Você está na página 1de 122

1

ANALISA PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN


ACUTE CORONARY SYNDROME (ACS) UNSTABLE ANGINA PECTORIS
(UAP) DENGAN INTERVENSI INOVASI TEKNIK FOOT HAND MASSAGE
TERHADAP PENURUNAN NYERI DADA
DI RUANG ICCU RSUD A.W. SJAHRANIE
SAMARINDA TAHUN 2016

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

DIAJUKAN OLEH

AFRILIYA WIDIASTUTI, S.Kep.

15.113082.5.0164

PROGRAM PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH

SAMARINDA

2016
2

ANALISA PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN


ACUTE CORONARY SYNDROME (ACS) UNSTABLE ANGINA PECTORIS
(UAP) DENGAN INTERVENSI INOVASI TEKNIK FOOT HAND MASSAGE
TERHADAP PENURUNAN NYERI DADA
DI RUANG ICCU RSUD A.W. SJAHRANIE
SAMARINDA TAHUN 2016

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

DIAJUKAN OLEH

AFRILIYA WIDIASTUTI, S.Kep.

15.113082.5.0164

PROGRAM PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH

SAMARINDA

2016

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN


3

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Afriliya Widiastuti, S.Kep


NIM : 15.113082.5.0164
Program Studi : Profesi Ners
Judul KIAN : Analisa Praktik Klinik Keperawatan pada Klien
dengan Acute Coronary Syndrome (ACS) Unstable
Angina Pectoris (UAP) dengan Intervensi Inovasi
Tehnik foot hand massage terhadap penurunan
gejala sesak di ruang ICCU RSUD Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda 2016”.

Menyatakan bahwa karya ilmiah akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya
sendiri, bukan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai
tulisan atau pikiran saya sendiri. Semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah
saya nyatakan dengan benar

Samarinda, 8 Agustus 2016


Mahasiswa

Afriliya Widiastuti, S.Kep.


NIM. 15.113082.5.0164
4

LEMBAR PERSETUJUAN

ANALISA PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN


ACUTE CORONARY SYNDROMS (ACS) UNSTABLE ANGINA PECTORIS
(UAP) DENGAN INTERVENSI INOVASI TEKNIK FOOT HAND MASSAGE
TERHADAP PENURUNAN NYERI DADA
DI RUANG ICCU RSUD A.W. SJAHRANIE
SAMARINDA TAHUN 2016

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

Disusun Oleh :
Afriliya Widiastuti, S.Kep.
15.113083.5.0.164

Disetujui Untuk diujikan


Pada Tanggal, 8 Agustus 2016

Pembimbing

Ns. Alfi Ari Fakhrul Rizal, M.Kep


NIDN. 1111038602

Mengetahui,
Koordinator, Mata Kuliah Elektif

Ns. Siti Khoiroh Muflihatin, S.Kep, M.Kep


NIDN. 1115017703
5

LEMBAR PENGESAHAN

ANALISA PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN


ACUTE CORONARY SYNDROMS (ACS) UNSTABLE ANGINA PECTORIS
(UAP) DENGAN INTERVENSI INOVASI TEKNIK FOOT HAND MASSAGE
TERHADAP PENURUNAN NYERI DADA
DI RUANG ICCU RSUD A.W. SJAHRANIE
SAMARINDA TAHUN 2016

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

Disusun Oleh :
Afriliya Widiastuti, S.Kep.
15.113083.5.0.164

Diseminarkan dan Diujikan


Pada tanggal, 8 Agustus 2016

Penguji I Penguji II Penguji III

Ns. Elisda H. Pakpahan, S.Kep. Ghozali MH, SST., M.Kes. Ns. Alfi Ari Fakhrul Rizal, M.Kep
NIP.198109212011012001 NIDN. 1114077102 NIDN. 1111038602

Mengetahui,
Ketua
Program Profesi Ners

Ns. Siti Khoiroh Muflihatin, S. Kep., M.Kep


NIDN. 1115017703
6

Motto

Sometimes, we got through the worst to get to the best

The happiest people don’t have the best of everything, they just make
the best everything they have
7

ANALISA PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN


ACUTE CORONARY SYNDROME (ACS) UNSTABLE ANGINA PECTORIS
(UAP) DENGAN INTERVENSI INOVASI TEKNIK FOOT HAND MASSAGE
TERHADAP PENURUNAN NYERI DADA DI RUANG
ICCU RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA TAHUN 2016

Afriliya Widiastuti 1 , Alfi Ari Rizal2

INTISARI

Penyakit kardiovaskuler merupakan salah satu jenis penyakit yang saat ini banyak diteliti dan
dihubungkan dengan gaya hidup seseorang. Penyakit ini merupakan penyebab kematian nomor
satu di dunia. Acute Coronery Syndrome (ACS) sendiri merupakan bagian dari penyakit jantung
koroner (PJK) dimana yang termasuk ke dalam Acute Coronery Syndrome (ACS) adalah angina
pektoris tidak stabil (Unstable Pectoris/UAP), infark miokard dengan ST Elevasi (ST Elevation
Myocard Infarct (STEMI), dan infark miokard tanpa ST Elevasi ( Non ST Elevation Myocard
Infarct (STEMI). Penulisan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIAN) ini bertujuan untuk melakukan
analisa terhadap kasus kelolaan dengan klien Unstable Pectoris (UAP) dengan nyeri dada di
ruang Intensif Cardiac Care Unit (ICCU) Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda. intervensi inovasi yang digunakan adalah pengaruh Foot Hand Massage terhadap
nyeri dada. Berdasarkan data yang telah didapat dilihat adanya perubahan pengaruh pemberian
terapi Foot Hand Massage terhadap Penurunan nyeri sebelum dan sesudah diberikan intervensi.

Kata kunci: Acute Coronery Syndrome (ACS) , Foot Hand Massage, Nyeri dada

1
Mahasiswa Keperawatan, STIKES Muhammadiyah Samarinda
2
Dosen STIKES Muhammadiyah Samarinda
8

ANALISIS OF NURSING CLINICAL PRACTICE IN PATIENTS


ACUTE CORONARY SYNDROME (ACS) UNSTABLE ANGINA PECTORIS
(UAP) WITH INTERVENTION TECHNIQUE INNOVATION HAND FOOT
MASSAGE DECREASE OF CHEST PAIN IN THE ROOM ICCU
ABDUL WAHAB SJAHRANIE HOSPITAL
SAMARINDA 2016

Afriliya Widiastuti 1 , Alfi Ari Rizal2

Cardiovascular disease is one type of disease that is currently widely studied and associated with
a person's lifestyle. This disease is the number one cause of death in the world. Acute Coronery
Syndrome (ACS) is a part of coronary heart disease (CHD) which included in the Acute
Coronery Syndrome (ACS) are unstable angina pectoris (Unstable pectoris / UAP), myocardial
infarction with ST elevation (ST Elevation myocardial infarcts ( STEMI), myocardial infarction
without ST elevation (Non ST Elevation myocardial infarcts (STEMI). Nurses final scientific work
aims to analyze the cases managed by the client Unstable pectoris (UAP) with chest pain in the
Intensive Cardiac Care unit (ICCU) of the Abdul Wahab Sjahranie’s hospital Samarinda.
interventions innovation used is the influence of Hand Foot Massage the chest pain. Evaluation
of the intervention Hand Foot Massage indicate that there ia a decrease in pain before and after
the intervention.

Keywords: Acute Coronery Syndrome (ACS) , Foot Hand Massage, chest pain

1
Bachelor of Ners Program STIKES Muhammadiyah Samarinda
2
Lecture of STIKES Muhammadiyah Samarinda
9

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, taufik

dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam

tak lupa disampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarga, dan

sahabatnya, serta pengikutnya hingga akhir zaman.

Karya Ilmiah Akhir Ners yang berjudul “Analisa Praktik Klinik Keperawatan pada Klien

dengan pasien Acut Coronary Syndrome (ACS) Unstable Angina Pectoris/UAP dengan

intervensi inovasi Teknik Foot Hand Massage terhadap penurunan nyeri dada di ruang

ICCU RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2016” disusun dalam rangka

memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan Strata I program studi

Ilmu Keperawatan di STIKES Muhammadiyah Samarinda tahun 2015.

Selama proses pembuatan Skripsi penelitian ini, penulis banyak memperoleh bantuan,

motivasi, dukungan dan dorongan semangat dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis

ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Allah SWT, yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan pada manusia apa yang

tidak diketahui.

2. Rasulullah SAW, yang telah membawa umatnya dari zaman jahiliah menuju zaman

yang terang benderang.

3. Bapak Ghozali MH, M.Kes Selaku Ketua STIKES Muhammadiyah Samarinda dan

selaku penguji II.

4. Ibu Ns. Siti Khoiroh, M.Kep sebagai Ketua Prodi S1 Keperawatan dan Koordinator

Mata Ajar Elektif Program Studi Profesi Ners.


10

5. Ibu Ns. Elisda H. Pakpahan, S.Kep selaku penguji I yang telah memberikan motivasi

dan dukungan dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah Akhir Ners.

6. Bapak Ns.Alfi Ari Rizal,S.Kep, M.Kep selaku pembimbing yang senantiasa

memberikan bimbingan, motivasi, dan arahan dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah

Akhir Ners.

7. Kepada seluruh dosen dan staf pendidikan pada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Muhammadiyah Samarinda.

8. Bapak Paimin, SST. Selaku kepala ruangan dan seluruh staff yang telah memberikan

kesempatan praktik di ruang Intensive Cardiac Care Unit (ICCU).

9. Bapak Arief R., S.Kep selaku CCM yang telah memberikan bimbingan selama

prkatik di ruang Intensive Cardiac Care Unit (ICCU).

10. Kepada Bapak Mad Karta dan Ibu Rohimah yang selalu memberikan doa dan

restunya, dan cinta yang tak terhingga.

11. Kepada kawan stase elektif ICCU yang selalu memberikan semangat.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi penelitian ini masih terdapat kekurangan dan

masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun sangat

penulis harapkan sehingga dapat bermanfaat secara maksimal untuk semua pihak dan

dapat digunakan sebagai mana mestinya.

Wassalamualaikum.Wr. Wb
11

DAFTAR ISI

Halaman Sampul

Halaman Judul ............................................................................................. i

Halaman Pernyataan Keaslian Penelitian .................................................... ii

Lembar Persetujuaan .................................................................................... iii

Lembar Pengesahan ..................................................................................... iv

Motto ............................................................................................................ v

Intisari .......................................................................................................... vi

Abstract ........................................................................................................ vii

Kata Pengantar ............................................................................................. viii

Daftar Isi ...................................................................................................... xi

Daftar Tabel ................................................................................................. xiv

Daftar Gambar ............................................................................................. xv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1

B. Rumusan Masalah ......................................................................... 5

C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 6

D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Jantung ..................................................... 9

1. Anatomi Jantung. .................................................................... 9

2. Persyarafan Jantung. ............................................................... 12

3. Elektrofisiologi Jantung. ......................................................... 14

4. Siklus Jantung. ........................................................................ 18

5. Sistem peredaran darah ........................................................... 19


12

B. Penertian Acute Coronary Syndrome (ACS)

1. Definisi .................................................................................... . 20

2. Etiologi dan Faktor Risiko………………...……………..… 23

3. Pathway …………………………..…………………......… 23

4. Manifestasi Klinis. .................................................................. 25

5. Patofisiologis........................................................................... 25

6. Pemeriksaan Penunjang .......................................................... 28

7. Penatalaksanaan. ..................................................................... 30

8. Komplikasi …………………………………………………. 34

9. Prognosis ……………….……………………………….… 35

C. Konsep Nyeri. ............................................................................... 35

1. Pengertian Nyeri ..................................................................... 35

2. Teori Nyeri. ............................................................................. 36

3. Klasifikasi Nyeri ..................................................................... 38

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri .............................. 43

5. Karakteristik Nyeri.................................................................. 45

6. Pengukuran Nyeri. .................................................................. 49

D. Manajemen Nyeri.......................................................................... 51

1. Pengertian. .............................................................................. 51

2. Tujuan. .................................................................................... 52

3. Jenis-Jenis Manajeman Nyeri. ................................................ 52

E. Konsep Foot Hand Massage. ........................................................ 57

1. Fisiologi Pemijatan Refleksi. .................................................. 57

2. Pengertian Foot Hand Massage. ............................................. 59

3. Jenis Pijat. ............................................................................... 59


13

4. Tujuan Massage. ..................................................................... 61

5. Manfaat Massage . .................................................................. 61

6. Manfaat Foot Hand Massage. ................................................. 62

7. Teknik Pemijat. ....................................................................... 62

BAB III LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA

A. Pengkajian Pasien ......................................................................... 63

1. Data Identitas Pasien ............................................................... 63

2. Keluhan Utama ....................................................................... 63

3. Data Khusus ............................................................................ 64

4. Pemeriksaan Penunjang .......................................................... 71

B. Masalah Keperawatan ................................................................... 74

C. Diagnose Keperawatan ................................................................. 76

D. Intervensi Keperawatan ................................................................ 76

E. Intervensi Inovasi .......................................................................... 78

F. Implementasi Keperawatan ........................................................... 81

G. Evaluasi Keperawatan ................................................................... 87

BAB IV ANALISA SITUASI

A. Profil Lahan Praktik ...................................................................... 88

B. Analisa Masalah Keperawatan ...................................................... 89

C. Analisa Intervensi Inovasi............................................................. 93

D. Alternatif Pemecahan Masalah Yang Dapat Dilakukan……….. 97

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan. .................................................................................. 99

B. Saran ............................................................................................. 100


14

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
15

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbandingan Nyeri Akut dan Nyeri Kronik………………….. 39

Tabel 4.1 Implementasi Teknik Foot Hand Massage……………………. 93

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Jantung Normal…………………………………… 9

Gambar 2.2 Persyarafan Jantung………………………………………… 13

Gambar 2.3 Anatoi Kelistrikan Jantung…………………………………. 15

Gambar 2.4 Pathway Sindrom Koroner Akut SKA…………………….. 23

Gambar 2.5 Skala Intensitas Nyeri……………………………………… 47

Gambar 2.6 Teknik Pemijatan Foot Hand Massage……………………. 62


16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit kardiovaskuler merupakan salah satu jenis penyakit yang saat ini

banyak diteliti dan dihubungkan dengan gaya hidup seseorang. Penyakit ini

merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia. Acute Coronery Syndrome

(ACS) sendiri merupakan bagian dari penyakit jantung koroner (PJK) dimana

yang termasuk ke dalam Acute Coronery Syndrome (ACS) adalah angina pektoris

tidak stabil (Unstable Pectoris/UAP), infark miokard dengan ST Elevasi (ST

Elevation Myocard Infarct (STEMI), dan infark miokard tanpa ST Elevasi ( Non

ST Elevation Myocard Infarct (STEMI) (Myrtha, 2012).

Manifestasi klinis dari Acute Coronery Syndrome (ACS) adalah adanya

nyeri dada yang khas, perubahan EKG, dan peningkatan enzim jantung. Nyeri

dada khas Acute Coronery Syndrome (ACS) dicirikan sebagai nyeri dada dibagian

substernal, retrosternal dan precordial. Karakteristik seperti ditekan, diremas,

dibakar, terasa penuh yang terjadi dalam bebrapa menit. Nyeri dapat menjalar ke

dagu, leher, bahu, punggung, atau kedua lengan (Muttaqin, 2009).

Secara global, penyakit kardiovaskular menduduki peringkat pertama

penyebab kematian, World Health Organisation (WHO) dalam The top 10 causes

of death, pada tahun 2008 sejumlah 7,2 juta jiwa atau 12,8% meninggal karena

penyakit jantung koroner. Penyakit jantung koroner secara klinik termasuk silent

ischaemia, angina pectoris stabil, angina pectoris tidak stabil,

infark miokard, gagal jantung, dan kematian. Sekitar 80% dari kematian

tersebut, terjadi di negara berpenghasilan rendah-menengah (WHO,2011).


17

Indonesia masuk ke dalam kategori negara berpenghasilan menengah.

Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2008, penyebab kematian di Indonesia

dalam 12 tahun terakhir menunjukkan proporsi kematian disebabkan oleh

penyakit tidak menular, dari 42% menjadi 60%. Stroke, hipertensi, penyakit

jantung iskhemik dan penyait jantung lainnya adalah penyakit tidak menular

utama penyebab kematian. Prevalensi penyakit jantung sendiri mencapai 12,5%,

yang terdiri dari penyakit jantung iskhemik, infark miokard akut, gagal jantung,

aritmia jantung, demam reumatik akut, kardiomiopati dan penyakit jantung

lainnya. Pada kasus-kasus penyakit jantung tersebut, jumlah pasien penyakit jantung

rawat inap di rumah sakit terbanyak adalah penyakit jantung iskhemik (30,17%),

dan Case Fatality Rate (CFR) tertinggi terjadi pada kasus infark miokard akut

(13,49%) (Depkes 2009).

