Você está na página 1de 25

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

AGAMA & MASYARAKAT

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam

Dosen Pembimbing : Ibu Kuswati

DISUSUN OLEH :

ANDREAN (10117718)

YUNI TRI NIMAS SARI (10117718)

SISTEM INFORMASI

FAKULTAS ILMU KOMPUTER & TEKNOLOGI INFORMASI

UNIVERSITAS GUNADARMA

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-
Nya kami dapat menyelesaikan “TUGAS MAKALAH” kelompok kami dengan BAB
“AGAMA & MASYARAKAT”.
Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk menambah pengetahuan kita sebagai
pembaca dan masyarakat umumnya, agar mengetahui tentang pengertian, klasifikasi dan
ruang lingkup dalam Agama Islam.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini. Dengan senang hati akan menerima kritik maupun saran yang
bersifat membangun dari para pembaca pada makalah kali ini.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing Mata Kuliah
Pendidikan Agama Islam. Semoga Allah SWT berkenan atas makalah ini dan semoga
bermanfaat. Amin.

Depok, 5 January 2018


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................
DAFTAR ISI ..........................................................................................................................
BAB I - PENDAHULUAN ....................................................................................................
I.I LATAR BELAKANG ........................................................................................
I.II TUJUAN .............................................................................................................
I.III RUMUSAN MASALAH………………………………..………………………
BAB II – PEMBAHASAN .....................................................................................................
II.I DASAR PEMBENTUKAN KELUARGA DALAM ISLAM............................
II.II MAWARIS DALAM ISLAM..............................................................................
II.III PEMBENTUKAN MASYARAKAT ISLAM…………………………………
II.III.I PENGERTIAN MASYARAKAT……………………………………
II.III.II MASYARAKAT MADANI…………………………………………
II.III.III CIRI DENGAN SISTEM MASYARAKAT ISLAM………………
BAB III – KESIMPULAN ......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

I.I LATAR BELAKANG

Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang
meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi
rasional tentang ati dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut
menimbulkan relegi dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agama
para tasauf. Bukti-bukti itu sampai pada pendapat bahwaagama merupakan tempat mencari
makna hidup yang final dan ultimate. Agama yang diyakini, merupakan sumber motivasi
tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali pada konsep hubungan agama
dengan masyarakat, di mana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial
dan invidu dengan masyarakat yang seharusnya tidak bersifat antagonis. Peraturan agama
dalam masyarakat penuh dengan hidup, menekankan pada hal-hal yang normative atau
menunjuk kepada hal-hal yang sebaiknya dan seharusnya dilakukan. Contoh kasus akibat
tidak terlembaganya agama adalah “anomi”, yaitu keadaan disorganisasi sosial di mana
bentuk sosial dan kultur yang mapan jadi ambruk. Hal ini, pertama, disebabkan oleh
hilangnya solidaritas apabila kelompok lama di mana individu merasa aman dan responsive
dengan kelompoknya menjadi hilang. Kedua, karena hilangnya consensus atau tumbangnya
persetujuan terhadap nilai-nilai dan norma yang bersumber dari agama yang telah
memberikan arah dan makna bagi kehidupan kelompok.

I.II TUJUAN

1. Mengetahui maksud dari pembentukan keluarga dalam Islam


2. Mengetahui arti dari Mawaris
3. Mengetahui pembentukan masyarakat Islam, meliputi pengertian, Masyarakat Madani,
ciri dengan system masyarakat Islam

I.III RUMUSAN MASALAH

 Mencakup pembahasan dasar pembentukan keluarga dalam Islam


 Mencakup pembahasan Mawaris
 Mencakup Pembahasan pembentukan masyarakat Islam, meliputi pengertian,
Masyarakat Madani, ciri dengan system masyarakat Islam
BAB II
PEMBAHASAN

1. Dasar Pembentukan Keluarga Dalam Islam


Unit terkecil dari suatu masyarakat adalah keluarga, yang paling sedikit terdiri dari
suami dan isteri, kemudian dari sepasang insani yang berbeda jenis ini akan lahir anak-anak
yang merupakan generasi penerus bagi manusia selanjutnya. Hukum dalam pernikahan di
atur oleh agama agar tercipta sebuah keluarga yang ideal.

1.1 MUNAKAHAT ( HUKUM PERKAWINAN )


Munakahat (nikah) menurut bahasa sehari-hari berarti berkumpul antara dua jenis
kelamin yang berbeda. Munakahan diambil dari kata nikah/nakaha, sehingga terminologis
artinya adalah sebuah lembaga hukum yang mengatur dan mensyahkan hidup bersama antara
pria dan wanita yang diikat dengan akad nikah dengan ijab dan qabul.Seperti firman ALLAH
SWT. " Dan mereka ( isteri-isteri telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (QS.An-
Nisa:21)".

