Você está na página 1de 19

PREVALENSI PENYAKIT YANG DIAKIBATKAN PARASIT DAN

ARTHROPODA PARASIT DI PUSKESMAS CIPTOMULYO KOTA


MALANG

MAKALAH PENELITIAN
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Parasitologi
yang dibina oleh Dr. Endang Suarsini, M.Ked dan Sofia Ery Rahayu, S.Pd, M.Si

Disusun oleh / Off GHI-K:


Awalia Siska Puji Lestari 150342605762

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
PROGRAM STUDI S1 BIOLOGI
Desemberber 2017
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Cacing sebagai hewan parasit tidak saja mengambil zat-zat gizi dalam usus
anak, tetapi juga merusak dinding usus sehingga mengganggu penyerapan zat-zat
gizi tersebut. Anak–anak yang terinfeksi cacing biasanya mengalami: lesu,
pucat/anemia, berat badan menurun, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang,
kadang disertai batuk–batuk. Meskipun penyakit cacing usus tidak mematikan,
tetapi menggerogoti kesehatan tubuh manusia sehingga berakibat menurunnya
kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. Dalam jangka panjang, hal ini akan
berakibat menurunnya kualitas sumber daya manusia (Mardiana, 2008).
Anak usia sekolah dasar merupakan salah satu sasaran yang menjadi
prioritas dalam program pengendalian kecacingan. Dalam program
pengendalian jangka pendek, salah satunya adalah dengan mengurangi prevalensi
infeksi cacing dengan membunuh cacing itu melalui pengobatan, melalui
pengobatan, intensitas infeksi (jumlah cacing perindividu) dapat ditekan,
sehingga dapat dan gangguan kecerdasan. Akan tetapi oleh karena infeksi yang
terjadi sering tanpa gejala, sehingga penyakit ini dianggap bukanlah
merupakan penyakit yang berbahaya (Chandrashekhar,2005).
Menurut Kattula (2014) tinggi rendahnya fekuensi kecacingan
berhubungan erat dengan kebersihan pribadi dan sanitasi lingkungan menjadi
sumber infeksi. Pencemaran tanah merupakan penyebab terjadinya transmisi
telur cacing dari tanah kepada manusia melalui tangan atau kuku yang
mengandung telur cacing, lalu masuk ke mulut bersama makanan. Di Indonesia
prevalensi kecacingan masih tinggi antara 60% – 90% tergantung pada lokasi dan
kondisi sanitasi lingkungan.
Angka prevalensi dan intensitas infeksi biasanya paling tinggi pada anak
antara usia 3 sampai 9 tahun. Penyakit cacingan tersebar luas, baik di perdesaan
maupun di perkotaan. Angka infeksi tinggi, tetapi intensitas infeksi (jumlah
cacing dalam perut) berbeda. Hasil Survei Cacingan di Puskesmas di beberapa
Provinsi pada tahun 1986-1991 menunjukkan prevalensi sekitar 60% - 80%,
sedangkan untuk semua umur berkisar antara 40%-60%. Hasil Survei Subdit Diare
pada tahun 2002 dan 2003 pada 40 Puskesmas di 10 provinsi menunjukkan
prevalensi berkisar antara 2,2% - 96,3% (Walana,2014).
Penyakit kecacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di perkotaan.
Angka infeksinya tinggi, tetapi intensitas infeksinya (jumlah cacing dalam perut)
berbeda. Diperkirakan lebih dari dua milyar orang terinfeksi cacing di seluruh
dunia dan 300 juta diantaranya menderita infeksi berat dengan 150 ribu kematian
terjadi setiap tahun akibat infeksi cacing usus Soil Transmitted Helmints (STH)
(DepKes RI, 2007).
Mengingat dampak yang ditimbulkan oleh infeksi cacing cukup serius,
maka perlu dilakukan pengendalian penyakit ini secara efektif dan memperbaiki
derajat kesehatan masyarakat. Program pengobatan yang dilakukan sangat
bergantung pada data prevalensi kecacingan, oleh karena itu seluruh kegiatan
harus diawali dengan mendapatkan angka prevalensi kecacingan melalui
pemeriksaan observasi data di Puskesmas mengenai penderita kecacingan.
Kota Malang merupakan salah satu kota yang ada di Jawa Timur,
sebagian besar wilayahnya berupa dataran tinggi dan terdapat hutan dengan iklim
tropis yang sangat mendukung terjadinya perkembangbiakan dan penularan
cacing usus. Dalam menanggulangi adanya penyebaran penyakit cacingan
terutama pada anak yang tinggal di perkotaan maka perlu dilakukan survei
pemeriksaan data di Puskesmas mengenai adanya infeksi cacingan di daerah
Sukun atau puskesmas yang berada di Sukun salah satunya yaitu Puskesmas
Ciptomulyo.