Berdasarkan diagnosis dokter, prevalensi penyakit jantung koroner di

Indonesia tahun 2013 sebesar 0,5% atau diperkirakan sekitar 883.447 orang,

sedangkan berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebesar 1,5% atau

diperkirakan sekitar 2.650.340 orang terdiagnosisi menderita SKA. Jumlah

penderita penyakit jantung koroner terbanyak terdapat di provinsi Jawa Barat

sebanyak 160.812 orang, sedangkan diwilayah Kalimantan Timur jumlah

penderita penyakit jantung koroner sebanyak 13.767 orang. (Riset Kesehatan

Dasar, 2013).

Data yang didapatkan pasien yang dirawat di ruang ICCU RSUD Abdul

Wahab Sjahranie dalam kurun waktu 3 bulan terakhir yang terdiagnosis dengan

penyakit SKA sebanyak 373 pasien. dengan yang terdiagnosa UAP sebanyak 39

pasien.
18

Patofisiologi sindrom koroner akut (SKA) adalah adanya ruptur atau erosi

dari plak aterosklerosis. Ruptur pertama kali terjadi pada bagian “shoulder of

plaque” yang kemudian diikuti trombosis di dalam plak, yang selanjutnya meluas

kedalam lumen pembuluh darah dengan menimbulkan agregasi trombosit dan

pembentukan trombus. Trombus tersebut dapat menyebabkan sumbatan sebagian

yang akan menyebabkan ACS NSTEMI (Acute Coronary Syndrome Non ST

Elevation Miocardial Infarction).

Angina pektoris tak stabil (Unstable angina = UA) dan infark miokard akut

tanpa elevasi (Non ST Elevation Myocardial Infarction = NSTEMI) diketahui

merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan gambaran

klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya tidak berbeda.

Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UA

menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker

jantung.

ACS merupakan kondisi kegawatan sehingga penatalaksanaan yang

dilakukkan secara tepat dan cepat merupakan kunci keberhasilan dalam

mengurangi risiko kematian dan menyelamatkan miokard serta mencegah

meluasnya infark. Tujuan penatalaksanaan ACS adalah untuk memperbaiki

prognosis dngan cara mencegah infark miokard lanjut dan mencegah kematian.

Upaya yang dilakukan adalah mengurangi terjadinya trombotik akut dan disfungsi

ventrikel kiri (Majid, 2008).Pengenalan ACS sangat penting diketahui dan

dipahami oleh perawat. Perawat perlu untuk memahami patofisiologis ACS, nyeri

dada yang khas pada ACS, analisa EKG dan hasil laboratorium sebagai kunci

utama pengkajian ACS. Perawat sebagai bagian dari tenaga kesehatan,

mempunyai peran yang sangat strategis dalam penatalaksanaan ACS tersebut.


19

Perawat profesional yang menguasai satu area spesifik sistem kardiovaskular

sangat dibutuhkan dalam melakukan proses keperawatan secara optimal

penanganan pasien yang optimal akan menghindarkan dari risiko komplikasi yang

akan memperburuk pasien dan menghindarkan dari risiko kematian.

Prasetyo (2010) mengemukakan bahwa dalam beberapa kasus nyeri yang

sifatnya ringan, tindakan non farmakologi adalah intervensi yang paling utama,

sedangkan tindakan famakologi dipersipakan untuk mengantisipasi perkembangan

nyeri. Pada kasus nyeri untuk mengatasi nyeri disamping tindakan farmakologi

yang utama.

Menurut Tamsuri (2006) tindakan non farmakologi untuk mengatasi nyeri

terdiri dari beberapa tindakan penanganan. Yang pertama berdasarkan

penanganan fisik atau stimulasi fisik meliputi stimulasi kulit, stimulasi elektrik

(TENS), akupuntur, placebo, massage, terapi es dan panas. Yang kedua

berdasarkan intervensi perilaku kognitif meliputi relaksasi, umpan balik biologis,

mengurangi persepsi nyeri, hipnotis, distraksi, guide imaginary (imajinasi

terbimbing).

Menurut Furlan (2004 dalam Haryanto, 2015) massage (pijat) telah

ditemukan untuk menghasilkan respon relaksasi dan massage berdampak positif

untuk mengurangi nyeri sering dijelaskan pada teori control gerbang, dengan

pijatan merangsang serabut saraf berdiameter besar yang memiliki input

penghambat pada sel-T.

Abbaspoor (2013 dalam Hariyanto, 2015) menyebutkan bahwa nyeri dapat

diturunkan dengan menggunakan foot hand massage dan juga penelitian oleh

Chang (2008 dalam Hariyanto, 2015) menyebutkan bahwa terapi pijat tangan

mempunyai efek positif pada penurunan rasa sakit pada pasien dirumah sakit.
20

Foot hand massage sendiri adalah bentuk massage pada kaki atau tangan yang

didasari pada premis bahwa ketidaknyamanan atau nyeri diiareea spesifik kaki

atau tangan berhubungan dengan bagian tubuh atau gangguan (Stillwell, 2011).

Berdasarakan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk

mengaplikasikan hasil riset tentang teknik foot hand massage dalam pengelolaan

kasus yang dituangkan dalam Karya Tulis Ilmiah Akhir Ners (KIAN) denagn

judul “Analisa Praktik Klinik Keperawatan pada Klien dengan pasien Acut

Coronary Syndrome (ACS) Unstable Angina Pectoris/UAP dengan intervensi

inovasi Teknik Foot Hand Massage terhadap penurunan nyeri dada di ruang

ICCU RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2016.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka dapat

dirumuskan masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan asuhan keperawatan

pada klien Acut Coronary Syndrome (ACS) Unstable Angina Pectoris/UAP

tersebut, maka penulis menarik rumusan masalah dalam Karya Tulis Akhir Ilmiah

Ners (KIAN) ini sebagai berikut : “bagaimana gambaran Analisa Akhir Klinik

Keperawatan pada Klien dengan Acut Coronary Syndrome (ACS) Unstable

Angina Pectoris/UAP dengan intervensi inovasi Teknik Foot Hand Massage

terhadap penurunan nyeri dada di ruang ICCU RSUD Abdul Wahab Sjahranie

Samarinda”.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian laporan ini meliputi :

1. Tujuan Umum

Penulisan Karya Ilmiah Akhir-Ners (KIAN) ini bertujuan untuk melakukan

analisa praktik klinik keperawatan pada klien dengan Acut Coronary


21

Syndrome (ACS) Unstable Angina Pectoris/UAP dengan intervensi inovasi

Teknik Foot Hand Massage terhadap penurunan nyeri dada di ruang ICCU

RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.

2. Tujuan Khusus

a) Menganalisa kasus kelolaan pasien dengan Acut Coronary Syndrome

(ACS) Unstable Angina Pectoris/UAP dengan intervensi inovasi Teknik

Foot Hand Massage terhadap penurunan nyeri dada di ruang ICCU RSUD

Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.

b) Menganalisa hasil intervensi teknik Foot Hand Massage terhadap

penurunan nyeri dada.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Pendidikan

a. Menjadi bahan tambahan referensi mengenai pengaruh teknik Foot Hand

Massage terhadap penurunan nyeri dada sehingga menambah pengetahuan

dan meningkatkan kualitas pendidikan di Institusi.

b. Memberikan rujukan bagi institusi pendidikan dalam melaksanakan proses

pembeajaran dengan melakukan intervensi berdasarkan riset/ jurnal terkini

(EBNP).

c. Memperkuat dukungan dalam menerapkan intervensi keperawatan,

memperkaya ilmu pengetahuan keperawatan, menambah wawasan dan

pengetahuan bagi mahasiswa keperawatan dalam memberikan asuhan

keperawatan pada pasien Acut Coronary Syndrome (ACS) Unstable

Angina Pectoris/UAP.
22

2. Bagi Profesi

a. Memberi gambaran dan bahan masukan bagi perawat dalam memberikan

asuhan keperawatan pada pasien gangguan sistem kardiovaskular

khususnya pasien Acut Coronary Syndrome (ACS) Unstable Angina

Pectoris/UAP dengan intervensi teknik Foot Hand Massage terhadap

penurunan nyeri dada.

b. Memberikan gambaran untuk perawat dalam penerapan tindakan

keperawatan berdasarkan kepada pembuktian / Evidence Based Nursing

Practice (EBNP) untuk memberikan keperawatan yang lebih luas.

c. Memberikan motivasi bagi perawat diruangan untuk dapat melakukan

inovasi-inovasi dibidang keperawatan terutama keperawatan

kardiovaskular pada Acut Coronary Syndrome (ACS) Unstable Angina

Pectoris/UAP.

3. Bagi Penulis

Meningkatkan kemampuan penulis dalam melakukan analisa pengaruh terapi

komplementer berupa foot hand massage terhadap nyeri dada serta menambah

pengetahuan penulis dalam pembuatan karya ilmiah akhir ners.


23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Jantung

1. Anatomi jantung

Jantung adalah sebuah organ berotot dengan empat buah ruang yang

terletak di rongga dada, di bawah perlindungan tulang iga, sedikit ke

sebelah kiri sternum. Ruang jantung terdiri atas dua ruang yang berdinding

tipis disebut atrium dan dua ruang yang berdinding tebal disebut ventrikel

(Muttaqin, 2009).Jantung memiliki berat sekitar 300 gr, meskipun berat dan

ukurannya dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, berat badan, beratnya aktifitas

fisik, dll. Jantung dewasa normal berdetak sekitar 60 sampai 80 kali per

menit, menyemburkan sekitar 70 ml darah dari kedua ventrikel per

detakan, dan keluaran totalnya sekitar 5 L/ menit (Smeltzer dan Bare, 2010).

Gambar 2.1. Anatomi jantung normal


24

Jantung terletak di dalam rongga mediastinum dari rongga dada

(thoraks), diantara kedua paru. Selaput yang mengitari jantung disebut

pericardium, yang terdiri atas 2 lapisan, yauitu pericardium parietalis,

merupakan lapisan luar yang melekat pada tulang dada dan selaput paru. dan

pericardium viseralis, yaitu lapisan permukaan dari jantung itu sendiri, yang

juga disebut epikardium.

Di dalam lapisan jantung tersebut terdapat cairan pericardium, yang

berfungsi untuk mengurangi gesekan yang timbul akibat gerak jantung saat

memompa.Dinding jantung terdiri dari 3 lapisan, yaitu lapisan luar yang

disebut pericardium, lapisan tengah atau miokardium merupakan lapisan

berotot, dan lapisan dalam disebut endokardium. Organ jantung terdiri atas 4

ruang, yaitu 2 ruang yang berdinding tipis, disebut atrium, dan 2 ruang yang

berdinding tebal disebut ventrikel.

a. Atrium

1) Atrium kanan, berfungsi sebagai tempat penampungan darah yang

rendah oksigen dari seluruh tubuh. Darah tersebut mengalir melalui

vena cava superior, vena cava inferior, serta sinus koronarius yang

berasal dari jantung sendiri. Kemudian darah dipompakan ke ventrikel

kanan dan selanjutnya ke paru.

2) Atrium kiri, berfungsi sebagai penerima darah yang kaya

oksigen dari kedua paru melalui 4 buah vena pulmonalis. Kemudian

darah mengalir ke ventrikel kiri, dan selanjutnya ke seluruh tubuh

melalui aorta.

b. Ventrikel (bilik)

Permukaan dalam ventrikel memperlihatkan alur-alur otot yang disebut


25

trabekula. Beberapa alur tampak menonjol, yang disebut muskulus

papilaris. Ujung muskulus papilaris dihubungkan dengan tepi daun

katup atrioventrikuler oleh serat-serat yang disebut korda tendinae.

1) Ventrikel kanan, menerima darah dari atrium kanan dan

dipompakan ke paru-paru melalui arteri pulmonalis.

2) Ventrikel kiri, menerima darah dari atrium kiri dan

dipompakan ke seluruh tubuh melalui aorta.

Kedua ventrikel ini dipisahkan oleh sekat yang disebut septum

ventrikel. Untuk menghubungkan antara ruang satu dengan yang

lain, jantung dilengkapi dengan katup-katup, diantaranya :

a) Katup atrioventrikuler.

Oleh karena letaknya antara atrium dan ventrikel, maka

disebut katup atrio-ventrikuler, yaitu :

1) Katup trikuspidalis.

Merupakan katup yang terletak di antara atrium kanan dan

ventrikel kanan, serta mempunyai 3 buah daun katup.

Katup mitral/ atau bikuspidalis. Merupakan katup yang terletak

di antara atrium kiri dan ventrikel kiri, serta mempunyai 2 buah

katup. Selain itu katup atrioventrikuler berfungsi untuk

memungkinkan darah mengalir dari masing-masing atrium ke

ventrikel pada fase diastole ventrikel, dan mencegah aliran balik

pada saat sistole ventrikel (kontraksi).


26

b) Katup semilunar.

1) Katup pulmonal.

Terletak pada arteri pulmonalis, memisahkan pembuluh ini

dari ventrikel kanan.

2) Katup aorta.

Terletak antara ventrikel kiri dan aorta. Kedua katup

semilunar ini mempunyai bentuk yang sama, yakni terdiri dari

3 daun katup yang simetris disertai penonjolan menyerupai

corong yang dikaitkan dengan sebuah cincin serabut. Adapun

katup semilunar memungkinkan darah mengalir dari masing-

masing ventrikel ke arteri pulmonalis atau aorta selama sistole

ventrikel, dan mencegah aliran balik waktu diastole ventrikel.

(Ulfah dan Tulandi, 2001)

2. Persyarafan Jantung

Jantung dipersyarafi oleh serabut simpatis, parasimpatis, dan

sistem syaraf autonom melalui pleksus kardiakus. Syaraf simpatis

berasal dari trunkus simpatikus bagian servical dan torakal bagian atas

dan syaraf parasimpatis berasal dari nervous vagus. Sistem persyarafan

jantung banyak dipersyarafi oleh serabut sistem syaraf otonom

(parasimpatis dan simpatis) dengan efek yang saling berlawanan dan

bekerja bertolak belakang untuk mempengaruhi perubahan pada denyut

jantung, yang dapat mempertinggi ketelitian pengaturan syaraf oleh

sistem syaraf otot.


27

Gambar 2.2 Persyarafan Jantung

Serabut parasimpatis mempersyarafi nodus SA, otot-otot atrium,

dan nodus AV melalui nervus vagus. serabut simpatis menyebar

keseluruh sistem konduksi dan miokardium. Stimulasi simpatis

(adregenic) juga menyebabkan melepasnya epinefrin dan beberapa

norepinefrin dari medulla adrenal. Respon jantung terhadap stimulasi

simpatis diperantai oleh pengikatan norepinefrin dan epinefrin ke

reseptor adregenic tertentu; reseptor α terletak pada sel-sel otot polos

pembuluh darah, menyebabkan terjadinya vasokonstriksi, dan reseptor β

yang terletak pada nodus AV, nodus SA, dan miokardium, menyebabkan

peningkatan denyut jantung, peningkatan kecepatan hantaran melewati

nodus AV, dan peningkatan kontraksi miokardium (stimulasi reseptor ini

menyebabkan vasodilatasi).

Hubungan sistem syaraf simpatis dan parasimpatis bekerja untuk

menstabilkan tekanan darah arteri dan curah jantung untuk mengatur


28

aliran darah sesuai kebutuhan tubuh. (Kasroh, 2011)

3. Elektrofisiologi Jantung

Di dalam otot jantung, terdapat jaringan khusus yang menghantarkan

aliran listrik. Jaringan tersebut mempunyai sifat-sifat yang khusus, yaitu:

a. Otomatisasi : kemampuan untuk menimbulkan impuls secara

spontan.

b. Irama : pembentukan impuls yang teratur.

c. Daya konduksi : kemampuan untuk menyalurkan impuls.

d. Daya rangsang : kemampuan untuk bereaksi terhadap rangsang.

Berdasarkan sifat-sifat tersebut diatas, maka secara spontan dan teratur

jantung akan menghasilkan impuls-impuls yang disalurkan melalui

sistem hantar untuk merangsang otot jantung dan dapat menimbulkan

kontraksi otot. Perjalanan impuls dimulai dari nodus SA, nodus AV,

sampai ke serabut purkinye.

Gambar 2.3. Anatomi Kelistrikan Jantung


29

1) SA Node

Disebut pemacu alami karena secara teratur mengeluarkan aliran

listrik impuls yang kemudian menggerakkan jantung secara

otomatis. Pada keadaan normal, impuls yang dikeluarkan

frekuensinya 60-100 kali/ menit. Respons dari impuls SA

memberikan dampak pada aktivitas atrium.

SA node dapat menghasilkan impuls karena adanya sel-sel

pacemaker yang mengeluarkan impuls secara otomatis. Sel ini

dipengarungi oleh saraf simpatis dan parasimpatis.

Stimulasi SA yang menjalar melintasi permukaan atrium menuju

nodus AV memberikan respons terhadap adanya kontraksi dari

dinding atrium untuk melakukan kontraksi. Bachman bundle

menghantarkan impuls dari nodus SA ke atrium kiri. Waktu

yang diperlukan pada penyebaran impuls SA ke AV berkisar 0,05

atau 50 ml/ detik.

2) Traktus Internodal

Berfungsi sebagai penghantar impuls dari nodus SA ke Nodus AV.

Traktus internodal terdiri dari :

a) Anterior Tract.

b) Middle Tract.

c) Posterior Tract.

