Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Tanggal Presentasi :
penurunan kesadaran.
1. Diagnosis
1
Bell’s Palsy
Belum pernah
Pasien laki-laki dewasa usia 53 tahun datang dengan keluhan nyeri pada
bagian kepala bagian belakang telinga dan wajah, sensasi terasa seperti
Pasien juga mengeluhkan ada perasaan mual dan tidak ingin makan.
4. Riwayat Kesehatan/Penyakit :
5mg
2
5. Riwayat Keluarga
6. Riwayat Pekerjaan
Karyawan swasta
7. Lain-lain :
Pemeriksaan Fisik
N : 86x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,6 oC
Pemeeriksaan Fisik
Pemeriksaan Thorax
Pulmo
3
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris. Retraksi (-),
Cor
sinistra
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar
Perkusi : Timpani
Status Neurologis
GCS : E4 V5 M6
4
Gerakkan abnormal : Tidak ada
Status neurologis
1. Pupil : isokor
2. Refleks cahaya : +/+
2. N-11 (Optikus) :
b. Ptosis : (-/-)
d. Reflek pupil :
5
Langsung : +/+
4. N-V (trigeminus)
a. Sensorik
N-V1 (opthalmikus) : +
N-V2 (maksilaris) :+
N-V3 (mandibularis) : +
5. N- V11 (fasialis)
b. Motorik
baik
6. N- V111 (vestibulokoklearis)
a. Keseimbangan
6
Nistagmus : (-)
b. Pendengaran
a. Refleks menelan :+
b. Refleks batuk :+
8. N- X1 (aksesoris)
9. N-X11 (hipogolosus)
a. Tremor lidah :-
b. Atrofi lidah :-
a. Pemeriksaan Motorik
1. Refleks
7
a. Refleks fisiologi
Biceps : N/N
Triceps : N/N
Achiles : N/N
Patella : N/N
b. Refleks Patologis
Babinski : -/-
Oppenheim : -/-
Chaddock : -/-
Gordon : -/-
Scaeffer : -/-
2. Kekuatan Otot
5 5
5 5
Sensoris
+ +
+ +
8
Ektremitas Inferior Dextra Ektremitas Inferior Sinistra
3. Tonus Otot
a. Hipotoni :-
b. Hipertoni :-
b. Sistem Ekstrapiramidal
1. Tremor :-
2. Chorea :-
3. Balismus :-
c. Sistem koordinasi
d. Fungsi Kortikal
9
Inkontinensia :-
Hipersekresi keringat :-
Diagnosis Kerja
A. Definisi
Bell’s palsy adalah paralisis wajah unilateral yang timbul mendadak akibat lesi
nervus fasialis, dan mengakibatkan distorsi wajah yang khas. Dengan kata lain
Bell’s palsy merupakan suatu kelainan pada saraf wajah yang menyebabkan
kelemahan atau kelumpuhan tiba-tiba pada otot di satu isi wajah1. Istilah Bell’s
palsy biasanya digunakan untuk kelumpuhan nervus VII jenis perifer yang timbul
secara akut2. Kebanyakan orang belum mengetahui nama dari panyakit ini. Adalah
Sir Charles Bell seorang ilmuan dari Skotlandia yang pertama kali menemukan
penyakit ini pada abad ke-19.5
B. Etiologi
Penyebab dari penyakit ini belum diketahui secara pasti tetapi dapat diduga
bahwa penyebab dari penyakit ini adalah karena saraf yang mengendalikan otot
wajah membengkak, terinfeksi, atau mampat karena aliran darah berkurang.5 Ada
pula para ahli yang menyatakan bahwa pada kasus Bell’s palsy terjadi proses
inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen
stilomastoideus.1
Penyebab kelumpuhan saraf fasialis bisa disebabkan oleh kelainan kongenital,
infeksi, tumor, trauma, gangguan pembuluh darah, idiopatik, dan penyakit-penyakit
tertentu.1,3
10
1. Kongenital
Kelumpuhan yang didapat sejak lahir (kongenital) bersifat irreversible dan
