Você está na página 1de 20

ANALISIS PENTINGNYA BERPIKIR SEPERTI PENCURI (THINK AS A

THIEF) BAGI SEORANG AKUNTAN FORENSIK DALAM MENGUNGKAP


TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN MOTIF MONEY LAUNDERING

DEWI PUSPITARANI
10800113120 / Kelas C
Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Dewipuspitarani23@gmail.com

ABSTRACT
The problem of corruption has always been an interesting issue to be discussed,
both in Indonesia and other countries. Various efforts have been made by the
government to combat corruption, but has not been able to resolve the problem of
corruption, which is already inflamed. Money laundering is a new mode that criminals
use to hide the proceeds of corruption. Along with the widespread corruption then it
will need forensic accountants to uncover cases of corruption until the legal settlement.
Follow the money is an approach that can be used to uncover cases of money
laundering. This research aims to find out how important the ability to think as a thief
for forensic accountants in performing their duties. The author uses the theory of
perception and Klitgaardcorruption theory to help answer the problem formulation. The
results show that the discussion to uncover corruption, a forensic accountant needs to
know the pattern of action that corruptor do, which can only be achieved if the
accountant is able to position itself as the perpetrator and able to think as a thief.
Keywords: Corruption, Forensic Accountant, Money Laundering, Follow The Money

