Você está na página 1de 24

PENATALAKSANAAN TERHADAP NYERI

Disusun oleh:
Jelita Sihombing
(11-2015-035)

Pembimbing:
dr. Imam Sudrajat, Sp.An Msi Med

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA


KEPANITERAAN KLINIK
PENDIDIKAN ILMU ANESTESI
PERIODE 15 FEBRUARI 2016 – 5 MARET 2016
RS. BAYU KARTA

Penatalaksanaan Terhadap Nyeri Page 1


BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau cenderung akan terjadi kerusakan
jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan.

Berdasarkan batasan tersebut diatas, terdapat dua asumsi perihal nyeri yaitu pertama
bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan berkaitan dengan
pengalaman emosianal menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain with
nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut juga sebagai nyeri akut. Kedua, bahwa
perasaan yang sama dapat juga terjadi tanpa disertai dengan kerusakan jaringan yang nyata
(pain without nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut juga sebagai nyeri kronis.1

Nyeri, selain menimbulkan penderitaan juga berfungsi sebagai mekanisme proteksi,


defensif dan penunjang diagnostik. Sebagai mekanisme proteksi, sensibel nyeri
memungkinkan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu trauma atau penyebab nyeri
sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Sebagai mekanisme
defensif, memungkinkan untuk immobilisasi organ tubuh yang mengalami inflamasi atau
patah sehingga sensibel yang dirasakan akan mereda dan bisa mempercepat penyembuhan.

Nyeri juga dapat berperan sebagai penuntun diagnostik, karena dengan adanya nyeri
pada daerah tertentu, proses yang terjadi pada seorang pasien dapat diketahui, misalnya nyeri
yang dirasakan oleh seseorang pada daerah perut kanan bawah, kemungkinan orang tersebut
menderita radang usus buntu.

Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan yang mengakibatkan


penderitaan yang sangat berat bagi pasien pada hakikatnya tidak saja tertuju pada usaha untuk
mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu, melainkan bermaksud menjangkau peningkatan
mutu kehidupan pasien, sehingga ia dapat kembali menikmati kehidupan yang normal dalam
keluarga maupun lingkungannya.

Penatalaksanaan Terhadap Nyeri Page 2


BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Definisi Nyeri


Rasa nyeri (nosisepsi) merupakan masalah unik, disatu pihak bersifat melindungi diri
dan dilain pihak merupakan suatu siksaan. Definisi nyeri menurut The International
Association for the Study of Pain ialah sebagai berikut, nyeri merupakan pengalaman sensoris
dan emosional yang tidak menyenangkan yang disertai oleh kerusakan jaringan secara
potensial dan aktual. Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya (noksius,
protofatik) atau yang tidak berbahaya (nonnoksius, epikritik) misalnya sentuhan ringan,
kehangatan, tekanan ringan.2

II.2 Pembagian Nyeri

II.2.1 Nyeri Akut

1. Nyeri somatik luar seperti nyeri tajam di permukaan kulit, subkutis dan
mukosa.
2. Nyeri somatik dalam seperti adanya rasa nyeri tumpul dalam otot rangka,
tulang, sendi dan jaringan ikat.
3. Nyeri viseral seperti rasa nyeri karena penyakit atau disfungsi alat dalam.

II.2.2 Nyeri Kronik

Sangat subyektif dan dipengaruhi oleh kelakukan, kebiasaan dan lainnya.

II.3 Berdasarkan Kualitas Nyeri


II.3.1 Nyeri Cepat

Nyeri ini singkat dan tempatnya jelas sesuai rangsang yang diberikan,
misalnya nyeri tusuk dan nyeri pembedahan. Nyeri ini dihantar oleh serabut saraf
kecil bermielin jenis A-delta dengan kecepatan konduksi 12-30 meter/detik.

II.3.2 Nyeri Lambat

Nyeri ini sulit dilokalisir dan tak ada hubungannya dengan rangsangan.
Misalnya rasa terbakar, rasa berdenyut atau rasa ngilu dan linu. Nyeri ini dihantar

Penatalaksanaan Terhadap Nyeri Page 3


oleh serabut saraf primitif tak bermielin jenis C dengan kecepatan konduksi 0.5-2
meter/detik.

II.3.3 Nyeri Inflamasi

Proses inflamasi ialah proses unik baik secara biokimiawi atau seluler yang
disebabkan oleh kerusakan jaringan atau adanya benda asing. Proses inflamasi tidak
hanya berusaha menghilangkan jaringan yang rusak, tetapi berusaha pula untuk
menyembuhkannya. Tanda-tanda inflamasi ialah adanya rubor (kemerahan pada
jaringan), kalor (kehangatan jaringan), tumor (pembengkakan jaringan), dolor (rasa
nyeri pada jaringan), fungsio laesa (kehilangan fungsi jaringan).2

II.4 Mekanisme Nyeri


Nyeri dapat timbul akibat adanya rangsangan pada jaringan oleh zat-zat algesik pada
reseptor nyeri yang banyak dijumpai pada lapisan superfisial kulit dan pada beberapa jaringan
didalam tubuh, seperti periosteum, permukaan sendi, otot rangka dan pulpa gigi. Reseptor
nyeri merupakan ujung-ujung bebas serat saraf aferen A delta dan C. Reseptor-reseptor ini
diaktifkan oleh adanya rangsang-rangsang dengan intensitas tinggi, misalnya berupa rangsang
termal, mekanik, elektrik atau rangsang kimiawi.1,2

Zat-zat algesik yang mengaktifkan reseptor nyeri adalah ion K, H, asam laktat,
serotonin, bradikinin, histamin dan prostaglandin. Selanjutnya, setelah reseptor nyeri ini
diaktifkan oleh zat algesik tersebut, impuls nyeri disalurkan ke sentral melalui beberapa
saluran saraf. Rangkaian proses yang menyertai antara kerusakan jaringan sebagai sumber
stimuli nyeri sampai dirasakannya persepsi nyeri adalah suatu proses elektro-fisiologik yang
disebut sebagai nosisepsi.3

Terdapat empat proses yang jelas terjadi mengikuti suatu proses elektro fisiologis
nosisepsi, yaitu :1-3
1. Transduksi (transduction) merupakan proses stimuli nyeri yang diterjemahkan
atau diubah menjadi suatu aktivitas listrik pada ujung-ujung saraf.