1.1.1 Hukum Nikah, Pinangan dan Walimah


 Hukum Nikah
Hukum nikah yaitu sunnah tapi bagi individu dihukumkan menjadi mubbah,sunnah,
wajib, makruh dan bahkan haram. Menurut sebagian besar Ulama’, hukum asal menikah
adalah mubah, yang artinya boleh dikerjakan dan boleh tidak. Apabila dikerjakan tidak
mendapatkan pahala, dan jika tidak dikerjakan tidak mendapatkan dosa. Namun menurut saya
pribadi karena Nabiullah Muhammad SAW melakukannya, itu dapat diartikan juga bahwa
pernikahan itu sunnah berdasarkan perbuatan yang pernah dilakukan oleh Beliau.
Akan tetapi hukum pernikahan dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh bahkan
haram, tergantung kondisi orang yang akan menikah tersebut.
 Pernikahan Yang Dihukumi Sunnah
Hukum menikah akan berubah menjadi sunnah apabila orang yang ingin melakukan
pernikahantersebut mampu menikah dalam hal kesiapan jasmani, rohani, mental maupun
meteriil dan mampu menahan perbuatan zina walaupun dia tidak segera menikah.
Sebagaimana sabda Rasullullah SAW :
“Wahai para pemuda, jika diantara kalian sudah memiliki kemampuan untuk menikah, maka
hendaklah dia menikah, karena pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan lebih
dapat memelihara kelamin (kehormatan); dan barang siapa tidak mampu menikah, hendaklah
ia berpuasa, karena puasa itu menjadi penjaga baginya.” (HR. Bukhari Muslim)
 Pernikahan Yang Dihukumi Wajib
Hukum menikah akan berubah menjadi wajib apabila orang yang ingin melakukan
pernikahanmtersebut ingin menikah, mampu menikah dalam hal kesiapan jasmani, rohani,
mental maupun meteriil dan ia khawatir apabila ia tidak segera menikah ia khawatir akan
berbuat zina. Maka wajib baginya untuk segera menikah
 Pernikahan Yang Dihukumi Makruh
Hukum menikah akan berubah menjadi makruh apabila orang yang ingin melakukan
pernikahan tersebut belum mampu dalam salah satu hal jasmani, rohani, mental maupun
meteriil dalam menafkahi keluarganya kelak
 Pernikahan Yang Dihukumi Haram
Hukum menikah akan berubah menjadi haram apabila orang yang ingin melakukan
pernikahan tersebut bermaksud untuk menyakiti salah satu pihak dalam pernikahan tersebut,
baik menyakiti jasmani, rohani maupun menyakiti secara materiil.
 Pinangan
Didalam syariat islam dikenal adanya pinangan / khithbah yang dilakukan sebelum
akad nikah baik memakai tenggang waktu ataupun tidak.Hukumnya adalah boleh.
 Definisi Peminangan.
Beberapa ahli Fiqih berbeda pendapat dalam pendefinisian peminangan. Beberapa
diantaranya adalah sebagai berikut:
Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa pinangan (khitbah) adalah pernyataan seorang
lelaki kepada seorang perempuan bahwasanya ia ingin menikahinya, baik langsung kepada
perempuan tersebut maupun kepada walinya. Penyampaian maksud ini boleh secara langsung
ataupun dengan perwakilan wali.
Adapun Sayyid Sabiq, dengan ringkas mendefinisikan pinangan (khitbah) sebagai
permintaan untuk mengadakan pernikahan oleh dua orang dengan perantaraan yang jelas.
Pinangan ini merupakan syariat Allah SWT yang harus dilakukan sebelum mengadakan
pernikahan agar kedua calon pengantin saling mengetahui.
Amir Syarifuddin mendefinisikan pinangan sebagai penyampaian kehendak untuk
melangsungkan ikatan perkawinan. Peminangan disyariatkan dalam suatu perkawinan yang
waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah.
Al-hamdani berpendapat bahwa pinangan artinya permintaan seseorang laki-laki
kepada anak perempuan orang lain atau seseorang perempuan yang ada di bawah perwalian
seseorang untuk dikawini, sebagai pendahuluan nikah.

Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pinangan (khitbah) adalah
proses permintaan atau pernyataan untuk mengadakan pernikahan yang dilakukan oleh dua
orang, lelaki dan perempuan, baik secara langsung ataupun dengan perwalian. Pinangan
(khitbah) ini dilakukan sebelum acara pernikahan dilangsungkan.

 Dasar dan Hukum Pinangan


a. Dari Mughirah R.A., sesungguhnya ia pernah meminang seseorang perempuan,
lalu Nabi SAW. Bersabda kepadanya,” Lihatlah perempuan itu dahulu karena
sesungguhnya melihat itu lebih cepat membawa kekekalan kecintaan antara
keduanya.” (H.R. Nasa’I dan Tirmizi)
b. Dari Abu Hurairah R.A., dia berkata,” Aku duduk di dekat Nabi SAW. lalu
dating seorang laki-laki kepada beliau dan bercerita bahwa ia akan menikahi
seseorang perempuan dari kaum Anshar. Rasulullah lalu bersabda,”Sudahkah
engkau lihat wajahnya?” laki-laki itu menjawab, “belum”. Rasulullah bersabda
lagi,” pergi dan lihatlah karena sesungguhnya pada wajah kaum Anshar itu
mungkin ada sesuatu yang menjadi cacat.” (H.R. Muslim dan Nasa’i)

Memang terdapat dalam al-qur’an dan dalam banyak hadis Nabi yang membicarakan
hal peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau
larangan melakukan peminangan, sebagaiman perintah untuk mengadakan perkawinan
dengan kalimat yang jelas, baik dalam al-qur’an maupun dalam hadis Nabi. Oleh karena itu,
dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti
hukumannya mubah.
Akan tetapi, Ibnu Rusyd dengan menukil pendapat imam Daud Al-Zhahiriy,
mengatakan bahwa hukum pinangan adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatnya pada
hadis-hadis nabi yang menggambarkan bahwa pinangan (khitbah) ini merupakan perbuatan
dan tradisi yang dilakukan nabi dalam peminangan itu.

 Hikmah Peminangan
Ada beberapa hikmah dari prosesi peminangan, diantaranya:
a. Wadah perkenalan antara dua belah pihak yang akan melaksanakan pernikahan.
Dalam hal ini, mereka akan saling mengetahui tata etika calon pasangannya masing-
masing, kecendrungan bertindak maupun berbuat ataupun lingkungan sekitar yang
mempengaruhinya. Walaupun demikian, semua hal itu harus dilakukan dalam koridor
syariah. Hal demikian diperbuat agar kedua belah pihak dapat saling menerima
dengan ketentraman, ketenangan, dan keserasian serta cinta sehingga timbul sikap
saling menjaga, merawat dan melindungi.
b. Sebagai penguat ikatan perkawinan ynag diadakan sesudah itu, karena dengan
peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal. Bahwa Nabi SAW berkata
kepada seseorang yang telah meminang perempuan:” melihatlah kepadanya karena
yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan.

 Macam-Macam Peminangan
Ada beberapa macam peminangan, diantaranya sebagai berikut:
a. Secara langsung yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang sehingga
tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan, seperti
ucapan,”saya berkeinginan untuk menikahimu.”
b. Secara tidak langsung yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau
dengan istilah kinayah. Dengan pengertian lain ucapan itu dapat dipahami dengan
maksud lain, seperti pengucapan,”tidak ada orang yang tidak sepertimu.”

Perempuan yang belum kawin atau sudah kawin dan telah habis pula masa iddahnya
boleh dipinang dengan ucapan langsung aau terus terang dan boleh pula dengan ucapan
sindiran atau tidak langsung. Akan tetapi bagi wanita yang masih punya suami, meskipun
dengan janji akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh dikawini, tidak boleh
meminangnya dengan menggunakan bahasa terus terang tadi.