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 bagaikan bencana
alam yang memporak-pondakan sebagian sendi-sendi perekonomian Indonesia yang
dampaknya masih terasa hingga sekarang. Pasca Krisis Moneter 1997 yang
meluluhlantakkan perekonomian dan menghancurkan rezim orde baru yang berkuasa
berimbas ke berbagai aspek dari ekonomi, politik, hukum dan tata negara.Sistem
perekonomian yang dibangun orde baru dengan kekuasaan sekelompok elit politik dan
didukung militer telah menampakkan kebobrokannya, dimana faktor kolusi, korupsi dan
nepotisme menjadi sebab utama mengapa negara ini tidak mampu bertahan dari krisis
bahkan dampaknya masih terasa hingga sekarang (Sukesih:2012). Menjamurnya
praktik-praktik korupsi hampir di setiap lini kehidupan di Indonesia sangat ironis
dengan banyaknya strategi yang telah dirumuskan oleh berbagai lembaga pemerintahan
(Wiratmaja:2009). Masalah korupsi selalu menjadi isu yang menarik untuk dibahas,
baik di Indonesia maupun negara-negara lainnya. Berbagai upaya sebenarnya telah
dilakukan pemerintah untuk memberantas korupsi namun sepertinya belum mampu
untuk menuntaskan persoalan korupsi yang sudah meradang.
Berbagai lembaga survey atau penelitian baik di Indonesia maupun di luar negeri
menyebutkan bahwa fenomena korupsi di Indonesia sudah sangat parah dan kondisi
tersebut sering menempatkan Indonesia pada posisi yang cukup rendah sebagai negara
terkorup (Sudaryati dan Nafi’: 2011). Sehingga tidak heran ketika masyarakat menilai
pemerintah yang seharusnya berpihak kepada rakyat untuk kesejahteraan rakyat dinilai
sebagai rekayasa belaka ketika korupsi seolah lumrah dikalangan pemerintahan. Krisis
ekonomi yang melanda Indonesia dipercaya sebagai akibat dari akumulasi tindakan
kecurangan yang tidak pernah diusut tuntas (Robiyanto:2009). Banyaknya pelaku
korupsi dari pejabat Negara dan pejabat kepala daerah menunjukkan ada kesalahan
mendasar dalam pengelolaan keuangan Negara termasuk dalam sistim pengawasan
internal keuangan Negara (Puspa:2012).
Kejahatan dalam bidang ekonomi sekarang ini telah dilakukan dengan metode-
metode yang lebih canggih dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilmu
pengetahuan dan profesional. Mereka secara sengaja menggunakan ilmu pengetahuan
dan keahliannya untuk melakukan kecurangan dan manipulasi keuangan dengan cara-
cara yang melanggar hukum. Kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang terpelajar
(educated people) ini disebut sebagai kejahatan kerah putih (white collar crime). Suatu
kejahatan kerah putih, adalah suatu kejahatan yang dilakukan seseorang yang bekerja
pada sektor pemerintah atau sektor swasta, dalam suatu posisi yang diberi kepercayaan.
Konsep kejahatan kerah putih tidak hanya memasukkan kejahatan pelanggaran
kepercayaan oleh orang dalam peran kewenangan, tetapi juga pelanggaran dalam etika
bisnis (Lengkong:2016). Hal ini seperti yang di kemukakan oleh Robert Klitgaard
dalam teorinya yang memaparkan bahwa korupsi hanya bisadilakukan oleh pejabat
berwenang yang berkesempatan untuk memiliki monopoli atas barang atau jasa.
Seiring dengan maraknya tindak pidana korupsi dan penyelewangan lainnya
yang berkaitan dengan kejahatan ekonomi, maka dewasa ini sangat diperlukan adanya
akuntan forensik yang memiliki keahlian khusus dalam menginvestigasi. Ilmu forensik
adalah ilmu yang digunakan untuk penyelidikan kriminal dalam rangka mencari bukti
yang dapat digunakan dalam kasus-kasus criminal (Hakim:2014). Akuntansi forensik
adalah penggunaan keahlian akuntansi yang dipadukan dengan kemampuan investigatif
untuk memecahkan suatu masalah/sengketa keuangan atau dugaan fraud (Sayyid:2013).
Perbedaaan utama akuntansi forensik dengan akuntansi maupun audit
konvensional lebih terletak pada mindset (kerangka pikir). Metodologi kedua jenis
akuntansi tersebut tidak jauh berbeda. Akuntasi forensik lebih menekankan pada
keanehan (exceptions, oddities, irregularities) dan pola tindakan (pattern of conduct)
daripada kesalahan (errors) dan keteledoran (ommisions) seperti pada audit umum
(Sukesih:2012). Untuk menjadi akuntan forensik maka akuntan perlu menjadi akuntan
spesialis yang lebih khusus lagi dari hanya sekedar menjadi auditor laporan keuangan
yang biasanya melakukan audit umum (general audit) atas laporan keuangan
perusahaan. Selain itu, juga dibutuhkan pengalaman auditor yang ditunjukan dengan
jumlah penugasan praktik audit yang pernah dilakukan oleh auditor. Pengalaman yang
dimiliki oleh auditor akan membantu auditor dalam meningkatkan pengetahuannya
mengenai kekeliruan dan kecurangan (Surtiyana:2014). Pengalaman auditor ini akan
mempengaruhi persepsi mereka terhadap suatu tindak kecurangan yang dijelaskan
dalam teori persepsi.
Seorang auditor forensik dituntut mampu melihat keluar dan menelusuri hingga
dibalik angka-angka yang tampak, serta dapat mengaitkan dengan situasi bisnis yang
sedang berkembang agar bisa mengungkapkan informasi yang akurat, obyektif, dan
dapat menemukan adanya penyimpangan. Kemampuan ini hanya dimiliki oleh auditor
dengan pengalaman mengaudit yang tinggi sekaligus paham ilmu pengetahuan lain yang
mendukung (Sudaryati dan Nafi’: 2011). Fokus dari akuntan forensik adalah bagaimana
mereka mendeteksi adanya fraud dan menemukan siapa pelakunya hingga
penyelesainnya diranah hukum. Fraud adalahsuatu tindak kesengajaan untuk
menggunakan sumber daya perusahaan secara tidak wajar dan salah menyajikan fakta
untuk memperoleh keuntungan pribadi. Hal ini termasuk berbohong, menggelapkan dan
mencuri.
Agar dapat membongkar terjadinya fraud (kecurangan) maka seorang akuntan
forensik harus mempunyai pengetahuan dasar akuntansi dan audit yang kuat,
pengenalan perilaku manusia dan organisasi (human dan organization behaviour),
pengetahuan tentang aspek yang mendorong terjadinya kecurangan (incentive, pressure,
attitudes, rationalization, opportunities), pengetahuan tentang hukum dan peraturan
(standar bukti keuangan dan bukti hukum), pengetahuan tentang kriminologi dan
viktimologi (profiling) pemahaman terhadap pengendalian internal, dan kemampuan
berpikir seperti pencuri (think as a theft) (Iprianto:2009).Seorang akuntan forensik harus
mampu memandang segala sesuatu dengan sudut pandang yang mendalam. Akuntan
forensik harus melakukan gerakan-gerakan dan menunjukkan perannya dalam
mengungkap kasus-kasus korupsi, untuk menunjukkan eksistensinya.
Menurut Antonio (2002) Kecurangan yang dilakukan untuk keuntungan suatu
organisasi dapat berupa pengeksploitasian informasi yang salah atau keuntungan yang
tidak wajar yang dapat menipu pihak luar atau menyebabkan kesalahan interpretasi dari
pihak luar atau pengguna laporan keuangan ataupun pengambilan atau penggunaan
aktiva badan usaha secara ilegal. Kecurangan dalam segala aspek kehidupan terus
sajamenjadi ancaman. Hampir setiap hari di media sosial, media cetak maupun
elektronik membahas persoalan ini.Contoh kecurangan-kecurangan yang biasa terjadi
dalam suatu badan usaha adalah penjualan aktiva tetap fiktif, pencurian asset badan
usaha, penyuapan hingga praktik pencucican uang atau money laundering.
Sebagai akuntan forensik harus mehahami setiap pola kecurangan yang
dilakukan dan mengikuti perkembangan motif atau modusbaru dalam melancarkan aksi
kecurangannya, seperti pada praktik money laundering yang dewasa ini marak
digunakan oleh para koruptor. Masalah money laundering belakangan ini makin
mendapat perhatian khusus dari dunia internasional.Perhatian demikian dipicu dengan
semakin maraknya tindakkejahatan ini dari waktu ke waktu (Sutrisni: 2011). Melalui
proses money laundering, para koruptor dapat menikmati harta kekayaan yang dikorupsi
tanpa menimbulkan kecurigaan dari aparat penegak hukum (Amrani : 2013 ).
Pelaku korupsi adalah mereka yang memiliki ilmu pengetahuan dan profesional,
mereka yang tidak pernah kehabisan akal untuk melakukan kecurangan dengan
menggunakan motif-motif baru. Money Laundering merupakan salah satu contoh motif
terbaru yang koruptor gunakan untuk melancarkan aksinya. Hal ini merupakan
tantangan tersendiri bagi seorang akuntan forensik. Berdasarkan fenomena ini, saya
tertarik untuk membahas tentang pentingnya berpikir seperti pencuri (Think as a thief )
bagi seorang akuntan forensik dalam mengungkap tindak pidana korupsi dengan motif
money laundry. Hal ini dilandasi oleh pemikiran bahwa untuk mengungkap adanya
sebuah tindak kecurangan dalam hal ini pencurian, kita harus lebih “cakap” dari seorang
pencuri itu sendiri. Bagaimana seorang akuntan forensik harus lebih pintar dan
menguasai setiap teknik kecurangan yang mungkin saja para pelaku gunakan dalam
melakukan kecurangan yang melanggar hukum (korupsi).

B. Rumusan Masalah
Tindak pidana korupsi merupakan suatu bentuk kecurangan yang sangat marak
terjadi di Indonesia. Kebanyakan dari pelaku korupsi adalah seorang pejabat yang
memiliki pengetahuan dan keahlian serta jabatan yang membuat mereka memiliki ruang
yang besar untuk melakukan kecurangan tersebut. Dewasa ini lebih banyak koruptor
yang melakukan tindak pidana korupsi secara sistematis dan melibatkan banyak pihak
dengan berbagai modus. Money laundering merupakan suatu modus yang koruptor
lakukan bersama-sama untuk menyamarkan asal usul dana hasil korupsi mereka dan
membuat dana kotor tersebut seolah berasal dari sumber yang sah dan legal. Oleh
karena itu seorang akuntan forensik yang difokuskan untuk mengungkap kecurangan
tersebut,diharapkan dapat cepat tanggap akan situasi yang terjadi. Berdasarkan
pemikiran tersebut, maka, penulis merumuskan beberapa masalah seperti berikut:
1. Bagaimana kerangka pikir (mindset) yang sebaiknya dimiliki oleh seorang akuntan
forensik?
2. Kemampuan seperti apa yang harus dimiliki auditor investigasi atau akuntan
forensik dalam mendeteksi adanya kecurangan?
3. Bagaimana cara akuntan forensik mengungkap tindak pidana korupsi dengan motif
Money Laundering ?