2. Transmisi (transmission) merupakan proses penyaluran impuls melalui saraf


sensoris menyusul proses transduksi. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf
A delta dan serabut C sebagai neuron pertama dari perifer ke medula spinalis.

Penatalaksanaan Terhadap Nyeri Page 4


3. Modulasi (modulation) adalah proses interaksi antara sistem analgesik endogen
dengan impuls nyeri yang masuk ke kornu posterior medula spinalis. Sistem
analgesik endogen meliputi enkefalin, endorfin, serotonin dan noradrenalin yang
mempunyai efek menekan impuls nyeri pada kornu posterior medula spinalis.
Dengan demikian kornu posterior diibaratkan sebagai pintu gerbang nyeri yang
bisa tertutup atau terbuka untuk menyalurkan impuls nyeri. Proses tertutupnya
atau terbukanya pintu nyeri tersebut diperankan oleh sistem analgesik endogen
tersebut diatas.

4. Persepsi (perception) adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan
unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi dan modulasi yang pada
gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai
persepsi nyeri.

Gambar 1. Mekanisme Nyeri1

Penatalaksanaan Terhadap Nyeri Page 5


Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan.
Nyeri akan membantu individu untuk tetap hidup dan melakukan kegiatan secara fungsional.
Pada kasus-kasus gangguan sensasi nyeri (misalnya: neuropati akibat diabetes) maka dapat
terjadi kerusakan jaringan yang hebat. Nyeri pada umumnya dapat dibagi menjadi 2 bagian
besar, yaitu nyeri adaptif dan nyeri maladaptif. Nyeri adaptif berperan serta dalam proses
bertahan hidup dengan melindungi organisme dari cedera berkepanjangan dan membantu
proses pemulihan. Sebaliknya, nyeri maladaptif merupakan bentuk patologis dari sistem
saraf. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksious yang
diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui
spinalis, batang otak, talamus, dan korteks cerebri. Pencegahan terhadap terjadinya kerusakan
jaringan mengharuskan setiap individu untuk belajar mengenali stimulus-stimulus tertentu
yang berbahaya dan harus dihindari.1-3

Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser
fungsinya, dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang
rusak. Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan
jaringan. Sensitivitas akan meningkat, sehingga stimulus nonnoksious atau noksious ringan
yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Sebagai akibatnya, individu
akan mencegah adanya kontak atau gerakan pada bagian yang cidera tersebut sampai
perbaikan jaringan selesai. Hal ini akan meminimalisasi kerusakan jaringan lebih lanjut.
Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi.

Nyeri inflamasi merupakan bentuk nyeri yang adaptif namun demikian pada kasus-
kasus cedera elektif (misalnya: pembedahan), cedera karena trauma, atau rheumatoid
arthritis, penatalaksanaan yang aktif harus dilakukan. Respon inflamasi berlebihan atau
kerusakan jaringan yang hebat tidak boleh dibiarkan. Tujuan terapi adalah menormalkan
sensitivitas nyeri.

Nyeri maladaptif tidak berhubungan dengan adanya stimulus noksious atau


penyembuhan jaringan. Nyeri maladaptif dapat terjadi sebagai respon kerusakan sistem saraf
(nyeri neuropatik) atau sebagai akibat fungsi abnormal sistem saraf (nyeri fungsional).
Berbagai mekanisme yang mendasari munculnya nyeri telah ditemukan, mekanisme tersebut
adalah: nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas
ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi.1-3

Penatalaksanaan Terhadap Nyeri Page 6


Kerusakan jaringan akan memacu pelepasan zat-zat kimiawi (mediator inflamasi)
yang menimbulkan reaksi inflamasi yang diteruskan sebagai sinyal ke otak. Sinyal nyeri
dalam bentuk impuls listrik akan dihantarkan oleh serabut saraf nosiseptor tidak bermielin
(serabut C dan δ) yang bersinaps dengan neuron di kornu dorsalis medulla spinalis. Sinyal
kemudian diteruskan melalui traktus spinotalamikus di otak, dimana nyeri dipersepsi,
dilokalisir, dan diintepretasikan.
II.4.1 Sensitisasi Perifer

Cidera dan inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan


kimiawi pada akhiran nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya
seperti adenosin trifosfat dan ion K+, pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin,
chemokine, dan faktor pertumbuhan. Beberapa komponen tersebut di atas akan langsung
merangsang nosiseptor (nociceptor activators), dan komponen lainnya akan menyebabkan
nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsang berikutnya (nociceptor sensitizers).
Sebagai contoh: adenosin trifosfat dilepaskan oleh sel yang cedera dan merangsang reseptor
purin P2x3, dan mengaktifkan nosiseptor. Proton berikatan pada reseptor V1, dan
menghasilkan nyeri beberapa waktu setelah cedera. Prostaglandin E2 (sebuah bentuk
prostanoid) dan nerve growth factor berikatan pada reseptor prostaglandin E dan tirosin
kinase A, menyebabkan sensitisasi tanpa langsung menimbulkan nyeri. Bradikinin akan
mengaktifkan dan mensensitisasi nosiseptor dengan berikatan pada reseptor B2.3,4