3) Bachmaan Bundle

Berfungsi untuk menghantarkan impuls dari nodus SA ke atrium

kiri.
30

4) AV Node

AV node terletak di dalam dinding septum (sekat) atrium sebelah

kanan, tepat diatas katup trikuspid dekat muara sinus koronarius. AV

node mempunyai dua fungsi penting, yaitu :

a) Impuls jantung ditahan selama 0,1 atau 100 ml/ detik,

untuk memungkinkan pengisisan ventrikel selama atrium

berkontraksi.

b) Mengatur jumlah impuls atrium yang mencapai ventrikel.

AV node dapat menghasilkan impuls dengan frekuensi 40-60

kali/ menit.

c) Bundle His

Berfungsi untuk menghantarkan impuls dari nodus AV ke

sistem bundle branch.

d) Bundle Branch

Merupakan lanjutan dari bundle of his yang bercabang menjadi

dua bagian, yaitu :

(1) Righ bundle branch (RBB/ cabang kanan), untuk

mengirim impuls ke otot jantung ventrikel kanan.

(2) Left bundle branch (LBB/ cabang kiri) yang terbagi

dua,yaitu deviasi ke belakang (left posterior vesicle),

menghantarkan impuls ke endokardium ventrikel kiri

bagian posterior dan inferior, dan deviasi ke depan (left

anterior vesicle), menghantarkan impuls ke endokardium

ventrikel kiri bagian anterior dan superior.


31

e) Sistem Purkinje

Merupakan bagian ujung dari bundle branch. Berfungsi untuk

menghantarkan/ mengirimkan impuls menuju lapisan sub-

endokard pada kedua ventrikel, sehingga terjadi depolarisasi

yang diikuti oleh kontraksi ventrikel. Sel-sel pacemaker di

subendokard ventrikel dapat menghasilkan impuls dengan

frekuensi 20-40 kali/ menit. Pemacu- pemacu cadangan ini

mempunyai fungsi sangat penting, yaitu untuk mencegah

berhentinya denyut jantung pada waktu pemacu alami (SA

node) tidak berfungsi.

Depolarisasi yang dimulai pada SA node disebarkan secara

radial ke seluruh atrium, kemudian semuanya bertemu di AV

node. Seluruh depolarisasi atrium berlangsung selama kira-

kira 0,1 detik. Oleh karena hantaran di AV node lambat,

maka terjadi perlambatan kira- kira 0,1 detik (perlambatan

AV node) sebelum eksitasi menyebar ke ventrikel.

Pelambatan ini diperpendek oleh perangsangan saraf

simpatis yang menuju jantung dan akan memanjang akibat

perangsangan vagus. Dari puncak septum, gelombang

depolarisasi menyebar secara cepat di dalam serat penghantar

purkinye ke semua bagian ventrikel dalam waktu 0,08-0,1

detik. (Muttaqin, 2009).

4. Siklus Jantung

Siklus jantung adalah periode dimulainya satu denyutan jantung dan

awal dari denyutan selanjutnya. Siklus jantung terdiri dari periode


32

sistole, dan diastole. Sistole adalah periode kontraksi dari ventrikel,

dimana darah dikeluarkan dari jantung. Diastole adalah periode relaksasi

dari ventrikel dan kontraksi atrium, dimana terjadi pengisian darah dari

atrium ke ventrikel.

a) Periode sistole (periode kontriksi)

Periode sistole adalah suatu keadaan jantung dimana bagian ventrikel

dalam keadaan menguncup. Katup bikuspidalis dan trikuspidalis

dalam keadaan tertutup, dan valvula semilunaris aorta dan valvula

semilunaris arteri pulmonalis terbuka, sehingga darah dari ventrikel

kanan mengalir ke arteri pulmonalis, dan masuk kedalam paru-paru

kiri dan kanan.Darah dari ventrikel kiri mengalir ke aorta dan

selanjutnya beredar keseluruh tubuh.

b) Periode diastole (periode dilatasi)

Periode diastole adalah suatu keadaan dimana jantung mengembang.

Katup bikuspidalis dan trikuspidalis dalam keadaan terbuka sehingga

darah dari atrium kiri masuk ke ventrikel kiri, dan darah dari atrium

kanan masuk ke ventrikel kanan. Selanjutnya darah yang datang dari

paru-paru kiri kanan melalua vena pulmonal kemudian masuk ke

atrium kiri. Darah dari seluruh tubuh melalui vena cava superior dan

inferior masuk ke atrium kanan.

c) Periode Istirahat

Adalah waktu antara periode diastole dengan periode sistole

dimana jantung berhenti kira-kira sepersepuluh detik.(Kasron, 2011)

5. Sistem peredaran darah

Dalam memenuhi kebutuhan nutrisi dalam setiap organ ataupun jaringan


33

maupun sel tubuh melalui sistem peredaran darah. Sistem aliran darah

tubuh, secara garis besar terdiri dari tiga sistem, yaitu :

a) Sistem peredaran darah kecil.

Dimulai dari ventrikel kanan, darah mengalir ke paru-paru melalui

arteri pulmonal untuk mengambil oksigen dan melepaskan karbon

dioksida kemudian masuk ke atrium kiri.

Sistem peredaran darah kecil ini berfungsi untuk membersihkan

darah yang setelah beredar ke seluruh tubuh memasuki atrium kanan

dengan kadar oksigen yang rendah antara 60-70% serta kadar

karbon dioksida tinggi antara 40-45%. Setelah beredar melalui kedua

paru-paru, kadar zat oksigen meningkat menjadi sekitar 96% dan

sebaliknya kadar zat karbon dioksida menurun. Proses pembersihan

gas dalam jaringan paru-paru berlangsung di alveoli, dimana gas

oksigen disadap oleh komponen Hb. Sebaliknya gas karbon dioksida

dikeluarkan sebagian melalui udara pernafasan.

b) Sistem peredaran darah besar.

Darah yang kaya oksigen dari atrium kiri memasuki ventrikel kiri

melalui katup mitral/ atau bikuspidal, untuk kemudian dipompakan

ke seluruh tubuh melalui katup aorta, dimana darah tersebut

membawakan zat oksigen serta nutrisi yang diperlukan oleh tubuh

melewati pembuluh darah besar/ atau arteri, yang kemudian di

supplai ke seluruh tubuh.

c) Sistem peredaran darah koroner.

Sistem peredaran darah koroner berbeda dengan sistem peredaran

darah kecil maupun besar. Artinya khusus untuk menyuplai darah ke


34

otot jantung, yaitu melalui pembuluh koroner dan kembali melalui

pembuluh balik yang kemudian menyatu serta bermuara langsung ke

dalam ventrikel kanan. Melalui sistem peredaran darah koroner ini,

jantung mendapatkan oksigen, nutrisi, serta zat-zat lain agar dapat

menggerakkan jantung sesuai dengan fungsinya (Soeharto, 2002).

B. Pengertian Acute coronary syndrome (ACS)

1. Definisi

Acute Coronary syndrome (ACS) ATAU Sindroma Koroner Akut (SKA)

atau suatu terminologi yang dipakai untuk menunjukkan sekumpulan gejala

nyeri dada iskemik yang akut dan perlu penanganan segera (keadaan

emergensi) (Hamm, 2011).

SKA merupakan spektrum akut dan berat yang merupakan keadaan

kegawatdaruratan dari koroner akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan

oksigen (O2) miokardium dan aliran darah (Kumar, 2007).

Acute coronary syndrome (ACS) sendiri merupakan bagian dari penyakit

jantung koroner (PJK) dimana yang termasuk ke dalam Acute Coronary

Syndrome (ACS) adalah angina pektoris tidak stabil (Unstable Angina

Pectoris / UAP), infark miokard dengan ST Elevasi (ST Elevation Myocard

Infarct (STEMI), dan infark miokard tanpa ST Elevasi (Non ST Elevation

Myocard Infarct (NSTEMI) (Myrtha, 2012).

Angina pektoris tidak stabil (UAP) ditandai dengan nyeri dada yang terjadi

saat istirahat, dirasakan lebih dari 20 menit disertai dengan peningkatan

dalam frekuensi sakit. EKG menunjukkan gelombang T inversi > 0,2 mV

atau depresi segmen ST > 0,05 mV. Tidak terjadi peningkatan enzim jantung

(CKMB).
35

Infark miokard akut adalah keadaan nekrosis miokard yang disebabkan

oleh tidak adekuatnya pasokan darah akibat dari terjadinya sumbatan arteri

koroner, dan dibagi menjadi dua yaitu Non ST Elevation Myocard Infarct

(NSTEMI) dan ST Elevation myocard infarct (STEMI) adalah infark

miocard dengan riwayat nyeri dada yang terjadi saat istirahat, nyeri

menetap, dirasakan lebih lama (lebih dari 20 menit), tidak hilang degan

nitrat. EKG menunjukkan depresi segmen ST atau T inversi. Terjadi

peningkatan enzim jantung (CKMB).

ST Elevation Myocard Infarct (STEMI) adalah infark miokard dengan

riwayat nyeri dada yang terjadi saat istirahat, nyeri menetap, durasi lebih

dari 30 menit dan tidak hilang dengan nitrat. EKG menunjukkan elevasi

segmen ST ≥ 1 mV pada 2 sadapan yang berdekatan pada lead ekstremitas

dan atau elevasi segmen ST ≥ 2 mV pada minimal 2 sadapan yag

berdekatan pada lead prekordial. Tejadi peningkatan enzim jantung

(CKMB).

Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi yang

digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses

penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil/APTS (Unstable

Angina/UA), infark miokard gelombang non-Q atau infark miokard tanpa

elevasi segmen ST (Non ST Elevation Miocardial Infarction/NSTEMI), dan

infark miokard gelombang Q atau infark miokarddengan elevasi segmen ST

(ST Elevation Miocardial Infarction/STEMI). APTS dan NSTEMI

mempunyai patogenesis dan presentasi klinik yang sama, hanya berbeda

dalam derajatnya. Bila ditemui petanda miokard (peningkatan troponin I,

troponin T, atau CK-MB) maka diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan bila


36

petanda biokimia ini tidak meninggi, maka diagnosis adalah APTS. Ketiga

jenis kejadian koroner itu sesungguhnya merupakan suatu proses berjenjang

: dari fenomena yang ringan sampai yang terberat. Dan jenjang itu terutama

dipengaruhi oleh kolateralisasi, tingkat oklusinya, akut tidaknya dan

lamanya iskemia miokard berlangsung.

Sheerwood, 2001 menjelaskan bahwa pada keadaan jantung normal, aliran

darah koroner meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan oksigen,

namun pada penyakit arteri koroner aliran darah tidak dapat memenuhi

kebutuhan oksigen.

2. Etiologi dan Faktor Risiko

Etiologi terjadinya Acute Coronary Syndrome (ACS) adalah

aterosklerosis serta rupturnya plak aterosklerosis yang menyebabkan

trombosis intravaskular dan gangguan suplai darah miokard (Majid, 2008).

Aterosklerosis merupakan kondisi patologis dengan ditandai oleh

endapan abnormal lipid, trombosit, makrofag, dan leukosit di seluruh

lapisan tunika intima dan akhirnya ke tunika media. Akhirnya terjadi

perubahan struktur dan fungsi dari arteri koroner dan terjadi penurunan

aliran darah ke miokard. Perubahan gejala klinik yang tiba-tiba dan tak

terduga berkaitan dengan ruptur plak dan langsung menyumbat ke arteri

koroner. Proses tersebut timbul karena beberapa faktor risiko (Myrtha,

2012).

Faktor risiko ada yang tidak dapat diubah dan faktor risiko yang

dapat diubah. Faktor risiko yang dapat diubah adalah usia, jenis kelamin,

ras, dan riwayat keluarga. Faktor risiko yang dapat diubah atau dapat

dikontrol adalah peningkatan kadar lipid serum, hipertensi, merokok,


37

gangguan toleransi glukosa (DM), diet tinggi lemak jenuh, kolesterol dan

kalori (Santoso & Setiawan, 2005).

3. Pathway

Faktor resiko

(Usia, jenis kelamin,ras, riwayat


keluarga, kadar lipid serum, hipertensi,
merokok, DM, kolesterol, diit lemak
tinggi)

endapan abnormal lipid, trombosit


di lapisan tunika intima

Kerusakan sel endotel

inflamasi,migrasi, proliferasi sel, kerusakan jaringan dan


kemudian terjadi perbaikan

pembentukan plak di tunika intima

terjadi ruptur plak atheroma sehingga terjadi agregasi


trombosit dan pembentukan trombus menyebabkan
trombosis intravaskular (sumbatan di arteri koroner)

Kontraktilitas jantung meningkat


38

Gangguan fungsi Supai darah yang membawa Beban jantung meningkat


pompa jantung oksigen dan nutrisi yang mengakibatkan payah
dalam mengisi dibutuhkan jantung untuk jantung
dan memompa metabolisme aerob berkurang
darah dari paru

Penurunan curah
jantung
Oksigen untuk metabolisme
Penumpukan kurang maka akan terjadi
darah diparu metabolisme anaerob
terjadi
peningkatan
tekanan pada
pembuluh
darah paru Menghasilkan asam laktat dan
ATP

Ketidakefektifan
pola nafas Penumpukan Asam laktat

pH sel menurun

Nyeri akut

Gambar 2.4 Pathway Sindrom Koroner Akut SKA

4. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari Acute Coronary Syndrome (ACS) adalah adanya

nyeri dada yang khas, perubahan EKG, dan peningkatan enzim jantung.

Nyeri dada khas Acute Coronary Syndrome dicirikan sebagai nyeri dada

dibagian substernal, retrosternal dan prekordial. Karakteristik seperti ditekan,

diremas, dibakar, terasa penuh yang terjadi dalam beberapa menit, nyeri
39

dapat menjalar ke dagu, leher, bahu, punggung, atau kedua lengan. Nyeri

disertai rasa mual, sempoyongan, berkeringat, berdebar, dan sesak nafas

(Muttaqin, 2009).

Selain itu ditemukan pula tanda klinis seperti hipotensi yang menunjukkan

adanya disfungsi ventrikular, hipertensi dan diaphoresis / berkeringat yang

menunjukkan adanya respon katekolamin, edema dan peningkatan tekanan

vena jugular yang menunjukkan adanya gagal jantung (Pramana, 2011).

5. Patofisiologi

Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan proses yang berkelanjutan.

Kerusakan lapisan endotel berperan dalam pembentukan aterosklerosis dan

hipertensi yang lama merupakan faktor utama dalam terjadinya Acute

Coronary Syndrome (ACS) (Majid, 2008).

a. Proses Awal Terbentuknya Aterosklerosis

Aterosklerosis adalah proses pembentukan plak di tunika intima arteri

besar dan arteri sedang. Proses tersebut berlangsung terus menerus

selama hidup dengan progresivitas yang berbeda-beda sampai

bermanifestasi sebagai Acute Coronary Syndrome (ACS) (Majid, 2008).

Beberapa hipotesa yang pertama kali mengawali kerusakan sel endotel

dan mencetuskan rangkaian proses inflamasi, migrasi dan proliferasi sel,

kerusakan jaringan dan kemudian terjadi perbaikan yang kemudian

menyebabkan pertumbuhan plak (Mytha, 2012).

b. Proses Inflamasi

Setelah terjadi kerusakan endotel, sel endotel menghasilkan molekul

adhesifendotel (cell adhesion molecule). Sel-sel inflamasi seperti monosit

dan limfosit T masuk ke permukaan endotel dan bermigrasi dari endotelium


40

ke lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan molekul adhesif

endotel. Kemudian monosit berdiferensiasi menjadi makrofag. Makrofag

tersebut akan mencerna LDL teroksidasi yang berpenetrasi ke dinding arteri

dan berubah menjadi sel foam yang selanjutnya membentuk fatty streaks

(Majid, 2008).

Makrofak yang teraktivasi melepaskan zat kemoatraktan dan sitokin yang

semakin mengaktifkan proses tersebut dengan merekrut lebih banyak

makrofag. Sel T, dan sel otot polos. Sel otot polos bermigrasi dari tunika

media menuju tunika intima lalu mensitesis kolagen, membentuk kapsul

fibrosis yang menstabilkan plak dengan cara membungkus inti lipid dari

aliran pembuluh darah (Myrtha, 2012)

c. Disrupsi plak dan trombosis

Plak aterosklerotik akan berkembang perlahan dan kebanyakan plak akan

tetap stabil. Gejala angina akan muncul bila stenosis lumen mencapai 70-

80% (Majid, 2008).

Acute Coronary Syndrome (ACS) terjadi karena ruptur plak ateroskerotik

dan plak yang ruptur tersebut menyumbat kurang dari 50% diameter lumen.

Setelah terjadi ruptur plak atau erosi endotel, matriks subendotel akan

terpapar darah yang ada disirkulasi. Hal tersebut menyebabkan adhesi

trombosit yang diikuti aktivasi dan agregasi trombosit yang akan

membentuk trombus. Trombus tersebut akan menyumbat / oklusi dan akan

mengalami infark miokard. Lokasi dan luasnya infark tergantung pada jenis

arteri yang oklusi dan terdapatnya aliran darah koleteral (Myrtha, 2012).

