tersebut.
 
Prinsip-prinsip Perpajakan atas E-commerce
Prinsip-prinsip perpajakan atas e-commerce adalah: (Westberg, 2002)

1. Neutrality

Studi Terhadap..., Adhysty Vidyana, FE UI, 2014


Perpajakan seharusnya menjadi netral dan adil dalam membedakan antara bentuk
transaksi e-commerce dengan bentuk transaksi konvensional. Keputusan bisnis
seharusnya dimotivasi oleh keadaan ekonomi dibandingkan dengan pertumbuhan pajak.
Wajib pajak dalam situasi dan transaksi yang sama seharusnya menjadi subjek yang sama
pula dalam level perpajakan.
2. Efficiency
Compliance cost untuk Wajib Pajak dan administrative cost bagi pejabat pajak
seharusnya dapat diminimalkan sejauh mungkin.
3. Certainty and simplicity
Peraturan perpajakan harus jelas dan mudah dimengerti, sehingga Wajib Pajak dapat
mengantisipasi konsekuensi-konsekuensi pajak sebelum terjadi transaksi, termasuk
mengetahui kapan, dimana dan bagaimana pajaknya terhitung.
4. Effectiveness and fairness
Perpajakan harus menghasilkan jumlah yang tepat dari pajak itu sendiri, sehingga harus
dapat meminimalisir potensi penghindaran pajak (tax avoidance) dan penggelapan pajak
(tax evasion) dengan tetap mengukur proporsi resiko yang dapat terjadi.
5. Flexibility
Sistem perpajakan seharusnya bersifat fleksibel dan dinamis untuk memastikan mereka
sejalan dengan teknologi dan perkembangan komersial.

METODE PENELITIAN

Studi ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian termasuk
dalam penelitian deskriptif. Pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini dilakukan
melalui beberapa metode, yaitu:

1. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan melalui pengumpulan literatur dan data yang relevan dengan
penelitian ini, seperti buku-buku, literatur, jurnal, artikel, baik media cetak maupun
elektronik.
2. Studi Lapangan

Studi Terhadap..., Adhysty Vidyana, FE UI, 2014


Studi lapangan dilakukan melalui analisis, wawancara mendalam (interview) dan analisis
data sekunder. Wawancara dilakukan berupa komunikasi verbal dengan tujuan
mendapatkan informasi dan dilaksanakan dengan pedoman wawancara. Pedoman
wawancara tidak bersifat mengikat, jadi apabila di dalam wawancara ada hal di luar
pertanyaan yang dibahas namun memiliki keterkaitan dengan tema penelitian akan
dijadikan bahan analisis oleh peneliti. Wawancara dilakukan terhadap
narasumber/informan yang telah dipilih oleh peneliti terkait dengan penelitian, yaitu :
1. Akademisi
Ganda Christian Tobing (Pembicara dan Pengajar terkait topik Perpajakan
Internasional, Danny Darussalam Tax Center)
2. Otoritas Pajak
a. Melani Dewi Astuti (Pelaksana Subdit Perjanjian & Kerjasama Perpajakan
Internasional, Direktorat Jenderal Pajak)
b. Anung Andang Wiratama (Pelaksana Subdit Perjanjian & Kerjasama Perpajakan
Internasional, Direktorat Jenderal Pajak)
3. Konsultan atau Wajib Pajak
Imran Harahap (Tax Adviser, DFDL Legal & Tax Indonesia)

Di dalam studi ini, peneliti memberikan batasan obyek yang akan dibahas hanya pada
transaksi e-commerce terkait transfer intangible goods yang diberikan oleh Subjek Pajak Luar
Negeri kepada Subjek Pajak Dalam Negeri.

PEMBAHASAN

Pengenaan pajak atas transaksi e-commerce telah mengundang banyak perdebatan. Baik
pihak yang pro maupun kontra masing-masing memiliki alasan tersendiri. Penulis sendiri
berpendapat bahwa demi memenuhi prinsip kesetaraan perpajakan, maka transaksi e-commerce
ini tetap harus dikenakan pajak. Namun pajak yang dikenakan diharapkan tidak menghambat
perkembangan pelaku usaha e-commerce ini. Mengingat bahwa industri ini juga banyak
dilakukan oleh pengusaha kecil dan menengah.