terdapat bersamaan dengan anomaly pada telinga dan tulang pendengaran.1 Pada
kelumpuhan saraf fasialis bilateral dapat terjadi karena adanya gangguan
perkembangan saraf fasialis dan seringkali bersamaan dengan kelemahan okular
(sindrom Moibeus).3
2. Infeksi
Proses infeksi di intraKranial atau infeksi telinga tengah dapat menyebabkan
kelumpuhan saraf fasialis. Infeksi intracranial yang menyebabkan kelumpuhan ini
seperti pada Sindrom Ramsay-Hunt, Herpes otikus. Infeksi Telinga tengah yang
dapat menimbulkan kelumpuhan saraf fasialis adalah otitis media supuratif kronik
(OMSK ) yang telah merusak Kanal Fallopi.1
3. Tumor
Tumor yang bermetastasis ke tulang temporal merupakan penyebab yang
paling sering ditemukan. Biasanya berasal dari tumor payudara, paru-paru, dan
prostat. Juga dilaporkan bahwa penyebaran langsung dari tumor regional dan sel
schwann, kista dan tumor ganas maupun jinak dari kelenjar parotis bisa menginvasi
cabang akhir dari saraf fasialis yang berdampak sebagai bermacam-macam tingkat
kelumpuhan. Pada kasus yang sangat jarang, karena pelebaran aneurisma arteri
karotis dapat mengganggu fungsi motorik saraf fasialis secara ipsilateral.2
4. Trauma
Kelumpuhan saraf fasialis bisa terjadi karena trauma kepala, terutama jika
terjadi fraktur basis cranii, khususnya bila terjadi fraktur longitudinal. Selain itu
luka tusuk, luka tembak serta penekanan forsep saat lahir juga bisa menjadi
penyebab. Saraf fasialis pun dapat cedera pada operasi mastoid, operasi neuroma
akustik/neuralgia trigeminal dan operasi kelenjar parotis.2
11
5. Gangguan pembuluh darah
Gangguan pembuluh darah yang dapat menyebabkan kelumpuhan saraf fasialis
diantaranya thrombosis arteri karotis, arteri maksilaris dan arteri serebri media.1
6. Idiopatik
Parese Bell merupakan lesi nervus fasialis yang tidak diketahui penyebabnya
atau tidak menyertai penyakit lain. Pada parese Bell terjadi edema fasialis. Karena
terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe LMN
yang disebut sebagai Bell’s Palsy.3
7. Penyakit-penyakit tertentu
Kelumpuhan fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu,
misalnya DM, hepertensi berat, anestesi lokal pada pencabutan gigi, infeksi telinga
tengah, sindrom Guillian Barre.
Bell’s palsy dapat terjadi pada pria atau wanita segala usia dan disebabkan oleh
kerusakan saraf fasialis yang disebabkan oleh radang, penekanan atau
pembengkakan. Penyebab kerusakan ini tidak diketahui dengan pasti, kendati
demikian para ahli meyakini infeksi virus Herpes Simpleks sebagai penyebabnya.
Sehingga terjadi proses radang dan pembengkakan saraf. Pada kasus yang ringan,
kerusakan yang terjadi hanya pada selubung saraf saja sehingga proses
penyembuhannya lebih cepat, sedangkan pada kasus yang lebih berat dapat terjadi
jeratan pada kanalis falopia yang dapat menyebabkan kerusakan permanen serabut
saraf.
Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antara lain: sesudah
bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi,
stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan
imunologik dan faktor genetik.