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN


A. Teori Persepsi
Teori persepsi merupakan teori yang termasuk dalam teori psikologis perilaku
bahwa persepsi merupakan faktor psikologis yang mempunyai peranan penting dalam
mempengaruhi perilaku seseorang dan perbedaan persepsi sangat dipengaruhi oleh
interpretasi yang berbeda pada setiap individu atau kelompok (Rukmawati:2011).
Menurut Robins (2008) persepsi adalah proses dimana seorang individu mengatur dan
menginterpretasikan kesan sensori mereka guna memberikan arti bagi lingkungan
mereka, meskipun apa yang diterima seseorang pada dasarnya dapat berbeda dari
realitas objektif. Sedangkan menurut Young dalam Rukmawati (2011), persepsi adalah
sesuatu yang menunjukkan aktivitas merasakan, menginterpretasikan dan memahmi
objek, baik fisik maupun sosial.
Sejumlah faktor penyebab terkadang akan mempengaruhi bahkan dapat merubah
suatu persepsi dan faktor-faktor penentu tersebut dapat ditemukan pada diri pelaku
persepsi, target yang dipersepsikan atau pada konteks dimana persepsi tersebut dibuat.
Berikut merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi persepsi (Robbins, 2008):
(1)Faktor pada pemersepsi diantaranya pengalaman, sikap, motif, kepentingan, dan
pengharapan. (2)Faktor dalam situasi diantaranya waktu, kejadian tempat kerja, dan
keadaan sosial. (3)Faktor pada target diantaranya hal baru, gerakan, ukuran, latar
belakang dan kedekatan.
Teori persepsi yang berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan sebagai
suatu proses aktivitas seseorang dalam memberikan kesan, penilaian, pendapat dan
menginterpretasikan sesuatu berdasarkan informasi yang ditampilkan dari sebuah
sumber tertentu. Persepsi dapat dipengaruhi oleh asumsi yang didasarkan pada
pengalaman masa lalu, berkaitan dengan ini maka ketika seorang auditor melihat target
dan kemudian mencoba menginterpretasikannya akan dipengaruhi oleh pengalamannya.
Pengalaman sebagai faktor yang berasal dari dalam diri auditor sendiri yang akan
mempengaruhi interpretasinya dalam proses pelaksanaan prosedur auditnya.
B. Teori Korupsi oleh Klitgaard.
Klitgaard adalah seorang pakar antikorupsi yang sudah malang melintang baik
sebagai konsultan maupun peneliti di lebih dari 39 negara, baik di Afrika, Asia, maupun
Amerika Latin.Robert Klitgaard mendefinisikan korupsi sebagaisuatu tingkah laku yang
menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status
atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri)
atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi, termasuk
masalah etika dan moral menurut pandangan umum(Setyawan:2015).Klitgaard
merumuskan teori atau persamaan sederhana untuk menjelaskan tentang tindakan
korupsi atau penyebab seseorang melakukan korupsi :
C = D+M – A
Dimana :
C = Corruption (korupsi).
M = Monopoly (monopoli).
D = Discretion. (keleluasaan).
A = Accountability (pertanggungjawaban).
Persamaan diatas menunjukkan bahwa korupsi hanya bisa terjadi apabila
seseorang atau pihak tertentu mempunyai hak monopoli atas urusan tertentu serta
ditunjang oleh diskresi (keleluasaan) dalam menggunakan kekuasaannya sehingga
cenderung menyalahgunakannya namun lemah dalam hal pertanggungjawaban
(akuntabilitas) kepada publik (Badjuri : 2011). Maksudnya, korupsi dapat terjadi jika
ada monopoli kekuasaan yang dipengang oleh seseorang, memiliki kemerdekaan
bertindak atau wewenang yang berlebihan. Hal itu juga didukung tidak adanya
pertanggungjawaban yang jelas.
Teori yang dikemukakan oleh Robert Klitgaard ini berhasil mengembangkan
sebuah formula dengan mengidentifikasi 3 (tiga) faktor penyebab terjadinya korupsi,
yaitu: (1)Kekuasaan eksklusif pada pembuat keputusan, (2)Diskresi pada pembuat
keputusan, (3)Kurang/tidak adanya akuntabilitas atas penyalahgunaan kekuasaan dan
diskresi tersebut. Apabila dicermati, teori Klitgaard di atas hanya memfokuskan
perhatian pada faktor kekuasaan dan dalam kondisi-kondisi apakah kekuasaan tersebut
cenderung untuk diselewengkan, baik dalam konteks umum maupun dalam konteks
proses peradilan. Klitgaard sama sekali tidak menyinggung faktor motivasi dan
dorongan yang membuat seseorang melakukan tindakan koruptif.
C. Kerangka Pikir Seorang Akuntan Forensik
Akuntansi forensik adalah penggunaan keahlian di bidang audit dan akuntansi
yang dipadu dengan kemampuan investigatif untuk memecahkan suatu
masalah/sengketa keuangan atau dugaan fraud yang pada akhirnya akan diputuskan oleh
pengadilan/ arbitrase/ tempat penyelesaian perkara lainnya. Kasus korupsi, sebagai
contoh, pada dasarnya adalah sengketa keuangan antara Negara melawan warganya
yang secara resmi telah ditunjuk untuk mengelola pemerintahan. Persengketaan itu
harus diselidiki kebenarannya oleh Lembaga Negara (misalnya oleh KPK) dan
diputuskan oleh hakim di pengadilan. Jadi investigasi yang dilakukan oleh para Akuntan
di BPKP, BPK, KPK dan instansi penegak hukum lainnya pada hakikatnya adalah
sebagian tugas-tugas akuntan forensik.
Menurut Widiana Winawati, direktur PwC, seorang akuntan forensik harus
memiliki multitalenta. Seorang pemeriksa kecurangan (fraud) dapat diumpamakan
sebagai gabungan antara pengacara, akuntan, kriminolog, dan detektif, tandasnya.
Selain itu, seorang akuntan forensik harus memiliki sejumlah sifat dasar. Antara lain,
hati-hati, mampu menjaga rahasia pekerjaannya, kreatif, pantang menyerah, punya rasa
ingin tahu yang besar, percaya diri, serta yang paling penting adalah jujur (Sukesih :
2012).
a. Hati-Hati.
Seorang akuntan forensik memiliki tugas untuk menemukan suatu
kecurangan (Fraud), menemukan pelaku dibaliknya hingga pengungkapannya di
ranah hukum. Untuk mengemban tugas berat tersebut, mereka dituntun untuk selalu
hati-hati dalam setiap pekerjaannya. Kesalahan sedikit saja akan berakibat fatal bagi
mereka, dimana bisa saja ketika dalam pengadilan mereka kalah dan membuat
seorang pelaku tindak pidana korupsi tersebut bebas dari segala tuntutan.
Terkhusus dalam mengungkap tindak pidana korupsi dengan modus money
laundering. Tentu saja mereka harus memiliki ketelitian dan tingkat kewaspadaan
yang tinggi, mengingat modus ini melibatkan banyak pihak. Para pelaku ini telah
merencanakan dengan baik segala sesuatunya demi kelancaran aksi mereka,
sehingga untuk mengungkap tindakan tersebut seorang akuntans forensik harus hati-
hati dan memiliki tingkat ketelitain yang tinggi.
b. Mampu menjaga rahasia pekerjaannya.
Setiap profesi termasuk profesi akuntan forensik, harus menghormati
kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak
boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan.
c. Kreatif.
Harris dan Brown menjelaskan tentang keahlian yang harus dikuasai oleh
akuntan forensik adalah keahlian dalam penyelidikan, termasuk teori, metode, dan
pola pelanggaran fraud, disamping itu juga akuntan forensik harus mampu berpikir