Studi Terhadap..., Adhysty Vidyana, FE UI, 2014


Dalam SE-62/PJ/2013 telah dijabarkan keempat model e-commerce yang diatur di
Indonesia. Tabel di bawah ini memberikan gambaran singkat atas perbedaan keempat model
tersebut.
Tabel 2 Model E-Commerce Indonesia
 
Online Marketplace Classified Ads Daily Deals Online Retail
Jumlah Penjual Banyak Banyak Banyak Satu
Karakteristik Toko permanen di Penjual insidentil Promo sesaat Toko permanen
Penjual/Penjualan sebuah pasar online milik sendiri
Penawaran Online Online   Online   Online  
Pemesanan Online   Offline Online Online/Offline
Pembayaran Online   Offline   Online/Offline   Online/Offline  
Pengiriman Online/Offline Offline   Online/Offline   Online/Offline  
Sumber : Diolah Oleh Penulis
Pajak Penghasilan Dalam Transaksi E-Commerce
Isu yang paling signifikan yang timbul dalam transaksi e-commerce untuk pajak
penghasilan adalah yang berhubungan dengan yurisdiksi pemajakan dan karakterisasi
penghasilan itu sendiri. Pada dasarnya setiap ada pembayaran ke luar negeri harus dikenakan PPh
Pasal 26. Namun, bila Wajib Pajak Luar Negeri memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) di
Indonesia dan atas penghasilan yang didapatkan memiliki hubungan efektif dengan BUT
tersebut, maka akan digolongkan sebagai laba usaha BUT.
Dalam pengenaan Pajak Penghasilan atas transaksi e-commerce yang dilakukan
perusahaan luar negeri kepada badan atau individu yang berdomisili di Indonesia, sangat penting
untuk mengidentifikasi terlebih dahulu adanya Bentuk Usaha Tetap di Indonesia atau tidak.
Definisi Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang diatur dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang PPh,
mengindikasikan bahwa keberadaan di Indonesia ditunjukkan dengan adanya kehadiran fisik.
Dengan demikian, apabila sebuah perusahaan luar negeri melakukan kegiatan usaha melalui
website, maka kegiatan ini tidak menimbulkan suatu BUT. Dengan karakteristik usaha e-
commerce, kehadiran BUT di dalam negeri tidak lagi diperlukan. Sementara itu subjek pajak luar
negeri dapat melakukan usahanya di dalam negeri secara bebas.
Jika penjualnya dari luar negeri, tentu pemajakannya akan berbeda dengan penjual dalam
negeri. Apalagi dengan kondisi bahwa untuk penghasilan selain yang diatur dalam PPh Pasal 26,
pajak baru akan dikenakan jika terdapat Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Atas kesulitan

Studi Terhadap..., Adhysty Vidyana, FE UI, 2014


tersebut dan karena belum ada aturan secara internasional, maka pemerintah hanya fokus pada
penjualan dalam negeri. Walaupun dalam UU PPh Pasal 2 (5) telah disebutkan bahwa salah satu
penentu adanya BUT adalah dengan kehadiran server di negara sumber, namun dalam P3B yang
berlaku saat ini belum diatur mengenai kehadiran server tersebut. Sehingga perlu diatur kembali
definisi BUT dalam P3B yang berlaku saat ini. Namun, kendala yang dapat timbul dari penetapan
sebuah server sebagai BUT adalah pemenuhan kewajiban administrasi yang harus dipenuhi oleh
wajib pajak. Bila hanya menempatkan sebuah komputer, sulit menentukan siapa nanti yang akan
bertanggung jawab atas seluruh kewajiban pajak perusahaan dan dari segi material, bagaimana
menentukan penghitungan laba BUT tersebut, karena sangat sulit membagi berdasarkan jenis
penghasilan dan menghitung laba usaha dengan tidak adanya pembukuan. Selain itu, SPT yang
ada selama ini belum mencakup hal-hal yang berkaitan dengan transaksi e-commerce seperti
gambaran tentang situs yang digunakan untuk menerima order, produk apa yang dijual, jasa apa
yang diberikan dan tata cara pembayarannya, nama dari perusahaan tempat situs ditempatkan,
nama perusahaan yang menjadi mediator pembayaran, dan jumlah penghasilan bersih dari
transaksi e-commerce yang tidak diberlakukan sebagai objek pajak. Dengan demikian, pihak
otoritas pajak pun akan memiliki kesulitan untuk mengakses dan memeriksa secara detail
mengenai transaksi-transaksi yang dilakukan melalui e-commerce ini.
Permasalahan lain yang juga didiskusikan adalah karakteristik penghasilan yang diperoleh
dari transaksi-transaksi e-commerce. Umumnya, pembayaran lintas negara untuk penggunaan
musik atau gambar-gambar dari internet, harus dikategorikan sebagai royalti. Seperti yang telah
dibahas sebelumnya, dalam P3B (tax treaty) yang dipakai oleh Indonesia belum secara jelas
mengatur mengenai penghasilan atas e-commerce tersebut. Pengenaan pajak atas e-commerce
kepada Wajib Pajak luar negeri itu disebut-sebut dalam Undang-Undang PPh, yaitu diaturnya
perangkat elektronik untuk menjalankan usaha secara elektronis (dedicated server) sebagai
bentuk usaha tetap (BUT) dan adanya perluasan definisi royalti. Dalam pasal 4 ayat (1) Undang-
undang PPh definisi royalti ditambahkan dengan royalti yang berhubungan dengan kegiatan e-
commerce yaitu:
a. penerimaan atau hak penerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang
disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang
serupa;

