Você está na página 1de 9

Apa Biang Kekalahan Napoleon di Pertempuran

Waterloo?
Peta salah cetak disebut-sebut kunci kekalahan Napoleon di Waterloo
1815.

Napoléon
Bonaparte (Thinkstockphoto)

Sebuah kesalahan dalam peta yang digunakan Napoleon Bonaparte diduga


menjadi kunci kekalahannya dalam pertempuran di Waterloo 1815 yang sekaligus
mengakhiri karier militer dan politik Napoleon.
Berdasarkan sebuah film dokumenter yang ditayangkan televisi Perancis, Senin
(6/10), Napoleon kebingungan dengan posisi pasukan pimpinan Duke of Wellington
karena kesalahan peta hingga skala satu kilometer akibat salah cetak.

Konsekuensinya, Napoleon mengarahkan artilerinya ke arah yang salah sehingga


tembakan meriam-meriamnya tak mengenai pasukan gabungan Inggris, Prusia dan
Belanda.

"Napoleon mengandalkan sebuah peta salah untuk menyusun strategi dalam


pertempuran besar terakhirnya. Fakta ini menjelaskan mengapa Napoleon salah
mengambil keputusan dan mengalami disorientasi di medan perang. Ini adalah salah
satu faktor yang mengakibatkan kekalahannya," ujar Franck Ferrand, sang pembuat
dokumenter.

"Pertanian strategis Mont-Saint-Jean digambarkan berjarak satu kilometer dari lokasi


sesungguhnya. Satu kilometer adalah jarak jangkauan meriam sehingga terlihat
jelas hasilnya," tambah Ferrand.

Kesalahan peta itu ditemukan seorang ilustrator dan sejarawan asal Belgia, Bernard
Coppens, yang menjadi penasihat dalam film dokumenter yang diproduksi Ferrand.
Coppens menemukan peta itu, yang masih berlumur darah dan mirip dengan yang
digunakan Napoleon, dari museum militer di Brussel.

"Kami membandingkan peta cetakan yang digunakan dalam perang dan peta buatan
tangan sumber peta cetakan itu. Kami sadari telah terjadi kesalahan cetak. Tak
hanya lokasi pertanian itu yang salah. Namun peta itu menunjukkan sebuah
tikungan jalan yang sebenarnya tidak ada," lanjut Ferrand.
Sebuah lukisan karya Vernet and Swebach menggambarkan pertempuran Mont-Saint-Blanc yang
terjadi pada 18 Juni 1815. Pertempuran ini adalah bagian dari kampanye militer Napoleon Bonaparte
yang berakhir dengan kehancuran dalam pertempuran Waterloo. (Wikimedia)

Blunder lain

Saat ditanya apakah hasil pertempuran Waterloo akan berbeda jika Napoleon
menggunakan peta yang benar dan akurat. Ferrand mengatakan, sebenarnya di
Waterloo, Napoleon sudah dalam posisi tak menguntungkan.

"Kami juga menemukan surat dari adik Napoleon, Jerome Bonaparte, yang
menggambarkan kakaknya sudah terlihat akan kalah di Waterloo dan sudah tak bisa
lagi mengendalikan pasukannya. Dia dibayang-bayangi keberhasilannya di masa
lalu," ujar Ferrand.

Napoleon juga terlalu meremehkan kemampuan Duke of Wellington dan gagak


memberikan perintah jelas untuk para komandannya seperti Marshall Ney dan
Jenderal Grouchy.

Blunder kedua perwira itu juga dituding menjadi salah satu biang kekalahan
Napoleon di Waterloo. Meski penulis taktik militer abad ke-19 asal Swiss, Baron
Jomini memuji kepercayaan diri Duke of Wellington dan kegigihan infantri Inggris
saat menghadapi gempuran pasukan Perancis.