 Hal-Hal yang Berkaitan dengan Peminangan.


a. Norma Kedua Calon Pengantin Setelah Peminangan.
Peminangan (khitbah) adalah proses yang mendahului pernikahan akan tetapi bukan
termasuk dari pernikahan itu sendiri. Pernikahan tidak akan sempurna tanpa proses ini,
karena peminangan (khitbah) ini akan membuat kedua calon pengantin akan menjadi tenang
akibat telah saling mengetahui.
Oleh karena itu, walaupun telah terlaksana proses peminangan, norma-norma
pergaulan antara calon suami dan calon istri masih tetap sebagaimana biasa. Tidak boleh
memperlihatkan hal-hal yang dilarang untuk diperlihatkan.
b. Peminangan Terhadap Seseorang yang Telah Dipinang.
Seluruh ulama bersepakat bahwa peminangan seseorang terhadap seseorang yang
telah dipinang adalah haram. Ijma para ulama mengatakan bahwa peminangan kedua, yang
dating setelah pinangan yang pertama, tidak diperbolehkan. Hal tersebut terjadi apabila :
Perempuan itu senang kepada laki-laki yang meminang dan menyetujui pinangan itu secara
jelas (Sharahah) atau memberikan izin kepada walinya untuk menerima pinangan itu.
c. Pinangan kedua datang tidak dengan izin pinangan pertama.
Peminang pertama belum membatalkan pinangan. Hal ini sesuai dengan hadis nabi
yang berbunyi,” Janganlah kalian membeli sesuatu pembelian saudara kalian, dan janganlah
kalian meminang pinangan saudara kalian, kecuali dengan izinnya.”
Seluruh imam bersepakat bahwa hadis diatas berlaku bagi pinangan yang telah
sempurna. Hal tersebut terjadi agar tidak ada yang merasa sakit hati satu sama lain. Adapun
mengenai pinangan yang belum sempurna, dengan pengertian masih menunggu jawaban,
beberapa ulama berbeda pendapat. Hanafiah mengatakan, pinangan terhadap seseorang yang
sedang bingung dalam menentukan keputusan adalah makruh. Hal ini bertentangan dengan
pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa sesungguhnya perbuatan itu tidak haram.
Pendapat ini berdasarkan peristiwa Fatimah binti Qois yang dilamar oleh tiga orang
sekaligus, yaitu Mu’awiyah, Abu Jahim bin Huzafah dan Usamah bin Zaid. Hal itu terjadi
setelah selesainya masaiddah Fatimah yang telah ditalak oleh Abu Umar bin Hafsin.
Walaupun demikian, pendapat Hanafi lebih kuat landasannya karena sesuai dengan
tatap erilaku islam yang mengajarkan solidaritas. Peminangan yang dilakukan terhadap
seseorang yang sedang bingung dalam mempertimbangkan keputusan lebih berdampak pada
pemutusan silaturrahim terhadap peminang pertama dan akan mengganggu psikologis yang
dipinang.

 Orang-Orang yang Boleh Dipinang.


Pada dasarnya, seluruh orang yang boleh dinikahi merekalah yang boleh dipinang.
Sebaliknya,mereka yang tidak boleh untuk dinikahi, tidak boleh pula untuk dipinang. Dalam
hal ini, ada syarat agar pinangan diperbolehkan. Yaitu :
a) Bukan Orang-Orang yang Dilarang Menikahinya.
b) Bukan Orang-Orang yang Telah Dipinang Orang Lain.
c) Tidak Dalam Masa ‘Iddah
d) Batas-Batas yang Boleh Dilihat Ketika Khitbah

Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi empat bagian Hanya muka dan telapak
tangan. Banyak ulama fiqih yang berpendapat demikian. Pendapat ini berdasarkan bahwa
muka adalah pancaran kecantikan atau ketampanan seseorang dan telapak tangan ada
kesuburan badannya.
 Muka, telapak tangan dan kaki. Pendapat ini diutarakan oleh Abu Hanifah.
 Wajah, leher, tangan, kaki, kepala dan betis. Pendapat ini dikedepankan para
pengikut Hambali.
 Bagian-bagian yang berdaging. Pendapat ini menurut al-Auza’i.
 Keseluruh badan. Pendapat ini dikemukakan oleh Daud Zhahiri. Pendapat ini
berdasarkan ketidakadaan hadis nabi yang menjelaskan batas-batas melihat
ketika meminang.

 Waktu dan Syarat Melihat Pinangan


Imam Syafi’i berpendapat bahwa seorang calon pengantin, terutama laki-laki,
dianjurkan untuk melihat calon istrinya sebelum pernikahan berlangsung. Dengan syarat
bahwa perempuan itu tidak mengetahuinya. Hal itu agar kehormatan perempuan tersebut
terjaga. Baik dengan izin atau tidak. Imam Maliki dan Imam Hambali mengatakan bahwa
melihat pinangan adalah disaat kebutuhan mendesak. Itu disebabkan agar tidak menimbulkan
fitnah dan menimbulkan syahwat.

 Walimah
Didalam pernikahan perlu adanya walimah ( walimatul'arusy) yaitu pesta pernikahan
guna mensiarkan terjadinya akad nikah antara laki-laki dan perempuan kepada masyarakat.
Walimah adalah perayaan pesta yang diadakan dalam kesempatan pernikahan.

1. Walimatul Urs (Pesta pernikahan)


Walimatul urs atau pesta pernikahan hukumnya sunah dalam pendapat yang paling
benar. Hal ini didasari oleh hadits dari Anas bin Malik -radhiallahu 'anhu- berkata :
‫وسلم عليه ال صلى ال رسول له فقال عنه ال رضى عوف بن الرحمن عبد تزوج‬: ‫بشاة ولو أولم‬
Artinya : "Telah menikah Abdurahman bin Auf -radhiallahu 'anhu-, maka Rosulullah
-sholallahu 'alaihi wasallam- berkata kepadanya : adakanlah walimah walau dengan seekor
kambing." (HR Ahman, Abu Daud, Bukhori dan Muslim) Seseorang yang menikah
diperbolehkan mengadakan pesta makan-makan dan dibolehkan juga untuk tidak
mengadakannya. karena hukum walimah adalah sunah menurut pendapat yang paling kuat.
dan tidak ada batasan minimal apa saja yang harus dihidangkan dalam acara walimah
tersebut. Adapun permasalahan anda antara calon suami yang tidak ingin mengadakan pesta
dankeinginan ibu anda yang tetap harus mengadakan pesta. maka posisi saya hanya dapat
memberikan saran kepada anda.
Berdasar dari hukum walimah yang disunahkan untuk diadakan oleh orang yang
menikah, maka buatlah acara walimah yang sederhana dan tidak berlebih-lebihan sehingga
anda tidak perlu menghabiskan biaya banyak. dan lebih baik anda konsultasikan kepada
keluarga anda tentang bentuk pestanya. dan utarakanlah pendapat anda dan calon suami anda
perihal pengadaan pesta pernikahan.