Produksi prostanoid pada tempat cedera merupakan komponen utama reaksi


inflamasi. Prostanoid terbentuk dari asam arakidonat dari membran fosfolipid dengan
bantuan fosfolipase A2. Cyclooxygenase-2 (COX-2) berperan mengkonversi asam arakidonat
menjadi prostaglandin H, yang kemudian dikonversi menjadi spesies prostanoid yang
spesifik, misalnya prostaglandin E2. Cyclooxygenase-2 (COX-2) dipicu oleh interleukin 1-β
dan tumor necrosis factor-α, yang keduanya terbentuk beberapa jam setelah permulaan
inflamasi, sehingga obat antiinflamasi yang selektif menghambat COX-2 tidak efektif pada
nyeri nosiseptif atau inflamasi yang berlangsung cepat. Obat demikian bisa efektif pada
kondisi nyeri kronis (misalnya: rheumatoid arthritis), dimana COX-2 ada secara kronik
sebagai respon inflamasi yang menetap.1-4

Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi ambang aktivasi


nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada reseptor

Penatalaksanaan Terhadap Nyeri Page 7


spesifik di nosiseptor. Aktivasi adenil siklase oleh prostaglandin E akan meningkatkan kadar
adenosin monofosfatsiklik, dan mengaktifkan protein kinase A. Protein kinase A dan protein
kinase C akan menfosforilasi asam amino serine dan threonin. Fosforilasi akan menyebabkan
perubahan aktivitas reseptor dan ion channel yang dramatik.

Berbagai komponen yang menyebabkan sensitasi akan muncul secara bersamaan


(prostaglandin E2, nerve growth factor, dan bradikinin), blokade hanya pada salah satu
substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan
menurunkan ambang rangsang, dan berperan besar dalam meningkatkan sensitivitas nyeri
ditempat cedera atau inflamasi.2,3

Gambar 2. Sensitisasi yang menyebabkan hiperalgesia dan Allodinia.3


Keterangan: stimulus noksious dapat menyebabkan sensitisasi respon sistem saraf terhadap
stimulus berikutnya. Respon nyeri yang normal ditunjukkan oleh kurva sebelah kanan. Pada
cedera jaringan, kurva tersebut akan bergeser ke kiri, sehingga stimulus noksious dirasakan
lebih nyeri (hiperalgesia), dan stimulus non noksious juga dirasakan sebagai nyeri (allodinia).
II.4.2 Sensitisasi Sentral

Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di sentral
juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggungjawab terhadap
munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cedera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan
memperkuat transfer sinaptik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses
ini dipacu oleh input nosiseptor ke medula spinalis (activity dependent), kemudian terjadi
perubahan molekuler neuron (transcription dependent).

Penatalaksanaan Terhadap Nyeri Page 8


Secara umum proses sensitisasi sentral serupa dengan sensitisasi perifer. Diawali
dengan aktivasi kinase intraseluler, memacu fosforilasi saluran ion dan reseptor, dan terjadi
perubahan fenotip neuron. Sensitisasi sentral dan perifer merupakan bentuk plastisitas sistem
saraf, dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan).
Pada keadaan aliran sensoris yang masif akibat kerusakan hebat jaringan, dalam beberapa
detik neuron di medula spinalis akan menjadi hiperresponsif. Reaksi ini menyebabkan
munculnya nyeri akibat stimulus non noksious (misalnya: nyeri akibat sentuhan ringan), dan
terjadinya hiperalgesia sekunder (nyeri pada daerah sekitar jaringan yang rusak).

Sensitisasi sentral hanya membutuhkan aktivitas nosiseptor yang singkat dengan


intensitas yang tinggi, misalnya: irisan kulit dengan scalpel. Sensitisasi sentral dapat juga
terjadi akibat sensitisasi nosiseptor akibat inflamasi, dan aktivitas ektopik spontan setelah
cedera saraf. Sensitisasi sentral merupakan urutan kejadian di kornu dorsalis yang diawali
dengan pelepasan transmiter dari nosiseptor, perubahan densitas reseptor sinaptik, perubahan
ambang, yang kesemuanya secara dramatis meningkatkan transmisi nyeri.2 Salah satu
reseptor yang berperan utama dalam perubahan ini adalah reseptor NMDA. Selama proses
sensitisasi sentral, reseptor ini akan mengalami fosforilasi, dan meningkatkan kepekaannya
terhadap glutamat. Respon berlebih pada glutamat ditandai oleh hilangnya blokade ion Mg2+
dan terjadi pembukaan saluran ion yang lebih lama. Eksitabilitas membran dapat diaktifkan
baik oleh input yang di bawah (subtreshold), dan respon berlebih pada input di atas ambang
(supratreshold). Fenomena ini menyebabkan munculnya nyeri pada rangsang yang di bawah
ambang (allodinia), dan respon nyeri berlebih akibat rangsang nyeri (hiperalgesia), serta
perluasan sensitivitas area yang tidak cedera (hiperalgesia sekunder).1,3

II.5 Respon Tubuh Terhadap Nyeri


Respon tubuh terhadap trauma atau nyeri adalah terjadinya reaksi endokrin berupa
mobilisasi hormon-hormon katabolik dan terjadinya reaksi imunologik yang secara umum
disebut sebagai respon stress. Respon stress ini sangat merugikan pasien, karena selain akan
menurunkan cadangan dan daya tahan tubuh, juga meningkatkan kebutuhan oksigen otot
jantung, menganggu fungsi respirasi dengan segala konsekuensinya serta akan mengundang
resiko terjadinya tromboemboli yang pada gilirannya meningkatkan morbiditas dan
mortalitas.