(Ervan Hardoko/Kompas.com)

Napoleon Bonaparte, Kaisar Perancis yang baru saja kabur dari pengasingannya di Pulau Elba
dan merebut kembali tampuk kekuasaannya dari Louis XVIII, harus menghadapi kondisi cuaca
yang tidak mendukung dalam medan pertempuran Waterloo di Belgia. Saat itu tanggal 18 Juni
1815. Sial baginya, hujan deras yang mengguyur Belgia semalaman penuh menimbulkan banjir
dan tanah menjadi becek sehingga tidak layak untuk dilalui meriam-meriam berat. Padahal untuk
merebut kemenangan yang harus diraihnya dalam perang seratus hari setelah kebebasannya,
pasukan Napoleon harus segera menggempur pasukan koalisi Inggris dikomandani Laksamana
Wellington yang bertahan di Waterloo.

Sang Kaisar akhirnya mengundurkan waktu penyerbuan, menunggu tanah mengering. Seiring
dengan itu, konsolidasi pasukan musuh akhirnya menjadi kuat ditambah datangnya pasukan
Prusia. Lalu sejarah mencatat bahwa kegemilangan strategi perang Napoleon kandas di
Waterloo dan Napoleon pulang ke Paris hanya untuk menandatangi pakta kekalahan dan
pengasingan dirinya kembali. Ia dibuang ke pulau terpencil di Samudera Atlantik, St. Helena,
hingga meninggalnya pada 5 Mei 1821. Berakhirlah perang panjang 1799 – 1815 yang melanda
seluruh Eropa yang dimulai ketika Napoleon Bonaparte merebut kekuasaan di Perancis. .

Jauh di belahan dunia yang lain, di kepulauan yang saat itu masih bernama Hindia Timur
Belanda (Netherlands East Indies), seiring berkuasanya Napoleon, ia menempatkan orang-orang
pilihannya untuk menduduki tempat-tempat yang bahkan tidak terkena hiruk pikuk perang di
Eropa. Diangkatlah Marcshalk Herman Willem Daendels pada tahun 1908 menjadi Gubernur
Jenderal baru di Hindia Timur sebagai representasi kekuasaan Perancis terhadap Negeri
Belanda.

Kekuasaannya tidak lama karena dipanggil untuk membantu pasukan Perancis melawan Rusia
pada tahun 1910. Ia digantikan Jan Willem Janssens. Namun Daendels telah mencatatkan
sejarah pahit bagi bangsa yang dijajahnya yang setelah merdeka disebut Indonesia itu. Jalan
ribuan kilometer antara Anyer – Panarukan berhasil dibangun dengan darah rakyat yang
dilaluinya. Sebenarnya Daendels tidak membuat jalan baru. Kebanyakan ia hanya memperlebar
dan atau memperkuat jalan lama atau jalan setapak sehingga bisa dilalui pedati. Semuanya
untuk melancarkan arus kekuasaan militerismenya dan kelancaran transportasi komoditas
kekayaan bumi Pulau Jawa yang tidak lain untuk biaya dan kepentingan Perang Napoleon juga.

Spoiler for Penyebab Utama Kekalahan Napoleon:

Spoiler for Lebih Jelas Gan:


iklim dunia serta tercatat menurunkan Gambar Diatas adalah Gambar gunung Tambora yang
ternyata meletus pada tahun 1815, ampak letusannya sampai ke Eropa dan dampak sosial
terbesarnya adalah Kekalahan Napoleon Bonaparte

Quote:Tentang Letusan Tambora

Setelah Napoleon takluk di tangan Inggris dan ditawan di Pulau St. Helena, Gubernur Jenderal baru
di Hindia Timur adalah seorang bangsawan Inggris yang selain menjadi penguasa tampuk
pemerintahan tertinggi, namun juga punya kepedulian terhadap ilmu pengetahuan. Dialah Sir
Thomas Stamford Bingley Raffles yang kemudian menjadi seorang gubernur jenderal di Nusantara
yang mempunyai perhatian akan peristiwa letusan gunungapi paling dahsyat di dalam sejarah umat
manusia: letusan Gunung Tambora 10 April 1815.