Rumusan Masalah
Rumusan masalah proposal penelitian tersebut sebagai berikut:
1. Bagaimanakah prevalensi penyakit yang diakibatkan parasit di Puskesmas
Ciptomulyo Kota Malang?
2. Apakah terdapat hubungan tingkat pendidikan dengan adanya penyakit
yang diakibatkan parasit di Puskesmas Ciptomulyo Kota Malang?

Tujuan
Tujuan proposal penelitian tersebut sebagai berikut:
1. Mengetahui prevalensi penyakit yang diakibatkan parasit di Puskesmas
Ciptomulyo Kota Malang.
3. Mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan penyakit yang
diakibatkan parasit di Puskesmas Ciptomulyo Kota Malang.

Manfaat
a. Bagi Instansi
Memberikan informasi bagi instansi terkait khususnya Puskesmas
Ciptomulyo tentang prevalensi penyakit yang diakibatkan parasit sehingga
dapat dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan dan penanggulangan
kecacingan atau penyakit akibat parasit di Puskesmas Ciptomulyo Malang.
a. Bagi institusi pendidikan
Menambah daftar kepustakaan penelitian dalam perkembangan Ilmu
Parasitologi dan Ilmu Kesehatan.
b. Bagi peneliti
Menambah pengalaman serta wawasan mengenai teori yang didapat dari
penelitian.
KAJIAN PUSTAKA

Penyakit Yang Diakibatkan Parasit

A. Oxyuriasis
Oxyuriasis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya infeksi
usus yang disebabkan oleh cacing Oxyuris vermicularis. Oxyuris vermicularis
adalah nematoda usus yang tipis, putih yang habitatnya di usus besar dan rectum.
Cacing ini penyebarannya sangat luas hampir diseluruh dunia bisa dijumpai, tetapi
frekuensinya jarang pada orang kulit hitam. Nama lain Oxyuris vermicularis
antara lain Enterobius vermicularis, pin worm, dan cacing kremi. Penyakit akibat
parasit Oxyuris biasa disebut sebagai kreminan (Staf Pengajar Bagian
Parasitologi, 2004). Telur oxyuris berbentuk oval asimetris, dengan salah satu
sisinya datar ukuran panjang antara 50 – 60 μm dan lebar 20 – 32 μm dinding 2
lapis tipis dan transparan, Bagian dinding luar merupakan lapisan albumin yang
bersifat mechanical protection, sedangkan dinding dalam merupakan lapisan
lemak yang bersifat chemical protection telur selalu berisi larva (CDC, 2013).
Gejala klinis Oxyuriasis dapat dilihat dengan adanya peradangan ringan
pada bagian mukosa usus akibat adanya pelekatan kepala cacing pada bagain
tersebut. Terjadi obstruksi usus jika cacing berada pada usus dalam jumlah yang
banyak. Peradangan dengan gejala (pruritus anu) gejala gatal sampai nyeri yang
semakin terasa ketika malam hari (nocturnal itching). Jika larva dari daerah
perianal melakukan migrasi ke vagina, dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada
vagina yang disebut sebagai vaginitis (Craigh, 2009).