Penatalaksanaan Terhadap Nyeri Page 9


Pada respon endokrin adanya rangsangan nosiseptif menyebabkan respon hormonal
bifasik artinya terjadi pelepasan hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol, angiotensin
II, ADH, ACTH, GH dan Glukagon, sebaliknya terjadi penekanan sekresi hormon anabolik
seperti insulin. Hormon katabolik akan menyebabkan hiperglikemia melalui mekanisme
resistensi terhadap insulin dan proses glukoneogenesis, selanjutnya terjadi katabolisme
protein dan lipolisis. Kejadian ini akan menimbulkan balans nitrogen negatif. Aldosteron,
kortisol, ADH menyebabkan terjadinya retensi Na dan air. Katekolamin merangsang reseptor
nyeri sehingga intensitas nyeri bertambah. Dengan demikian terjadilah siklus vitriosus.2,4

II.6 Skala Nyeri


Pengetahuan tentang nyeri penting untuk menyusun program penghilangan nyeri
pasca bedah. Derajat nyeri dapat diukur dengan berbagai macam cara, misalnya tingkah laku
pasien, skala verbal dasar (VRS, verbal rating scales) dan skala analog visual (VAS, visual
analogue scales). Secara sederhana nyeri pasca bedah pada pasien sadar dapat langsung
ditanyakan pada yang bersangkutan dan biasanya dikategorikan sebagai tidak nyeri (none),
nyeri sedang (mild, slight), nyeri sedang (moderate), nyeri berat (severe), sangat nyeri (very
severe, intolerable).

II.6.1 Verbal Descriptive Scale (VDS)


Verbal Descriptive Scale merupakan pengukuran derajat nyeri yang sering
digunakan. VDS merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata yang
mendeskripsikan perasaan nyeri, tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis.
Kata-kata yang digunakan untuk mendeskripsikan tingkat nyeri di urutkan dari tidak
terasa nyeri sampai nyeri yang tidak tertahankan.

Penatalaksanaan Terhadap Nyeri Page 10


Gambar 3. Verbal Descriptive Scale2

II.6.2 Faces Rating Scale


Skala penilaian wajah biasanya digunakan untuk mengukur intensitas nyeri
pada anak-anak.Foto wajah seorang anak yang menunjukkan rasa tidak nyaman
dirancang sebagai petunjuk untuk memberi pengertian kepada anak-anak sehingga
dapat memahami makna dan tingkat keparahan nyeri.Skala tersebut terdiri dari enam
wajah dengan profil kartun yang menggambarkan wajah dari mulai gambar wajah
yang sedang tersenyum (tidak merasa nyeri) kemudian secara bertahap meningkat
menjadi wajah kurang bahagia (sangat nyeri).Saat ini para peneliti mulai
menggunakan skala wajah ini pada orang-orang dewasa atau pasien yang kesulitan
dalam mendeskripsikan intensitas nyerinya, dan orang dewasa yang memiliki
gangguan kognitif.1,3

Gambar 4. Faces Rating Scale1,3

Penatalaksanaan Terhadap Nyeri Page 11


II.6.3 Numeric Rating Scale (NRS)
Skala numerik merupakan alat bantu pengukur intensitas nyeri pada pasien
yang terdiri dari skala horizontal yang dibagi secara rata menjadi 10 segmen dengan
nomor 0 sampai 10. Pasien diberi pengertian yang menyatakan bahwa angka 0
bermakna intensitas nyeri yang minimal (tidak ada nyeri sama sekali) dan angka 10
bermakna nyeri yang sangat (nyeri paling parah yang dapat mereka bayangkan).
Pasien kemudian dimintai untuk menandai angka yang menurut mereka paling tepat
dalam mendeskripsikan tingkat nyeri yang dapat mereka rasakan pada suatu waktu.

Gambar 5. Numeric Rating Scale1

II.6.4 Visual Analog Scale (VAS)


VAS merupakan suatu garis lurus atau horizontal sepanjang 10 cm, yang
mewakili intensitas nyeri yang terus-menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap
ujungnya. Pasien diminta untuk membuat tanda pada garis tersebut dan nilai yang
didapat ialah jarak dalam mm atau cm dari tanda di sebelah kiri skala sampai tanda
yang dibuat. VAS adalah skala yang paling sering digunakan untuk mengukur
intensitas nyeri. VAS dinilai dengan kata tidak nyeri di ujung kiri dan sangat nyeri di
ujung kanan. Dinilai tidak ada nyeri apabila nilai VAS 0-5mm, nyeri ringan apabila
panjang garis menunjukkan angka 5-44 mm, 45-74 mm dinyatakan sebagai nyeri
sedang, dan lebih dari 70 mm dinilai sebagai nyeri berat. VAS sudah terbukti
merupakan skala linear yang diterapkan pada pasien dengan nyeri akut pasca operasi.