2. Uang Hantaran, Mahar dan Uang hadiah


Uang hantaran tidak ada dalam Islam. karena tidak ada dasarnya dalam Islam dan
tidak adapraktekn ya dari Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- serta para sahabatnya. dan
mempelailaki-laki tidak diwajibkan menyediakan uang hantaran untuk mempelai perempuan
selain mahar. dan mempermudah dalam perkara pernikahan adalah pedoman pernikahan
dalam Islam. Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- bersabda :

‫تعسروا ول يسروا‬
Artinya : "Permudahlah dan jangan engkau persulit." (HR Muslim)
Kita diperintahkan untuk selalu mempermudah dalam semua perkara. dan dalam perkara
ibadah adalah lebih utama. dan nikah adalah ibadah. jadi lebih utama jika dipermudah proses
pernikahan tersebut.

Adapun Mahar adalah hak istri sepenuhnya. orang tua mempelai perempuan tidak
mempunyai hak sedikitpun dari mahar yang diberikan mempelai laki-laki kepada mempelai
perempuan. Allah berfirman :

‫سا َء َوآتُوا‬ َ ‫نِحْ لَة‬


َ ّ‫صدُقَاتِ ِه ّن الن‬
Artinya : "Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan." (QS An-Nisa' : 4)

Pada ayat diatas, Allah hanya menyebutkan "kepada wanita" yang dinikahi adalah hak
mahar tersebut. bukan kepada keluarga wanita tersebut. maka mahar adalah hak istri
sepenuhnya. Uang kado atau dari pemberian para tamu yang datang dalam acara walimah
tidak ada pula dalam Islam. Islam memerintahkan kepada orang yang menikah untuk
mengadakan acara walimah, yaitu dengan mengadakan pesta makan-makan kepada para
tamu. dalam kata lain, Islam memerintahkan orang yang menikah untuk memberi kepada para
tamunya yang hadir dalam acara tersebut, dan sama sekali tidak ada praktek pada kehidupan
Rosulullah –sholallahu 'alaihi wasallam- dan para sahabatnya mengambil/menerima uang
hadiah dari para tamu acara pesta pernikahan.
 Wanita yang baik & Haram untuk dinikahi
Beberapa alasan pemuda ingin menikah dan wanita yang baik untuk dinikahi :
- Karena mengharapkan harta benda
- Karena mengharapkan kebangsawanannya
- Karena ingin melihat kecantikannya
- Karena agama dan budi pekertinya yang baik.
 Beberapa alasan wanita haram untuk dinikahi :
- Keturununan
- Keluarga sepersusunan
- Hubungan pernikahan seperti mertua dan anak tiri.
 Rukun dan Syarat sah perkawinan
- Adanya Calon suami dan calon isteri
- Adanya aqad yang terdiri dari ijab dan qobul
- Adanya wali nikah
- Adanya dua orang saksi
II. Mawaris Dalan Islam

Ilmu faraid (ilmu mawaris) yaitu ilmu yang membahas pembagian harta pusaka atau
ilmu yang menerangkan perkara pusaka. Pusaka dalam bahasa Arab disebut attirkah,
peninggalan orang yang telah mati, yakni harta benda dan hak yang ditinggalkan oleh orang
yang mati untuk dibagikan kepada yang berhak menerimanya.

Pusaka wajib dibagi menurut semestinya sesuai dengan hukum yang telah ditentukan
dalam al- Qur’an. Adapun setelah diterima kemudian diberikan kepada saudaranya yang
dianggap lemah ekonominya dalam lingkungan keluarganya itu terserah. Namun, harta benda
itu wajib dibagi menurut semestinya, sesuai dengan hukum yang telah ditentukan dalam al-
Qur’an.

Tujuan Ilmu Faraid (Ilmu Mawaris)

Tujuan ilmu faraid (ilmu mawaris) ialah untuk menyelamatkan harta benda si mati
agar terhindar dari pengambilan harta orang-orang yang berhak menerimanya dan agar
jangan ada orang-orang yang makan harta hak milik orang lain, dan hak milik anak yatim
dengan jalan yang tidak halal. Inilah yang dimaksud Allah swt. dalam firman-Nya :

‫اطل َب ْي َن ُك ْم ا ْم َوال ُك ْم ت َأ ُك ْلوا َول‬


ِ ‫ِبال َب‬
Artinya : “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil.” (Al-Baqarah [2] : 188)

Kedudukan Ilmu Faraid (Ilmu Mawaris)

Orang-orang yang mempunyai ilmu faraid (ilmu mawaris) hampir sudah tidak ada,
dan pembagian waris yang diatur menurut syari’at Islam sudah tidak banyak dilaksanakan
oleh umat Islam sendiri. Kalau ada orang yang mati meninggalkan harta pusaka, tidak segera
dibagikan kepada yang berhak menerimanya, sehingga akhirnya harta pusaka itu habis tidak
terbagi. Rasulullah saw. sudah mensinyalir keadaan yang demikian, sehingga beliau sangat
menekankan kita kaum muslimin untuk mempelajari ilmu faraid (ilmu mawaris), karena ilmu
ini lama-lama akan lenyap, yakni orang-orang menjadi malas untuk melaksanakan pembagian
pusaka menurut semestinya, yang diatur hukum Islam. Rasulullah saw. bersabda :

‫ض‬ ْ ‫اس ت َعلّ ُم‬


َ ِ‫واالفَ َرائ‬ ٌ ‫ض ْال ِع ْل َم َوا ِّن ا ْم ُر ٌؤ َمقب ُْو‬
َ ّ‫ض فَ ِا ّنى َو َعلّ ُم ْوهَاالن‬ َ ُ‫ف َحتّى َوت َْظ َه ُر ْال ِفت َن‬
ُ ‫سيُق َب‬ َ ‫َان يَ ْخت َ ِل‬ َ ‫ْالفَ ِر ْي‬
ِ ‫ض ِة فِى اِثن‬
( ‫ان‬ ِ َ‫ّقض ْي َم ْن فَليَ ِجد‬
ِ ‫الحاكم رواه ( بَ ْينَ ُه َما ي‬
Artinya : “Pelajarilah faraid (pembagian harta warisan) dan ajarkanlah kepada orang lain.
Sesungguhnya aku adalah seorang manusia yang bakal dicabut nyawa. Dan sesunguhnya
ilmu itu pun akan ikut tercabut pula. Juga akan hadir fitnah-fitnah sehingga terjadilah
perselisihan antara dua orang karena hal warisan. Kemudian mereka berdua itu tidak
mendapatkan orang yang akan memberi keputusan (terhadap masalah yang diperselisihkan
itu) di antara mereka berdua berdua.”(Riwayat Al-Hakim)