Gambar 1. Morfologi telur O. vermicularis


B. Amoebiasis
Amoebiasis merupakan suatu infeksi yang disebabkan oleh parasit
Entamoeba histolytica dengan, penyakit ini disebut sebagai penyakit bawaan
makanan (Food Borne Disease). Entamoeba histolytica juga dapat menyebabkan
Dysentery amoeba, penyebarannya banyak dijumpai pada daerah tropis dan
subtropis terutama pada daerah yang sosio ekonomi lemah dan hygiene
sanitasinya jelek (Staf Pengajar Bagian Parasitologi, 2004). Amoebiasis tersebar
luas diberbagai negara di seluruh dunia. Pada berbagai survei menunjukkan
frekuensi diantara 0,2 – 50 % dan berhubungan langsung dengan sanitasi
lingkungan sehingga penyakit ini akan banyak dijumpai pada daerah tropik dan
subtropik yang sanitasinya jelek, dan banyak dijumpai juga dirumah-rumah sosial,
penjara, rumah sakit jiwa dan lain-lain.
Klasifikasi amoebiasis menurut WHO dibagi dalam asimtomatik dan
simptomatik, sedang yang termasuk amoebiasis simptomatik yaitu amoebiasis
intestinal yaitu dysentri, nondysentri colitis, amoebic appendicitas ke orang lain
oleh pengandung kista Entamoeba hitolytica yang mempunyai gejala klinik
(simptomatik) maupun yang tidak (asimptomatik) (Brotowidjoyo, 2008).
Entamoeba histolytica mempunyai bentuk trofozoit dan kista seperti yang dapat
dilihat pada Gambar 2. Bentuk trofozoitnya memiliki ukuran 10-60 µm dengan
sitoplasma berglanular dan mengandung eritrosit seperrti yang terlihat pada
Gambar 2., terdapat satu buah inti yang ditandai dengan adanya karyosom padat
yang terletak pada bagian tengah inti, serta memiliki kromatin yang tersebar
dibagian pinggir inti. Trofozoit dapat bergerak dengan alat gerak ektoplasma yang
lebar yang disebut sebagai pseudopodia. Sedangkan bentuk kistanya seperti yang
terlihat pada Gambar 3. yaitu berukuran 10-20 µm dengen bentuk memadat dan
mendekati bulat, memiliki 4 bauh inti, serta tidak terdapat eritrosit, kista yang
belum matang memiliki glikogen dan berbentuk seperti cerutu, dan akan
menghilang ketika kista telah matang (Gandhusada, 2002).
A B

Gambar 2. A.Tropozoit. B. Kista E. histolytica

Gejala-gejala klinik dari amoebiasis tergantung daripada lokalisasi dan


beratnya infeksi. Penyakit disentri yang ditimbulkannya hanya dijumpai pada
sebagian kecil penderita tanpa gejala dan tanpa disadari merupakan sumber
infeksi yang penting yang kita kenal sebagai “carrier”, terutama didaerah dingin,
yang dapat mengeluarkan berjuta-juta kista sehari. Penderita amoebiasis
intestinalis sering dijumpai tanpa gejala atau adanya perasaan tidak enak diperut
yang samar-samar, dengan adanya konstipasi, lemah dan neurastenia. Infeksi
menahun dengan gejala subklinis dan terkadang dengan eksaserbasi kadang-
kadang menimbulkan terjadinya kolon yang “irritable” sakit perut berupa kolik
yang tidak teratur (Gandhusada, 2002). Amoebiasis yang akut mempunyai masa
tunas 1 – 14 minggu. Dengan adanya sindrom disentri berupa diare yang berdarah
dengan mukus atau lendir yang disertai dengan perasaan sakit perut dan
tenesmusani yang juga sering disertai dengan adanya demam. Amoebiasis yang
menahun dengan serangan disentri berulang terdapat nyeri tekan setempat pada
abdomen dan terkadang disertai pembesaran hati. Penyakit menahun yang
melemahkan ini mengakibatkan menurunnya berat badan (Oemijati, 2010).
Penyakit Yang Diakibatkan Arthropoda Parasit Sebagai Agen dan Vektor
A. Skabies
Skabies adalah penyakit kulit akibat investasi dan sensitisasi oleh tungau
Sarcoptes scabei seperti yang terlihat pada Gambar 3. Adanya rasa gatal pada
malam hari merupakan gejala utama yang mengganggu aktivitas dan produktivitas
(Sladden, 2005). Faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini antara lain
sosial ekonomi yang rendah, higiene yang buruk, hubungan seksual dan sifatnya
promiskuitas (ganti-ganti pasangan), kesalahan diagnosis dan perkembangan
demografi serta ekologi (Sladden, 2005). Penularan penyakit skabies dapat terjadi
secara langsung maupun tidak langsung, adapun cara penularannya adalah
a. Kontak langsung (kulit dengan kulit). Penularan skabies terutama melalui
kontak langsung seperti berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan
seksual. Pada orang dewasa hubungan seksual merupakan hal tersering,
sedangkan pada anak-anak penularan didapat dari orang tua atau temannya.
b. Kontak tidak langsung (melalui benda). Penularan melalui kontak tidak
langsung, misalnya melalui perlengkapan tidur, pakaian atau handuk dahulu
dikatakan mempunyai peran kecil pada penularan. Namun demikian,
penelitian terakhir menunjukkan bahwa hal tersebut memegang peranan
penting dalam penularan skabies dan dinyatakan bahwa sumber penularan
utama adalah selimut.
Departemen Kesehatan RI (2007) memberikan beberapa cara pencegahan
yaitu dengan dilakukan penyuluhan kepada masyarakat dan komunitas kesehatan
tentang cara penularan, diagnosis dini dan cara pengobatan penderita skabies dan
orang-orang yang kontak dengan penderita skabies,meliputi:
a. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya. Laporan kepada
Dinas Kesehatan setempat namun laporan resmi jarang dilakukan.
b. Isolasi santri yang terinfeksi dilarang masuk ke dalam pondok sampai
dilakukan pengobatan. Penderita yang dirawat di Rumah Sakit diisolasi
sampai dengan 24 jam setelah dilakukan pengobatan yang efektif. Disinfeksi
serentak yaitu pakaian dalam dan sprei yang digunakan oleh penderita
dalam 48 jam pertama sebelum pengobatan dicuci dengan menggunakan
sistem pemanasan pada proses pencucian dan pengeringan, hal ini dapat
membunuh kutu dan telur.