Penatalaksanaan Terhadap Nyeri Page 12


Alat bantu untuk mengukur intensitas nyeri sangat bervariatif dan sangat
subjektif penilaiannya tergantung dari pasien. VAS merupakan skala pengukuran
yang lebih sensitif terhadap intensitas nyeri dibandingkan skala pengukuran lainnya.
Secara statistik VAS paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk
rasio. Selain mengumpulkan data subjektif mengenai nyeri, pengamatan langsung
terhadap perilaku non verbal dan verbal dapat memberikan petunjuk tambahan
mengenai pengalaman nyeri pasien. Signal verbal dan emosional seperti meringis,
menangis, ayunan langkah dan postur yang abnormal bisa menjadi indikator nyeri
yang sering dijumpai, perilaku tersebut dipengaruhi oleh jenis kelamin dan perbedaan
budaya.1-3

Gambar 6. Visual Analog Scale2,3


II.7 Efek Nyeri Terhadap Kardiovaskular dan Respirasi
Pelepasan katekolamin, aldosteron, kortisol, ADH dan aktifasi Angiotensin II akan
menimbulkan efek pada kardiovaskular. Hormon-hormon ini akan mempunyai efek langsung
pada miokardium atau pembuluh darah dan meningkatkan retensi Na dan air. Angiotensin II
akan menimbulkan vasokontriksi. Katekolamin menimbulkan takikardia, meningkatkan
kontraktilitas otot jantung dan resistensi vaskular perifer sehingga terjadilah hipertensi.
Takikardia serta disaritmia dapat menimbulkan iskemia miokard. Ditambah dengan retensi
Na dan air maka timbulah resiko gagal jantung kongesti.

Bertambahnya cairan ekstra seluler diparu-paru akan menimbulkan kelainan ventilasi


perfusi. Nyeri di daerah dada atau abdomen akan menimbulkan peningkatan tonus otot

Penatalaksanaan Terhadap Nyeri Page 13


didaerah tersebut sehingga dapat muncul resiko hipoventilasi, kesulitan bernafas dalam dan
mengeluarkan sputum, sehingga penderita mudah mengalami penyulit atelektasis dan
hipoksemia.1-3

II.8 Efek Nyeri Terhadap Sistem Organ yang Lain


Peningkatan aktivitas simpatis akibat nyeri menimbulkan inhibisi fungsi saluran
cerna. Gangguan pasase usus sering terjadi pada penderita nyeri. Terhadap fungsi imunologik
nyeri akan menimbulkan limfopenia, leukositosis dan depresi RES. Akibatnya resistensi
terhadap kuman patogen akan menurun. Kemudian, terhadap fungsi koagulasi nyeri akan
menimbulkan perubahan viskositas darah, fungsi platelet. Terjadi peningkatan adesivitas
trombosit. Ditambah dengan efek katekolamin yang menimbulkan vasokontriksi dan
immobilisasi akibat nyeri maka akan mudah terjadi komplikasi trombosis.

II.9 Efek Nyeri Terhadap Mutu Kehidupan

Nyeri menyebabkan pasien sangat menderita, tidak mampu bergerak, tidak mampu
bernafas dan batuk dengan baik, susah tidur, tidak enak makan dan minum, cemas, gelisah,
perasaan tidak akan tertolong dan putus asa. Keadaan seperti ini sangat menganggu
kehidupan normal penderita sehari-hari. Mutu kehidupannya sangat rendah, bahkan sampai
tidak mampu untuk hidup mandiri layaknya orang sehat. Oleh karena itu penatalaksaan nyeri
pada hakikatnya tidak saja tertuju kepada mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu,
melainkan bermaksud menjangkau peningkatan mutu kehidupan pasien, sehingga ia dapat
kembali menikmati kehidupan yang normal dalam keluarga dan lingkungannya.

II.10 Penatalaksanaan Nyeri


Landasan-landasan yang dianjurkan dalam penatalaksanaan nyeri adalah :1,2
1. Mengutamakan pendekatan klinis, termasuk pendekatan psikoterapi dalam arti
kata yang seluas-luasnya.
2. Mengikutsertakan pasien dan keluarganya, serta menjelaskan kemungkinan terapi
klinis yang tersedia.
3. Menganjurkan pasien dan keluarganya untuk memberikan laporan yang benar dan
terperinci tentang rasa nyeri dan lainnya yang dianggap penting untuk diketahui
oleh dokter, sehingga kerjasama antara dokter dan pasien dapat tercipta dalam
suasana saling mempercai yang handal.

Penatalaksanaan Terhadap Nyeri Page 14


Kendala-kendala dalam penatalaksanaan nyeri adalah sebagai berikut :
1. Dari pihak dokter :
a. Kurangnya pengetahuan tentang nyeri sehingga kurang tepat menilai
sifat dan beratnya nyeri.
b. Phobia terhadap penggunaan morfin, karena adanya peraturan
mengenai narkotika yang dirasakan terlalu kaku.
c. Kekhawatiran terhadap ketergantungan dan ketakutan terhadap efek
samping.
2. Dari pihak pasien :
a. Kurang terbukanya pasien untuk melaporkan mengenai sifat dan
beratnya nyeri.
b. Phobia terhadap penggunaan morfin disertai ketakutan bahwa ia
dianggap sebagai seorang “morfinis” juga takut dengan efek samping
lain.
3. Dari pihak pelayanan medis (termasuk asuransi medis) :
a. Sistem ganti pembiayaan yang kurang memadai, sehingga
memberatkan keluarga pasien.
b. Peraturan yang terlalu ketat, sehingga penyediaan, pengadaan dan
medikasi khususnya narkotika jenis opioid golongan II dan III sangat
kurang dan susah didapat.

II.10.1 Prinsip Umum Penatalaksanaan Nyeri


Sebelum dilakukan pengobatan terhadap nyeri, seorang dokter harus
memahami tata laksana pengelolaan nyeri dengan seksama. Di dalam pengelolaan
nyeri ini terdapat prinsip-prinsip umum, yaitu :1
1. Mengawali pemeriksaan dengan seksama.
2. Menentukan penyebab dan derajat atau stadium penyakit dengan tepat.
3. Komunikasi yang baik dengan penderita dan keluarga.
4. Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam perawatan.
5. Menyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi.
6. Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan.
7. Merencanakan pengobatan bila perlu, secara multidisiplin.