Hukum Mempelajari Ilmu Faraid (Ilmu Mawaris)

Mempelajari ilmu faraid (ilmu mawaris) hukumnya fardhu kifayah, artinya kalau
dalam segolongan umat sudah ada orang yang mengerti dan memahami ilmu faraid (ilmu
mawaris), yang lain tidak lagi diwajibkan mempelajarinya. Sedangkan apabila dalam
segolongan umat sama sekali tidak ada yang mengerti ilmu faraid (ilmu mawaris), maka
segolongan umat itu berdosa.
Mengapa hukum waris Islam merupakan segi hukum yang sangat penting, sehingga
digolongkan fardhu kifayah. Dalam kaitan ini Rasulullah saw. bersabda :

َ ِ‫ف تَعَلّ ُم ْواا ْلفَ َرائ‬


‫ض‬ ْ ِ‫ش ْيء اَ ّو ُل َوه َُو َوه َُويُ ْنسى ْال ِع ْل ِم َو َعلّ ُم ْوهَافَ ِانّ َهان‬
ُ ‫ص‬ ُ َ‫ا ُ ّمتِى ِم ْن يُ ْنز‬
َ ‫ع‬
Artinya : “Pelajarilah faraid dan ajarkan dia karena ia seperdua ilmu dan ia akan dilupakan
dan dialah yang pertama akan dicabut dari umatku.” (Riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni)
Peringatan Rasulullah saw. ini betul-betul nyata sekarang. Banyak ulama yang mengerti
berbagai ilmu, tetapi dalam ilmu faraid (ilmu mawaris) makin lama makin dilupakan orang.
‫اعلم وال‬

1. Pengertian

Menurut bahasa mawaris adalah bentuk jama’ dari kata mirosun, yang berarti hal
warisan. Sedangkan menurut istilah adalah perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang
kekayaan orang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup. Ilmu yang
mempelajari hal waris lebih populer disebut faroid, yaitu ilmu yang mempelajari tentang
siapa yang mendapaatkan warisan, siapa yang tidak mendapatkan, kadar yang diterima oleh
tiap-tiap ahli waris, dan bagaimana cara pembagiannya.

2. Sebab-sebab Seseorang Mendapatkan Harta Waris.

a. Nasab atau adanya hubungan darah atau keturunan (Q.S. An Nisa’ {4} : 7).
b. Mushoharoh, yaitu adanya ikatan pernikahan yang sah. Misalnya suami atau istri.
c. Al Wala’ yaitu seseorang yang memerdekakan budak. “Sesungguhnya hak wala’
(kekerabataan) itu untuk orang yang memerdekakan” ( H.R. Bukhori Muslim)
d. Hubungan sesama Muslim, yaitu jika yang meninggal tidak memiliki ahli waris
sebagaimana yang telah ditentukan oleh syari’ah.

3. Hal-hal Dapat Membatalkan Hak Waris Seseorang.

Pembunuh. Orang yang membunuh keluarganya tidak mendapatkan bagian harta


pusaka dari orang yang dibunuhnya. Sabda Rasul :
Artinya : Orang yang membunuh tidak dapat mewarisi orang yang dibunuhnya (H.R. Nasai’i)
Hamba sahaya ( Status budak). Firman Allah : “seorang hamba sahaya yang dimiliki yang
tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun” ( Q.S. An Nahl {16} : 75) .
Berbeda agama ( kafir ). Rasulullah bersabda yang artinya : “ Tidak mewarisi orang
Islam akan orang yang bukan Islam. Demikian pula orang yang bukan Islam tidak dapat
mewarisi orang Islam” ( H.R. Jama’ah ).
4. Ahli Waris

Secara keseluruhan ahli waris yang mendapatkan harta pusaka ada 25 orang, yang
terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan.
 Pihak laki-laki :
a. Anak lakilaki
b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki
c. Ayah
d. Kakek dari pihak ayah
e. Saudara laki-laki sekandung
f. Saudara laki-laki seayah
g. Saudara laki-laki seibu
h. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung ( keponakan)
i. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
j. Saudara laki-laki ayah yang sekandung ( paman )
k. Saudara laki-laki ayah se ayah
l. Anak lai-laki saudara ayah yang laki-laki sekandung
m. Anak laki-laki saudara ayah yang laki-laki seayah
n. Suami
o. Lali-laki yang memerdekakan budak.

 Jika lima belas orang tersebut di atas masih ada semuanya, yang diprioritaskan ada
tiga , yaitu ;
a. Ayah,
b. Anak laki-laki
c. Suami.

 Pihak Perempuan :
a. Anak perempuan
b. Cucu perempuan dari anak laki-laki
c. Ibu
d. Nenek dari pihak ayah
e. Nenenk diri pihak ibu
f. Saudara perempuan sekandung
g. Saudara peremmpuan seayah
h. Saudara peremouan seibu
i. Istri
j. Perempuan yang memerdekakan budak

 Jika Sepuluh orang masih ada semua, maka yang diprioritaskan ada lima yaitu :
a. Istri
b. Anak perempuan
c. Cucu perempuan dari anak laki-laki
d. Saudara perempuan sekandung
 Jika dua 25 orang masih ada semua, maka yang diprioritaskan adalah sebagai perikut :
a. Ibu
b. Ayah
c. Anak laki-laki
d. Anak perempuan
e. Suami atau istri
5. Pembagian Ahli Waris.

Ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu (Furudhul Muqoddaroh) Bagian-bagian waris
yang telah ditentukan oleh Al Qur’an adlah : 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, 1/6.

 Ahli waris yang mendapatkan 1/2 adalah :


a). Anak perempuan, apa bila sendirian tidak bersama saudara.
b). Saudara perempuan tungal yang sekandung
c). Cucu perempuan, jika tidak ada anak perempuan
d). Suami, Jika tidak ada anak atau cucu.

 Ahli waris yang mendapatkan bagian 1//4. yaitu :


a). Suami, jika ada anak atau cucu
b). Istri, jika tidak ada anak atau cucu.

 Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/8 adalah ;


a). Istri, jika suami meninggalkan anak atau cucu.

 Ahli waris yang mendapatkan bagian 2/3 adalah :


a). Dua anak perempuan atau lebih, jika tidak ada anak laki-laki.
b). Dua cucu perempuan atau lebi dari anak laki-laki, jika tidak ada anak perempuan.
c). Dua saudara perempuan atau lebih yang sekandung
d). Dua orang saudara perempuan atau lebih yang seayah, jika tidak ada saudara perempuan
yang sekandung.

 Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/3 adalah :


a). Ibu, apabila yang meniggal tidak meninggalka anka atau cucu dari anak laki-laki dan tidak
ada saudara.
b). Dua orang saudara atau lebih, dari saudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan.

 Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/6 adalah :


a). Ibu, apabila yang meninggal mempuanyai anak atau cucu dari anak laki-laki atau saudara
lebih dari satu.
b). Ayah, jika yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki.
c). Nenek, jika yang meninggal sudah tidak ada Ibu
d). Cucu perempuan dari pihak anak laki-laki, baik sendirian atau lebih, jika bersama anak
perempuan.

Ahli waris ashobah adalah ahli waris yang memperoleh bagian berdasarkan sisa harta
pusakasetelah dibagikan ahli waris yang lain. Ahli waris ashobah dapat menghabiskan semua
sisa harta pusaka. Ashobah dibagi menjadi tiga yaitu :

 Ashobah binafsih, yaitu ahli waris yang mejadi ashobah dengan sendirinya, yaitu :
a). Anak laki-laki
b). Cucu laki-laki dari anak laki-laki
c). Ayah
d). Kakek dari pihak ayah
e). Saudara laki-laki sekandung
f). Saudara laki-laki seayah
g). Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
h). Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
i). Paman sekandung dari ayah
j). Panan seayah dari ayah
k). Anak laki-laki sekandung dari ayah
l). Anak laki-laki paman seayah dari ayah

 Ashobah bil ghoiri, ahli waris yang menjadi ashobah karena sebab ahli waris yang
lain mereka adalah :
1). Anak perempuan, jika bersama saudara laki-laki.
2). Cucu perempuan, jika bersama cucu laki-laki
3). Saudara perempuan sekandung , jika bersama saudara laki-laki.
4). Saudara perempuan seayah, jika bersama saudara laki-laki seayah
 Ashobah Ma’al ghoiri, ahli waris yang menjadi ashobah jika bersama ahli waris yang
lain, yaitu :
a). Saudara perempuan sekandung seorang atau lebih, jika bersama anak atau cucu
perempuan.
b). Saudara perempuan seayah seorang atau lebih, jika bersama anak atau cucu perempuan
yang seayah.

6. Hukum Waris Adat dan Hukum Positif

1. Hukum waris adat


Hukum waris adat erat hubungannya dengan sifat dan bentuk kekeluargaan. Di
Indonesia terdapat tiga bentuk kekeluargaan yaitu :
Patrilinial, yaitu jalur keturunan ada pihak laki-laki. Oleh karena itu hak waris pun hanya
berlaku phak laki-laki saja. Sistem ini berlaku pada masyarakat daerah Batak, Ambon, Irian
Jaya dan Bali. Matrilinial, yaitu jalur keturunan ada pada pihak perempuan atau ibu. Karena
itu yang berhak atas waris pun hanya anak perempuan. Sisitem ini berlaku pada masyarakat
Minagkabau Parental, yaitu jalur keturunan ada antara aqyah dan ibu punya peran yang sama.
Karena itu warisasan pun laki-laki maupun perempuan memperoleh bagiannya. Sistem ini
berlaku sebagian besar masyarakat Indonesia.

2. Hukum waris positif


Di Indonesia ada dua sistem penyelesaian waris, yaitu pertama, menggunakan KUH
Perdata, Buku I dari pasal 830 hingga pasal 1130.Kewenangannya ada pada Pengadilan
Negeri. Kedua,UU No. 7 th. 1989. Undang-undang ini khususnya berlaku bagi umat Islam
dalam menyelesaikan pewarisan. Wewenagnya ada di pihak Pengadilan Agama. Adapun
peranan Pengadilan Agama adalah :
a. Menentukan para ahli waris
b. Menentukan harta peniggalan
c. Menentukan bagian masing-masingahli waris
d. Pelaksana dalam pembagian harta peninggalan tersebut.
Pada dasarnya sebagian pasal Undang-undang No. 7 tahun 1989 , merupakan
implementasi dari hukum Islam, misalnya :
a. Bab III Pasal 176 – 182, tentang ketentuan para ahli waris ( dzawil furud ).
b. Pasal 173.3 Bab II, terhalangnya hal waris bagi pembunuh untuk menerima harta waris
dari yang terbunuh.
c. Pasal 171 Bab I, Jika orang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris, maka harta
bendanya masuk ke Baitul Mal dan dipergunakan untuk kepentinga umat Islam.
III.PEMBENTUKAN MASYARAKAT ISLAM

III.I Pengertian Masyarakat

Masyarakat disebut society,asal kata socius yang berarti kawan. Adapun kata
masyarakat berasal dari bahasa arab, yaitu syirk artinya bergaul. Masyarakat disebut pula
kesatuan sosial, karena mempunyai ikatan-ikatan kasih sayang yang erat. Agama dalam
kaitannya dengan masyarakat mempunyai dampak positif berupa daya penyatu atau
sentripetal dan dampak negatif sentrifugal. Agama mempunyai sistem kepercayaan dimulai
dengan penciptaan pandangan dunia baru yang didalamnya konsepsi lama dan
pelembagaannya bisa kehilangan dasar adanya. Meskipun ajaran pokok suatu agama bisa
bersifat universal, namun mula-mula ditujukan kepada sekelompok orang yang sedikit
banyak homogen. Agama menjadi dasar solidaritas kelompok baru yang tertentu.

III.II Masyarakat Madani

Istilah masyarakat madani dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah civil society
pertama kali dikemukan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah societies civilis
yang identik dengan negara. Dalam perkembangannya istilah civil society dipahami sebagai
organisasi-organisasi masyarakat yang terutama bercirikan kesukarelaan dan kemandirian
yang tinggi berhadapan dengan negara serta keterikatan dengan nilai-nilai atau norma hukum
yang dipatuhi masyarakat. Bangsa Indonesia berusaha untuk mencari bentuk masyarakat
madani yang pada dasarnya adalah masyarakat sipil yang demokrasi dan agamis/religius.
Dalam kaitannya pembentukan masyarakat madani di Indonesia, maka warga negara
Indonesia perlu dikembangkan untuk menjadi warga negara yang cerdas, demokratis, dan
religius dengan bercirikan imtak, kritis argumentatif, dan kreatif, berfikir dan berperasaan
secara jernih sesuai dengan aturan, menerima semangat Bhineka Tunggal Ika, berorganisasi
secara sadar dan bertanggung jaw ab,memilih calon pemimpin secara jujur-adil, menyikapi
mass media secara kritis dan objektif, berani tampil dan kemasyarakatan secara
profesionalis,berani dan mampu menjadi saksi, memiliki pengertian kesejagatan, mampu dan
mau silih asah-asih-asuh antara sejawat, memahami daerah Indonesia saat ini, mengenal cita-
cita Indonesia di masa mendatang dan sebagainya.