Gambar 3. Sarcoptes scabei


B. Demam Berdarah
Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh
virus Dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti
dan Aedes Albocpictus seperti yang terlihat pada Gambar 4. Dalam hal ini,
arthropoda parasit berfungsi sebagai vektor. Di Indonesia merupakan wilayah
endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air (Kemenkes, 2017). Gejala
yang akan muncul seperti ditandai dengan demam mendadak, sakir kepala, nyeri
belakang bola mata, mual dan menifestasi perdarahan seperti mimisan atau gusi
berdarah serta adanya kemerahan di bagian permukaan tubuh pada penderita. Pada
umumnya penderita DBD (Demam Berdarah Dengue) akan mengalami fase
demam selama 2-7 hari (Kemenkes, 2017).

Gambar 4. Aedes Albocpictus sebagai vektor DBD


C. Malaria
Penyebabnya malaria adalah plasmodium jenis P. falciparum, P. malariae,
P. vivax, dan P. ovale. P. falciparum banyak ditemukan di daerah tropis, dan
dapat beresiko kematian bagi orang yang pempunyai kadar imunitas rendah.
Parasit ini disebarkan oleh nyamuk dari famili Anopheles seperti yang terlihat
pada Gambar 5 (WHO, 2005). Diketahui lebih dari 422 spesies Anopheles di
dunia dan sekitar 60 spesies berperan sebagai vektor malaria yang alami. Di
Indonesia hanya ada 80 spesies dan 22 diantaranya ditetapkan menjadi vektor
malaria. 18 spesies dikomfirmasi sebagai vektor malaria dan 4 spesies diduga 27
berperan dalam penularan malaria di Indonesia. Nyamuk tersebut hidup di daerah
tertentu dengan kondisi habitat lingkungan yang spesifik seperti daerah pantai,
rawa-rawa, persawahan, hutan dan pegunungan. Nyamuk Anopheles dewasa
adalah vektor penyebab malaria. Nyamuk betina dapat bertahan hidup selama
sebulan. Siklus nyamuk Anopheles terdiri dari fase telur, larva kepompong dan
selanjutnya menjadi nyamuk dewasa (Arsin, 2012).
Gejala malaria terdiri dari beberapa serangan demam dengan interval
tertentu (disebut parokisme), diselingi oleh suatu periode yang penderitanya bebas
sama sekali dari demam disebut periode laten. Gejala yang khas tersebut biasanya
ditemukan pada penderita non imun. Sebelum timbulnya demam, biasanya
penderita merasa lemah, mengeluh sakit kepala, kehilangan nafsu makan, merasa
mual, di ulu hati, atau muntah semua gejala awal ini disebut gejala prodormal.
Masa tunas malaria sangat tergantung pada spesies Plasmodium yang
menginfeksi. Masa tunas paling pendek dijumpai pada malaria falciparum, dan
terpanjang padamalaria kuartana (P.malariae). Pada malaria yang alami, yang
penularannya melalui gigitan nyamuk, masa tunas adalah 12 hari (9-14) untuk
malaria falciparum, 14 hari (8-17 hari) untuk malaria vivax, 28 hari (18-40 hari)
untuk malaria kuartana dan 17 hari (16-18 hari) untuk malaria ovale. Malaria yang
disebabkan oleh beberapa strain P.vivax tertentu mempunyai masa tunas yang
lebih lama dari strain P.vivax lainnya. Selain pengaruh spesies dan strain, masa
tunas bisa menjadi lebih lama karena pemakaian obat anti malaria untuk
pencegahan (kemoprofilaksis) (Hakim, 2011).