C. Patofisiologi
Bell’s Palsy merupakan lesi nervus fasialis yang terjadi secara akut,yang tidak
diketahui penyebabnya atau menyertai penyakit lain. Teori yang dianut saat ini
12
yaitu teori vaskuler. Pada Bell’s Palsy terjadi iskemi primer n. fasialis yang
disebabkan oleh vasodilatasi pembuluh darah yang terletak antara n. fasialis dan
dinding kanalis fasialis. Sebab vasodilatasi ini bermacam-macam, antara lain:
infeksi virus, proses imunologik dll. Iskemi primer yang terjadi menyebabkan
gangguan mikrosirkulasi intraneural yang menimbulkan iskemi sekunder dengan
akibat gangguan fungsi n. fasialis. Terjepitnya n. fasialis di daerah foramen
stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe LMN yang disebut sebagai
Bell’s Palsy.3 Perubahan patologik yang ditemukan pada n. fasialis sebagai berikut:
1. Tidak ditemukan perubahan patologik kecuali edema.
2. Terdapat demielinisasi atau degenerasi mielin.
3. Terdapat degenerasi akson.
4. Seluruh jaringan saraf dan jaringan penunjang rusak.
Perubahan patologik ini bergantung kepada beratnya kompresi atau
strangulasi terhadap Nv. VII.
13
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik Bell’s Palsy khas dengan memperhatikan riwayat penyakit
dan gejala kelumpuhan yang timbul mendadak. Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa
tidak enak pada telinga atau sekitamya sering merupakan gejala awal yang segera
diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah berupa :
- Dahi tidak dapat dikerutkan atau lipat dahi hanya terlihat pada sisi yang
sehat.
- Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh
(lagophthalmus).
- Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata
berputar ke atas bila memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign.
- Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang
lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat.
- Selain gejala-gejala diatas, dapat juga ditemukan gejala lain yang menyertai
antara lain : gangguan fungsi pengecap, hiperakusis dan gangguan
lakrimasi.
14
E. Diagnosis
Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya
kelumpuhan n. fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab
lain dad kelumpuhan n. fasialis perifer.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi
dan derajat kerusakan n. Fasialis.
1. Anamnesis
Pasien biasa mengeluhkan; perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada
telinga atau sekitamya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala
kelumpuhan otot wajah yang terjadi secara mendadak.
2. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan saraf motorik
Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk
terciptanya mimic dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke-10 otot-
otot tersebut dari sisi superior adalah sebagai berikut :
- M. Frontalis : diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas.
- M. Sourcilier : diperiksa dengan cara mengerutkan alis.
- M. Piramidalis : diperiksa dengan cara mengangkat dan mengerutkan
hidung ke atas.
- M. Orbikularis Okuli : diperiksa dengan cara memejamkan kedua mata
kuat-kuat.
- M. Zigomatikus : diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil
memperlihatkan gigi.
- M. Relever Komunis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut
kedepan sambil memperlihatkan gigi.
- M. Businator : diperiksa dengan cara menggembungkan kedua pipi.
- M. Orbikularis Oris : diperiksa dengan cara menyuruh penderita bersiul.
- M. Triangularis : diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir ke
15
Bawah.
- M. Mentalis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang
Tertutup rapat ke depan.