Studi Terhadap..., Adhysty Vidyana, FE UI, 2014


b. penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya,
untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat
optik, atau teknologi yang serupa.

Perluasan definisi royalti ini merupakan salah satu upaya agar perdagangan via elektronik
atau e-commerce bisa dipajaki di Indonesia. Di samping itu, ketentuan yang disebutkan dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf h Undang-undang PPh ini memberi dasar hukum yang lebih kuat dalam hal
pengenaan PPh Pasal 26 atas berbagai jenis pembayaran royalti yang selama ini belum diatur
secara tegas.
Namun demikian, bila ternyata transaksi itu terkait dengan penduduk dari salah satu
treaty partner, maka pengenaan pajaknya harus memperhatikan tax treaty yang bersangkutan.
Bila ternyata treaty tidak mengatur klausul royalti terkait dengan e-commerce, maka bisa jadi
ketentuan itu tidak bisa diberlakukan kepada penduduk dari treaty partner.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Transaksi E-Commerce


Peluang untuk mengenakan pajak atas transaksi e-commerce sangat besar terutama Pajak
Pertambahan Nilai (PPN). Namun sampai dengan saat ini, ketentuan perpajakan yang berlaku,
yaitu UU PPN Tahun 2009, belum mengatur secara jelas tentang bagaimana sistem dan prosedur
pengenaan PPN atas transaksi e-commerce.
Penyerahan barang digital dan jasa kepada konsumen, penentuan siapa yang melakukan
penyetoran dan pelaporan PPN terutang akan mengalami kesulitan. Terhadap konsumen
perorangan yang tidak terdaftar sebagai wajib pajak dalam melakukan transaksi e-commerce,
kewajiban penyetoran dan pelaporan PPN terutang tidak dapat dilakukan. Lain halnya jika yang
konsumen yang melakukan transaksi terdaftar sebagai wajib pajak apalagi berstatus sebagai PKP,
pengawasan mudah dilakukan.

Studi Terhadap..., Adhysty Vidyana, FE UI, 2014


Gambar 1 Alur Penentuan Subyek PPN

Jika penyerahan dilakukan oleh penjual yang tidak berdomisili di Indonesia, atas
pembelian barang, jika barang yang dibeli merupakan barang berwujud, pengenaan PPN
dilakukan oleh bea cukai saat barang yang dibeli masuk ke daerah pabean Indonesia. Sedangkan
jika barang yang dibeli merupakan barang tidak berwujud, apabila dibeli oleh PKP maka PPN
dipungut dan disetorkan sendiri oleh PKP pembeli dengan menggunakan SSP. Namun jika
pembeli bukan merupakan PKP terlebih lagi pembeli orang pribadi yang bukan merupakan wajib
pajak, sangat sulit untuk mengenakan PPN-nya.
Sesuai dengan Pasal 16F UU PPN 2009, dikatakan bahwa “Pembeli Barang Kena Pajak
atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak,
sepanjang tidak dapat menunjukan bukti bahwa Pajak telah dibayar”. Sehingga siapapun yang
memanfaatkan jasa kena pajak atau barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean,
baik itu Wajib Pajak badan maupun Wajib Pajak Orang Pribadi, baik itu telah dikukuhkan
sebagai pengusaha kena pajak ataupun belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak,
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai hal ini sesuai dengan ketentuan dalam penjelasan Pasal 4
huruf d dan e UU PPN 2009.
Dalam konteks PPN, penggunaan prinsip destinasi (destination principle) telah menjadi
suatu norma dalam perdagangan internasional di antara negara-negara yang menerapkan PPN.
Bagi transaksi barang dalam perdagangan internasional, menjadi suatu norma bagi negara penjual