Gambar 5. Aedes Albocpictus sebagai vektor DBD


METODE
Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Deskriptif. Dengan
menggunakan desain penelitian Case Control, karena desain ini bersifat
retrospektif, yaitu menelusuri ke belakang penyebab yang dapat menimbulkan
suatu penyakit di masyarakat, dalam hal ini adalah penyakit yang diakibatkan
parasit dan arthropoda parasit.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dan sampel penelitian ini adalah semua pasien yang terinfeksi
penyakit oleh parasit di Puskesmas Ciptomulyo Kota Malang yang tercatat di
rekam medic.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Puskesmas Ciptomulyo Kota Malang yang terletak
di Jl. Kol. Sugiono VIII No. 54, Ciptomulyo, Sukun, Kota Malang, Jawa
Timur 65148. Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan November sampai
dengan bulan Desember 2017.

Gambar 1. Peta Lokasi Puskesmas Ciptomulyo.


Sumber: https://www.google.co.id/maps/
Gambar 2. Foto Lokasi Puskesmas Ciptomulyo
Lokasi : di Jl. Kol. Sugiono VIII No. 54, Ciptomulyo, Sukun, Kota Malang
Sumber: https://www.google.co.id/maps/

Pengumpulan dan Analisis Data


Teknik pengumpulan data dilakukan dengan pengumpulan data responden
yang tercatat di rekam medic Puskesmas Ciptomulyo, Kota Malang. Data yang
telah diperoleh selanjutnya akan dianalisis secara deskriptif dan menggunakan
metode perhitungan frekuensi untuk mengetahui prevalensi penyakit akibat parasit
yang paling tinggi, sehingga dapat dibahas dengan cara mengaitkan kebiasaan
warga sekitar maupun kedaan lingkungan tempat tinggal masyarakat dengan
frekuensi penyakit tertinggi.
HASIL DAN ANALISIS
Data rekam medic dari Puskesmas Ciptomulyo yang berupa jumlah pasien
yang mengalami penyakit yang diakibatkan parasit dan arthropoda parasit dapat
dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Jumlah Pasien yang Terjangkit Penyakit Akibat Parasit dan Arthropoda Parasit di
Puskesmas Ciptomulyo, Sukun, Kota Malang Pada Januari-Oktober 2017.
No. Nama Penyakit Jumlah Penderita
1. Scabies 43
2. Malaria 1
3. Amoebiasis 27