Ialah yang kemudian memerintahkan bawahannya Letnan Phillips untuk langsung menuju lokasi
bencana. Sang letnan mencatat apa yang dilihatnya ketika tiba di Dompu kira-kira sebagai berikut:

“Dalam perjalananku, aku melewati hampir seluruh Dompo dan banyak bagian dari Bima.
Kesengsaraan besar-besaran melanda penduduk. Bencana telah memberikan pukulan hebat. Masih
terdapat mayat di jalan dan tanda-tanda banyak lainnya telah terkubur. Desa-desa hampir
sepenuhnya ditinggalkan dan rumah-rumah rubuh. Penduduk yang selamat kesulitan mencari
makanan. Diare menyerang warga di Bima, Dompo, dan Sang’ir. Diduga penduduk minum air yang
terkontaminasi abu, dan kuda juga mati dalam jumlah yang besar…”

Letusan Tambora 1815 karya Harlin & Harlin di www.smithsonianmag.com (unduh 03112011)
Raffles sendiri kemudian memberi catatan tentang letusan Tambora itu di bukunya yang terkenal
“The History of Java.” Buku tebal dengan beberapa jilid itu diterbitkan pada tahun 1817 setelah ia
dipanggil pulang ke Inggeris akibat dinilai salah manajemen dalam mengurus tanah jajahan di
Nusantara.
Lalu bagaimana hubungan kekalahan Napoleon di Waterloo dengan letusan Tambora?

Bulan April 1815, rakyat di sekitar Semenanjung Sanggar, tempat beberapa kota ramai di bawah
Kekuasaan Kerajaan Bima, gelisah dengan aktivitas Gunung Tambora. Gempa-gempa kecil terasa
terus-menerus dan erupsi-erupsi permulaan terjadi dari kawah di puncak gunung yang saat itu
diperkirakan mencapai ketinggian 4.000 m di atas muka laut. Buku Data Dasar Gunungapi Indonesia
(Kusumadinata, 1979) mencatat aktifitas permulaan itu terjadi pada 5 April 1815 dengan suara
gemuruh yang terdengar hingga Batavia (Jakarta sekarang, sejauh 1.250 km) dan Ternate (1.400 km).

Aktifitas volkanik semakin meningkat hingga mencapai puncaknya dengan suatu letusan paraksismal
maha dahsyat pada tanggal 10 April 1815. Letusan itu menghasilkan suara ledakan yang terdengar
hingga Jawa dan Sumatera walaupun hanya dikira sebagai letusan meriam. Namun bagi rakyat Bima
di Semenanjung Sanggar, ledakan itu tidak hanya sangat Cumiakkan telinga, tetapi segera disusul
bencana maut. Hujan abu dan batu segera menghunjam mereka. Suatu aliran surge piroklastik awan
panas yang cepat dan bersuhu di atas 500oC segera menerjang dan mengubur permukiman-
permukiman yang berada di kaki-kaki gunung di sekeliling kawah Tambora.Tidak pelak lagi, letusan-
letusan dahsyat yang baru mulai reda pada 12 April 1815, mengubur seluruh lereng-lereng Tambora.
Letusan itu jika mengacu kepada Indeks Eksplosivitas Volkanik (VEI: Volcanic Explosivity Index;
Newhall dan Self, 1982) berada pada skala >7, skala letusan tertinggi di masa sejarah umat manusia.
Volume batu yang dikeluarkan mencapai lebih dari 150 km-kubik, hampir sepuluh kali lipat dari
letusan Krakatau pada 27 Agustus 1883. Ketika letusan itu terjadi, abunya mengarah ke barat laut
menyebabkan Sumbawa, Lombok, Bali, Madura dan sebagian Jawa Timur gelap gulita selama tiga
hari.

Volcanic Explosivity Index (VEI) (Newhall & Self, 1982)


Korban yang berjatuhan langsung diperkirakan mencapai 10.000 orang. Dampak ikutannya berupa
bencana penyakit dan kelaparan mencapai 38.000 di Sumbawa dan 44.000 di Lombok, sehingga
diduga korban akibat letusan ini mencapai angka 92.000 korban meninggal.

Menurut buku Data Dasar Gunungapi Indonesia (Kusumadinata, 1979), Tambora masih bergelora
walaupun aktivitasnya makin menurun hingga 15 Juli 1815. Namun Agustus 1819 masih terdengar
suara gemuruh yang kuat disertai gempa bumi dan terlihatnya bara api dari kalderanya.