Pada tiap gerakan dari ke 10 otot tersebut, kita bandingkan antara kanan
dan kiri :
- Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka tiga ( 3 )
- Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu ( 1 )
- Diantaranya dinilai dengan angka dua ( 2 )
- Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka nol ( 0 )
Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan
mempunyai nilai tiga puluh ( 30 ).1
b. Tonus
Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan
terhadap kesempurnaan mimic / ekspresi muka. Freyss menganggap penting
akan fungsi tonus sehingga mengadakan penilaian pada setiap tingkatan
kelompok otot muka, bukan pada setiap otot. Cawthorne mengemukakan
bahwa tonus yang jelek memberikan gambaran prognosis yang jelek. Penilaian
tonus seluruhnya berjumlah lima belas (15) yaitu seluruhnya terdapat lima
tingkatan dikalikan tiga untuk setiap tingkatan. Apabila terdapat hipotonus
maka nilai tersebut dikurangi satu (-1) sampai minus dua (-2) pada setiap
tingkatan tergantung dari gradasinya.1
c. Gustomeri
Sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh n. Korda
timpani, salah satu cabang saraf fasialis.1 Kerusakan pada N VII sebelum
percabangan korda timpani dapat menyebabkan ageusi (hilangnya
pengecapan).2
Pemeriksaan dilakukan dengan cara penderita disuruh menjulurkan lidah,
kemudian pemeriksa menaruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam pada
lidah penderita. Hali ini dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat. Bila
bubuk ditaruh, penderita tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab
16
bubuk akan tersebar melalui ludah ke sisi lidah lainnya atau ke bagian belakang
lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain. Penderita disuruh untuk
menyatakan pengecapan yang dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1 untuk
rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam.2
Pada pemeriksaan fungsi korda timpani adalah perbedaan ambang
rangsang antara kanan dan kiri. Freyss menetapkan bahwa beda 50% antara
kedua sisi adalah patologis.1
d. Salivasi
Pemeriksaan uji salivasi dapat dilakukan dengan melakukan kanulasi
kelenjar submandibularis. Caranya dengan menyelipkan tabung polietilen no
50 kedalam duktus Wharton. Sepotong kapas yang telah dicelupkan kedalam
jus lemon ditempatkan dalam mulut dan pemeriksa harus melihat aliran ludah
pada kedua tabung. Volume dapat dibandingkan dalam 1 menit. Berkurangnya
aliran ludah sebesar 25 % dianggap abnormal. Gangguan yang sama dapat
terjadi pada jalur ini dan juga pengecapan, karena keduanya ditransmisi oleh
saraf korda timpani.4
e. Schimer Test atau Naso-Lacrymal Reflex
Dianggap sebagai pemeriksaan terbaik untuk pemeriksaan fungsi serabut-
serabut pada simpatis dari saraf fasialis yang disalurkan melalui saraf petrosus
superfisialis mayor setinggi ganglion genikulatum. Kerusakan pada atau di atas
saraf petrosus mayor dapat menyebabkan berkurangnya produksi air mata.4,5
Tes Schimer dilakukan untuk menilai fungsi lakrimasi dari mata. Cara
pemeriksaan dengan meletakkan kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm panjang
5-10 cm pada dasar konjungtiva. Setelah tiga menit, panjang dari bagian strip
yang menjadi basah dibandingkan dengan sisi satunya. Freys menyatakan
bahwa kalau ada beda kanan dan kiri lebih atau sama dengan 50% dianggap
patologis.
f. Refleks stapedius
Untuk menilai reflex stapedius digunakan elektoakustik impedans meter,
yaitu dengan cara memberikan ransangan pada muskulus stapedius yang
bertujuan untuk mengetahui fungsi N. stapedius cabang N.VII.
17
g. Uji audiologik
Setiap pasien yang menderita paralisis saraf fasialis perlu menjalani
pemeriksaan audiogram lengkap. Pengujian termasuk hantaran udara dan
hantaran tulang, timpanometri dan reflex stapes. Fungsi saraf cranial kedelapan
dapat dinilai dengan menggunakan uji respon auditorik yang dibangkitkan dari
batang otak. Uji ini bermanfaat dalam mendeteksi patologi kanalis akustikus
internus. Suatu tuli konduktif dapat memberikan kesan suatu kelainan dalam
telinga tengah, dan dengan memandang syaraf fasialis yang terpapar pada
daerah ini, perlu dipertimbangkan suatu sumber infeksi. Jika terjadi
kelumpuhan saraf ketujuh pada waktu otitis media akut, maka mungkin
gangguan saraf pada telinga tengah. Pengujian reflek dapat dilakukan pada
telinga ipsilateral atau kontralateral dengan menggunakan suatu nada yang
keras, yang akan membangkitkan respon suatu gerakan reflek dari otot
stapedius. Gerakan ini mengubah tegangan membrane timpani dan
menyebabkan perubahan impedansi rantai osikular. Jika nada tersebut
diperdengarkan pada belahan telinga yang normal, dan reflek ini pada
perangsangan kedua telinga mengesankan suatu kelainan pada bagian aferen
saraf kranialis.2
h. Sinkinesis
Sinkinesis menetukan suatu komplikasi dari kelumpuhan saraf fasialis
yang sering kita jumpai. Cara mengetahui ada tidaknya sinkinesis adalah
sebagai berikut :1
- Penderita diminta untuk memenjamkan mata kuat-kuat kemudian kita
melihat pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau
pergerakan normal pada kedua sisi dinilai dengan angka dua (2). Kalau
pergerakan pada sisi paresis lebih (hiper) dibandingkan dengan sisi normal
nilainya dikurangi satu (-1) atau dua (-2), tergantung dari gradasinya.
- Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi,
kemudian kita melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah.
Penilaian seperti pada (a).
18
- Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan
emosi) dengan memperhatikan pergerakan otot-otot sekitar mulut. Nilai
satu (1) kalau pergerakan normal. Nilai nol (0) kalau pergerakan tidak
simetris.
Pemeriksaan House-Brackman
Gambaran dari disfungsi motorik fasial ini sangat luas dan karakteristik
dari kelumpuhan ini sangat sulit. Beberapa sistem telah usulkan tetapi
semenjak pertengahan 1980 sistem House-Brackmann yang selalu atau sangat
dianjurkan . pada klasifikasi ini grade 1 merupakan fungsi yang normal dan
grade 6 merupakan kelumpuhan yang komplit. Pertengahan grade ini sistem
berbeda penyesuaian dari fungsi ini pada istirahat dan dengan kegiatan. Ini
diringkas dalam tabel:6
Grade Penjelasan Karakteristik
I Normal Fungsi fasial normal
II Disfungsi Kelemahan yang sedikit yang terlihat pada
ringan inspeksi dekat, bisa ada sedikit sinkinesis.
Pada istirahat simetri dan selaras.
Pergerakan dahi sedang sampai baik
Menutup mata dengan usaha yang minimal
Terdapat sedikit asimetris pada mulut jika
melakukan pergerakan
III Disfungsi Terlihat tapi tidak tampak adanya perbedaan
sedang antara kedua sisi
Adanya sinkinesis ringan
Dapat ditemukam spasme atau kontraktur
hemifasial
Pada istirahat simetris dan selaras
Pergerakan dahi ringan sampai sedang
Menutup mata dengan usaha
19
Mulut sedikit lemah dengan pergerakan yang
maksimum
3. Pemeriksaan penunjang
Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui
kelumpuhan saraf fasialis adalah dengan uji fungsi saraf. Terdapat beberapa uji
fungsi saraf yang tersedia antara lain Elektromigrafi (EMG), Elektroneuronografi
(ENOG).2
a. Elektromiografi (EMG)
EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini bermanfaat
untuk menentukan perjalanan respons reinervasi pasien. Pola EMG dapat
diklasifikasikan sebagai respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau suatu
pola yang kacau yang mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun, nilai
suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis akut. Sebelum 21
20
hari, jika wajah tidak bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial denervasi.
Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang menunjukkan kepulihan
sebagian serabut. Potensial ini terlihat sebelum 21 hari.
b. Elektroneuronografi (ENOG)
ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG
melakukan stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang lebih
distal dari saraf. Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila terdapat
reduksi 90% pada ENOG bila dibandingkan dengan sisi lainnya dalam sepuluh hari,
maka kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna. Fisch Eselin
melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25 persen berakibat penyembuhan
tidak lengkap pada 88 persen pasien mereka, sementara 77 persen pasien yang
mampu mempertahankan respons di atas angka tersebut mengalami penyembuhan
normal saraf fasialis.2
F. Penatalaksanaan
a) Glukokortikoid
Farmakologi dan penggunaan klinis
Glukokortikoid berperan dalam menghambat tiap fase dari respon inflamasi,
obat-obat ini juga memainkan peran penting dalam parahnya inflamasi dan kelainan
“immune-immediate”. Mekanisme pasti oleh keuntungan steroid digunakan tidak
begitu jelas ditemukan dalam banyak kondisi dimana steroid ini digambarkan. Pada
berbagai petunjuk dan indikasi menyatakan penggunaan steroid sebagai empiris.