Studi Terhadap..., Adhysty Vidyana, FE UI, 2014


yang melakukan ekspor untuk tidak mengenakan PPN atas ekspor barang tersebut, sementara
negara pembeli memungut PPN atas impor yang dilakukan. Dalam praktiknya, penerapan prinsip
destinasi terhadap transaksi yang dilakukan dengan konsumen akhir dan berharap konsumen
akhir tersebut akan menjalankan kewajiban pemungutan PPN secara self-assessment berdampak
pada tidak adanya PPN yang dikenakan atas transaksi jasa tersebut. Hal ini juga didorong oleh
fakta bahwa orang pribadi sebagai konsumen akhir tidak memiliki motivasi dalam pelaksanaan
self-assessment atas pemanfaatan jasa dari luar negeri karena orang pribadi tersebut bukanlah
pengusaha kena pajak yang memiliki hak untuk mengkreditkan atas PPN yang dibayar melalui
self-assessment tersebut. Selain itu, sistem self-assessment dalam pelaporan pajak di Indonesia
membuat asumsi bahwa pelaporan pajak dinilai benar sampai dengan petugas pajak menemukan
data atau informasi baru bahwa laporan tersebut tidak benar adanya. Oleh karena itu, sebenarnya
Ditjen Pajak membutuhkan data pembanding, dalam hal ini untuk mengetahui jumlah omzet dari
para pelaku e-commerce secara tepat.

Aplikasi Pemajakan Transaksi E-Commerce


Kategori penghasilan dari transaksi e-commerce dapat meliputi penghasilan usaha
(business profit) dan royalti. Atas penghasilan tersebut dapat ditentukan apakah Negara sumber
mempunyai hak pemajakan atau tidak. Kategori penghasilan yang diterima WPLN seperti laba
usaha, hak pemajakannya tidak pada negara sumber, kecuali WPLN tersebut menjalankan usaha
atau melakukan di Indonesia melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT), sedangkan kategori
penghasilan royalti hak pemajakannya ada pada Negara Sumber.
Jenis-jenis transaksi e-commerce yang dilakukan melalui sebuah website dan berpeluang
dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yaitu:

Tabel 3 Jenis Penghasilan dari Transaksi E-Commerce

TRANSAKSI JENIS PENGHASILAN PPh PPN


Electronic order processing of tangible
Penghasilan usaha (Business Profits) YA YA
product
Electronic ordering and downloading of
Penghasilan usaha (Business Profits) YA YA
digital product

Electronic ordering and downloading of


digital product for purpose of commercial Royalti YA YA
exploitation of the copyright

Studi Terhadap..., Adhysty Vidyana, FE UI, 2014


TRANSAKSI JENIS PENGHASILAN PPh PPN

Updates and adds on Penghasilan usaha (Business Profits) YA YA

Website hosting provider Penghasilan usaha (Business Profits) YA YA

Data warehousing Penghasilan usaha (Business Profits) YA YA

Customer support over computer network Penghasilan usaha (Business Profits) YA YA