Letusan bertipe Plinian yang membentuk cerobong abu ke angkasa dan membentuk payung
cendawan di atasnya, diperkirakan mencapai ketinggian lebih dari 25 km. Abunya di angkasa beredar
terbawa angin stratosfer ke seluruh dunia, dan iklim dunia pun terpengaruh. Apakah abu Tambora
yang beberapa minggu kemudian menyumblim di atas Eropa dan menghasilkan hujan deras di atas
Waterloo? Sulit untuk mengaitkannya. Namun demikian, walaupun bulan Juni biasa terjadi hujan
mengawali musim panas di Eropa, namun intensitas curah hujan tinggi tidak biasa yang luput dari
perkiraan Napoleon, mungkin saja disebabkan pengaruh abu dari letusan Tambora itu.

Satu hal yang tidak terbantahkan di kalangan ilmuwan adalah perubahan iklim belahan bumi utara
yang terjadi setahun kemudian pada 1816. Setelah Eropa reda dari kekacauan akibat Perang
Napoleon, pemulihan kondisi ekonomi semakin terancam akibat perubahan cuaca. Gagal panen
terjadi dimana-mana. Kelaparan dan wabah penyakit tak terhindarkan. Bahkan pada waktu yang
seharusnya tengah-tengah musim panas pada Juli – Agustus 1816, salju turun di beberapa tempat di
belahan Bumi utara. Tahun 1816 kemudian tercatat dalam sejarah sebagai “the year without
summer.” Begitulah bagaimana abu letusan Tambora mungkin menjadi salah satu faktor penyebab
kekalahan pasukan Napoleon di Waterloo, dan benar-benar mempengaruhisuhu Bumi sebesar
0,5oC.

Saat kami mendaki Tambora dan mencapai bibir kalderanya di pagi hari yang cerah, kami terpesona
dengan kaldera luas dan dalam yang terbentang di bawah kaki kami. Dengan diameter kaldera
mencapai hampir 7 km dan kedalaman hingga dasar mencapai hampir 1 km, kami hanyalah
sekumpulan titik yang tidak berarti di lingkungan yang luar biasa itu. Tebing curam 70 – 90o di
bawah kaki kami membuat kami ekstra hati-hati. Terpeleset sedikit tidak akan ada yang sanggup
untuk selamat berguling-guling ke dasar kaldera yang sangat dalam itu.
==

ABU TAMBORA MENAKLUKKAN


TENTARA NAPOLEON DI
WATERLOO

Lukisan karya Crofts (serangan besar terakhir Napoleon di Waterloo). Sumber: wikipedia

Apakah letusan dahsyat Tambora menjadi penyebab kekalahan Napoleon di Waterloo? Memang
terlalu gegabah menyimpulkan hal itu. Namun marilah kita ikuti peristiwa-peristiwa bersejarah
di sekitar 1815, tahun berakhirnya Perang Napoleon dan meletusnya Gunung Tambora di Pulau
Sumbawa.

Napoleon Bonaparte, Kaisar Prancis yang baru saja kabur dari pengasingannya di Pulau Elba
dan merebut kembali tampuk kekuasaannya dari Louis XVIII, harus menghadapi kondisi cuaca
yang tidak mendukung dalam medan pertempuran Waterloo di Belgia. Saat itu tanggal 18 Juni
1815. Sial baginya, hujan deras yang mengguyur Belgia semalaman penuh menimbulkan banjir
dan tanah menjadi becek sehingga tidak layak untuk dilalui meriammeriam berat. Padahal untuk
merebut kemenangan dalam perang seratus hari setelah kebebasannya, pasukan Napoleon harus
segera menggempur pasukan koalisi Inggris dikomandani Laksamana Wellington yang bertahan
di Waterloo.