Penggunaan steroid lebih diarahkan ke fase aku saat serangan, contohnya pada
Cerebral Palsy, tapi tidak berefek penuh pada pemulihan total.
Respon inflamasi di mediasi oleh beberapa bahan-bahan intermediate dan
tipe-tipe sel. Efek anti inflamasi umum dari kortikosteroid antara lain adalah efek
dari denyut pembuluh darah, permiabilitas, dan penekanan dari produksi leukosit
dan biosintesis kolagen. Demopilus et al menerangkan buktti bawa peroksidasi
lemak menginduksi radikal-radikal oksigen bebas membenttuk basis molekul untuk
degenerasi neuron postraumatik dan steroid mengambat proses tersebut. Hall dan
Braugter mengamati secara luas dosis-dosis pre-penatalaksanaan metilprednisolon
21
yang dibutuhkan untuk memproduksi pengaruh anti-oksidan ini, dan pre-
penatalaksanaan dengan dosis yang lebih rendah tidak efektif.
Terapi steroid untuk inlamasi neouropati seperti neuritis optic idiopatik
masih menadi controversial. Sementara glukokortikoid nampak dalam
penggunaanya untuk mengurangi rasa sakit dan memperpendek periode dari
kebutaan, ada sedikit bukti bahwa steroid tersebut mempengaruhi level utama dari
penyembuhan visual.
Sebagai tambahan dari keuntungan ani inflamasi glukokortikoid,
glokokortikoid steroid memfasilitasi aksi dari neuromuscular junction. Efek-efek
yang saling mempengaruhhi dari steroid ini dapat mengkontribusikan
penyembuhan fungsi neuromuskular pada kelainan seperti inflamasi
polyradiculoneuropati (Guilan Barre Syndrom), patologi yang disebabkan
inflamasi, demyelinisasi segmental.
22
Tujuan utama dari terapi glukokortikoid pada facial paralysis akut adalah
menginduksi kontrol anti inflamasi efektif. Regimen dosis glukokortikoid yang
optimal untuk penanganan inflamasi neuritis tergantung dari pemberian
kortikosteroid saat proses penyakit berlangsung. Seperti yang telah ditunjukkan
pada respon EEMG, pemberian glokokortikoid pada Bells Palsy dalam 5-10 hari.
Lesi-lesi pada pada organ-organ lain biasanya hilang 1 sampai 2 minggu,
tampaknya pada inflamasi saraf facial (saraf VII) pada virus ini dapat ditangani
pada periode ini.
Strategi pemberian steroid pada Belss Palsy disarankan dengan oral
prednisone (1mg/kgBB/hari)dibagi menjadi 3 dosis tiap harinya selama 7-10 hari.
Dosis harian harus ditappering off setelah 10 hari. Secara teori regimen dosis ini
memaksimalkan aktivitas anti inflamasi sementara meminimalkan efek samping
dan konsisten dengan anti inflamasi yang efektif pada hipersensitiv akut, autoimun,
dan kelainan inflamasi lainnya.
Efek samping
Efek samping biasanya manifestasi selama tatalaksana steroid jangka
pendek termasuk aksi hiperglikemik. Harus diwaspadai pemberian steroid pada
pasien palsy facial akut yang berhubungan dengan intoleransi glukosa. Efek
samping akut lainnya termasuk perubahan CNS seperti psychotic breaks,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dan iritasi gastrointestinal.