Advertising atau banner adds Penghasilan usaha (Business Profits) YA YA

Information delivery Penghasilan usaha (Business Profits) YA YA

Access to an interactive website Penghasilan usaha (Business Profits) YA YA

Online shopping portals Penghasilan usaha (Business Profits) YA YA

Online auctions Penghasilan usaha (Business Profits) YA YA

Subscription to web site allowing the


Penghasilan usaha (Business Profits) YA YA
downloading of digital products

Dari tabel jenis-jenis penghasilan atas transaksi e-commerce di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa penghasilan yang dominan dihasilkan adalah penghasilan usaha dan royalti.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa suatu penghasilan usaha baru dapat dikenakan
pajak di Indonesia sebagai negara sumber apabila pengasilan usaha tersebut memiliki Bentuk
Usaha Tetap dan penghasilan dari royalti dikenakan secara witholding tax. Apabila royalti yang
dibayarkan oleh wajib pajak dalam negeri kepada wajib pajak luar negeri Pengenaan PPh atas
transaksi ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
a. Bila royalti yang dibayarkan oleh wajib pajak dalam negeri kepada wajib pajak luar
negeri merupakan penduduk negara treaty partner (terdapat tax treaty antara indonesia
dengan negara yang bersangkutan)
Pembayaran royalti kepada wajib pajak luar negeri dimaksud akan terhutang Pajak
Penghasilan pasal 26 sebesar tarif treaty dikalikan dengan jumlah bruto. Apabila wajib
pajak luar negeri tersebut memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dan royalti tersebut
memiliki hubungan efektif dengan Bentuk Usaha Tetap maka penghasilan dari royati
tersebut akan digolongkan sebagai laba usaha Bentuk Usaha Tetap. Dengan demikian

Studi Terhadap..., Adhysty Vidyana, FE UI, 2014


penghasilan dari royalti tersebut akan digabung dengan penghasilan-penghasilan Bentuk
Usaha Tetap lainnya dan dikenakan pajak atas basis neto dengan menerapkan tarif
progresif. Adapun Pajak Penghasilan Pasal 26 yang sudah dipotong oleh pihak pemberi
penghasilan dapat dikreditkan. Sedangkan apabila wajib pajak luar negeri tersebut tidak
memiliki Bentuk Usaha Tetap maka atas pembayaran royalti tersebut terhutang Pajak
Penghasilan Pasal 26 sebesar tarif treaty dikalikan dengan jumlah bruto royalti dan
bersifat final.
b. Pengenaan Pajak Penghasilan atas royalti (bila tidak ada tax treaty) sama dengan bila ada
tax treaty namun tarif pajak (PPh Pasal 26) yang digunakan adalah tarif menurut Undang-
Undang Pajak Penghasilan sebesar 20% dari jumlah bruto.

Tantangan Pendeteksian Atas Transaksi E-Commerce


Permasalahan utama dalam pemungutan pajak sehubungan dengan transaksi e-commerce
adalah masalah identifikasi, yaitu seberapa mampu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan
teknologi yang dimiliki dapat mengidentifikasi adanya transaksi e-commerce. Hal ini menjadi
sulit karena transaksi melalui e-commerce mampu menembus batas geografis antar negara
(borderless), bentuk barang atau jasa yang diperjualbelikan dapat berformat digital seperti piranti
lunak komputer, musik, majalah atau lainnya, transaksi e-commerce terjadi begitu cepat di
seluruh dunia dalam waktu singkat. Untuk itulah, tantangan sebenarnya dalam mengenakan pajak
transaksi e-commerce adalah bagaimana membuat aturan khusus yang mampu menangkap
potensi pajak atas transaksi e-commerce dengan kondisi-kondisi tadi.
Ketentuan perpajakan saat ini atas penghasilan belum cukup memadai dalam pengenaan
pajak atas penghasilan dari transaksi e-commerce. Perangkat peraturan internasional dan
domestik belum mengatur secara lengkap dan menyeluruh mengenai perlakuan perpajakan atas
transaksi e-commerce dan server. Peraturan perpajakan internasional dan domestik saat ini masih
menekankan pentingnya kehadiran fisik sebagai ambang batas pemajakan bagi negara tempat
cabang (BUT) tersebut berada.
Faktor yang menyebabkan kelemahan dalam pendeteksian transaksi e-commerce
selanjutnya adalah sampai saat ini belum ada integrasi peraturan dari pemerintah. Misalnya,
Dirjen Pajak mempunyai aturan sendiri untuk sisi pajaknya, Kementrian Perdagangan maupun
Kementrian Komunikasi dan Informasi juga punya aturan e-commerce sendiri. Sehingga ini