Unstable Angina Pectoris (UAP) terjadi karena menurunnya perfusi ke

miokard (akibat disrupsi plak, menyebabkan trombus dan penurunan


41

perfusi) atau terjadi karena peningkatan kebutuhan oksigen. Miokard akan

mengalami stress tetapi bisa membaik kembali. Ketika suplai tidak adekuat

bagi miokard, maka akan terjadi iskemi miokard. Iskemi yang bersifat

sementara akan menyebabkan perubahan reversibel pada tingkat sel dan

jaringan serta menekan fungsi miokard. Oksigen yang menurun memaksa

miokard untuk melakukan metabolisme anaerob. Metabolisme anaerob

dengan lintasan glikolitik akan menghasilkan asam laktat yang akan

tertimbun dan menurunkan pH. Gabungan dari efek hipoksia, berkuragnya

energi akibat metaboise anaerob, serta asidosis, denga cepat mengganggu,

fungsi ventrikel kiri . kekuatan kontraksi daerah miokard yang terserang

menjadi berkurang, serabut-serabutnya memendek, serta daya kecepatan

berkurang. Gerakan dinding segmen menjadi abnormal dan bagian tersebut

akan menonjol setiap ventrikel berkontraksi (Majid, 2008).

Kontraksi miokard yang menurun dan terjadi gangguangerakan miokard

akan mengubah hemodinamik. Penurunan fungsi ventrikel kiri dapat

mengurangi curah jantung dan stroke volume menurun. Manifestasi

hemodinamik yang terjadi adalah peningkatan ringan tekanan darah dan

nadi sebelum timbulnya nyeri. Pola tersebut merupakan respon kompensasi

simpatis terhadap berkurangnya fungsi miokard. Setelah timbul nyeri,

terjadi perangsangan lebih lanjut oleh katekolamin keadaan penurunan

tekanan darah merupakan tanda bahwa miokard yang terserang iskemik

cukup luas atau merupakan suatu respon vagus (Santoso & Setiawan, 2005).

Non ST Elevation Myocard Infarct (NSTEMI) terjadi bila perfusi miokard

mengalami disrupsi karena oklusi trombus persisten atau vasospasme. ST

Elevation Myocard Infarct (STEMI) terjadi bila disrupsi plak dan trombus
42

menyebabkan oklusi total sehingga terjadi iskhemik transmural dan nekrosis

(Myrtha, 2012).

6. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG)

Pemeriksaan EKG 12 lead merupakan pemeriksaan pertama dalam

menentukan pasien ACS. Pasien dengan keluhan nyeri dada khas harus

sudah dilakukan pemeriksaan EKG maksimal 10 menit setelah kontak

dengan petugas. Pada ACS STEMI didapatkan gambaran hiperakut T,

elevasi segmen ST yang diikuti terbentuk gelombang Q patologis,

kembalinya segmen ST pada garis isoelektris dan gelombang T terbalik.

Perubahan ditemui minimal pada 2 lead yang berdekatan.

Perekaman EKG harus diulang minimal 3 jam selama 6-9 jam, dan 24

jam setelahnya, dan secara langsung diperiksa EKG ketika pasien

mengalami gejala nyeri dada berulang/rekuren. Terkadang perlu juga

dilakukan pemeriksaan lead V7-V9 dan lead V3R dan V4R, bila

didapatkan ST depresi di V1-V2 dengan gelombang R prominen dan

gejala infark inferior (Winipeg Regional Health Authority/ WRHA,

2008).

b. Pemeriksaan Laboratorium

Untuk menegakkan adanya ACS, pemeriksaan yang memegang peranan

penting adalah troponin untuk membedakan antara infark dan angina

tidak stabil. Troponin lebih spesifik dan sensitif dibanding enzim kardiak

lain seperti creatinin kinase (CK) dan isoenzimnya (CK-MB). CK-MB

dan Troponin T atau I meningkat 4-8 jam setelah infark. Peningkatan

bermakna minimal 1,5 kali dari batas normal. Pemeriksaan harus


43

dilakukan secara serial bila pada pemeriksaan pertama normal tetapi

diduga kuat mengalami infark. Peningkatan Troponin mengindikasikan

adanya infark (Marzlin & Webner, 2012).

c. Radiografi thoraks

Foto rontgen thoraks membantu dalam mendeteksi adanya kardiomegali

dan edema pulmonal, atau memberikan petunjuk penyebab lain dari

simptom yang ada seperti aneurisma thoraks atau pneumonia (Coven,

2013).

d. Ekhokardiografi

Pemeriksaan ekhokardiografi memegang peranan penting dalam

ACS. Ekhokardiografi dapat mengidentifikasi abnormalitas pergerakan

dinding miokard dan membantu dalam menegakkan diagnosis.

Ekhokardiografi membantu dalam menentukan luasnya infark dan

keseluruhan fungsi ventrikel kiri dan kanan, serta membantu dalam

mengidentifikasi komplikasi seperti regurgitasi mitral akut, ruptur LV,

dan efusi perikard (Coven, 2013).

7. Penatalaksaan

Tujuan pengobatan adalah dengan memperbaiki prognosis dengan cara

mencegah infark miokard lebih lanjut dan kematian. Yang dilakukan adalah

mengurangi progresivitas plak, menstabilkan plak dengan mengurangi

inflamasi, memperbaiki fungsi endotel, serta mencegah trombosis bila terjadi

disfungsi endotel atau pecahnya plak. Tujuan yang kedua adalah

memperbaiki simptom dan iskhemik.

ACS merupakan kasus kegawatan sehingga harus mendapatkan

penanganan yang segera. Dalam 10 menit pertama sejak pasien datang ke


44

instalasi gawat darurat, harus sudah dilakukan penilaian meliputi anamnesa

riwayat nyeri, pemeriksaan fisik, EKG 12 lead dan saturasi oksigen,

pemeriksaan enzim jantung, elektrolit dan bekuan darah serta menyiapkan

intra vena line dengan D5%.

Penatalaksanaan awal ACS adalah dengan farmakologi, dengan

pemberian:

a. Agen anti iskemik(nitrat, calcium chanel blocker, beta blocker).

b. Agen anti platelet(aspirin, P2Y12 reseptor inhibitor: clopidogrel,

prasugrel, dan ticagrelol, glikoprotein IIb/IIIa reseptor antagonis:

abciximab, tirofiban, dan eptifibatide).

c. Anti koagulan(Unfractionated Heparin/UFH, Low Molecular Weight

Heparins/(LMWH).

Kemudian dilanjutkan dengan revaskularisasi arteri koroner:

a. Ibrinolitik/trombolitik

b. Percutaneous coronary intervention (PCI)

c. Coronary artery bypass grafting (CABG) (Hamm et al, 2011;).

Penanganan farmakologi awal pada ACS adalah:

a. Oksigen

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 70% pasien

ACS disertai hipoksemia, dengan pemberian oksigen akan mengurangi

ST elevasi karena akan mengurangi kerusakan miokard melalui

mekanisme peningkatan suplai oksigen. Pemberian oksigen diberikan

melalui nasal kanul 2-4 lt/menit.

b. Nitrogliserin
45

Pemberian ISDN (isosorbid dinitrat) sublingual diberikan 5 mg

per 3-5 menit dengan maksimal 3 kali pemberian. Nitrat mempunyai dua

efek utama, pertama yaitu nitrat berfungsi sebagai venodilator, sehingga

akan menyebabkan “pooling darah” yang selanjutnya akan menurunkan

venous return/preload, sehingga kerja jantung akan berkurang. Kedua,

nitrat akan merelaksasikan otot polos pembuluh koroner sehingga suplai

oksigen pada jantung dapat ditingkatkan. Kewaspadaan adalah

penggunaan harus dilakukan hati-hati pada pasien infark ventrikel kanan

dan infark inferior, selain itu tidak boleh diberikan pada pasien dengan

TD ≤ 90 mmHg atau 30 mmHg lebih rendah dari pemeriksaan TD awal.

c. Morfin

Pemberian dapat diberikan secara intravena dengan dosis 2-4 mg,

diberikan bila nyeri tidak berkurang dengan ISDN. Efek analgesik akan

menurunkan aktivasi sistem saraf pusat dalam melepaskan katekolamin

sehingga akan menurunkan konsumsi oksigen oleh miokard, selain itu

juga mempunyai efek venodilator yang akan menurunkan preload

ventrikel kiri, dan dapat menurunkan tahanan vaskular sistemik yang

akhirnya akan menurunkan afterload.

d. Aspirin

Pemberian aspirin loading 160-325 mg dengan dosis

pemeliharaan 75-150mg/hari. Tablet kunyah aspirin mempunyai efek

antiagregasi platelet yang irreversibel. Aspirin bekerja dengan

menghambat enzim cyclooksigenase yang selanjutnya akan berefek pada

penurunan kadar thromboxan A2, yang merupakan aktivator platelet.

Selain itu, aspirin juga mempunyai efek penstabil plak. Berdasarkan


46

beberapa hasil penelitian, pemberian aspirin akan menurunkan angka

mortalitas pasien dengan STEMI (Pramana, 2011).

e. Clopidogrel

Clopidogrel diberikan loading 300-600 mg. Clopidogrel

merupakan antagonis ADP dan menghambat agregasi trombosit.

AHA/ACC guidelines update 2011 memasukkan kombinasi aspirin dan

clopidogrel diberikan pada pasien PCI dengan pemasangan stent.

f. Obat penurun kolesterol

Diberikan simvastatin meskipun kadar lipid pasien normal.

Pemberian statin digunakan untuk mengurangi risiko dan menurunkan

komplikasi sebesar 39%. Statin selain menurunkan kolesterol, berperan

juga sebagai anti inflamasi dan anti trombotik. Pada pasien dengan

hiperlipidemia, target penurunan kolesterol adalah <100 mg/dl dan

pasien risiko tinggi DM, target penurunan sebesar <70 mg/dl.

g. ACE inhibitor

Diberikan captopril dosis inisiasi 3x 6,25 mg. Pemberian

diberikan pada 24 jam pertama pada pasien low EF < 40%, hipertensi,

acute kidney injury (AKI), riwayat infark miokard dengan disfungsi

ventrikel kiri dan diabetes.

h. Beta blocker

Beta blocker menghambat efek katekolamin pada sirkulasi dan

reseptor β-1 yang dapat menyebabkan penurunan konsumsi oksigen

miokard. Pemberian beta bloker dengan target nadi 50-60 x/menit.


47

Kontraindikasi yang terpenting adalah riwayat asma bronkhial dan

disfungsi ventrikel kiri akut.

i. Tindakan reperfusi

Pemilihan reperfusi dilihat dari onset serangan atau nyeri dada ketika

pasien datang ke ruang emergensi (rumah sakit). Bila onset kurang dari 3

jam, maka tindakan yang dilakukan adalah reperfusi dengan fibrinolitik,

dengan waktu door to needle maksimal 30 menit. Meskipun terdapat

perbaikan, harus tetap dilakukan PCI dalam 24 jam pertama. Bila onset

kurang dari 12 jam, maka segera dilakukan PCI primer, dengan waktu

door to balloon maksimal 90 menit. Bila onset lebih dari 12 jam maka

dilakukan heparinisasi dengan tetap dilakukan PCI. Pasien tetap

diberikan antikoagulan dan antiplatelet sebelum dan selama pasien akan

dilakukan PCI.

8. Komplikasi

a. Disfungsional Ventrikular

Ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk, ukuran dan

ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini

disebut remodeling ventricular dan umumnya mendahuluai

berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau

tahun pasca infark. Segera setetlah infark ventrikel kiri mengalami

dilatasi. Secara akut, hasil ini berasala dari ekspansi infark al: slippage

serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan hilangnya jaringan dalam

zona nekrotik.
48

Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen noninfark,

mengakibatkan penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark.

Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan

ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks

ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata,

lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk Progresivitas

dilatasi dan knsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhi bitot

ACE dan vasodilator lain. Pada pasien dengan fraksi ejeksi kurang dari

40%, tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitore ACE harus

diberikan.

a. Gangguan Hemodinamik

Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama

kematian di rumah sakit pada ACS STEMI. Perluasan nekrosis iskemia

mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan

mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis

yang tersering dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi jantung S3

dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen sering dijumpai kongesti paru.

b. Komplikasi Mekanik

Ruptur muskulus papilaris, rupture septum ventrikel, rupture dinding

ventrikel.

9. Prognosis

Kelangsungan hidup pasien ACS NSTEMI selama enam bulan setelah

serangan jantung hampir tidak berbeda. Hasil jangka panjang yang

ditingkatkan dengan kepatuhan hati-hati terhadap terapi medis lanjutan, dan


49

ini penting bahwa semua pasien yang menderita serangan jantung secara

teratur dan terus malakukan terapi jangka panjang dengan obat-obatan.

Kerusakan pada otot jantung tidak selalu bermanifestasi sebagai rasa sakit

dada yang khas, biasanya berhubungan dengan serangan jantung. Bahkan

jika penampilan karakteristik EKG ST depresi atau T inversi tidak dilihat,

serangan jantung mengakibatkan kerusakan otot jantung, sehingga cara

terbaik untuk menangani serangan jantung adalah pencegahan.

C. Konsep Nyeri

1. Pengertian Nyeri

Menurut Mahon (1994) dalam Potter dan Perry (2009) nyeri merupakan

suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal yang disebabkan oleh

stimulus tertentu. Stimulus nyeri berupa stimulus yang bersifat fisik dan

mental, sedangkan kerusakan dapat terjadi pada jaringan aktual atau fungsi

ego seorang individu.

Definisi keperawatan tentang nyeri adalah apapun yang menyakitkan tubuh

yang dikatakan individu mengalaminya, yang ada kapanpun individu

mengatakannya (Brunner & Suddarth, 2010).

2. Teori Nyeri

a. Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Control Theory)

Teori pengontrolan nyeri yang cukup dikenal adalah teori Gate Control

dari Melzack dan Wall (1965, dalam Mudiah 2013). Teori ini juga

dikenal dengan sebutan Teori Kontrol Pintu Gerbang. Teori Gate Control

mengatakan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau bahkan dihambat oleh

mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Mekanisme

pertahanan dapat ditemukan di sel-sel gelatinosa subtansia di dalam


50

kornu dorsalis pada medulla spinalis, thalamus dan sistem limbik.

Dengan memahami hal-hal yang dapat mempengaruhi perubahan ini,

maka perawat dapat memperoleh konsep kerangka kerja yang bermanfaat

untuk penagnan nyeri. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri

dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat

sebuah pertahanan di tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut

merupakan dasar terapi menghilangkan nyeri (Perry & Potter, 2009).

Menurut Wall (1978 dalam Brunner & Suddart, 2010) teori gerbang

kendali nyeri adalah proses dimana terjadi interaksi antara stimulus nyeri

dan sensasi lain dan stimulus serabut yang mengirim sensasi tidak

melalui sirkuit gerbang penghambat. Sel-sel inhibitor dalam kornus

dorsalis medulla spinalis mengandung enfekalin, yang menghambat

tranmisi nyeri.

Suatu keseimbangan aktifitas dari neuron sensori dan serabut control

desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta A dan C

melepaskan suptansi P untuk mentrasmisikan imuls melalui mekanisme

pertahanan. Selain itu, terdapat mekanisme makanoreseptor, neuron delta

A yang lebih tebal,yang lebih cepat melepaskan neurotransmitter

penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-

A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme

penutupan ini dapat terlihat saat perawat menggosok punggung klien

dengan lembut. Pesan yang disampaikan akan menstimulasi

mekanoreseptor.

Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta-A dan serabut

C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan pasien mempersepsikan


51

sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantar ke otak, terdapat pusat

korteks yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi persepsi nyeri. Alur

saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorphin dan

dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh.

Neuromodulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan

menghambat pelepasan substansi P (Potter dan Perry, 2009).

b. Teori Endogenous Opiat Theory

Suatu teori pereda nyeri yang relatif baru dikembangkan oleh Avron

Goldstein (1970 dalam Andarmoyo (2013) di mana ia menemukan

bahwa terdapat substansi seperti opiate yang terjadi secara alami di

dalam tubuh. Substansi ini disebut endorphin, yang berasal dari kata

endogenous dan morphine.

Goldstein mencari reseptor morphine dan heroin, menemukan bahwa

reseptor dalam otak cocok dengan adanya molekul-molekul seperti

morphine. Setelah melalui penelitian yang seksama, jawabnya adalah

bahwa otak menghasilkan opiate otak alami. Endorphin merupakan

sistem penekan nyeri yang dapat diaktifkan dengan merangsang daerah

reseptor endorphin di zat kelabu periaqueduktus otak tengah.

Endorphin mempengaruhi transmisi impuls yang diinterpretasikan

sebagai nyeri. Endorphin kemungkinan bertindak sebagai

neurotransmitter maupun neuromodulator yang menghambat transmisi

dari pesan nyeri. Jadi, adanya endorphin pada sinaps sel-sel saraf

menyebabkan status penurunan dalam sensasi nyeri. Kegagalan

melepaskan endorphin memungkinkan terjadinya nyeri. Opiate seperti

morphine atau endorphine (kadang-kadang disebut enkefalin),


52

kemungkinan menghambat transmisi pesan nyeri dengan mengaitkan

tempat reseptor opiate pada saraf-saraf otak dan tulang belakang.