Penatalaksanaan Terhadap Nyeri Page 15


Hal-hal lain yang juga harus diperhatikan dalam pengobatan nyeri adalah
sebagai berikut :
1. Jangan memberi obat apapun sebelum benar-benar diperlukan.
2. Tentukan diagnosis nyeri dengan tepat.
3. Memakai modalitas pengobatan dengan benar.
4. Memakai modalitas pengobatan ganda atau multi modal.
5. Harus konsisten tak boleh berubah-ubah dan terputus-putus.
6. Usahakan obat secara peroral.
7. Pada nyeri kronis ikut “3 step ladder analgesic” menurut WHO.
8. Tentukan jenis obat dan dosis secara individual.
9. Cermati dengan seksama perubahan keadaan penderita.

II.10.2 Berbagai Modalitas Pengobatan Nyeri


Setelah didiagnosis nyeri dapat ditetapkan, perencanaan pengobatan harus
disusun. Untuk itu berbagai modalitas pengobatan nyeri harus dipilih dengan tepat.
Berbagai alternatif modalitas pengobatan nyeri yang beraneka ragam pada dasarnya
dapat digolongkan dalam :
1. Modalitas fisik pada unit rehabilitasi medik
2. Modalitas kognitif-behavioral melalui pendekatan psikososial.
3. Modalitas invasif melalui pendekatan perioperatif dan radioterapi
4. Modalitas psikoterapi
5. Modalitas farmakoterapi

II.10.3 Modalitas Farmakoterapi


Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti “WHO Three Step Analgesic
Ladder”. Tiga langkah tangga analgesik menurut WHO untuk pengobatan nyeri itu
terdiri dari :1,3
1. Pada mulanya langkah pertama hendaknya menggunakan obat analgesik
non opiat.
2. Apabila masih tetap terasa nyeri naik ke tangga atau langkah kedua yaitu
ditambahkan dengan obat opioid lemah misalnya kodein.
3. Apabila ternyata masih belum bisa reda atau rasa nyeri dirasakan menetap
maka, sebaiknya dipilih langkah ketiga yaitu disarankan untuk
menggunakan opioid keras yaitu morfin.

Penatalaksanaan Terhadap Nyeri Page 16


Pada dasarnya prinsip “Three Step Analgesic Ladder” dapat diterapkan untuk
nyeri kronik maupun nyeri akut, yaitu :
1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga keatas 1-2-3 dan,
2. Pada nyeri akut sebaliknya mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1.

Gambar 7. Pain Step Ladder.1,2


Pada setiap langkah, apabila dianggap perlu dapat ditambahkan adjuvan atau obat
pembantu. Berbagai obat pembantu dapat bermanfaat dalam masing-masing taraf
penanggulangan nyeri, khususnya untuk lebih meningkatkan efektivitas analgesik,
memberantas gejala-gejala yang menyertai, dan kemampuan untuk bertindak sebagai obat
tersendiri terhadap tipe-tipe nyeri tertentu.

II.11 Opioid untuk Nyeri Akut Pasca Bedah dan Trauma.


Obat opioid dikategorikan menjadi agonis parsial, agonis/antagonis.
1. Agonis seperti morfin menghasilkan respons maksimum untuk mengatasi
nyeri. Preparat agonis parsial ini menghasilkan efek kurang dari respons
maksimum dan mungkin terjadi efek kemunduran (withdrawal) untuk
pasien toleran opioid. Morfin dipertimbangkan sebagai standar keaktifan
opioid agonis, berlawanan dengan opioid lainnya yang diukur.

2. Campuran agonis atau antagonis memperlihatkan batas efek pereda nyeri,


peningkatan dosis tidak akan menambah kemampuan menghilangkan
nyeri. Ada juga efek plateau tanpa peningkatan berkenaan dengan depresi

Penatalaksanaan Terhadap Nyeri Page 17


respirasi. Pemberian obat agonis atau antagonis juga mungkin
mempercepat efek kemunduran untuk pasien yang toleran opioid.1

II.11.1 Cara Pemberian Opioid


1. Pemberian peroral jarang dilakukan pasca bedah karena umumnya pasien
dipuasakan. Stasis lambung yang sering menyertai pembedahan akan
mengganggu absorbsi sehingga kemampuan menghilangkan nyeri
berkurang.
2. Pemberian rektal mungkin sedikit menguntungkan karena ekstrasi melalui
hati yang minimal dan tidak bergantung pada pengosongan lambung serta
tidak dipengaruhi oleh mual dan muntah. Kelemahan cara ini, termasuk
resisten, mula kerja obat lambat dan observasi bervariasi.
3. Opioid sublingual mencegah aliran pertama ekstraksi melalui hati seperti
yang terlihat pada peroral. Boprenorfen telah banyak dipakai dengan cara
ini karena sangat lipofilik, tidak merangsang mukosa dan rasanya masih
enak.
4. Narkotik intranasal cepat diabsorbsi karena mukosa hidung kaya dengan
pembuluh darah opioid yang dapat dipergunakan dengan cara ini antara
lain, butorfanal dan sufentanil.
5. Opioid transdermal dapat memasuki sirkulasi sistemik melalui kulit yang
utuh. Cara ini cocok untuk obat yang lepas lambat. Analgesia pasca bedah
dapat diberikan oleh fentanil transdermal jika tempelan diletakan 3 jam
sebelumnya. Fentanil telah terbukti cukup baik untuk nyeri kronik dan
lama efek berlangsung sampai 3 jam.
6. Opioid yang diberikan dengan suntikan intramuskular untuk analgesia
pasca bedah sering kurang efektif. Tetapi kemudian setelah pasien ada
dibangsal terjadi depresi sekunder karena tercapai kadar serum toksis
setelah absorpsi.
7. Pemberian opioid melalui suntikan subkutan menunjukkan absorbsi yang
paling lambat. Hal ini mengakibatkan analgesis yang tak adekuat pasca
bedah dan kemudian mungkin potensial dapat terjadi dosis berlebihan
dibangsal.