Studi Terhadap..., Adhysty Vidyana, FE UI, 2014


menjadi tantangan bagi pemerintah dalam mencari cara dan membuat aturan terkait pemajakan e-
commerce.
Faktor lainnya yang menjadi kelemahan dalam pendeteksian transaksi e-commerce adalah
belum adanya akses untuk mendeteksi transaksi tersebut. Dalam mencari data pembanding untuk
mendeteksi adanya transaksi e-commerce, Ditjen Pajak sudah berupaya meminta data-data
kepada Asperindo (Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia)
untuk men-tracking pengiriman-pengiriman barang yang dilakukan oleh para pelaku e-
commerce. Namun, masalahnya, pihak Asperindo sendiri tidak bersedia memberikan data-data
tersebut dengan alasan mereka mempunyai undang-undang sendiri untuk melindungi kerahasiaan
data klien atau konsumen mereka.
Terbatasnya ketersediaan data, infrastruktur teknologi dan kurangnya ketersediaan sumber
daya manusia di otoritas pajak yang khusus menangani pemajakan atas transaksi e-commerce
juga menjadi salah satu faktor kelemahan pendeteksian transaksi e-commerce.
Lemahnya pengawasan Ditjen Pajak terhadap pengenaan pajak kegiatan e-commerce juga
menjadi hambatan dalam pendeteksian transaksi e-commerce. Dalam Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan digariskan bahwa administrasi
perpajakan berperan aktif melakukan tugasnya salah satunya adalah melakukan pengawasan
dalam bidang perpajakan. Penerapan sistem administrasi perpajakan dalam kegiatan e-commerce
sampai saat ini masih sama dengan transaksi pada perdagangan biasa, baik dari pengisian surat
pemberitahuan (SPT), pembukuan, pemeriksaan, dan sebagainya. Pihak administrasi perpajakan
belum melakukan pengawasan khusus terhadap perusahaan-perusahaan yang melakukan
transaksi e-commerce, begitu pula halnya yang dilakukan terhadap perusahaan penyedia jasa
internet. Dalam hal ini tentunya akan menyulitkan pihak administrasi perpajakan dalam
melakukan pengawasan untuk menilai kepatuhan wajib pajak yang melakukan kegiatannya
melalui e-commerce. Hal ini pun telah disadari oleh Ditjen Pajak itu sendiri, transaksi secara
elektronik sulit untuk dilacak tanpa tersedianya data atau informasi yang diperlukan. Apalagi
sistem pemungutan pajak yang ada menganut sistem self assessment. Sistem self assessment itu
sendiri akan berhasil dengan baik apabila masyarakatnya mempunyai pengetahuan dan disiplin
pajak yang tinggi. Di samping itu, jika sistem self assessment tidak didukung oleh data lain maka
Ditjen Pajak akan kesulitan untuk menemukan kecurangan karena keterbatasan sistem.