3. Klasifikasi Nyeri

Menurut National Institutes of Health (1986) dalam Potter & Perry (2009)

nyeri yang paling sering diobservasi oleh perawat pada pasien meliputi tiga

tipe yakni nyeri akut maligna kronik dan non maligna kronik. Brunner &

Suddarth (2002) menyebutkan dua kategori dasar nyeri yang umum

diketahui yaitu akut dan nyeri kronik.

a. Nyeri Akut

Menurut Potter & Perry (2009) nyeri akut terjadi setelah cedera akut,

penyakit, tau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan

intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk

waktu singkat.

Nyeri akut mempunyai karakteristik awitan mendadak, intensitas ringan

sampai berat, durasi singkat (dari beberapa detik sampai enam bulan).

Dapat menimbulkan respon otonom berupa frekuensi jantung meningkat,

volume sekuncup meningkat, tekanan darah meningkat, dilatasi pupil

meningkat, tegangan otot menigkat, motilitas gastrointestinal menurun,

aliran saliva menurun (mulut kering), komponen psikologis dapat

menyebabkan ansietas (Brunner & Suddart, 2010).

b. Nyeri Kronik

Nyeri kronik adalah keadaan diman seorang ndividu mengalami nyeri

yang menetap dan berlangsung lebih dari enam bualn. Nyeri kronik

mempunyai karakteristik awitan terus menerus atau intermitean,

intensitasrinagn sampai berat, durasi lama (enam bulan atau lebih), tidak
53

terdapat respon otonom, komponen psikologis dapat berupa depresi,

mudah marah, menarik diri, tidur tengganggu, libido menurun dan nafsu

makan menurun ( Brunners & Suddarth, 2010).

Tabel 2.1 Perbandingan Nyeri Akut dan Nyeri Kronik

Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronik


Tujuan atau Memperingankan adanya Tidak ada
Keuntungan cedera atau masalah
Awitan Mendadak Terus-menerus atau intrmiten
Letaknya Superfisial, pada Dapat bersifat superfisial
permukaan kulit, bersifat ataupun dalam, dapat berasal
lokal dari organ-organ dalam mulai
dari otot dan bagian lain
Manajemen Obat analgetik sebagai Mengobati dan memperbaiki
tatalaksana alternative penyebab sebagai alternative
utama
Intensitas Ringan-berat Ringan-berat
Durasi Singkat (beberapa detik – Lama ( > 6 bulan)
6 bulan
Respon otonom - Konsisten System tubuh mulai
dengan respon beradaptasi dapat berupa
stress lokal adaptasi sindrom atau
- Frekuensi denyut global adaptasi sindrom
jantung
meningkat
- Volum sekuncup
meningkat
- Tekanan darah
meningkat
- Dilatasi pupil
- Otot-otot
menegang
- Mortalitas usus
menurun
- Saliva menurun
Komponen Ansietas - Depresi
psikologi - Mudah marah
- Gangguan tidur
- Libido turun
- Nafsu makan
menurun
Contoh Nyeri bedah, trauma Nyeri kanker, atritis,
neuralgia trigeminal
Dikutip dari Porth CM. Pathophysiology : Concepts of Altered Health

State, ed. Ke-4, Philadelphia, JB Lippincott, 1995 dalam Brunner &

Suddarth (2010)
54

Price dan Wilson (2005) dalam Judha, dkk (2012) mengaklasifikasikan

nyeri berdasarkan lokasi atau sumber, antara lain

1) Nyeri Somatik Superfisial (Kulit)

Nyeri kulit berasal dari struktur-struktur superfisial kulit dan jaringan

subkutis, stimulus yang efektif untuk menimbulkan nyeri di kulit

dapat berupa rangsang mekanis, suhu, kimiawi atau listrik. Apabila

hanya kulit yang telibat, nyeri sering dirasakan sebagai penyengat,

tajam, meringis atau terbakar, tetapi apabila pembuluh darah ikut

berperan menimbulkan nyeri, sifat nyeri menjadi berdenyut.

2) Nyeri Somatik Dalam

Nyeri somatic dalam mengacu kepada nyeri yang berasal dari

otot, tendon, ligament, tulang, sendi dan arteri. Struktur-struktur ini

memiliki lebih sedikit reseptor nyeri sehingga klasifikasi nyeri sulit

dan cenderung menyebar ke daerah sekitarnya.

3) Nyeri Viseral

Nyeri visceral mengacu pada nyeri yang berasal dari organ-

organ tubuh. Reseptor nyeri visceral lebih jarang dibandingkan

dengan reseptor nyeri somatic dan terletak di dinding otot polos

organ-organ berongga. Mekanisme utama yang menimbulkan nyeri

visceral adalah perenggangan atau distensi abnormal dinding atau

kapsul organ, iskemia dan peradangan.


55

4) Nyeri Alih

Nyeri alih didefinisikan sebagai nyeri yang berasal dari salah

satu daerah ditubuh tetapi dirasakan terletak di daerah lain. nyeri

visera sering diahlihkan ke daerah dermatom (daerah kulit) yang

dipersarafi oleh segmen medulla spinalis yang sama dengan viksus

yang nyeri.

5) Nyeri Neuropati

Sistem saraf secara normal menyalurkan rangsangan yang

merugikan dari system saraf tepi (SST) ke system saraf pusat (SSP)

yang menimbulkan perasaan nyeri. Dengan demikian, lesi di SST

atau SSP dapat menyebabkan gangguan atau hilangnya sensasi nyeri.

Nyeri neuropatik sering memiliki kualitas seperti terbakar, perih atau

seperti tersengat listrik. Pasien dengan nyeri neuropatik menderita

akibat instabilitas system safar otonom (SSO). Dengan demikian

nyeri bertambah parah oleh stress emosi atau fisik (dingin, kelelahan)

dan mereda oleh relaksasi.

c. Fisiologis Nyeri

Proses terjadinya nyeri menurut Lindamen dan Arthie dalam Judha, dkk

(2012) adalah dimulai ketika bagian tubuh terluka oleh tekanan,

potongan, sayatan, dingin, atau kekurangan oksigen sel, maka akan

mengiritasi nosiseptor. Saraf ini akan merangsang dan bergerak

sepanjang serabut saraf atau neurotransmisi yang akan menghasilakn

subtansi yang disebut neurotransmitter seperti prostaglandin dan

epineprin, yang membawa pesan dari medulla spinalis ditransmisikan ke

otak dan dipesepsikan sebagai nyeri.


56

Dua tipe serabut saraf perifer yang megonduksi stimulus nyeri adalah

serabut A-delta yang bermielinasi dan cepat, dan serabut C yang tidak

bermielinasi dan berukuran sangat kecil serta lambat. Serabut A

mengirim sensasi yang tajam, terlokalisasi, dan jelas yang melokalisasi

sumber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri. Serabut C menyampaikan

impuls yang terlokalisasi buruk, visceral, dan terus-menerus. Ketika

serabut C dan serabut A-delta menstransmisikan impuls dari serabut saraf

peerifer, maka akan melepaskan mediator kimia yang mengaktifkan dan

membuat peka akan respon nyeri (Potter & Perry, 2009).

Sistem yang terlibat dalam trasmisi dan persepsi nyeri disebut sebagai

sistem nosiseptif. Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah ujung saraf bebas

dalam kulityang berespon hanya pada stimulus yang kuat, yang secara

potensial merusak. Serabut saraf ini bercabang sangat dekat dengan

asalnya pada kulit dan mengirimkan cabangnya ke pembuluh darah lokal,

sel-sel mast folikel rambut, dan kelenjar keringat. Stimulus yang kuat

pada serabut cabang visceral dapat mengakibat vasodilatasi dan nyeri

pada area tubuh yang berkaitan dengan serabut tersebut (Brunner &

Suddart, 2010).

Sejumlah substansi yang mempengaruhi sensitivitas ujung-ujung saraf

atau reseptor nyeri dilepaskan kejaringan ekstraseluler sebagai akibat

dari kerusakan jarinagan. Zat-zat kimiawi yang meningkatkan trasmisi

atau persepsi nyeri meliputi histamine, bradikin, asetikolin, dan subtansi

P. Prostaglandin adalah zat kimiawi yang diduga dapat meningkatkan

efek yang meningkatkan sensitivitas reseptor nyeri dari bradikinin. Selain


57

itu, endorphin dan enkefalin juga berfungsi sebagai inhibitor terhadap

trasmisi nyeri (Brunner & Suddarth, 2010).

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri

Menurut Potter & Perry (2009), nyeri mrupakan sesuatu yang kompleks,

banyak faktor yang mempengaruhi nyeri individu, antara lain:

a. Usia

Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya

pada anak-anak dan lansia.

b. Jenis Kelamin

Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam

berespon terhadap nyeri.

c. Kebudayaan

Sosialisasi budaya menentukan perilaku psikologis seseorang. Dengan

demikian, hal ini dapat mempengaruhi pengeluaran fisiologis opiate

endogen sehingga terjadila persepsi nyeri.

d. Makna Nyeri

Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara yang berbeda-beda,

apabila nyeri tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan,

hukuman, dan tanatangan. Derajat dan kualitas nyeri yang dipersepsikan

pasien berhubungan dengan makna nyeri.

e. Perhatian

Perhatian yang meningkan dihubungakn dengan nyeri yang meningkat,

sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon

nyeri yang menurun. Konsep ini merupakan salah satu konsep yang

perawat terapkan diberbagai terapi untuk menghilangkan nyeri, seperti


58

relaksasi, teknik imajinasi terbimbing (guided imaginary), dan massage

(pijat).

f. Ansietas

Stimulus nyeri megaktifkan bagian sistem limbic yang fiyakini

mengendalikan emosi seseorang, khususnya ansietas. Sistem limbic

dapat mempengaruhi reaksi emosi terhadap nyeri, yakni memperburuk

atau menghilangkan nyeri.

g. Keletihan

Rasa keletihan menyebabkan sensasi nyeri semakin intemsif dan

menurunkan kemampuan koping.

h. Pengalaman Sebelumnya

Apabila seorang pasien tidak pernah merasakan nyeri, maka persepsi

pertama nyeri dapat mengganggu koping terhadap nyeri.

i. Gaya Koping

Pasien seringkali menemukan berbagai cara untuk mengembangkan

koping terhadap efek fisik dan psikologis nyeri. Sumber-sumber seperti

berkomunikasi dengan keluarga pendukung, melakukan latihan, atau

menyanyi dapat digunakan dalam asuhan keperawatan dalam upaya

mendukung pasien dan mengurangi nyeri sampai tingkat tertentu.

j. Dukungan Keluarga dan Sosial

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota

keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan, atau

perlindungan.
59

5. Karakteristik Nyeri

Menurut Potter dan Perry (2009) nyeri bersifat individualistik. Pengkajian

karakteristik umum nyeri membantu perawat membentuk pengertian pola

nyeri dan tipe terapi yang digunakan untuk mengatasi nyeri. Penggunaan

instrumen untuk menghitung luas dan derajat nyeri bergantung kepada

pasien yang sadar secara kognitif dan mampu memahami instruksi perawat.

Karakteristik nyeri dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Awitan dan Durasi

Perawat mengajukan pertanyaan untuk menentukan awitan, durasi, dan

rangkaian nyeri. Kapan nyeri mulai dirasakan ? Sudah berapa lama nyeri

dirasakan ? Apakah nyeri yang dirasa terjadi pada waktu yang sama

setiap hari ? Seberapa sering nyeri kembali kambuh ?.

Awitan nyeri yang berat dan mendadak lebih mudah dikaji daripada

nyeri yang bertahap atau ketidaknyamanan yang ringan. Pemahaman

tentang siklus waktu nyeri membantu perawat untuk mengetahui kapan ia

harus melakukan intervensi sebelum terjadi atau memperburuk nyeri.

b. Lokasi

Untuk mengkaji lokasi nyeri, perawat meminta pasien untuk

menunjukkan semua daerah yang dirasa tidak nyaman. Untuk

melokalisasi nyeri dengan lebih spesifik, perawat kemudian meminta

pasien melacak daerah nyeri dari titik yang paling nyeri.

c. Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan

oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual

dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat


60

berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan

pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon

fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2006).

Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan

sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang

tersusun dengan jarak yang sama disepanjang garis. Pendeskripsi ini

diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak

tertahankan”. Perawat menunjukan pasien skala tersebut dan meminta

pasien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat

juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan

seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan (Potter dan Perry,

2009).

Skala Analogi Visual (VAS) adalah skala yang berbentuk garis

horizontal sepanjang 10 cm, dan ujungnya mengindikasikan nyeri yang

berat. Pasien diminta untuk menunjuk titik pada garis yang menunjukkan

letak nyeri terjadi di sepanjang rentang tersebut. Ujung kiri biasanya

menandakan “tidak ada” atau “tidak nyeri”, sedangkan ujung kanan

biasanya menandakan “berat” atau “nyeri yang paling buruk”. Untuk

menilai hasil, sebuah penggaris diletakkan sepanjang garis dan jarak

yang dibuat pasien pada garis dari “tidak ada nyeri” diukur dan ditulis

sentimeter (Brunner dan Suddarth, 2010).

Berikut ini adalah contoh skala intensitas nyeri yaitu :

1) Skala Intensitas Nyeri Deskriptif Sederhana


61

2) Skala Intensitas Nyeri Numerik 0-10

3) Skala Analog Visual (VAS)

Gambar 2.5 Skala Intensitas Nyeri

Keterangan :

0 : Tidak nyeri.

1-3 : Nyeri ringan (secara objektif pasien dapat berkomunikasi dengan

baik).

4-6 : Nyeri sedang (secara objektif pasien mendesis, menyeringai,

dapat menunjukan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat

mengikuti perintah dengan baik.


62

7-9 : Nyeri berat (secara objektif pasien terkadang tidak dapat

mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat

menunjukan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak

dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi.

10 : Nyeri sangat berat (pasien sudah tidak mampu lagi

berkomunikasi, memukul).

d. Kualitas

Seringkali pasien mendeskripsikan nyeri sebagai sensasi remuk

(crushing), berdenyut (throbbing), tajam, atau tumpul. Nyeri yang

pasien rasakan seringkali tidak dapat dijelaskan. Kualitas menusuk

(pricking), terbakar, dan rasa sakit adalah bermanfaat untuk

mendeskripsi nyeri tahap awal. Nyeri akibat insisi bedah seringkali

dideskripsikan sebagai sensasi tajam atau tikaman (Potter dan Perry,

2009).

e. Pola Nyeri

Perawat meminta pasien untuk mendeskripsikan aktivitas yang

menyebabkan nyeri, seperti gerakan fisik, meminum kopi, urinasi).

Perawat juga meminta pasien mendemonstrasikan aktivitas yang

menimbulkan respon nyeri, misalnya batuk atau membalikkan tubuh

dengan cara tertentu.

f. Tindakan untuk Menghilangkan Nyeri

Akan sangat bermanfaat apabila perawat mengetahui apakah pasien

mempunyai cara yang efektif untuk menghilangkan nyeri, seperti

mengubah posisi, melakukan tindakan ritual (melangkah, berayun-ayun,


63

menggosok), makan, meditasi, atau mengompres bagian yang nyeri

dengan kompres hangat.

g. Gejala Penyerta

Gejala penyerta adalah gejala yang seringkali menyertai nyeri (misalnya

mual, nyeri kepala, pusing, keinginan untuk miksi, konstipasi, dan

gelisah).

6. Pengukuran Nyeri

Ada tiga tipe pengukuran nyeri (Prayitno, 2011) sebagai berikut :

a. Self-Report Measure

Pengukuran tersebut seringkali melibatkan penilaian nyeri pada beberapa

jenis skala metrik. Seorang penderita diminta untuk menilai sendiri rasa

nyeri yang dirasakan apakah nyeri yang berat (sangat nyeri), kurang

nyeri dan nyeri sedang. Menggunakan buku harian merupakan cara lain

untuk memperoleh informasi baru tentang nyerinya jika rasa nyerinya

terus menerus atau menetap atau kronik.

Cara ini sangat membantu untuk mengukur pengaruh nyeri terhadap

kehidupan pasien tersebut. Penilaian terhadap intensitas nyeri, kondisi

psikis dan emosional atau keadaan afektif nyeri juga dapat dicatat. Self-

report dianggap sebagai standar gold untuk pengukuran nyeri karena

konsisten terhadap definisi/ makna nyeri. Yang termasuk dalam self-

report measure adalah skala pengukuran nyeri (misalnya VRS, VAS, pain

drawing, McGill Pain Quesioner, Diary).

b. Observational Measure (Pengukuran Secara Observasi)

Pengukuran ini adalah metode lain dari pengukuran nyeri.

Observational measure biasanya mengandalkan pada seorang terapis


64

untuk mencapai kesempurnaan pengukuran dari berbagai aspek

pengalaman nyeri dan biasanya berkaitan dengan tingkah laku penderita.