Penatalaksanaan Terhadap Nyeri Page 18


8. Pemberian opioid intravena menghasilkan mula kerja yang cepat dan efek
dapat diramaikan dengan metode pemberian intravena mempunyai dua
prinsip yaitu bolus dan infus kontinu :
a. Bolus
Opioid agonis kecil misalnya morfin 0.05-0.1 mg/kg diberikan
intravena setiap 10-15 menit secara titrasi sampai mendapatkan
efek analgesia.
b. Infus kontinu
Pemberian dimulai dengan muatan permulaan (loading) dan
kemudian pethidin 50-100 mg diberikan selama 30-60 menit,
morfin 5-15 mg, fentanil 150 mg. Infus pemeliharaan pethidin 15-
50 mg, morfin 1-5 per jam dan fentanil 39-120 mg/jam. Kecepatan
infus pemeliharaan perlu disesuaikan untuk menghasilkan
analgesia adekuat dengan dampak samping minimal.1,2

II.11.2 Opioid Intratekal dan Epidural


Opioid intratekal (IT) dan epidural (ED) cukup efektif dan relatif aman kalau
diberikan dengan hati-hati dan tepat untuk kontrol nyeri pasca bedah. Tidak ada
blokade simpatikus sensorik atau motorik dan risiko hipotensi sangat minimal. Dosis
jauh lebih kecil dibandingkan pemberian parenteral. Pada pemberian epidural, opioid
berdifusi melalui dura dan masuk ke cairan serebro spinal.
1. Opioid intratekal diberikan dosis tunggal sendiri (morfin 0.1-0.2 mg atau
spuit cukup dibilas saja) atau dikombinasikan dengan anestetik lokal.
Morfi intratekal dapat memberikan analgesia yang baik setelah 15-45
menit dengan masa kerja sampai 24 jam. Komplikasi opioid intratekal
dapat terdiri dari retensi urin, pruritus, mual dan muntah serta depresi
nafas. Insiden depresi nafas berkisar antara 0.4-7% dan umumnya terjadi 6
jam kemudian setelah obat yang masuk kecairan serebrospinal menyebar
kepusat pernafasan dengan lambat. Nalokson 0.1-0.4 mg intravena akan
dapat menawarkan hampir semua komplikasi opioid.1
2. Opioid epidural, pada mulanya memasuki radiks saraf diruang epidural.
Kemudian melalui durameter masuk kecairan serebrospinal dan menembus
medula spinalis untuk mencapai reseptor opioid. Efek epidural opioid ini
tergantung kelarutan lemak, berat molekul, kadar plasma sebelumnya,

Penatalaksanaan Terhadap Nyeri Page 19


atminet, dan caprer biding, volume suntikan. Narkotika yang sedikit larut
lemak mula kerja lebih lambat, penyebaran dermatoma lebih banyak dan
efek analgesia lebih lama daripada narkotik yang mudah larut dalam
lemak. Hal yang harus diperhatikan dalam pemberian opioid epidural :2
a. Obat pilihan. Morfin sangat bermanfaat untuk mengatasi nyeri
pasca bedah yang luas seperti torakotomi, laparatomi. Morfin dapat
menyebar ekstensif dalam cairan serebrospinal karena karakter
hidrofilik. Obat yang hidrofilik menyebar terbatas dan bermanfaat
untuk kontrol nyeri segmental saja.
b. Metode pemberian bolus atau infus kontinu dapat dipergunakan
untuk pemberian opioid epidural.
c. Penting untuk diperhatikan agar selalu melakukan titrasi untuk
kedua dosis inisial dan volume infus.

Dampak samping opioid epidural terdiri dari pruritus, mual-muntah, retensi


urin dan depresi nafas. Insiden dampak samping bervariasi antara 10-30% kecuali
depresi nafas mendekati 0.1-0.2%. Permulaan terjadi depresi nafas tergantung opioid
yang dipergunakan, 1 jam untuk absorpsi sistemik. Nalokson infus 5-10
mikrogr/kg/jam akan menghilangkan depresi nafas dan juga mungkin berguna untuk
mual dan pruritus. Mual dan muntah dapat diobati juga dengan droperidol 0.6-1.25
mg iv tiap 3 hingga 4 jam. Pada pasien yang mendapatkan anti koagulan, pemasangan
epidural atau intratekal kateter dapat meningkatkan resiko terjadi hematoma epidural
atau subarachnoid dan dapat bersifat sekuele neurologik permanen.1,2

II.11.3 Mekanisme Kerja


Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan sistem saraf pusat,
tetapi lebih terkonsentrasi diotak tengah yaitu disistem limbik, talamus, hipotalamus,
korpus striatum, sistem aktivasi retikular dan dikorda spinalis yaitu disubstansia
gelatinosa dan dijumpai pula dipleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida
endogen berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek tertentu.
Reseptor opioid diindentifikasikan menjadi 5 golongan yaitu :1-4

Penatalaksanaan Terhadap Nyeri Page 20


1. Reseptor µ (mu) : µ-1 analgesia supraspinal, sedasi.
µ-2 analgesia spinal, depresi nafas, eforia,
ketergantungan fisik, kekakuan otot.
2. Reseptor δ (delta) : analgesia spinal, epileptogen.
3. Reseptor κ (kappa) : κ-1 analgesia spinal.
κ-2 tak diketahui.
κ-3 analgesia supraspinal.
4. Reseptor σ (sigma) : disforia, halusinasi, stimulasi jantung.
5. Reseptor ε (epsilon) : respons hormonal.