Sang Kaisar akhirnya mengundurkan waktu penyerbuan, menunggu tanah mengering. Seiring
dengan itu, konsolidasi pasukan musuh akhirnya menjadi kuat ditambah datangnya pasukan
Prusia. Lalu sejarah mencatat bahwa kegemilangan strategi perang Napoleon kandas di
Waterloo dan Napoleon pulang ke Paris hanya untuk menandatangi pakta kekalahan dan
pengasingan dirinya kembali. Ia dibuang ke pulau terpencil di Samudera Atlantik, St. Helena,
hingga meninggalnya pada 5 Mei 1821. Berakhirlah perang panjang 1799 – 1815 yang melanda
seluruh Eropa yang dimulai ketika Napoleon Bonaparte merebut kekuasaan di Prancis.

Lalu bagaimana hubungan kekalahan Napoleon di Waterloo dengan letusan Tambora? Letusan
bertipe Plinian dari Gunung Tambora yang membentuk cerobong abu ke angkasa dan
membentuk payung cendawan di atasnya, diperkirakan mencapai ketinggian lebih dari 25 km.
Abunya di angkasa beredar terbawa angin stratosfer ke seluruh dunia, dan iklim dunia pun
terpengaruh.

Memang sulit untuk mengaitkan apakah abu Tambora yang beberapa minggu kemudian
diperkirakan menyumblim di atas Eropa, menghasilkan hujan deras di atas Waterloo. Namun
demikian, walaupun pada bulan Juni biasa terjadi hujan mengawali musim panas di Eropa,
intensitas curah hujan tinggi yang tidak biasa, luput dari perkiraan Napoleon, dan hal itu
mungkin saja disebabkan pengaruh abu dari letusan Tambora.

Satu hal yang tidak terbantahkan di kalangan ilmuwan yang pada saatnya menjadi kebingungan
masyarakat belahan Bumi utara, adalah perubahan iklim yang terjadi setahun kemudian pada
1816. Setelah Eropa reda dari kekacauan akibat Perang Napoleon, pemulihan kondisi ekonomi
semakin terancam akibat perubahan cuaca. Gagal panen terjadi di mana-mana. Kelaparan dan
wabah penyakit tak terhindarkan. Bahkan pada waktu yang seharusnya tengah-tengah musim
panas pada Juli – Agustus 1816, diberitakan salju turun di beberapa tempat di belahan Bumi
utara. Tahun 1816 kemudian tercatat dalam sejarah sebagai “the year without summer.”

Di literatur Barat sekarang mulai disadari bagaimana novel kelam tentang monster seperti
Frankenstein karya Mary Shelley atau Vampyre karya John William Polidori rupanya tercipta
pada masa kegelapan di tahun 1816. Mary Shelley misalnya, seorang perempuan Inggeris
terpaksa mendekam di kamar hotelnya saat liburan ke pegunungan Swiss pada musim panas
1816 yang ternyata justru dingin dan gelap mencekam. Saat itulah bersama teman-temannya ia
hanya bisa bercerita hal-hal seram sehingga menginspirasi membuat novel yang terkenal itu.

Begitulah bagaimana abu letusan Tambora mungkin menjadi salah satu faktor penyebab
kekalahan pasukan Napoleon di Waterloo, dan justru memberi inspirasi para pengarang untuk
menciptakan monster Frankenstein atau Vampyre yang dikenal luas hingga sekarang.

Letusan Tambora benar-benar mempengaruhi iklim dunia. Suhu Bumi tercatat turun sebesar
0,5oC. Tidak hanya itu, letusan dahsyat itu juga mempengaruhi pola hidup dan menjadi inspirasi
karya-karya sastra.

Catatan: artikel ini ditulis ulang untuk Geomagz bersumber dari artikel penulis sendiri yang
berjudul “Dari Tambora ke Waterloo, 195 tahun yang lalu” dimuat di Majalah Ekspedisi
Geografi Indonesia, BAKOSURTANAL, 2010.

Penulis: Budi Brahmantyo


» Artikel Geologi Populer » Abu Tambora Menaklukkan Tentara Napoleon di Waterloo

ABOUT THE AUTHOR: GEOMAGZ

Administrator adalah anggota redaksi GEOMAGZ-Majalah Geologi Populer

Você também pode gostar