Pengukuran ini relatif mahal karena membutuhkan waktu observasi yang

lama. Pengukuran ini mungkin kurang sensitif terhadap komponen

subjektif dan afektif dari nyeri. Yang termasuk dalam observational

measure adalah pengukuran tingkah laku, fungsi, ROM.

c. Pengukuran Fisiologis

Perubahan biologis dapat digunakan sebagai pengukuran tidak

langsung pada nyeri akut, tetapi respon biologis pada nyeri akut dapat

distabilkan dalam beberapa waktu karena tubuh dapat berusaha

memulihkan homeostatisnya. Sebagai contoh, pernapasan atau denyut

nadi mungkin menunjukkan beberapa perubahan yang kecil pada awal

migrain jika terjadi serangan yang tiba-tiba dan keras, tetapi beberapa

waktu kemudian perubahan tersebut akan kembali sebelum migrain

tersebut menetap sekalipun migrainnya berlangsung lama.Yang termasuk

dalam pengukuran fisiologis adalah pemeriksaan denyut nadi,

pernapasan, dan lain-lain.

Adapun indikator-indikator perilaku terhadap efek nyeri (Potter

dan Perry, 2009) sebagai berikut :

1) Ekspresi : merintih, menangis, terengah-engah, mendengkur.

2) Ekspresi wajah : meringis, gigi yang terkatup, dahi yang berkerut,

mata/ mulut yang tertutup rapat atau terbuka lebar, menggigit bibir.

3) Gerakan tubuh : gelisah, tidak dapat bergerak, tensi otot,

meningkatnya pergerakan tangan dan jari, aktivitas melangkah bolak-


65

balik, gerakan menggosok/ mengusap, melindungi gerakan bagian

tubuh tertentu, menggenggam atau memegang bagian tubuh tertentu.

d. Interaksi sosial : menghindari percakapan, hanya berfokus pada aktivitas

yang mengurangi nyeri, menghindari kontak sosial, mengurangi waktu

perhatian, mengurangi interaksi dengan lingkungan.

D. Manajemen Nyeri

1. Pengertian

Menurut Andarmoyo (2013) manajemen nyeri adalah suatu tindakan untuk

mengurangi nyeri. Pendekatan yang digunakan dalam manajemen nyeri

meliputi pendekatan farmakologi dan non-farmakologi, sebaiknya

pendekatan ini dilakukan secara bersama-sama, karena pendekatan

farmakologi dan non-farmakologi tidak akan efektif bila dilakukan atau

digunakan sendiri-sendiri. Pendekatan ini diseleksi berdasarkan pada

kebutuhan dan tujuan pasien secara individu. Semua intervensi akan sangat

berhasil bila dilakukan sebelum nyeri menjadi lebih parah, dan keberhasilan

terbesar sering dicapai jika beberapa intervensi diterapkan secara simultan

(Brunner dan Suddarth, 2010).

2. Tujuan

Menurut Andarmoyo (2013) dalam dunia keperawatan manajemen nyeri

dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :

a. Mengurangi intensitas dan durasi keluhan nyeri.

b. Menurunkan kemungkinan berubahnya nyeri akut menjadi gejala nyeri

kronis yang persisten.

c. Mengurangi penderitaan dan/ atau ketidakmampuan/ ketidakberdayaan

akibat nyeri.
66

d. Meminimalkan reaksi tak diinginkan atau intoleransi terhadap terapi

nyeri.

e. Meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengoptimalkan kemampuan

pasien untuk menjalankan aktivitas sehari-hari.

3. Jenis-Jenis Manajemen Nyeri

a. Manajemen Nyeri Farmakologi

Menurut Potter dan Perry (2009) analgesik merupakan metode yang

paling umum untuk mengatasi nyeri. Ada tiga jenis analgetik yaitu:

1) Non-Narkotik dan Obat Anti-inflamasi Nonsteroid (NSAID)

NSAID Non-narkotik umumnya menghilangkan nyeri ringan atau

sedang, seperti nyeri yang terkait dengan arthritis rematoid,

prosedur pengobatan gigi dan prosedur bedah minor, episiotomi,

dan masalah punggung bagian bawah.

2) Analgesik Narkotik atau Opiat

Analgesik opiat umumnya diresepkan untuk nyeri sedang sampai

berat, seperti nyeri pasca operasi dan maligna. Opiat menyebabkan

depresi pernapasan melalui depresi pusat pernapasan di dalam

batang otak. Pasien juga mengalami efek samping, seperti mual,

muntah, konstipasi, dan perubahan proses mental.

3) Obat Tambahan (Adjuvan) atau Koanalgetik

Adjuvan, seperti sedatif, anti cemas, dan relaksan otot

meningkatkan kontrol nyeri atau menghilangkan gejala lain yang

terkait dengan nyeri, seperti depresi dan mual. Sedatif seringkali

diberikan untuk penderita nyeri kronik. Obat-obatan ini dapat


67

menimbulkan rasa kantuk dan kerusakan koordinasi, keputusasaan,

dan kewaspadaan mental.

b. Manajemen Nyeri Non Farmakologi

Menurut Potter dan Perry (2009), ada sejumlah terapi non-farmakologi

yang mengurangi resepsi dan persepsi nyeri dan dapat digunakan pada

keadaan perawatan akut. Dengan cara yang sama, terapi-terapi ini

digunakan dalam kombinasi dengan tindakan farmakologi. Tindakan

non-farmakologi mencakup intervensi perilaku-kognitif dan

penggunaan agen-agen fisik. Tujuan intervensi perilaku-kognitif adalah

mengubah persepsi pasien tentang nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan

memberi pasien rasa pengendalian yang lebih besar.

Menurut Tamsuri (2006) tindakan non-farmakologi untuk mengatasi

nyeri terdiri dari beberapa tindakan penagnanan. Yang pertama

berdasarkan penanganan fisik/ stimulasi fisik meliputi Stimulasi kulit,

Stimulasi elektrik (TENS), Akupuntur, Plasebo. Yang kedua

berdasarkan intervensi perilaku kognitif meliputi Relaksasi, Umpan

balik biologis, Hipnotis, Distraksi, Guided Imagery (Imajinasi

terbimbing).

Dibawah ini akan dijelaskan beberapa contoh dari tindakan non-

farmakologi, yaitu :

1) Stimulasi Saraf Elektrik Transkutan (TENS)

Menurut Hargreaves dan Lander (1989) dalam Potter dan Perry

(2009) Stimulasi Saraf Elektrik Transkutaneus (Transcutaneus

Elektrik Nerve Stimulations, TENS), dilakukan dengan stimulasi

pada kulit dengan menggunakan arus listrik ringan yang


68

dihantarkan melalui elektroda luar. Terapi ini dilakukan

berdasarkan instruksi dokter. Unit TENS terdiri dari transmiter

bertenaga baterai, kabel timah, dan elektroda. Elektroda dipasang

langsung pada atau dekat lokasi nyeri. Rambut atau bahan-bahan

yang digunakan untuk persiapan kulit dibuang sebelum elektroda

dipasang. Apabila pasien merasa nyeri, transmitter dinyalakan dan

menimbulkan sensasi kesemutan atau sensasi dengung. Pasien

dapat menyesuaikan intensitas dan kualitas stimulasi kulit. Sensasi

kesemutan dapat dibiarkan sampai nyeri hilang. TENS efektif

untuk mengontrol nyeri pasca operasi (misalnya mengangkat drain

dan membersihkan serta kembali membungkus luka bedah).

2) Akupuntur

Akupuntur merupakan pengobatan yang sudah sejak lama

digunakan untuk mengobati nyeri. Jarum-jarum kecil yang

dimasukkan pada kulit, bertujuan menyentuh titik-titik tertentu,

tergantung pada lokasi nyeri, yang dapat memblok transmisi nyeri

ke otak (Tamsuri, 2006).

3) Akupresur

World Health Organization (WHO) mengakui akupresur sebagai

suatu ilmu yang mengakibatkan neuron pada sistem saraf, dimana

hal ini merangsang kelenjar-kelenjar endokrin dan hasilnya

mengaktifkan organ yang bermasalah. Akupresur menggunakan

teknik penekanan dan pemijatan dengan tujuan menyingkirkan

hambatan dan sumbatan sehingga energi hidup dapat mengalir

secara teratur, dan organ yang terganggu bisa kembali berfungsi


69

normal. Salah satu pendekatan yang menarik dari akupresur adalah

penanganannya tidak terbatas pada organ yang bermasalah saja,

tapi juga pada sumber masalah yang sering berada di luar organ

yang bermasalah (Mangoenprasodjo dan Hidayati, 2005).

4) Hipnotis

Hipnotis dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui

pengaruh sugesti positif. Suatu pendekatan kesehatan holistik,

hipnosis-diri menggunakan sugesti-diri dan kesan tentang perasaan

yang rileks dan damai. Individu memasuki keadaan rileks dengan

menggunakan berbagai ide pikiran dan kemudian kondisi-kondisi

yang menghasilkan respon tertentu bagi mereka (Edelman dan

Mandel, 1994). Konsentrasi yang intensif mengurangi ketakutan

dan stres karena individu berkonsentrasi hanya pada satu pikiran

(Potter dan Perry, 2009).

5) Masase

Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering

dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase dapat membuat

pasien lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot

(Brunner dan Suddarth, 2010).

Masase kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan

ketegangan otot. Rangsangan masase otot ini dipercaya akan

merangsang serabut berdiameter besar, sehingga mampu memblok

atau menurunkan impuls nyeri (Tamsuri, 2006).


70

6) Terapi Es dan Panas

Terapi es (dingin) dan panas dapat menjadi strategi pereda nyeri

yang efektif pada beberapa keadaan. Diduga bahwa terapi es dan

panas bekerja dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (Brunner

dan Suddarth, 2010).

7) Mengurangi Persepsi Nyeri

Menurut Potter dan Perry (2009) salah satu cara sederhana untuk

meningkatkan rasa nyaman ialah membuang atau mencegah

stimulus nyeri. Hal ini terutama penting bagi pasien yang

imobilisasi atau tidak mampu merasakan sensasi ketidaknyamanan.

Nyeri juga dapat dicegah dengan mengantisipasi kejadian yang

menyakitkan.

8) Relaksasi

Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan

dan stres. Teknik relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika

terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stres fisik dan emosi pada

nyeri. Supaya relaksasi dapat dilakukan dengan efektif, maka

diperlukan partisipasi individu/ pasien dan kerjasama. Perawat

menjelaskan teknik relaksasi dengan rinci dan menjelaskan sensasi

umum yang pasien alami. Pasien harus menggunakan sensasi ini

sebagai umpan balik. Perawat bertindak sebagai pelatih,

mengarahkan pasien dengan perlahan melalui tahap-tahap latihan.

Lingkungan harus bebas dari keributan atau stimulus lain yang

mengganggu (Potter dan Perry, 2009).


71

E. Konsep Foot Hand Massage

1. Fisiologi Pemijatan Refleksi

Pamungkas (2009) menyatakan bahwa terapi pijat refleksi adalah cara

pengobatan yang memberikan sentuhan pijatan pada lokasi dan tempat yang

sudah dipetakan sesuai pada zona terapi. Pada zona-zona ini, ada suatu

batas atau letak reflek-reflek yang berhubungan dengan organ tubuh

manusia, dimana setiap organ atau bagian tubuh terletak dalam jalur yang

sama berdasarkan fungsi system saraf. Potter & Perry (2009) menegaskan

bahwa pemberian sentuhan terapeutik dengan menggunakan tangan akan

memberikan aliran energi yang menciptakan tubuh menjadi relaksasi,

nyaman, nyeri berkurang, aktif dan membantu tubuh untuk segar kembali.

Apabila titik tekan dipijat atau disentuh dan diberi aliran energi maka

system cerebral akan menekan besarnya sinyal nyeri yang masuk kedalam

sistem saraf yaitu dengan mengaktifkan sistem nyeri yang disebut analgesia

(Guyton & Hall, 2007). Ketika pemijatan menimbulkan sinyal nyeri, maka

tubuh akan mengeluarkan morfin yang disekresikan oleh sistem serebral

sehingga menghilangkan nyeri dan menimbulkan perasaan yang nyaman

(euphoria). Reaksi pijat refleksi terhadap tubuh tersebut akan mengeluarkan

neurotransmitter yang terlibat dalam sistem analgesia khususnya enkafalin

dan endorphin yang berperan menghambat impuls nyeri dengan memblok

transmisi impuls ini di dalam system serebral dan medulla spinalis (Guyton

& Hall, 2007).

Rasa sakit yang dirasakan oleh tubuh di atur oleh dua sistem serabut saraf

yaitu serabut A-Delta bermielin dan cepat dan serabut C tidak

bermeilin berukuran sangat kecil dan lambat mengolah sinyal sebelum


72

dikirim ke sistem saraf pusat atau sistem serebral. Rangsangan yang masuk

ke sistem saraf serabut A-Delta mempunyai efek menghambat rasa sakit

yang menuju ke serabut saraf C, serabut saraf C bekerja untuk melawan

hambatan. Sementara itu, signal dari otak juga mempengaruhi intensitas rasa

sakit yang dihasilkan. Seseorang yang merasa sakit bila rangsangannya

yang datang melebihi ambang rasa sakitnya, secara reflek orang akan

mengusap bagian yang cedera atau organ tubuh manusia yang berkaitan

dengan daerah titik tekan tersebut. Usaha tubuh untuk merangsang serabut

saraf A-Delta menghambat jalannya sinyal rasa sakit yang menuju ke

serabut C menuju ke otak, dampaknya rasa sakit yang diterima otak

bisa berkurang bahkan tidak terasa sama sekali (Guyton & Hall, 2007).

2. Pengertian Foot Hand Massage

Massage dapat diartikan sebagai pijat yang telah disempurnakan dengan

ilmu-ilmu tentang tubuh manusia atau gerakan-gerakan tangan yang

mekanis terhadap tubuh manuusia dengan mempergunakan bermacam-

macam bentuk pegangan atau tehnik (Trisnowiyanto , 2012).

Menurut Stillwell (2011)Massage disebut juga sebagai refleksologi Foot and

hand massage adalah bentuk massage pada kaki atau tangan yang didasarkan

pada premis bahwa ketidaknyamanan atau nyeri diarea spesifik kaki atau

tangan berhubungan dengan bagian tubuh atau gangguan.

3. Jenis Pijat

Terdapat banyak sekali jenis pijat berdasarkan tekniknya. Ada pijat yang

dilakukan menggunakan tangan, kaki, ataupun alat bantu. Tiap teknik

memberikan manfaat yang berbeda- beda. Ada pijat yang berfungsi

menyembuhkan penyakit, adapula pijat yang berfungsi sekedar melemaskan


73

otot-otot tubuh.

a. Pijat Aroma Terapi

Pada terapi ini, terapis menggunakan minyak yang berasal dari ekstrak

tumbuhan. Minyak tersebut sangat wangi dan memiliki beberapa fungsi.

SAlah satu jenis minyak yang paling sering digunakan adalah

minyak lavender. Pijat dengan aroma terapi sangat pas

digunakan untuk relaksi.

b. Pijat Batu Panas

Pada pijat jenis ini , alat yang digunakan adalah batu vulkanik yang

dipanaskan. Batu panas bisa digunakan sebagai alat pijat. Batu pana

akan diletakkan dibagian tubuh tertentu selama beberapa waktu, yaitu

sampai rasa hangat yang ada dibatu menghilang. Batu panas yang

diletakkan ditubuh mengakibatkan pembuluh darah melebar

sehingga aliran darah menjadi lancer dan bisa membuat rileks.

c. Totok Aura

Aura adalah medan energy elekromagnetik yang tidak hanya terletak di

wilayah, tetapi juga diseluruh tubuh. Aura berfungsi melindungi

seseorang dari energy negative yang bersifat tak kasat mata.

Adapun totok aura adalah penggabungan dua teknik pernapasan.

Teknik pernapasan. Teknik pernapasan yang dimaksud merupakan

teknik penyaluran hawa murni pada titik yang ada di wajah. Totok

aura dipercaya dapat membuat seseorang terlihat tampil lebih cantik

dan menarik.

d. Totok Darah

Totok darah berperan penting dalam kesehatan tubuh. Beberapa fungsi


74

penting darah dalam tubuh antara lain sebagai transportasi air, oksigen,

dan sari makanan. Darah juga bermanfaat menjaga keseimbangan

temperature tubuh dan mencegah infeksi.

Totok darah ditujukan untuk melancarkan peredaran darah dan getah

bening. Totok darah dapat pula dilakukan untuk mengurangi zat – zat

pelelah yang menggumpal dalam sel sel otot, memperbaiki proses

metabolism di dalam tubuh, dan menyempurnakan proses metabolism di

dalam tubuh, dan menyempurnakan proses pembagian zat –zat

makanan ke seluruh tubuh, dan menyempurnakan proses pembagian zat-

zat makanan ke seluruh tubuh.