Pada sistem supraspinal, tempat kerja opioid ialah direseptor subtansia grisea,
yaitu diperiakuaduktus dan periventrikular. Sedangkan pada sistem spinal tempat
kerjanya di substansia gelatinosa korda spinalis. Morfin (agonis) terutama bekerja di
reseptor µ dan sisanya bekerja di reseptor κ.
II.11.4 Analgesik Non-Narkotik
1. Obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID) terkenal karena memiliki
kemampuan analgesia, antiinflamasi dan antipiretik. Obat ini dapat
menginhibisi produksi prostaglandin, zat endogen yang potensial
hiperalgesik. Sampai sekarang NSAID ada yang dapat diberikan peroral,
rektal, intramuskular atau intravena.
2. Ketorolak telah diakui oleh ahli bedah maupun anestesiologi dapat
dipergunakan untuk analgetik pascabedah. Keaktifan ketorolak 30 mg
intramuskular equipalen dengan 10 mg morfin atau 100 pethidin. Efek
analgesia dimulai 10 menit setelah penyuntikan dan berlangsung selama 4-
6 jam.
3. Klonidin mulai banyak dipergunakan pasca bedah, tetapi dikombinasikan
dengan opioid atau analgesik atau dengan anestetik lokal hingga kualitas
analgesia dan lama analgesia yang didapat meningkat signifikan.
Pemberian klonidin 4-6 mikrogr/kg iv sesaat sebelum operasi,
menghasilkan analgesia pasca bedah dan mencegah mengigil pasca bedah
yang setara dengan pemberian petidin 0.3 mg iv. Efek analgesia opioid
epidural dan opioid intra tekal atau anestetik lokal dapat diperpanjang
bermakna apabila ditambah klonidin 75-150 mikrogram epidural atau

Penatalaksanaan Terhadap Nyeri Page 21


intratekal. Klonidin dapat diberikan secara peroral, intramuskular,
intravena dan transdermal.1,3

II.11.5 Obat-obat Adjuvant


1. Kortikosteroid
Obat ini dapat bersifat mempertinggi taraf alam perasaan yang sedang
menurun dan selanjutnya bersifat anti inflamasi, anti emetik,
meningkatkan nafsu makan dapat membantu mengatasi kaheksia dan
anoreksia. Perlu diketahui pula, bahwa obat ini dapat mengurangi tekanan
intrakranial dan kompresi epidural dan susunan saraf spinal.1,2
2. Anti konvulsan
Obat ini dapat bermanfaat untuk meringankan nyeri neuropatik yang
sifatnya menusuk dan membakar. Sebaiknya harus digunakan dengan hati-
hati pada pasien yang sedang menjalani terapi kimia dan terapi radiasi.
3. Anti depresan
Bermanfaat dalam mengurangi nyeri neuropatik karena memiliki sifat
analgesia sehingga dapat bertindak memperkuat sifat analgetik dari
morfin.
4. Neuroleptik
Bermanfaat untuk membantu sindrom nyeri kronis dan memiliki sifat-sifat
antiemetik, anciolitik dan anti konstipasi. Sebagai suatu anciolitik ringan
dapat bermanfaat bagi pasien yang kurang tenang.
5. Psikostimulan
Digunakan untuk mengurangi sedasi yang diakibatkan oleh opioid,
terutama bila program pengurangan dosis atau frekuensi pemberian obat
opioid tidak berhasil mengurangi sedasi tersebut.

Penatalaksanaan Terhadap Nyeri Page 22


BAB III
KESIMPULAN

Nyeri merupakan sebuah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau cenderung akan
terjadi kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan.

Mekanisme timbulnya nyeri melibatkan empat proses, yaitu: tranduksi/transduction,


transmisi/transmission, modulasi/ modulation, dan persepsi/perception. Pemahaman yang
baik tentang mekanisme timbulnya secara holistik akan mempengaruhi pengambilan
keputusan dalam memilih tindakan pengobatan dan perawatan yang tepat dalam mengatasi
nyeri. Penatalaksanaan nyeri akut memerlukan pendekatan yang berbeda dengan nyeri
kronik. Penggunaan obat yang efektif, beronset cepat akan sangat diperlukan.

Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan yang mengakibatkan


penderitaan yang sangat berat bagi pasien pada hakikatnya tidak saja tertuju pada usaha untuk
mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu, melainkan bermaksud menjangkau peningkatan
mutu kehidupan pasien, sehingga ia dapat kembali menikmati kehidupan yang normal dalam
keluarga maupun lingkungannya.

Penatalaksanaan Terhadap Nyeri Page 23


DAFTAR PUSTAKA

1. Wiryana IM, Sinardja IK, Sujana IBG, Budiarta IG. Penatalaksanaan nyeri. Dalam:
Buku ajar ilmu anestesia dan reanimasi. Jakarta: Macanan Jaya Cemerlang;
2010.h.217-232.

2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Anestesia umum. Dalam: Petunjuk praktis
anestesiologi. Edisi ke-2. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI;
2007.h.74-83.

3. Meliala L, Pinzon R. Breakhthrough in management of acute pain. Jakarta: Dexa


Media, Jurnal Kedokteran dan Farmasi;2007;(vol.20).h.151-5.

4. Ardinata D. Multidimensional nyeri. Sumatera: Fakultas Kedokteran Universitas


Sumatera Utara.h.77-81.

Penatalaksanaan Terhadap Nyeri Page 24

Você também pode gostar