secara kreatif untuk mempelajari dan memahami taktik yang kemungkinan
digunakan oleh pelaku fraud (Iprianto : 2009).
d. Pantang Menyerah.
Kemampuan untuk maju terus pantang mundur walaupun fakta (seolah-olah)
tidak mendukung, dan ketika dokumen atau informasi sulit diperoleh. Seorang
akuntan harus memiliki sifat pantang menyerah, meskipun banyak rintangan dalam
menyealesaikan sebuah kasus.
e. Punya Rasa Ingin Tahu yang Besar.
Keinginan untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam
rangkaian peristiwa dan situasi merupakan sifat yang harus dimiliki oleh seorang
akuntan forensik. Rasa keingintahuan yang besar ini dapat memicu mereka untuk
mencari tahu hal-hal apa sjaa yang sebenarnya terjadi, menemukan fakta-fakta yang
dapat membantunya mengungkap suatu kecurangan termasuk tindak pidana korupsi.
f. Percaya diri dan Jujur
Kepercayaan diri seorang akuntan forensik akan membantu meraka untuk
bertahan di bawah cross examination (pertanyaan silang dari jaksa penuntut umum
dan pembela). Akuntan forensik adalh seseorang yang jujur, dimana dalam
mengungkap sebuah kebenaran mereka harus dapat memaknai arti sebuah
kebenaran tersebut dan mampu untuk selalu bersikap jujur.
Perbedaaan utama akuntansi forensik dengan akuntansi maupun audit
konvensional lebih terletak pada mindset (kerangka pikir). Metodologi kedua jenis
akuntansi tersebut tidak jauh berbeda. Akuntasi forensik lebih menekankan pada
keanehan (exceptions, oddities, irregularities) dan pola tindakan (pattern of conduct)
daripada kesalahan (errors) dan keteledoran (ommisions) seperti pada audit umum
(Sukesih:2012).
Oleh karena pola pikir akuntansi forensik menekankan kecurangan pada
keanehan dan pola tindakan, maka seorang akuntan forensik dituntut mampu membaca
dan merespon dengan cepat jika ada keanehan atau gelagat kurang baik yang
ditunjukkan oleh seorang terduga pelaku tindak pidana korupsi. Selain itu, seorang
akuntan forensik dituntut mampu mengetahui secara detail bagaimana pola tindakan
pelaku korupsi terkait kecurangan yang dia lakukan. Hal ini dapat mereka laksanakan
jika mereka menempatkan diri mereka sebagai pelaku tindak pidana korupsi tersebut
(pencuri), dengan berpikir seperti pencuri (think as a thief) akan membantu akuntan
forensik untuk mengetahui arah pola tindakan pelaku kecurangan yang pelaku gunakan.
Untuk melakukan itu semua, seaorang auditor investigatif atau akuntan forensik
harus memiliki pengalaman yang mumpuni. Seperti yang dijelaskan dalam teori
persepsi yang mengatakan bahwa persepsi adalah sesuatu yang menunjukkan aktivitas
merasakan, menginterpretasikan dan memahmi objek, baik fisik maupun social
(Rukmawati : 2011). Sehingga dapat kita simpulkan bahwa ketika seorang auditor
melihat target dan kemudian mencoba menginterpretasikannya akan dipengaruhi oleh
pengalamannya.
D. Kemampuan yang Dimiliki Seorang Akuntan Forensik.
Pelaksanaan audit investigasi berbeda dengan pelaksanaan general audit
karena audit ini berhubungan langsung dengan proses litigasi. Hal ini
menyebabkan tugas dari seorang auditor investigatif lebih berat daripada tugas
auditor dalam general audit. Selain harus memahami tentang pengauditan dan
akuntansi, auditor investigatif juga harus memahami tentang hukum dalam
hubungannya dengan kasus penyimpangan atau kecurangan yang dapat
merugikan keuangan Negara (Karyono, 2013:132).
Bidang ekonomi tidak luput dari tindak kecurangan. Bukan hanya
korupsi, tapi banyak sekali bentuk kecurangan lain yang terjadi di bidang
ekonomi tersebut seperti penyuapan, penyalahgunaan aset, pencucian uang
(money loundering) dan lain-lain (Patunru : 2014 ). Pengusutan tindak kecurangan dan
korupsi ini dapat dibantu oleh auditor investigatif yang akan melakukan suatu audit
investigasi. Oleh karena itu, diperlukan Auditor Investigatif yang memiliki kemampuan
memadai agar dapat mengungkap suatu kecurangan yang terjadi.
Penelitian terdahulu oleh Zuliha (2008) yang dilakukan di Badan
Pemeriksa Keuangan Bandung. Pada penelitian tersebut, peneliti juga
melibatkan tujuh orang Auditor Investigatif sebagai responden. Hasil dari
penelitian menunjukkan bahwa kemampuan Auditor Investigatif bermanfaat
terhadap efektivitas pelaksanaan prosedur audit dalam pembuktian kecurangan.Seorang
auditor investigatif harus didukung dengan kemampuan yang memadai untuk
menunjang keberhasilannya suatu audit investigasi diantaranya memiliki pengetahuan
dasar, kemampuan teknis, dan sikap mental (Tuanakotta 2010:349).Selain itu, juga
dibutuhkan pengalaman auditor yang ditunjukan dengan jumlah penugasan praktik
audit yang pernah dilakukan oleh auditor. Pengalaman yang dimiliki oleh auditor
akan membantu auditor dalam meningkatkan pengetahuannya mengenai kekeliruan
dan kecurangan (Surtiyana 2014:3).
Tuanakota (2007:349-362) mengemukakan indikator seorang auditor
investigatif yang merupakan gabungan antara pengacara, akuntan kriminolog, dan
detesktif. Adapun beberapa persyaratan kemampuan atau yang harus dipenuhi oleh
auditor yang akan melaksanakan audit investigatif sebagai berikut :
1. Pengetahuan Dasar yaitu memiliki background ilmu akuntansi dan auditing,
menguasai teknik sistem pengendalian intern, memiliki kemampuan berkomunikasi
yang baik, memiliki pengetahuan tentang investigasi, diantararanya aksioma audit
investigatif, prinsip-prinsip audit investigatif dan kecurangan, teknik audit
investigatif dan cara memperoleh bukti, menjaga kerahasiaan sumber informasi,
memiliki pengetahuan tentang bukti, bahwa bukti harus relevan dankompeten,
mengetahui masalah informasi dan teknologi (hardware, software, maupun sistem),
serta memahami tentang cyber crime, memiliki jiwa skeptisme profesional, sikap
yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi
secara kritis, berwawasan luas untuk menambah pengalaman dalam menindak
lanjuti kasus yang akan datang.
2. Kemampuan Teknis yaitu Auditor menggunakan ahli information technologi (IT),
untuk pengetahuan yang cukup dan luas, auditor harus mengetahui kontruksi hukum
(undang-undang), mempunyai pengetahuan tentang tindak pidana korupsi, mampu
bertindak objektif dan indpenden, serta netral, dan selalu menjunjung azas
praduga tak bersalah, memiliki kemampuan membuat hipotesis, mampu
mengumpulkan bukti untuk membuktikan hipotesis,
3. Sikap Mental yaitu mengikuti standar audit investigatif, bersikap independen, bersifat
bebas dengan skeptis professional, bersifat kritis.
Hopwood dkk (2008) juga menyatakan bahwa Akuntan forensik sebaiknya
menguasai keterampilan dalam banyak bidang. Beberapa akuntan forensik, sudah
barang tentu, mengkhususkan diri pada bidang-bidang tertentu seperti teknologi
informasi. Akan tetapi, semua akuntan forensik yang telah terlatih sekurang-kurangnya
memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan dalam bidang-bidang berikut ini:

1. Keterampilan auditing merupakan hal terpenting bagi akuntan forensik karena


adanya sifat pengumpulan-informasi dan verifikasi yang terdapat pada akuntansi
forensik. Akuntan forensik yang terampil harus mampu mengumpulkan dan
mengkaji informasi apapun yang relevan sehingga kasus-kasus yang mereka tangani
akan didukung secara positif oleh pihak pengadilan.
2. Pengetahuan dan keterampilan investigasi, misalnya taktik-taktik surveillance dan
keterampilan wawancara dan interogasi, membantu akuntan forensik untuk
melangkah di luar keterampilan mereka di dalam mengaudit aspek-aspek forensik
baik aspek legal maupun aspek finansial.
3. Kriminologi, khususnya studi psikologi tindak kejahatan, adalah penting bagi
akuntan forensik karena keterampilan investigasi yang efektif sering bergantung
pada pengetahuan tentang motif dan insentif yang dialami oleh perpetrator.
4. Pengetahuan akuntansi membantu akuntan forensik untuk menganalisis dan
menginterpretasi informasi keuangan yang dibutuhkan untuk membangun sebuah
kasus di dalam investigasi keuangan, apakah itu dalam kasus kebangkrutan, operasi
pencucian uang, atau skema-skema penyelewangan lainnya. Hal ini meliputi
pengetahuan tentang pengendalian internal yang baik seperti yang terkait dengan
kepemimpinan perusahaan (corporategovernance).
5. Pengetahuan tentang hukum sangat penting untuk menentukan keberhasilan akuntan
forensik. Pengetahuan tentang prosedur hukum dan pengadilan mempermudah
akuntan forensik untuk mengidentifikasi jenis bukti yang diperlukan untuk
memenuhi standar hukum yurisdiksi di mana kasus akan dinilai dan menjaga bukti
melalui cara-cara yang memenuhi kriteria pengadilan.
6. Pengetahuan dan keterampilan bidang Teknologi informasi (TI) menjadi sarana
yang penting bagi akuntan forensik di tengah dunia yang dipenuhi oleh kejahatan-
kejahatan dunia maya. Pada taraf yang minimum, akuntan forensik harus
mengetahui poin di mana mereka harus menghubungi seorang ahli bidang piranti
keras (hardware) atau piranti lunak (software) komputer. Akuntan forensik
menggunakan keterampilan teknologi untuk mengkarantina data, ekstraksi data
melalui penggalian data, mendesain dan menjalankan pengendalian atas manipulasi
data, menghimpun informasi database untuk perbandingan, dan menganalisis data.
7. Keterampilan berkomunikasi juga dibutuhkan oleh akuntan forensik untuk
memastikan bahwa hasil penyelidikan/analisis mereka dapat dipahami secara benar
dan jelas oleh pengguna jasanya
E. Pengalaman Dan Efektifitas Kinerja Akuntan Forensik
Menurut Mulyadi (2002) dalam Surtiyana (2014:23) Pengalaman auditor
merupakan akumulasi gabungan dari semua yang diperoleh melalui interaksi. Seorang
auditor harus mempunyai pengalaman dalam kegiatan auditnya, pendidikan formal dan
pengalaman kerja dalam profesi akuntan merupakan dua hal yang penting dan saling
melengkapi. Pengalaman merupakan gabungan dari keseluruhan proses peristiwa-
peristiwa yang dialami seseorang, kaitannya dengan pengalaman seorang auditor
dimana pengalaman merupakan keseluruhan proses pembelajaran yang telah dilewati
untuk meningkatkan kualitas auditor melalui kompleksitas kerja, lamanya waktu
maupun banyaknya penugasan yang pernah diterima
Semakin banyak dan kompleks tugas yang dijalankan oleh individu, akan
meningkatkan pengalaman indivudu tersebut karena hal itu akan menambah wawasan
mereka. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Aulia (2013:24) menjelaskan bahwa
pengalaman audit akan membentuk seorang akuntan publik menjadi terbiasa dengan
situasi dan keadaan dalam setiap penugasan yang diterima. Pekerjaan dilakuakan
berulang-ulang juga menjadi salah satu faktor yang dapat meningkatkan pengalaman
dan membuatnya seseorang lebih cepat dan lebih baik dalam menyelesaikan tugas-
tugas, serta individu tersebut lebih mengetahui hambatan-hambatan yang mungkin
dialaminya.
Sesorang yang berpengalaman dibidangnya akan memiliki cara pikir yang lebih
sehingga pengalaman auditor sangat menunjang dalam keberhasilan pencapaian
tujuan audit investigatif dalam hal ini mengungkap tindak pidana korupsi money
laundering. Pengalaman kerja tinggi yang dimiliki seorang auditor forensik akan
membantu mereka dalam hal mendeteksi kesalahan, memahami kesalahan dan mencari
penyebab munculnya kesalahan.
F. Money Laundering Sebagai Modus Baru Korupsi.
Istilah korupsi pada UU No. 31 tahun 1999 meliputi 30 tindak pidana korupsi
bukan empat seperti di fraud tree, yaitu conflict of interest, bribery, illegal gratuities,
dan economic extortion. Conflictnof interest atau benturan kepentingan sering ditemui
dalam bentuk bisnis pejabat/penguasa dan keluarga serta kroni-kroninya
(Jumansyah,dkk:2011). Tuankotta (2010) menejelaskan pengertian korupsi berdasarkan
pendekatan psikologis adalah penyalahgunaan wewenang jabatan untuk keuntungan
pribadi. Korupsi bukan masalah budaya, akantetapi korupsi berkenaan dengan masalah
sistem perekonomian dan kelembagaan. Lingkunganperekonomian dan kelembagaan
menentukan lingkup korupsi dan insentif untuk melakukan korupsi.
Korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan. Kejahatan merupakan suatu
tindakan yang tidak mungkin bisa dihilangkan sepanjang manusia masih ada dibumi.
Korupsi sebagai bentuk kejahatan harus dibatasi, diupayakan berkurang bahkan
diberantas secara tuntas walaupun memerlukan usaha yang tidak mudah. Pemikiran
tersebut sejalan dengan kriminolog Frank Tanembaun yang mengatakan :crime is
eternal –as eternal as society (kejahatan adalah abadi, seabadi masyarakat). Dinegara
kita masih ada puluhan juta masyarakat tergolong miskin (kurang uang) tetapi tidak
otomatis menjadi penjahat korupsi. Kenyataan yang ada adalah pelaku kejahatan
korupsi sebagian besar adalah orang kaya yang berkecukupan bahkan berlebihan uang
(Badjuri : 2011).
Pada kenyataannya memang pelaku korupsi justru mereka yang memiki jabatan
dan berpenghasilan tinggi.Mereka secara sadar menyalahgunakan jabatan yang
dipercayakan kepada mereka dan mengingkari sumpah jabatan yang telah diucapkan.
Penyalahgunaan jabatan di sektor pemerintahan untuk keuntungan pribadi, meliputi
penjualan kekayaan negara secara tidak sah oleh pejabat, kickbacks dalam pengadaan di
sektor pemerintahan, penyuapan, dan “pencucian” dana-dana pemerintah. Pendekatan