Efek glukokortikoid pada seluler dan komponen-komponen jaringan
inflamasi dapat mengurangi imunitas host terhadap bakteri, virus, dan infeksi
jamur. Infeksi laten dapat reaktivasi dan berkembang. Ditambah lagi pemberian
steroid yang menekan system imun bisa menutupi gejala adanya tanda klinik dari
suatu peyakit infeksi.
b) Terapi Antivirus
Kemoterapi antivirus menghadirkan cara yang lebih baru dalam menangani
facial palsy akut dari penyebab virus. Berdasarkan spectrum dari aktivitasnya,
toksisitas yang rendah, asiklovir (acycloguanosine), analog nukleosida purin
23
sintetik, telah digunakan untuk mencegah HS tipe I dan II, VZ, dan Epstein Barr
virus dan cytomegalovirus. Asiklovir mencegah DNA polymerase dan replikasi
DNA virus dengan bentuk yang dikonversi (difosforilasi), itulah asiklovir bertindak
sebagai analog nukleosida.
Dickens, Smith, dan Graham menyarankan pemberian asiklovir pada deficit
neurologic yang dihasilkan herpes zoster otikus adalah asiklovir intravena
(10mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari). Pemberian antivirus secara dini ini telah
dibuktikan oleh Given mencegah degenerasi dari saraf yang dapat menyebab
hilangnya pendengaran.
c) Dekompresi nervus
Pembedahan dekompresi dari saraf fasial untuk Bells Palsy pernah
dilakukan Balance dan Duel pada tahun 1932. Kemudian penggunaan stimulasi
listrik nervus fasial mulai ditinggalkan. Yang terpenting, segen vertical telah
didekompresi, lalu dekompresi dari seluruh segmen mastoid direkomendasi
(prosedur yang dilakukan adalah termasuk htimpani dan segmen mastoid), dan
akhir-akhir ini segmen labirin termasuk foramen meatal.
Menggunakan pendekatan transmastoid untuk dekompesi saraf, May
menemukan bahwa dekompresi meningkatkan penyembuhan pada pasien yang
stimulasi nervusnya telah berkurang 75%atau lebih. Bagaimanapun, prosedur ini
tidak menampakkan bukti signifikan antara yang mendapatkan operasi yang
sembuh (87% dari 273pasien) dengan pasien yang sembuh dengan sendirinya.
G. Gejala Sisa
Setelah melakukan terapi tersebut sebagian penderita akan sembuh total dan
sebagian akan meninggalkan gejala sisa yang dapat berupa:2
1. Kontraktur
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga plika nasolabialis lebih
jelas terlihat dibanding pada sisi yang sehat. Bagi pemeriksa yang belum
berpengalaman mungkin bagian yang sehat ini yang disangkanya lumpuh,
sedangkan bagian yang lumpuh disangkanya sehat.
24
2. Sinkinesia (associated movement)
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri,
selalu timbul gerakan bersama. Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka otot
orbikularis orispun akan akan ikut berkontraksi dan sudut mulut terangkat. Bila ia
disuruh menggembungkan pipi, kelopak mata ikut merapat.
3. Spasme spontan
Dalam hal ini otot-otot wajah bergerak secara spontan, tidak terkendali. Hal ini
disebut juga tic facialis. akan tetapi tidak semua tic facialis merupakan gejala sisa
dari Bell’s palsy.
H. Prognosis
Sangat bergantung kepada derajat kerusakan n. fasialis. Pada anak prognosis
umumnya baik oleh karena jarang terjadi denervasi total. Penyembuhan spontan
terlihat beberapa hari setelah onset penyakit dan pada anak 90% akan mengalami
penyembuhan tanpa gejala sisa. Jika dengan prednison dan fisioterapi selama 3
minggu belum mengalami penyembuhan, besar kemungkinan akan terjadi gejala
sisa berupa kontraktur otot-otot wajah, sinkinesis, tik fasialis dan sindrom air mata
buaya.
Terapi di Bhayangkara :
PO Candesartan 8 mg 1x1
25
Daftar Pustaka
26
Lampiran
Rasa tebal ++ + + - -
Mual + + - - -
Pusing + + + < -
Nadi 90 88 80 84 88
Respirasi 20 20 20 20 24
Bersiul _ _ _ _ _
27
Planning 9/12 10/12 11/12 12/12 13/12
Inj. Metilprednisolone - + + + -
Inj. Mecobalamin - + + + +
Darah lengkap
Kimia Klinis
28
29
30