4. Tujuan Massage

Adapun tujuan dari massage (Sulistyowati ,2014) adalah :

a. Melancarkan peredaran darah terutama peredaran darah vena

(pembuluh balik) dan peredaran getah bening (air limphe)

b. Menghancurkan pengumpulan sisa-sisa pembakaran didalam sel-sel

otot yang telah mengeras yang disebut mio-gelosis (asam laktat)

c. Menyempurnakan pertukaran gas dan zat didalam jaringan atau

memperbaiki proses metabolisme

d. Menyempurnakan pembagian zat makanan ke seluruh tubuh

e. Menyempurnakan proses pencernakan makanan

f. Menyempurnakan proses pembuangan sisa pembakaran kealat-alat

pengeluaran atau mengurangi kelelahan

g. Merangsang otot-otot yang dipersiapkan untuk bekerja yang lebih

berat, menambah tonus otot, efisiensi otot (kemampuan guna otot) dan

elsitas otos (kekenyalan otot)


75

h. Merangsang jaringan syaraf, mengaktifkan syaraf sadar dan kerja

syaraf otonomi ( syaraf tak sadar)

i. Membantu penyerapan (absorbs) pada peradangan bekas luka

j. Membantu pembentukan sel baru dalam perkembangan tubuh

k. Membersihkan dan menghaluskan kulit

l. Memberikan rasa nyaman, segar dan kehangatan pada tubuh

m. Menyembuhkan atau meringankan berbagai gangguan

5. Manfaat Massage

Adapun manfaat massage antara lain:

a. Meredakan stress

b. Menjadikan tubuh rileks

c. Melancarakan sirkulasi darah

d. Mengurangi rasa nyeri

6. Manfaat Foot Hand Massage

Menurut Stiwell (2011) penekanan pada area spesifik kaki atau tangan

diduga melepaskan hambatan pada area tersebut dan memungkinkan energy

mengalir bebas melalui bagian tubuh tersebut sehingga pada titik

yang tepat pada kaki yang di massage dapat mengatasi gejala nyeri.

7. Teknik Pemijatan
76

Gambar 2.6 Tehnik Pemijatan Kaki Dan Tangan Barbara & Kunz,

(2012 dalam Sulistyowati ,2014)


77

BAB III

LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA

A. Pengkajian Pasien

1. Data Identitas Pasien

Klien Tn. T usia 38 tahun, No. RM 87.9X.XX, suku Jawa, agama Islam,

pendidikan terakhir SMA, bekerja swasta, menikah, alamat jalan Karang

Asam RT 1 No. 07 Samarinda. Pasien masuk pada tanggal 26 Juli 2016 pada

pukul 10.00 WITA dengan diagnose ACS UAP.

2. Keluhan Utama

a. Saat Masuk Rumah Sakit

Klien mengatakan Tn.T tiba-tiba nyeri dada sampai ke lengan kanan

sejak pukul 18.00 WITA sehingga Tn.T di bawa ke IGD RS AWS oleh

istrinya.

b. Saat Pengkajian

Tn.T mengatakan nyeri dada sebelah kiri dengan skala 6, nyeri dirasakan

menjalar ke lengan kiri dan ulu hati , nyeri dirasakan seperti tertekan,

nyeri dirasakan terus-menerus dengan durasi ±10 menit, nyeri bertambah

bila sedang bergerak atau beraktivitas.

c. Alasan di rawat di ICCU

Klien didiagnosa oleh dokter dengan diagnosa medis ACS UAP dan

sebelumnya klien pernah dirawat di RSUD AWS pada bulan mei 2015

dengan keluhan penyakit yang sama yaitu ACS UAP, klien mengalami

serangan yang kedua pada bulan juli 2016 yang menyebabkan klien

dirawat kembali di RSUD AWS dan harus menjalani perawatan di ruang

ICCU.
78

3. Data khusus

a. Primery Survey

1) Breathing

RR 28x/menit, irama nafas teratur, SPO2 100%, ekspansi dada

simetris, tidak ada retraksi dinding dada, suara nafas vesikuler, tidak

ada rochi atau wheezhing pada paru, tidak terdapat pernafasan cuping

hidung, sesak nafas berkurang saat melakukan aktivitas dan

berkurang saat istirahat, terpasang oksigen nasal kanul 3

liter/permenit.

2) Brain

Kesadaran compos mentis, GCS dengan E4 M6 V5, pupil isokor pada

kanan dan kiri (2 mm/2 mm), pupil bereaksi cahaya.

3) Blood

Tekanan darah 106/60 mmHg, N: 112, irama regular pada nadi

radialis, bunyi jantung S1 dan S2 tunggal dan regular, akral hangat,

CRT < 2 detik, terpasang IVFD RL 10 tpm, syrimp Pump Vascon

0.05 meq/BB/Jam.

4) Bladder

Klien BAK spontan, jumlah urine 1500 cc selama 24 jam, tidak ada

distensi kandung kemih, urine berwarna kuning.

5) Bowel

Klien makan 3 kali sehari dengan diet jantung rendah garam dan

snack 2 kali sehari, pasien menghabiskan makanannya. Klien minum

air putih ± 2000 cc/hari, bising usus 7-8x/menit, klien buang air besar

2 klai sehari, tidak ada distensi abdomen.


79

6) Bone

Pola aktivitas dibatasi ditepat tidur (klien sesak nafas dan nyeri dada

saat bergerak), tidak ada masalah dengan kekuatan otot ektermitas

atas maupun bawah dengan skor penuh (skor 5). Tidak ada edema.

b. Secondary Survey

1) Pengkajian Fungsional

a) Pola Persepsi Kesehatan-Manajemen Kesehatan

Data Subjektif:

Pasien mengatakan merasa tidak puas degan kesehatannya

selama ini,dengan keadaannya sekarang pasien merasa kesehatan

adalah hal yang sangat peting. Pasien mengatakan mempunyai

riwayat penyakit jantung, pada bulan Mei 2015 pasien pernah

dirawat di RSUD Abdul Wahab Sjahranie karena nyeri dada dan

didiagnosa ACS UAP sdengan masa perawatan 3 minggu. Pasien

mengatakan setelah keluar rumah sakit klien rajin memeriksakan

kesehatannya ke dokter jantung di Poli jantung RSUD AWS

Samarinda. akan tetapi saat puasa tahun ini pasien lupa minum

obat dan menyebabkan pasien terkena serangan yang kedua.

Pasien juga memiliki penyakit asam urat.

Data Objektif:

Pasien orientasi waktu, orang, dan tempat dengan baik.

Kesadaran compos mentis, memori jangka panjang dan pendek

baik, klien tidak memakai kaca mata.

b) Pola Metabolik
80

Data Subjektif:

Pasien mengatakan jarang menimbang berat badannya,

berat badan klien sekarang 75 kg. Pasien menghindari makanan

yang dapat mempengaruhi asam uratnya. Pasien tidak ada mual

dan muntah serta gangguan menelan. Pasienmengatakan

frekuensi makannya saat dirumah sakit sama yaitu, 3 kali sehari.

Di rumah sakit diit pasien adalah bubur porsi dewasa, dan

pasienmenghabiskan makanannya.

Data Objektif :

Kulit lembab tidak ada lesi, mukosa bibir lembab, sclera

tidak ikterik, BB; 75 Kg. klien menghabiskan makanan diit yang

diberikan rumah sakit.

c) Pola Eliminasi

Data Subjektif :

Pasien mengatakan BAK 4-5 kali sehari, tidak ada keluhan

saat BAK, warna urin berwarna kuning. Pasien mengatakan BAB

2 kali, konsistensi lunak.

Data Objektif :

Salama di rawat di RS, untuk perawatan diri klien

memrlukan bantuna perawat seperti mandi/seka dan kebersihan

diri. Bunyi bising usus 7-8x/menit.

d) Pola Aktivitas dan Latihan (Olahraga)

Data Subjektif :
81

Pasien mengatakan mudah lelah, jika beraktivitas yang

berat. Olahraga pasien adalah aktivitas sehari-hari dirumah,

pasien jarang menjadwalkan waktu untuk olah raga. Klien tidak

memakai alat bantu untuk berjalan. Pasien mengatakan aktivitas

dirumah (ADL) dilakukan secara mandiri tanpa bantuan orang

lain.

Data Objektif :

ADL pasien di RS di abntu oleh perawat, tidak ada

sianosis, denyut nadi mudah dipalpasi, ekstremitas hangat. CRT <

2 detik. RR 28 x/menit, bedrest dengan posisi semi fowler,

pergerakan dada simetris, ROM aktif, kekuatan otot pada semua

ekstremitas niali 5.

e) Pola Istirahat dan Tidur

Data Subjektif :

Pasien mengatakan saat di rumah, pasien tidur malam

sekitar 7-8 jam sehari tetapi klien jarang tidur siang. Saat di RS

pasien tidur malam 7-8 sehari dan tidur siang. Pasien mengatakan

tidur kurang nyenyak karena nyerinya dadanya kadang muncul.

Data Objektif :

Tidak terdapat kantung mata, keadaan umum sedang.

f) Pola Persepsi-Kognitif

Data Subjektif:

Pasien mengatakan nyeri dada sebelah kiri, menjalar ke

lengan kiri dan ulu hati dengan Skala 6 (nyeri sedang), nyerinya
82

seperti di tekan, nyeri dirasakan hilang timbul dengan durasi ±15

menit, nyeri bertambah saat bergerak dan berkurang saat istirahat.

Data Objektif :

Ekspresi menahan nyeri, klien terkadang memegang dada

yang terasa nyeri.

g) Pola Konsep Diri-Persepsi Diri

Data Subjektif :

Pasien mengatakan ingin cepat sembuh dan dapat

beraktifitas seperti semula. Keluarga selalu memberikan

dukungan terhadap kesembuhan pasien. Pasien merupakan

pegawai swasta yang memiliki 3 orang anak 2 orang anak laki-

laki dan 1 orang anak perempuan.

Data Objektif :

Saat dilakukan pengkajian pasien tenang, tidak gelisah.

h) Pola Hubungan-Peran

Data Subjektif:

Pasien mengatakan selama ini hubungan dengan istri dan

anak-anaknya baik. Begitu pula dengan tetangga dan anggota

keluarga yang lain. Pasien selaku kepala keluarga bekerja untuk

menafkahi keluarganya. Namun saat sakit klien tidak bisa bekerja

seperti biasanya.

Data Objektif

Saat jam besuk istri dan anak klien selalu datang menemani

klien.
83

i) Pola Reproduksi-Seksualitas

Pasien mengatakan tidak ada masalah dengan organ

genetalianya. Klien merasa bahagia telah dikaruniai 3 orang anak.

j) Pola Toleransi Terhadap Stress-Koping

Pasien mengatakan selalu berpikir positif akan keadaanya

sekarang dan berharap upaya yang pengobatan yang dilakukan

saat ini dapat membuat klien sehat kembali.

k) Pola Keyakin-Nilai

Pasien mengatakan selalu berdoa agar cepat sembuh dan

dapat kembali berkumpul dengan keluarga di rumah. Pasien

beragama islam.

2) Pemeriksaan Head to Toe

a) Kepala : bentuk kepala mesochepal, tidak ada lesi pad kulit

kepala, tidak ada ketombe, tidak ada benjolan,tidak ada luka,

tidak ada nyeri tekan.

b) Rambut : berwarna hitam, distribusi merata, pendek, lurus, tidak

rontok, tidak berbau,

c) Mata : simetris kiri dan kanan, pupil isokor pada mata kanan dan

kiri (2 mm/ 2mm), pupil berreaksi terhadap cahaya, konjungtiva

tidak anemis, sclera tidak ikterik, fungsi penglihatan normal.

Pasien tidak menggunakan kaca mata.

d) Telinga : simetris kiri dan kanan, tidak ada massa, tidak ada

cairan atau lendir yang keluar dari liang telinga, tidak ada nyeri,

fungsi pendengaan baik.

e) Hidung : tidak ada masa, tidak ada cairan atau lendir yang kleuar
84

dari lubang hidung, posisi septum nasal ada di tengah, tidak ada

polip, pasien dapat membedakan bau-bauan.

f) Mulut : membrane mukosa lembab, gigi utuh, terdapat karien

gigi, lidah bersih, tidak ada peradangan dan perdarahan gusi,

tidak ada sariawan.

g) Tenggorokan : tidak ada pembesaran tonsil, reflek menelan baik.

h) Leher : tidak ada pembedaran kelenjat tiroid dan kelenjar getah

bening, tidak ada tekanan vena jugularis.

i) Dada : bentuk normal, ekspansi dada simetris, tidak ada retraksi

dinding dada, suara nafas vesikuler, tidak menggunkan otot bantu

pernafasan.

j) Paru : irama nafa regular, RR 28x/menit, pada palpasi vocal

fremitus teraba jelas dan sama pada dada kiri dan kanan. Pada

perkusi bunyi sonor, pada auskultasi suara nafas vesikuler.

k) Jantung : denyutan ictus cordis terlihat pada ICS V midclavikula

kiri, pada palpasi ictus cordi teraba di ICS V di sebelah medial

linea Midclavikula sinistra, pada perkusi suara pekak dan pada

auskultasi didapatkan bunyi jantung S1 dan S2 tunggal dan

regular.

l) Abdomen : pada inspeksi bentuk flat, tidak ada lesi, tidak ada

distensi abdomen, tidak ada asites. Pada auskultasi terdengar

bising usus 8x/menit. Pada perkusi suara tympani. Pada palpasi

kandung kemih tidak penuh, tidak ada massa, tidak ada

pembesaran hepar dan lien,tedapat nyeri tekan pada ulu hati.

m) Kulit : berwarna sawo matang, tidak ada sianosis, kulit lembab,


85

suhu tubuh 36,5o C, turgor alastis, akral hangat, CRT < 2 detik,

terdapat luka di ekstremits bawah kanan dan kiri di ujung tumit.

n) Genitalia : tidak terdapat pembesaran prostat.

o) Rectum : tidak ada hemoroid

p) Ekstremitas : tidak terdapat deformitas, tidak ada edem, terdapat

luka di ekstremits bawah kanan dan kiri di ujung tumit. Pasien

melakukan aktivitas diatas tempat tidur, kekuatan otot 5 5

5 5

4. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium

1) Kimia darah (26 Juli 2016)

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


GDS (glukosa sewaktu) 128 mg/dl 60-150 mg/dl
Ureum 116,2 mg.dl 10-40 mg.dl
Creatinin 1,8 mg/dl 0,5-1,5 mg/dl
Natrium 139 mmol/L 135-155 mmol/L
Kalium 4,9 mmol/L 3,6- 5,5 mmol/L
Cholide 112 mmol/L 95-108 mmol/L
Troponin T < 50 < 50 mg/L (negative)

2) Darah lengkap (26 Juli 2016)

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Leukosit 16.9 103/uL 4 – 10 103/uL
Eritrosit 4.24 106/uL 3.50-5.50 106/uL
Hemoglobin 12.4 g/dL 11-16 d/dL
HCT 37.1 % 37-54 %
86

3) Darah Lengkap (27 Juli 2016)

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Glukosa sewaktu 88 mg/dL 60-150 mg/dL
Bilirubin Total 0.9 mg/dL 0.3 - 1.2 mg/dL
Bilirubin Direct 0.2 mg/dL < 0.2 mg/dL
Bilirubin Indirect 0.7 mg/dL 0 - 0.8 mg/dL
Total Protein 6.5 g/dL 5.7 - 8.2 g/dL
Albumin 3.7 g/dL 3.2 – 4.8 g/dL
Globulin 2.8 g/dL 2.3 – 3.5 g/dL
Cholesterol 175 mg/dL 150 - 220 mg/dL
Asam Urat 13.8 mg/dL 3.7 – 9.2 mg/dL
Ureum 70.6 mg/dL 19.3 – 49.2 mg/dL
Creatinin 2.2 mg/dL 0.7 – 1.3 mg/dL
Alkali Phospatase 77 u/L 45 - 129 u/L
SGOT 35 u/L 10 – 49 u/L
SGPT 19 u/L < 34 u/L
Gamma GT 75 u/L < 73 u/L
Trigeserid 159 mg.dl < 200 mg.dl
HDL - Cholesterol 48 mg.dl P>35/W>25 mg.dl
LDL- Cholesterol 111 mg.dl < 190 mg.dl
Hbs Ag 0.00 TV(Non < 0.13 TV
reaktif)

b. EKG

1) Tanggal 26 juli 2016

- Irama regular sinus ritem

- HR 75 x/menit

- Gelombang P selalu diikuti gelombang QRS, tinggi gelombang P

0,2 mv, lebar gelombang P = 0,08 mv

- Interval PR = 0,16 detik

- Gelombang QRS = 0,04

- Gelombang T inverted di Lead II dan aVF

- Kesimpulan terdapat iskemik di bagian inferior


87

2) Tanggal 27 juli 2016

- Irama regular sinus ritem

- HR 100 x/menit

- Gelombang P selalu diikuti gelombang QRS, tinggi gelombang P

0,2 mv, lebar gelombang P = 0,08 mv

- Interval PR = 0,16 detik

- Gelombang QRS = 0,04

- Gelombang T inverted di Lead II dan aVF

- Kesimpulan terdapat iskemik di bagian inferior

3) Tanggal 28 Juli 2016

- Irama regular sinus ritem

- HR 106 x/menit

- Gelombang P selalu diikuti gelombang QRS, tinggi gelombang P

0,2 mv, lebar gelombang P = 0,08 mv

- Interval PR = 0,16 detik

- Gelombang QRS = 0,04

- Terdapat gelombang T inverted di Lead II dan aVF

- Terdapat Q patologis di Lead III

- Kesimpulan terdapat iskemik di bagian inferior

5. Penatalaksaan Terapi

- Brilinta 90 mg 1-0-1

- ISDN 3 x 5 mg

- ASA 1 x 80 mg

- Atorvastatin 20 mg 0-0-1

- Injeksi Lovenox 2 x 0.6 mg via SC


88

- IVFD Nacl 0,9 % 10 tpm

- Syrimp pump vascon 0,05 meq/KgBB/Jam

B. Masalah Keperawatan

1. Analisa Data

No. DATA ETIOLOGI PROBLEM

1 DS : Klien mengatakan nyeri Perubahan Penurunan


dada sebelah kiri menjalar ke kontraktilitas curah jantung
tangan kiri dan ulu hati, nyerinya jantung
seperti ditekan 3 jam sebelum
masuk rumah sakit
DO:
- TD = 106/60 mmHg
- N= 112x/menit, RR =
28x/menit
- Terjadi perubahan gambaran
EKG, terdapat gelombang T
inverted di Lead II dan aVF.
Terdapat gelombang Q
patologis di Lead III, dapat
disimpulkan terjadi iskemik
pada bagian inferior
- Enzyime tropoitinin T < 50
- Pasien sesak nafas
- Pasien mendapatkan vascon
via Syrimp Pump 0.05
meq/KgBB/Jam Agen cedera Nyeri Akut
bilologis
DS:
Pasien mengatakan nyeri dada
P : saat bergerak dan
beraktifitas dan berkurang
saat beristirahat
Q : nyerinya seperti di tekan
R : nyerinya pada dada kiri
menjalae kebelakang dan
ulu hati
S: skala nyeri 6
T : Hilang – timbul, durasi ±15
menit
89

DO :
- Ekspresi menahan sakit
- Pasien terkadang memegang
dada yang terasa nyeri
- Gambaran EKG terdapat Nyeri Ketidakefektifan
iskemik di bagian inferior Pola nafas

DS:
Pasien mengatakan sesak nafas
DO :
- Pasien bedrest
- RR = 28 x/menit
- Terpasang O2 nasal kanul 3
lpm
- Kesimpulan EKG terdapat
iskemik di bagian inferior

C. Diagnosa Keperawatan

1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas

jantung, perubahan afterload

2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera bilogis

3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan nyeri.