akuntansi forensik akan sangat membantu dalam menganalisis berbagai kasus korupsi di
Indonesia khususnya yang berkaitan dengan korupsi sistemik yang dilakukan melalui
konspirasi yang telah dipersiapkan dengan dukungan dokumen legal oleh para
pelakunya. Banyak cara yang koruptor lakukan untuk melancarkan aksinya hingga
menyembunyikan “aksi kotor” tersebut. Salah satu cara koruptor menyembunyikan dana
korupsi biasanya dilakukan dengan Money Laundering (Dewayani dkk : 2015).
Pada dasarnya money laundering itu adalah proses
menyembunyikan,menyamarkan, memindahkan, atau menggunakan uang yang
diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan. Aktifitas money laundering bertujuan
untuk merubah uang dari illegal (dirty money) menjadi legal (clean money).
Dipisahkannya uang haram tersebut dari kejahatan asalnya, ditransfernya uang tersebut
melalui lembaga keuangan/perbankan untuk menghilangkan jejak, dan yang terakhir,
diinvestasikannya uang haram tersebut ke dalam aktifitas bisnis yang sah agar dapat
dimanfaatkan secara maksimal oleh pelaku (Amrani : 2013 ).
Secara sederhana, pencucian uang adalah suatu praktek pencucian uang panas
atau kotor (dirty money), yaitu uang berasal dari praktek-praktek ilegal seperti korupsi,
perdagangan wanita dan anak-anak, terorisme, penyuapan, penyeludupan, penjualan
obat-obat terlarang, judi dan tindak pidana perbankan. Money Laundering atau biasa
disebut dengan pencucian uang adalah proses dimana hasil kejahatan diletakkan
melalui seri transaksi, yang menyamarkan asal-usul transaksi terlarang, dan
membuat transaksi tersebut berasal dari sumber yang sah. Terdapat tiga tahapuntuk
Money Laundering: I. Tahap Placement (Penempatan), II. Tahap Layering, dan III.
TahapIntegration(Dewayani dkk : 2015).
Seiring dengan semakin mewabahnya penyakit korupsi di Indonesia, motif-motif
barupun terus bermunculan. Para koruptor tersebut seolah tidak pernah kehabisan akal
untuk terus melakukan apa saja demi keberhasilan “aksi kotor” tersebut. Money
Launderingpun menjadi senjata ampuh mereka untuk mampu menyembunyikan
kejahatannya dan mengelabuhi para pemberantas tindak pidana korupsi. Tentu saja ini
menjadi tantangan tersendiri bagi seorang akuntan forensik, bagaimana mereka
diharapkan mampu berwawasan luas, berpikiran terbuka dan cepat tanggap atas segala
keadaan yang ada agar mampu mengungkap tindak pidana korupsi tersebut khususnya
dengan motif money laundering ini.
G. Pendekatan Follow The MoneyUntuk Ungkap Money Laundering.
Globalisasi finansial seperti sekarang ini membuat koruptor semakin mudah
menyembunyikan uangnya. Oleh karena itu diperlukan paradigma baru untuk
membuktikan tindak pidana korupsi, yakni dengan pendekatan follow the
money(mengikuti aliran uang). Dalam pendekatan rezim anti pencucian uang ini, yang
paling utama dalam pembuktian adalah aliran uangnya. Pelaku atau saksi bisa saja
berkata bohong, tetapi aliran uang tidak akan bisa ditutup-tutupi. Paradigma baru dalam
penanganan kejahatan ini juga memudahkan penegak hukum untuk mengembalikan
kerugian negara karena semua harta yang dimilikiatau terkait dengan dirinya akan
terlacak (Muslim dkk : 12). Di Indonesia, pendekatan follow the money diatur dalam
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan disempurnakan lagi dalam Undang-
Undang No.8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang (Siahaan : 2008) .
PPATK E-learning ( 2015) menjelaskan bahwa pendekatan follow the money
merupakan istilah lain bagi Pendekatan Anti Pencucian Uang, yaitu mendahulukan
mencari uang atau harta kekayaan hasil tindak pidana dibandingkan dengan
mencari pelaku kejahatan. Setelah hasil tindak pidana diperoleh melalui
pendekatan analisa transaksi keuangan (financial analysis) kemudian dicarilah
pelakunya dan tindak pidana yang dilakukan. Di sini dipergunakan ilmu akuntansi dan
ilmu pengetahuan lain yang terkait. Ilmu akutansi yang dipakai adalah akutansi forensik
(forensic accounting) (Sutrisni dkk: 2011).
Dalam mengungkap tindak pidana korupsi money laundering, akuntan forensik
dapat melakukan strategi follow the money (mengikuti aliran dana) ini. Karena, dengan
mengikuti aliran uang maka akan diketahui siapa sebenarnya pengguna dan penikmat
hasil korupsi. Secara konseptual, uang dan kekayaan adalah target sekaligus tujuan dari
pelaku korupsi. Dalam hal ini, hasil-hasil kejahatan adalah darah yang menghidupi dan
menjadi motivasi kenapaseseorang melakukan kejahatan seperti korupsi atau suap.
Seperti yang dipaparkan teori Klitgaard bahwa korupsi biasanya dilakukan oleh
sesorang yang memiliki kekuasaan dengan pertanggungjawaban yang rendah atau tidak
ada sama sekali. Dimana hal ini disebabkan oleh lemahnya pengendalian, sehingga
memberikan keleluasaan kepada mereka untuk bisa bertindak curang. Maka KPK selaku
lembaga yang bertanggungjawab memberantas korupsi membuat suatu kebijakan sebagi
upaya pencegahan yaitu dengan adanya LHKPN (Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara), yang mewajibkan penyelenggara Negara (Pejabat Negara)
melaporkan semua harta kekayaan mereka (Dewayani dkk:2015).
Kewajiban Penyelenggara Negara untuk melaporkan harta kekayaan diatur
dalam: (1)Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme, (2)Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi dan
(3)Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor: KEP. 07/KPK/02/2005
tentang Tata Cara Pendaftaran, Pemeriksaan dan Pengumuman Laporan Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Penyelenggara
Negara berkewajiban untuk (1)Bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama dan
sesudah menjabat, (2)Melaporkan harta kekayaannya pada saat pertama kali menjabat,
mutasi, promosi dan pension dan (3)Mengumumkan harta kekayaannya (Dewayani
dkk:2015).
Seorang akuntam forensik atau auditor investigatif dapat memanfaatkan
peraturan LHKPN ini sebagai titik awal untuk melakukan strategi follow the money.
Dimana jika terdapat perubahan kekayaan seorang pejabat secara signifikan, dapat
dijadikan sebagai indikasi adanya tindak pidana korupsi dan mulai untuk menelusuri
aliran dana tersebut untuk mengetahui darimana dana tersebut berasal dan pihak-pihak
mana saja yang terlibat dalam aliran tersebut sehingga diketahui siapa sebenarnya
pengguna dan penikmat hasil korupsiterkait praktik money laundering yang
kemungkinan saja terjadi.