Dari Tabel 1 tersebut dapat diketahui bahwa terdapat 3 jenis penyakit yang
diakibatkan oleh parasit dan arthropoda parasit di daerah Sukun, kota Malang,
yang tercatat dalam data Puskesmas Ciptomulyo pada periode Januari sampai
dengan Oktober 2017. Ketiga penyakit tersebut adalah Scabies, Malaria, dan
Amoebiasis. Jumlah pasien yang terjangkit scabies sebanyak 43 orang, jumlah
pasien yang terjangkit malaria sebanyak 1 orang, dan jumlah pasien yang
terjangkit amoebiasis sebanyak 27 orang.
Setelah didapatkan data tersebut, maka dihitung prevalensinya. Prevalensi
dapat diartikan sebagai jumlah orang dalam populasi yang mengalami penyakit,
gangguan atau kondisi tertentu pada suatu tempo waktu dihubungkan dengan
besar populasi dari mana kasus itu berasal. Puskesmas Ciptomulyo merupakan
Puskesmas yang berada di Kelurahan Ciptomulyo, Kecamatan Sukun, Kota
Malang. Perhitungan prevalensi penyakit (%) diperoleh dari jumlah penduduk
Kelurahan Ciptomulyo pada periode Januari-Oktober 2017, yaitu 18.742
penduduk. Prevalensi penyakit scabies, malaria, dan amoebiasis ditunjukkan pada
Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Prevalensi penyakit scabies, malaria, dan amoebiasis di kelurahan Ciptomulyo,
Sukun, Kota Malang pada periode Januari-Oktober 2017.
No. Nama Penyakit Prevalensi
1. Scabies 0,22%
2. Malaria 0,005%
3. Amoebiasis 0,14%

Dari Tabel 2 tersebut, dapat diketahui bahwa prevalensi penyakit scabies


di kelurahan Ciptomulyo, Sukun, Kota Malang adalah 0,23% dari jumlah
penduduk sebanyak 18.742 jiwa. Prevalensi penyakit malaria sebesar 0,005%, dan
prevalensi penyakit amoebiasis sebesar 0,14%. Dari data tersebut, dapat
divisualisasikan dengan grafik batang agar lebih mudah untuk dipahami. Grafik
prevalensi penyakit scabies, malaria, dan amoebiasis di kelurahan Ciptomulyo,
Sukun, Kota Malang yang tercatat di Puskesmas Ciptomulyo dapat dilihat pada
Grafik 1 berikut.

0.25%

0.20% 0.22%

0.15%
0.14%
0.10%

0.05%

0.01%
0.00%
Scabies Malaria Amoebiasis

Grafik 1. Prevalensi penyakit scabies, malaria, dan amoebiasis di kelurahan Ciptomulyo,