Karakteristik masyarakat madani adalah sebagai berikut :


a. Free public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki akses
penuh terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak melakukan kegiatan secara
merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta
mempublikasikan informasikan kepada publik.
b. Demokratisasi, yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi sehingga
muwujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk menumbuhkan demokratisasi
dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi, kesetaraan, dan
kemandirian serta kemampuan untuk berperilaku demokratis kepada orang lain dan
menerima perlakuan demokratis dari orang lain. untuk menerima pandangan-
pandangan politik dan sikap sosial yang berbedaan dalam masyarakat, sikap saling
menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh
orang/kelompok lain.
c. Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang majemuk
disertai dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai nilai positif dan merupakan
rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
d. Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian yang
proporsiaonal antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap
lingkungannya.
e. Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa,
intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain, sehingga masyarakat memiliki
kedewasaan dan kemandirian berpolitik yang bertanggungjawab.
f. Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan.
Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan
dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.

Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia
diantaranya :

1. Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum merata
2. Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat
3. Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter
4. Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang terbatas
5. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar
6. Kondisi sosial politik yang belum pulih pasca reformasi

1. Konsep Masyarakat Madani

Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep


“civil society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim
dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai
masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun
Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi historis
ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam masyarakat muslim modern. Makna Civil
Society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir
dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang
pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil
society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society
berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini
mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian
kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).
Antara Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah dikemukakan di
atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar
menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan
masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di
masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara
keduanya. Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society
merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans;
gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai
moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani
lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan
masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas
landasan nilai-nilai etikmoral transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii
Maarif, 2004: 84).
Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti
atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia
berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat
militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk
menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and
the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997).

2. Pengertian Masyarakat Madani

Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai


emanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Allah SWT
memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat
15:

Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka
yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan):
“Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu
kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha
Pengampun”.

3. Masyarakat Madani Dalam Sejarah

Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat
madani, yaitu:
1) Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
2) Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW
beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani
dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat
untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-
Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan
penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya
untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.

4. Karakteristik Masyarakat Madan.

Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:


 Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam
masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
 Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam
masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
 Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan
program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
 Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan
organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap
keputusankeputusan pemerintah.
 Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim
totaliter.
 Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu
mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
 Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan
berbagai ragam perspektif.
 Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang
mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang
mengatur kehidupan sosial.
 Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun
secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.
 Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat
mengurangi kebebasannya.
 Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh
Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak lain
yang berbeda tersebut.
 Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.
 Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap
ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat
manusia.
 Berakhlak mulia.

Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah
sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan
kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya;
dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga
negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian,
masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for
granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang
panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju
yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang
harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance
(pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic
civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil
responsibility dan civil resilience). produktif dan Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi
tujuh prasyarat masyarakat madani sbb:

a. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.


b. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital)
yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan
dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
c. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain
terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
d. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga
swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan
kebijakan publik dapat dikembangkan.
e. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling
menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
f. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga
ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara berkeadilan sosial.
g. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan
yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara
teratur, terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon.
Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak
ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi
manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses
mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992).
Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi
sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:

1. Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototype


pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian
malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos
kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan
sosial.
2. Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara
berbagaikelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap
minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan
mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi
karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya.
Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5),
“…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat
dan terhadap potensi manusia.” Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang
membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya.
Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara
genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki
tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu,
diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi,
diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya
menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat
dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan
larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.
3. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan
terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise.
Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian
dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-
sumber atau mencapai kesempatankesempatan yang ada dalam masyarakat.

Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk
meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan
produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus menerus yang
kemudian memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita
pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi
sampai saat ini, masyarakat.
Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi.
Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis kemunculan masyarakat Madani
dan kemunculan istilah masyarakat Sipil, agar lebih akurat membahastentang peran agama
dalam membangun masyarakat bangsa. Masyarakat Sipil adalah terjemahan dari istilah
Inggris Civil Society yang mengambil dari bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya
Adam Ferguson merupakan salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil
society), yang kemudian diterjemahkan sebagai masyarakat Madani.
Gagasan masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam membongkar masyarakat
Marxis. Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai daerah kepentingan diri individual
dan pemenuhan maksud-maksud pribadi secara bebas, dan merupakan bagian dari
masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan sosial) atau berbeda dari
negara. Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang berlainan yaitu bidang politik (juga
moral) dan bidang sosial ekonomi yang secara moral netral dan instumental (lih.
Gellner:1996). Seperti Durkheim, pusat perhatian Ferguson adalah pembagian kerja dalam
masyarakat, dia melihat bahwa konsekuensi sosio-politis dari pembagian kerja jauh lebih
penting disbanding konsekuensi ekonominya.
Ferguson melupakan kemakmuran sebagai landasan berpartisipasi. Dia juga tidak
mempertimbangkan peranan agama ketika menguraikan saling mempengaruhi antara dua
partisipan tersebut (masyarakat komersial dan masyarakat perang), padahal dia memasukan
kebajikan di dalam konsep masyarakatnya. Masyarakat sipil dalam pengertian yang lebih
sempit ialah bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik dalam konteks tatanan
sosial di mana pemisahan seperti ini telah terjadi dan mungkin. Selanjutnya sebagai
pembanding, Ferguson mengambil masyarakat feodal, dimana perbandingan di antara
keduanya adalah, pada masyarakat feodal strata politik dan ekonomi jelas terlihat bahkan
dijamin secara hukum dan ritual, tidak ada pemisahan hanya ada satu tatanan sosial, politik
dan ekonomi yang saling memperkuat satu sama lain.
Posisi seperti ini tidak mungkin lagi terjadi pada masyarakat komersial. Kekhawatiran
Ferguson selanjutnya adalah apabila masyarakat perang digantikan dengan masyarakat
komersial, maka negara menjadi lemah dari serangan musuh. Secara tidak disadari Ferguson
menggemakan ahli teori peradaban, yaitu Ibnu Khaldun yang mengemukakan spesialisme
mengatomisasi mereka dan menghalangi kesatupaduan yang merupakan syarat bagi
efektifnya politik dan militer. Di dalam masyarakat Ibnu Khaldun militer masih memiliki
peran dan berfungsi sebagai penjaga keamanan negara, maka tidak pernah ada dan tidak
mungkin ada bagi dunianya, masyarakat sipil.
Pada kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani
sebagai padanan dari Masyarakat Sipil, maka secara historis kita lebih mudah secara
langsung me-refer kepada “masyarakat”nya Ibnu Khaldun. Deskripsi masyarakatnya justru
banyak mengandung muatan-muatan moral-spiritual dan mengunakan agama sebagai
landasan analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan masyarakat
Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh
hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed
Farid Alatas seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan
para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama dengan
faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan sebagai
agama) semuanya didasarkan dari akar kata dyn.
Kenyataan bahwa nama kota Yathrib berubah menjadi Medinah bermakna di sanalah
din berlaku (lih. Alatas, 2001:7). Secara historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani
tidak memiliki hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi
Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah.
Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar ummatnya leluasa menjalankan syari’at agama di
bawah suatu perlindungan hukum. Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang
ekslusif dan dipandang sebagai dokumen usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup
dan dapat berkembang dalam setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi
utama dalam masyarakat madani adalah Alquran.
Meski Alquran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal
namun tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar
yang terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan
masyarakat yang ideal kita dapat meneladani perjuangan rasulullah mendirikan dan
menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di Madinah.
Prinsip terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad
Saw. Beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah
sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam
mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab). Selang dua tahun pascahijrah
atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari karakteristik dan struktur masyarakat di
Madinah yang cukup plural, beliau kemudian melakukan beberapa perubahan sosial. Salah
satu di antaranya adalah mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun dan
mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras,
dan etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam saat itu,
juga termasuk Yahudi dan Nasrani.
Dalam pandangan saya, setidaknya ada tiga karakteristik dasar dalam masyarakat
madani. Pertama, diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah
keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi
suatu kaidah yang abadi dalam pandangan Alquran. Pluralitas juga pada dasarnya merupakan
ketentuan Allah SWT (sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Alquran surat Al-Hujurat
(49) ayat 13. Dengan kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam
kehidupan.
Dalam ajaran Islam, pluralisme merupakan karunia Allah yang bertujuan
mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis. Ia (pluralitas) juga
merupakan sumber dan motivator terwujudnya vividitas kreativitas (penggambaran yang
hidup) yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan (Muhammad
Imarah:1999). Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang
kosmopolit akan tercipta manakala umat Islam memiliki sikap inklusif dan mempunyai
kemampuan (ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan
identitas sejati atas parameter-parameter autentik agama tetap terjaga. Kedua, adalah
tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara sesama Muslim maupun terhadap
saudara non-Muslim. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka
mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain.
Senada dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan Islam tidak
sematamata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun juga mengakui
eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan seiring dan saling
menghormati satu sama lain. Sebagaimana hal itu pernah dicontohkan Rasulullah Saw. di
Madinah. Setidaknya landasan normatif dari sikap toleransi dapat kita tilik dalam firman
Allah yang termaktub dalam surat Al-An’am ayat 108.
Ketiga, adalah tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal
dengan istilah musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep demokrasi
dengan musyawarah, saya memandang dalam arti membatasi hanya pada wilayah terminologi
saja, tidak lebih. Mengingat di dalam Alquran juga terdapat nilai-nilai demokrasi (surat As-
Syura:38, surat Al-Mujadilah:11).
Ketiga prinsip dasar setidaknya menjadi refleksi bagi kita yang menginginkan
terwujudnya sebuah tatanan sosial masyarakat madani dalam konteks hari ini. Paling tidak
hal tersebut menjadi modal dasar untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan.

e. Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani

Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi
pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang
kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan
bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-
nama ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-
Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.

III.III Ciri dengan Sistem Masyarakat

Ciri masyarakat dengan sistem masyarakat islam yang disebut dalam Al-Qur`an.

Pertama : Persaudaraan. Hal ini di sebutkan dalam surat Al-Hujarat ayat : 10 yang
menyatakan bahawa orang mukmin itu bersaudara.

Kedua : Persamaan( musawah ). Konsep musawah menjadi ciri pokok dalam masyarakat
Islam menunjuk pada konsep hukum dalam makna kesamaan kedudukan. Disebutkan dalam
surat Al-Hujarat ayat:13. artinya : "Wahai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu
dari jenis laki-laku dan perempuan dan kami jadikan kamu bersuku-suku dan
berbangsabangsa agar kalian dapat saling mengenal".

Ketiga : Toleransi atau tasmuh . Sikap atau perbuatan menghargai pendirian,pendapat, dan
perbuatan orang lain. Surat Al-kafirun ayat : 6.

Keempat : Amar ma`ruf nahi munkar. Menganjurkan berbuat baik dan mencegah berbuat
jahat.
Kelima : Musyawarah.

Keenam : Keadilan dan menegakan keadilan.

Ketujuh : Keseimbangan.
IV. KESIMPULAN

Masyarakat pada umumnya menggunakan syariat islam dalam kehidupan sehari-hari


karena seperti pada pancasila sila 1 yaitu "Ketuhanan yang Maha Esa". Berdasar pada asas
Ketuhanan Yang Maha Esa dimana didalamnya terdapat beberapa agama menjadi dasar bagi
masyarakat untuk hidup berdampingan dengan damai sesuai ajaran agama masing-
masing,terutama agama Islam yang mengajarkan untuk saling berdamai dan hidup dalam
kedamaian antara sesame manusia. Dalam pernikahanpun menggunakan hukum-hukum yang
diterapkan dalam ajaran agama Islam, karenan memang agama Islam dan kitab suci Al-
Qur`an lah yang sudah di jamin oleh ALLAH menjadi agama dan kitab suci penyempurna
dari terdahulunya.
Daftar Pustaka

http://fixguy.wordpress.com/makalah-masyarakat-madani/
http://www.crayonpedia.org/mw/Ciri-Ciri_Masyarakat_Madani
http://master-masday.blogspot.com/2011/07/ilmu-faraid-ilmu-mawaris.html
http://kumpulan-q.blogspot.com/2009/01/peminangan-dan-kafaah-dalam-
Perkawinan_19.html
http://myoesuf.wordpress.com/2011/02/27/hukum-pernikahan-beda-agama-dalam-islam/
http://my.opera.com/Boecharyst%20M.Kasim/blog/2008/04/20/hukum-pernikahan-
dalamislam
http://kampunglinux.blogspot.com/2011/01/agama-dan-masyarakat-i.html

Você também pode gostar