III. KESIMPULAN
Akuntansi forensik merupakan bidang kajian yang relatif baru dalam
akuntansi. Akuntan forensik difokuskan pada upaya membantu mengungkap
kecurangan yang terjadi dalam suatu organisasi, mulai dari mendeteteksi adanya
kecurangan, menemukan siapa pelaku kecurangan tersebut sampai penyelesaiannya
diranah hukum. Untuk melaksanakan tugas berat tersebut seorang akuntan forensik
dituntut memiliki kemampuan khusus dan pengalaman yang tinggi dalam bidang
auditor.Kecurangan yang marak dan paling merugikan negara adalah korupsi. Adanya
akuntansi forensik akan sangat membantu dalam menganalisis berbagai kasus korupsi.
Salah satu cara koruptormenyembunyikan dana korupsi tersebut biasanya
dilakukan dengan Money Laundering. Pola pikir akuntansi forensik menekankan
kecurangan pada keanehan dan pola tindakan, sehingga untuk mengungkap tindak
money laundering seorang akuntan forensik dituntut mampu mengetahui secara detail
bagaimana pola tindakan pelaku korupsi terkait kecurangan yang dia lakukan. Dalam
mengungkap tindak pidana korupsi modus Money Laundering, akuntan forensik bisa
menggunakan pendekatan follow the money (mengikuti aliran dana).Hal ini dapat
mereka laksanakan jika mereka mampu menempatkan diri mereka sebagai pelaku tindak
pidana korupsi tersebut (pencuri). Maka hal ini menjadi penting karena dengan berpikir
seperti pencuri (think as a thief) akan membantu akuntan forensik untuk “menangkap”
seorang pencuri dengan mengetahui arah pola tindakan pelaku kecurangan yang pelaku
gunakandan memudahkan mereka untuk mengetahui darimana uang berasal dan siapa
saja sebenarnya pengguna dan penikmat hasil korupsi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Amrani,Hanafi. 2013. Upaya Pemberantasan Korupsi dengan Rezim Anti-money


Lundering : perspektif internasional.