Sukun, Kota Malang Januari-Oktober 2017.
PEMBAHASAN

Dari analisis data, didapatkan hasil bahwa penyakit yang diakibatkan


parasit dan arthropoda parasit pada kelurahan Ciptomulyo, Sukun, Kota Malang
terdapat 3 jenis penyakit, yaitu Scabies, Malaria, dan Amoebiasis. Dari ketiga
jenis penyakit tersebut, prevalensi scabies adalah yang paling tinggi, yakni sebesar
0.22%. Di posisi kedua ada penyakit amoebiasis dengan prevalensi sebesar
0,14%. Dan prevalensi terendah yaitu penyakit malaria dengan prevalensi 0,05%.
Skabies adalah penyakit kulit akibat investasi dan sensitisasi oleh tungau
Sarcoptes scabei. Adanya rasa gatal pada malam hari merupakan gejala utama
yang mengganggu aktivitas dan produktivitas (Sladden, 2005). Faktor yang
menunjang perkembangan penyakit ini antara lain sosial ekonomi yang rendah,
higiene yang buruk, hubungan seksual dan sifatnya promiskuitas (Sladden, 2005).
Tingginya prevalensi penyakit skabies tersebut dapat dikaitkan dengan kondisi
sosial ekonomi penduduk kelurahan Ciptomulyo. Dimana sebagian besar mata
pencaharian warga sebagai pedagang, pengusaha kecil menengah (UMKM),
pengusaha dibidang jasa bengkel, penjual jamu gendong, warung makanan,
pedagang burung, pedagang baju, usaha peracangan, penjual pulsa, penjahit,
penjual buah dan depo air (Setiadjit, dkk., 2015). Mata pencaharian penduduk
kelurahan Ciptomulyo tersebut pada dasarnya mengandalkan kontak secara
langsung, yakni misalnya antara penjual dan pembali pasti melakukan kontak
tangan. Sehingga penyebaran penyakit Scabies mudah terjadi.
Kondisi suhu kelurahan Ciptomulyo setiap harinya berkisar antara 20o
hingga 30oC. Sementara curah hujannya sekitar 210 mm/th (Albara, 2015).
Kondisi lingkungan tersebut dapat dikatakan dalam kondisi yang cukup lembab.
Kondisi yang lembab tersebut dapat mendukung perkembangbiakan dari
Sarcoptes scabei itu sendiri yang merupakan arthropoda parasit yang berperan
sebagai agen penyakit. Menurut Abidin (2016) yang termuat dalam surat kabar
SURYA MALANG, pada RW 02 dan RW 05 kelurahan Ciptomulyo, sebagian
penduduk disana masih menggunakan fasilitas WC umum yang kondisinya
kurang memadai dan sangat kotor. Dari hal tersebut, nampak bahwa sanitasi
lingkungan pada kelurahan Ciptomulyo, khususnya pada RW 2 dan RW 5 masih
buruk. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa personal hygiene dari penduduk
kelurahan Ciptomulyo masih dalam taraf yang rendah. Hal tersebutlah yang dapat
memungkinkan perkembangbiakan serta penyebaran penyakit scabies.
Selain penyakit scabies, sanitasi yang buruk juga dapat mengakibatkan
penyakit amoebiasis yang menempati prevalensi kedua. Amoebiasis merupakan
suatu infeksi yang disebabkan oleh parasit Entamoeba histolytica. Penyebarannya
banyak dijumpai pada daerah tropis dan subtropis terutama pada daerah yang
sosio ekonomi lemah dan hygiene sanitasinya jelek (Staf Pengajar Bagian
Parasitologi, 2004). Sesuai dengan permyataan tersebut sejalan dengan kondisi
sosio-ekonomi penduduk kelurahan Ciptomulyo yang dapat dikatakan masih
lemah. Penggunaan WC secara bersama dengan fasilitas yang kurang memadai,
menjadi salah satu penyebab adanya penyakit amoebiasis.
Penyakit yang ketiga adalah malaria. Penyakit malaria adalah penyakit
yang diakibatkan oleh Plasmodium jenis P. falciparum, P. malariae, P. vivax, dan
P. ovale. Penyakit malaria tersebut dibawa oleh vektor yang berupa nyamuk
Anopheles, khususnya nyamuk Anopheles betina. Nyamuk betina dapat bertahan
hidup selama sebulan. Siklus nyamuk Anopheles terdiri dari fase telur, larva
kepompong dan selanjutnya menjadi nyamuk dewasa (Arsin, 2012). Pada
kelurahan Ciptomulyo, prevalensi penyakit malaria dapat dikatakan rendah, yakni
sebesar 0,05%. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan
IbM KELURAHAN CIPTOMULYO KOTA MALANG DALAM
MENGOLAH DAUN TANAMAN ALLOE VERA SEBAGAI
BAHAN
UTAMA KOMODITAS PRODUK MAKANAN
1) Dhayal Gustopo Setiadjit, 2) Faidliyah Nilna Minah, 3) Taufik
Hidayat.
INDUSTRI INOVATIF Vol. 5, No. 2, September 2015: 13 - 15

https://ngalam.co/2015/12/30/profil-kecamatan-sukun-malang/

DAFTAR RUJUKAN
Direktorat Jenderal PP & PL. Pedoman pengendalian kecacingan. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2007.

Chandrashekhar, TS.,et al. 2005. Prevalence and distribution of intestinal


parasitic infestations among school children in Kaski District, Western
Nepal. CMS UNIBEN JMBR; 4(1): 78-82.

Kattula, D. et al. 2014. Prevalence & risk factors for soil transmitted helminth
infection among school children in south India. Indian J Med Res 139: 6-82.

Mardiana dan Djarismawati. 2008. Prevalensi Cacing Usus Pada Murid Sekolah
Dasar Wajib Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan
Kemiskinan Daerah Kumuh Di Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi
Kesehatan Vol. 7 No. 2 : 769 – 774.

Walana, W. et al. 2014. Prevalence of hookworm infection: A retrospective study


in Kumasi, Ghana. Science Journal of Public Health; 2(3): 196-199.

Você também pode gostar