Studi Terhadap..., Adhysty Vidyana, FE UI, 2014


Upaya Efektivitas Pendeteksian dan Pemajakan Transaksi E-Commerce di Indonesia
1. Sistem Administrasi Pajak Yang Efektif Dan Efisien
Pada prinsipnya Wajib Pajak menghendaki sistem administrasi pajak yang sederhana, efisien
dan memberikan kepastian hukum. Sehingga sistem administrasi pajak hendaknya dapat
menjamin biaya administrasi pajak yang rendah bagi DJP, sekaligus dapat menekan biaya
kepatuhan bagi para Wajib Pajak. DJP dalam hal ini harus siap mengantisipasi aspek-aspek
perpajakan yang ada dalam e-commerce.
2. Modifikasi Definisi BUT Dalam Ketentuan Perpajakan Domestik Maupun Internasional
Perlu adanya modifikasi mengenai ketentuan BUT dengan memperluas definisi BUT sebagai
konsekuensi dari perluasan keterkaitan hak pemajakan atas penghasilan yang bersumber dari
negara tersebut. Pemerintah juga harus memelihara netralitas antara perdagangan tradisional
dan e-commerce serta berusaha sedapat mungkin menerapkan peraturan perundang-undangan
yang telah ada. Beberapa peraturan harus selalu dikaji secara regular untuk meyakinkan
peraturan tersebut masih dapat diaplikasikan sehubungan dengan perkembangan e-commerce.
3. Kerjasama Dengan Institusi Keuangan
Umumnya pelaku usaha yang melakukan transaksi e-commerce menggunakan kartu kredit
atau electronic money sebagai media pembayarannya. Pemerintah dapat bekerja sama dengan
institusi keuangan dalam pengenaan withholding tax dan PPN atas pembayaran transaksi
barang atau jasa digital tertentu yang dilakukan oleh orang pribadi kepada penyedia barang
atau jasa digital di luar negeri.
4. Meningkatkan Sumber Daya Petugas Otoritas Pajak
Untuk meningkatkan pengawasan terhadap para pelaku transaksi e-commerce, DJP sebaiknya
memberikan training ataupun seminar untuk menambah pengetahuan dan informasi petugas
pajak terkait transaksi e-commerce. Perlu adanya suatu unit khusus untuk pengawasan e-
commerce ini karena dengan adanya unit khusus e-commerce, maka pemeriksa pajak akan
lebih fokus dan akan lebih tanggap terhadap isu mengenai e-commerce ini. Perlunya
peningkatan kemampuan petugas dalam mendalami teknologi informasi yang digabungkan
dengan keahlian audit dan pengetahuan dasar tentang teknologi informasi dan internet sangat
penting bagi petugas pajak. Kemampuan ini penting untuk mengumpulkan data, informasi
dan berita dari para pembayar pajak, yang pada akhirnya akan berguna untuk audit pajak.
5. Pemeriksaan dan Pengawasan Secara Khusus Terhadap Perusahaan ISP

Studi Terhadap..., Adhysty Vidyana, FE UI, 2014


Hal ini dikarenakan hampir sebagian besar perusahaan ISP lah yang menyewakan server
kepada perusahaan atau pihak yang melakukan bisnis secara elektronik sehingga dengan cara
demikian dapat diketahui informasi tentang pihak-pihak yang melakukan bisnis secara
elektronik.

Perlakuan Perpajakan Terhadap E-Commerce di Mancanegara


Berikut ini adalah perlakuan perpajakan terhadap e-commerce yang diterapkan oleh
beberapa negara.

Singapura
Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS) adalah badan yang menjadi pengelola
perpajakan di Singapura. IRAS tidak mempunyai divisi khusus yang menangani e-commerce.
Agar dapat memahami perlakuan pajak penghasilan terhadap e-commerce, IRAS mengeluarkan
dokumen Income Tax Guide on E-commerce. Dalam panduan yang sebagian besar menerapkan
peraturan yang ada terhadap e-commerce ini, diatur perlakuan terhadap:
a. Perusahaan yang operasionalnya berada di Singapura dan mendapatkan penghasilan dari e-
commerce melalui situs yang dikelola di Singapura.
b. Perusahaan yang beroperasi di Singapuran dan mendapatkan penghasilan dari e-commerce
melalui situs di luar Singapura.
c. Perusahaan yang beroperasi di luar Singapura dan mendapatkan penghasilan dari e-commerce
yang situsnya berlokasi di Singapura.

Jepang
Negara Jepang juga memperlakukan hal yang sama bahwa tidak ada pengenaan pajak
yang baru bagi e-commerce dan mendapatkan perlakuan yang sama dengan perdagangan biasa.
Untuk pengawasan kepatuhan pajak terhadap e-commerce, otoritas perpajakan di Jepang
membuat suatu satuan khusus yang disebut dengan PROTECT (Professional Team for E-
commerce Taxation). Tim yang dibentuk pada setiap kantor wilayah ini memburu pelaku usaha e-
commerce yang tidak melakukan kewajiban perpajakannya. Yang menjadi tugas utama
PROTECT adalah:
• Pemeriksaan terhadap transaksi e-commerce
• Pengembangan kemampuan pemeriksaan terhadap e-commerce

Studi Terhadap..., Adhysty Vidyana, FE UI, 2014


• Penyelidikan terhadap bisnis baru
• Mengumpulkan informasi pada transaksi e-commerce

Amerika
Dimulai sejak Oktober 1998, Presiden Bill Clinton telah menandatangani suatu peraturan
yaitu Internet Tax Freedom Act. Undang-undang ini memberikan moratorium perpajakan pada e-
commerce dalam jangka waktu tiga tahun. Yang menjadi objek dari moratorium perpajakan ini
contohnya pengenaan pajak terhadap akses ke internet, jumlah bit dalam akses internet, dan
penggunaan e-mail. Sementara itu, pajak penghasilan dan pajak penjualan untuk transaksi
melalui internet mendapat perlakuan pajak yang sama dengan transaksi perdagangan biasa.