Antonio, Gregorius Rudy.2002. Analisis Kecurangan Organisasi. Universitas Surabaya.

Aulia, M.Y. 2013. Pengaruh Pengalaman, Independensi, dan Skeptisme Profesional


Auditor Terhadap Pendekteksian Kecurangan. Skripsi. Jakarta: Universitas
Islam Negri Syarif Hidayatullah.

Badjuri, Achmad. 2011. Peranan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Sebagai


Lembaga AntiKorupsi Di Indonesia(The Role Of Indonesian Corruption
Exterminate Commission In Indonesia). Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE), Hal.
84 – 96 Vol. 18, No. 1ISSN: 1412-3126.

Dewayani, Rhety Ayu dan Anis Chairi. 2015. Money Laundering Dan Keterlibatan
Wanita (Artis):Tantangan Baru Bagi Auditor Investigatif. Volume 4, Nomor 3,
Tahun 2015, Halaman1-6ISSN (Online): 2337-3806

Hakim, Uminah. 2014. Eksistensi akuntan forensik dalam penyidikan dan pembuktian
pidana korupsi..Universitas Negeri Semarang. Semarang.

Hopwood, W. S., J. J. Leiner, and G. R. Young. 2008. Forensic Accounting. New York:
McGraw-Hill/Irwin.

Indriyani, Nila. Teori-teori psikologi dalam analisis organisasi.


www.Academia.edu/12066794/teori-teori_psikologi_dalam_analisis_laporan.
Diakses pada 4 Juni 2016

Iprianto. 2009. Persepsi akademisi dan praktisia akuntansi terhadap keahlian akuntan
forensik.Universitas Diponegoro. Bandung.

Jumansyah. Nunik Lestari Dewi. Tan Kwang En. 2012. Akuntansi forensik dan
prospeknya terhadap penyelesaianmasalah-masalah Hukum di Indonesia.

Karyono. 2013. Forensic Fraud. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Lengkong, Stella. Teori Kecurangan Akuntansi.


http://www.academia.edu/22441874/Teori_kecurangan_Akuntansi. Diakses
pada tanggal 4 Juni 2016
Muslim, Fithriadi dan Edi Nasution. 2012. Menjerat Koruptor Dengan Undang-Undang
Tindak Pidana Pencucian Uang

Patunru,A.Arini Lestari. 2014. Pengaruh Kemampuan Auditor Investigative Terhadap


Efektivitas Pelaksanaan Prosedur Audit Dalam Pembuktian Kecurangan.

Puspa, Dwi Fitri. 2012. Faktor-faktor pemicu pentingnya akuntansi forensik. Jurnal
kajian akuntansi dan auditing vol 7, No 12. Universitas Bung Hatta.

PPATK.2015.PPATK E-learning Pengenalan pencucian


uang.httt://elearning.ppatk.go.id/. diakses pada 17 Juni 2016

Robbins, Stephen.P. 2008. Organizational Behavior, Tenth Edition. Alih bahasa Drs. Benyamin
Molan. Jakarta: Salemba Empat.

Robiyanto, Febri. 2009. Persepsi auditor mengenai metode pendeteksian dan


pencegahan tindakan kecurangan pada industri perbankan. Universitas
Diponegoro. Bandung.

Rukmawati, A.D. 2011. Persepsi Manajer dan Auditor Eksternal Mengenai Efektivitas Metode
Pendeteksian dan pencegahan Tindakan Kecurangan Keuangan. Skripsi. Semarang:
Universitas Diponegoro.

Setyawan. 2015. Faktor-Faktor Penyebab Tindak Pidana Korupsi Meningkat Di


Indonesia. Volume : 16 No. 1 September 2015. ISSN: 1411-0229
Sayyid, Annisa. 2013. Fraud dan akuntansi forensik (upaya minimalisasi kecurangan
dan rekayasa keuangan). IAIN Antasari.

Siahaan, 2008, Money Laundering dan Kejahatan Perbankan, Jala, Jakarta

Sudaryati, Dwi. dan Nafi’ Inayati Zaharo. 2011. Auditing forensik dan value for money
audit. ISSN : 1979-6889.

Sukesih, kesih. 2012. Akuntansi forensik di Indonesia. Jurnal economic. Universitas


kuningan.

Sutrisni, Ni Komang dan A.A.Ketut Sukranata. 2011. Pendekatan Follow The Money
Dalam Penelusuran Tindak Pidana Pencucian Uang Serta Tindak Pidana Lain.
Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Surtiyana, G. Rizky. 2014. Pengaruh Keahlian Audit dan Pengalaman Audit


Terhadap Kemampuan Auditor Mendeteksi Kecurangan. Skripsi. Bandung:
Universitas Widyatama

Tuanakotta, Theodorus M. 2010. Akuntansi Forensik& Audit Investigatif. Edisi


ke- 2. Jakarta: Salemba Empat
Tuanakotta, Theodorus M. 2007. Akuntansi Forensik & Audit Investigatif. Jakarta:
Lembaga Penerbit FE Universitas Indonesia

Wiratmaja, I Dewa Nyoman. 2009. Akuntansi forensik dalam upaya pemberantasan


tindak pidana korupsi. Universitas Udayana.

Zuliha, Siti. 2008. Pengaruh Kemampuan Auditor Investigasi terhadap Efektivitas


Pelaksanaan Prosedur Audit dalam Pembuktian Kecurangan. Skripsi S1.
Bandung: Fakultas Ekonomi Widyatama.

Você também pode gostar