Uni Eropa
Uni Eropa merupakan otoritas pertama yang mengambil langkah perpajakan terhadap
transaksi e-commerce. Sejak tanggal 1 Juli 2003, Uni Eropa mengganti sistem PPN terhadap
barang digital. Setiap pengusaha/perusahaan yang berdomisili di luar Uni Eropa dan bermaksud
menjual secara online barang dan jasa kepada penduduk Uni Eropa, apabila
pengusaha/perusahaan tersebut telah melampaui batas penjualan tertentu, perusahaan tersebut
wajib memungut PPN dan mendaftarkan diri di salah satu negara Uni Eropa.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang diperoleh peneliti
adalah:

1. Untuk memudahkan pengklasifikasian model usaha e-commerce, Ditjen Pajak


menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan
Perpajakan atas Transaksi E-Commerce. Dalam SE-62/PJ/2013 dijelaskan bahwa
transaksi e-commerce tidak berbeda dengan transaksi perdagangan konvensional karena
juga dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
2. Karakteristik e-commerce yang tidak memerlukan adanya kehadiran fisik di Indonesia
dan tanpa batas (borderless) memberikan tantangan kepada Pemerintah dalam memajaki
transaksi e-commerce.

Studi Terhadap..., Adhysty Vidyana, FE UI, 2014


3. Belum adanya peraturan yang jelas terkait pajak e-commerce tersebut dan kurangnya
sumber daya otoritas pajak yang memadai untuk mendeteksi adanya transaksi e-
commerce merupakan kelemahan dalam pendeteksian transaksi e-commerce.
4. Untuk mengamankan penerimaan negara dan meningkatkan efektivitas pendeteksian
transaksi e-commerce, maka Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan upaya-upaya,
seperti penyederhanaan sistem administrasi perpajakan untuk meningkatkan kepatuhan
Wajib Pajak, melakukan kerjasama perbankan dan integrasi peraturan dengan Kementrian
lain seperti misalnya Kementrian Perdagangan, meningkatkan kuantitas dan kualitas
sumber daya DJP, dan perlunya pemeriksaan dan pengawasan khusus pada perusahaan-
perusahaan yang melakukan transaksi e-commerce.

SARAN

1. Otoritas pajak perlu membuka ruang diskusi dengan pelaku transaksi e-commerce tentang
aturan seperti apa yang harus disusun dan juga memperkuat sistem administrasi perpajakan.
2. Perlu dilakukan pengaturan kembali dalam peraturan perpajakan dalam negeri maupun
internasional dalam memperluas definisi Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang dapat mencakup
adanya transaksi e-commerce lintas negara (cross border).
3. Direktorat Jenderal Pajak perlu meningkatkan sumber daya otoritas pajak dalam hal teknologi
informasi dan pengetahuan para petugas pajak.
4. Pemerintah sebaiknya mengadopsi pengadministrasian perpajakan atas transaksi e-commerce
dari negara-negara yang telah berhasil melalui sistem perpajakan atas e-commerce yang
diterapkan di negara tersebut.

DAFTAR REFERENSI

Buku
Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta:
Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI.

Mustika, Nita. 2008. Kebijakan Pajak atas Penghasilan yang Didapat dari Transaksi E-commerce.
Skripsi dipublikasikan. Jakarta: Program Studi Sarjana UI.

Studi Terhadap..., Adhysty Vidyana, FE UI, 2014


Zakaria, Jaja. 2005. Perlakuan Perpajakan Terhadap Bentuk Usaha Tetap. Jakarta : Raja
Grafindo Persada.

Majalah
Baum, David. 1999. “Business Links”. Oracle Magazine Vol. XIII

Undang-undang dan Peraturan Pelaksanaannya


Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

Undang-Undang Nomor 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai.

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8


Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 40/PMK.04/2010 tentang Tata Cara
Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas
Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah
Pabean.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan
Perpajakan Atas Transaksi E-Commerce.

Studi Terhadap..., Adhysty Vidyana, FE UI, 2014

Você também pode gostar