90

D. Intervensi Keperawatan

Tanggal Diagnosa Rencana Keperawatan


Keprawatan NOC & Indikator NIC & Aktivitas
(NANDA)
26-6-16 Diagnose 1 NOC : NIC :
Penurunan Circulation Status Cardiac Care
curah jantung Setelah dilakukan tindakan 1.1 Evaluasi nyeri dada
berhubungan keperawatan selama 3 x 24 1.2 Catat adanya distritmia
dengan jam, curah jantung adekuat jantung
perubahan dengan indikator dan skala: 1.3 Catat adanya tanda dan
kontraktilitas - Tekanan darah sistolik gejala penurunan
jantung, (5) cardiac output
perubahan - Tekanan darah diastolic 1.4 Monitor status
(5)
afterload cardiovaskuler
- Tekanan nadi (5)
- Urine output 40 cc/jam 1.5 Monitor jumlah, bunyi
- CRT (5) dan irama jantung
- Edeme (5) 1.6 Monitor toleransi
aktivitas
Skala : 1.7 Monitor balance cairan
1. Penyimpangan berat 1.8 Kelola pemberian obat
dari rentang normal anti aritmia yang
2. Penyimpangan sesuai.
subtansial dari rentang 1.9 Kelola pemberian anti
normal koagulan untuk
3. Penyimpangan sedang mencegah thrombus
dari rentang normal perifer
4. Penyimpangan ringan 1.10 Monitor respon
dari rentang normal klien terhadap
5. Tidak ada pengobatan
penyimpangan dari 1.11 Monitor TD, nadi,
rentang normal suhu RR

Diagnosa 2
Nyeri akut NOC NIC
berhubungan Pain Control Pain management
dengan agen Setelah dilakukan tindakan 2.1 Lakukan pengkajian
injury biologis keperawatan selama 3 x 24 nyeri secara
jam, klien mampu komprehensif termasuk
mengontrol nyeri dada lokasi, karakteristik,
ingga berkurang/hilang kualitas dan faktor
dengan indicator : presipitasi
- Mengakui timbulnya 2.2 Observasi reaksi non
91

nyeri (5) verbal terhadap


- Menggunakan langkah- ketidaknyamanan.
langkah pencegahan (5) 2.3 Eksplorasi pengetahuan
- Menggunakan langkah- klien tentang nyeri
langkah bantuan non 2.4 Ajarkan,latih, lakukan
farmakologis (5) dan anjurkan teknik
- Melaporkan nyeri non farmaklogi (Foot
berkurang (5) Hand Massage)
- Melaporkan nyeri 2.5 Kolaborasi engan
terkontrol (5) dokter apabila ada
keluahan dan tindalkan
Skala nyeri yang tidak
1. Tidak pernah berhasil
menunjukkan 2.6 Evaluasi keekfetifan
2. Jarang menunjukkan control nyeri
3. Kadang-kadang
mneunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Konsisten menunjukkan

Diagnosa 3
Ketidakefektif NOC NIC
an pola nafas Airway Patency Respiratory Monitor
berhubungan Setelah dilakukan tindakan 3.1 Monitor frekuensi
dengan nyeri keperawatan selama 3 x 24 irama kedalaman dan
jam, masalah upaya pernafasan.
ketidakefektifan pola nafas, 3.2 Monitor pemberian
dengan indicator dan skala oksigen
gangguan sedang (3) : 3.3 Perhatikan gerakan
- Respirasi (16-20 dada, lihat
kali/menit) kesimetrisan,
- Irama pernafasan menggunakan oto
regular bantu pernafasan
- Pernafasan dalam 3.4 Monitor suara nafas
tambahan
Skala : 3.5 Monitor pola nafas ,
1. Penyimpangan berat bradipnue, takipneu,
dari rentang normal hiperventilasi
2. Penyimpangan 3.6 Atur posisi semi fowler
subtansial dari rentang 3.7 Palpasi kesemetrisan
paru-paru
92

normal 3.8 Kolaborasi dalam


3. Penyimpangan sedang pemberian O2
dari rentang normal
4. Penyimpangan ringan
dari rentang normal
5. Tidak ada
penyimpangan dari
rentang normal

E. Intervensi Inovasi

Intervensi inovasi yang dilakukan adalah manajemen nyeri non

farmakologis melalui teknik foot hand massage. Pasien diajarkan untuk

melakukan teknik relaksasi foot hand massage saat nyeri muncul. Intervensi

tersebut diterapkan secara continue selama tiga hari mulai tanggal 26 juli 2016

sampai 28 juli 2016 untuk melihat keefektifan manajemen nyeri yang dilakukan.

Teknik relaksasi foot hand massage dilakukan selama 10 menit.


93

Tanggal / Diagnose Intervensi inovasi


jam Keperawatan
26-7-16 Nyeri akut Langkah-langkah teknik relaksasi Foot Hand
10.00 berhubungan Massage
WITA dengan agen 1. Langkah-langkah
injury biologis a. Atur posisi klien dengan posisi semi
fowler (senyaman mungkin)
b. Oleskan lotion atau minyak kayu putih di
tangan dan kaki pasien.
c. Anjurkan tarik nafas pasien untuk
menarik nafas secara lambat dan rileks
d. Kaki
Lakukan pemijatan dibagian di titik
telapak kaki kiri dan kanan klien di titik
belakang ibu jari, di sekitar plantar facia,
dan disekitar media plantar farcia. Selama
10 menit.
e. Tangan
Setelah itu lakukan pemijatan di daerah
sekitar ibu jari dan telunjuk, bagian
telunjuk, dan telapak tangan. Lakukan
selama 10 menit.
f. Teknik ini dilakukan selama 20 menit
27-7-16 Nyeri akut Langkah-langkah teknik relaksasi Foot Hand
10.00 berhubungan Massage
WITA dengan agen 1. Langkah-langkah
injury biologis a. Atur posisi klien dengan posisi semi
fowler (senyaman mungkin)
b. Oleskan lotion atau minyak kayu putih di
tangan dan kaki pasien.
c. Anjurkan tarik nafas pasien untuk
menarik nafas secara lambat dan rileks
d. Kaki
Lakukan pemijatan dibagian di titik
telapak kaki kiri dan kanan klien di titik
belakang ibu jari, di sekitar plantar facia,
dan disekitar media plantar farcia. Selama
10 menit.
e. Tangan
Setelah itu lakukan pemijatan di daerah
sekitar ibu jari dan telunjuk, bagian
94

telunjuk, dan telapak tangan. Lakukan


selama 10 menit.
f. Teknik ini dilakukan selama 20 menit
28-7-16 Nyeri akut Langkah-langkah teknik relaksasi Foot Hand
10.00 berhubungan Massage
WITA dengan agen 1. Tahap Kerja
injury biologis a. Atur posisi klien dengan posisi semi
fowler (senyaman mungkin)
b. Oleskan lotion atau minyak kayu putih di
tangan dan kaki pasien.
c. Anjurkan tarik nafas pasien untuk
menarik nafas secara lambat dan rileks
d. Kaki
Lakukan pemijatan dibagian di titik
telapak kaki kiri dan kanan klien di titik
belakang ibu jari, di sekitar plantar facia,
dan disekitar media plantar farcia. Selama
10 menit.
e. Tangan
Setelah itu lakukan pemijatan di daerah
sekitar ibu jari dan telunjuk, bagian
telunjuk, dan telapak tangan. Lakukan
selama 10 menit.
f. Teknik ini dilakukan selama 20 menit
95

F. Implementasi

No Tanggal/ Implementasi paraf


Dx. jam
1,2,3 26-7-16 1.1 Mengevaluasi adanya nyeri dada
(Evaluasi : Pasien mengatakan nyeri dada
sebelah kiri, menjalar kebelakang dan ulu hati
dengan Skala 6 (nyeri sedang), nyerinya seperti
di tekan, nyeri dirasakan hilang timbul, nyeri
bertambah saat bergerak dan berkurang saat
istirahat.)
1.2 Mencatat adanya distrimia jantung
(Evaluasi tidak terdapat distrimia jantung, hasil
EKG : irama jantung regular, HR 112 x/menit,
gelombang P selalu diikuti QRS, terdapat
gelombang T inverted di lead II dan aVF.
Kesimpulan terdapat iskemik di bagian inferior)
1.3 Mencatat adanya tanda dan gekala penurunan
cardiac output
(Evaluasi : tidak ada edem akral hangat, CRT <
2 detik SPO2 = 100%, HR 118x/menit)
1.4 Memonitor jumlah bunyi dan irama jantung
(Evaluasi = bunyi jantung S1 S2 reguler, tidak
ada bunyi tambahan).
2.1 Melakukan pengkajian
(Evaluasi : skala nyeri 6, lokasi di dada kiri
menjalar kebelakng dan ulu hati, nyeri seperti
ditekan, dengan durasi 10 menit)
2.2 Mengobservasi reaksi non verbal terhadap
ketidaknyamanan
(Evaluasi: ekpresi memejamkan mata saat nyeri
datang)
2.4 Melakukan teknik relaksasi Foot Hand Massage
(Evaluasi : pasien bersedia melakukan terapi)
3.1 Memonitor frekuensi irama kedalaman dan
upaya pernafasan.
(Evalusi : RR 28 x/menit, nafas dalam, tidak
menggunakan otot bantu pernafasan)
3.3 Memonitor suara nafas tambahan
(Evaluasi : tidak terdapat suara tambahan, suara
nafas vesikuler)
3.5 Mengatur posisi semi fowler
(Evaluasi : pasien merasa sesaknya berkurang
96

setelah diposisikan setengah duduk)


3.2 Memonitor pemberian oksigen
(Evalusi : oksigen diberikan melali nasal kanul
3 lpm
1.11 Memonitor TD, nadi, suhu, dan RR
(Evaluasi : TD : 110/65 mmHg, N : 108
x/menit, RR : 24 x/menit, T: 36.3o C
1.8 Memberikan obat koagulan ynag sesuai
(Evaluasi : memberikan injeksi lovenox 0.6 cc
secara sc di abdomen)
1.7 Memonitor balance cairan
(Evaluasi : I = 662,5. O = 580. BC = I-O =
+82.5
1.4 Memonitor status kardiovaskuler (hari rabu)
(Evaluasi : TD : 110/65 mmHg, N : 107 x/meit,
CRT < 2 detik)
1.8 Mengelola Pemberian obat anti aritmia yang
sesuai
( Evaluasi : memberikan obat oral Brilinta,
ISDN, dan ASA)
1.10 Memonitor respon klien terhadap pengobatan
(Evaluasi : pasien mengatakan merasa lebih
baik
Selama dirawat di rumah sakit)
1.1 Mengevaluasi nyeri dada
(Evaluasi : nyeri di dada kiri menyebar ke ulu
hati, dengan skala 5, durasi ±7 menit.)
3.5 Memonitor pola nafas
(Evaluasi : pasien mengatakan sesak nafas
mulai berkurang, RR : 26x/menit)
2.4 Melakukan teknik relaksasi Foot Hand Massage
(Evaluasi : pasien bersedia melakukan terapi)
2.7 Mengevaluasi keefektifan control nyeri
(Evalusi : pasien mengatakan nyerinya mulai
berkurang)
3.5 Memonitor pola nafas bradipnue, takipnue,
hiperventilitas
(Evaluasi : RR 27 x/menit, SPO2 : 100%
takipnue)
3.7 Mempalpasi kesemetrisan paru-paru
(Evaluasi : simetris, tidak terdapat retraksi
dinding dada, tidak menggunakan otot bantu
97

pernafasan)
1.8 Mengelola pemberian obat anti koagulan yang
sesuai
(Evaluasi : memberikan injeksi lovenox 0.6 cc
secara sc di abdomen)
1.11 Memonitor TD, Nadi,Suhu, RR
(Evaluasi : TD = 112/70, N = 118, RR = 28
x/menit, T = 36.7o C
1.5 Memonitor toleransi aktivitas
(Evaluasi : pasien dapat makan tanpa bantuan
orang lain. pasien masih bedrest)
1.6 Memonitor balance cairan
( Evaluasi : I = 475. O = 400. BC = + 75
1.5 Memonitor jumlah, bunyi dan irama jantung
(hari kamis)
(Evaluasi : bunyi jantung S1 S2 tunggal regular)
1.8 Memngelola obat anti aritmia
(Evaluasi : memberikan obat oral Brilinta,
ISDN, dan ASA)
1.1 Mengevaluasi Nyeri dada
(Evaluasi : nyeri dada mulai berkurang dengan
skala nyeri 4, dengan durasi ±7 menit,
menyebar ke ulu hati.)
3.6 Mengatur posisi semi fowler
(Evaluasi : pasien mengatakan sesak nafasnya
sudah mulai berkurang dan pasien sudah mulai
mencoba duduk sendiri)
3.5 Memonitor pola Nafas,
(Evaluasi : RR 26x/menit, OKsigen nasal kanul
2 lpm, takipnue, tidak menggunakan otot bantu
pernafasan
1.11 Memonitor TD, Nadi,suhu, dan RR
(Evaluasi : TD : 112/76 mmHg, N: 109
x/menit, RR : 26x/menit, T: 36.4o C)
1.6 Memonitor toleransi aktivitas
(Evaluasi : pasien telah bisa mobilisasi ke
kamar mandi dengan dibantu oleh perawat)
2.4 Melakukan teknik relaksasi Foot Hand Massage
(Evaluasi : pasien bersedia melakukan terapi)
1.9 Mengelola pemberian obat anti koagulan untuk
mencegah thrombus perifer
(Evaluasi : Evaluasi : memberikan injeksi
98

lovenox 0.6 cc secara sc di abdomen)


1.10 Memonitor TD, nadi, RR, dan suhu
(Evaluasi : TD : 114/78 mmHg, N: 113x/menit,
RR 27x/menit, T : 36.3o C
2.6 Mengevaluasi kefektifan control nyeri
(Evaluasi : pasien mengatakan setelah dilakukan
terapi foot hand massage nyerinya berkurang
dan merasa lebih nyaman)
1.7 Memonitor balance cairan
(Evaluasi : I = 426,1. O = 520. BC = -9326

G. Evaluasi Keperawatan

No TGL/Jam DX SOAP Paraf

1 Selasa 26 I S : Klien mengatakan sesak nafas dan nyeri dada


Juli 2016 O: TD:101/72 mmHg, N:109x/i, RR: 27x/i, SpO2:
100%
- Terpasang O2 Nasal kanul 3 lpm
- Bedrest total
- BJ I dan II tunggal, regular.
- Akral hangat, CRT < 2 detik
- Gambaran EKG terdapat T inferted di lead
II dan aVF
A : Masalah penuruna curah jantung belum
teratasi
P : Lanjutkan intervensi 1.1, 1.2, 1.3, 1.4, 1.6, 1.8,
1.10, 1.11
II
S : klien mengatakan nyeri
P : saat bergerak dan beraktifitas dan berkurang
saat beristirahat
Q : nyerinya seperti di tekan
R : nyerinya pada dada kiri menjalar ke lengan
kiri dan ulu hati
S: skala nyeri dari 6 menjadi 5
T : Hilang – timbul, durasi ±5 menit
berkurang saat istirahat.
O : - ekspresi menahan nyeri, terkadang klien
memegangi dadanya
99

- Pasien memejamkan mata saat nyeri


datang
- Pasien memegangi dada saat nyerinya
datang
- Pasien lebih rileks setelah dilakukan terapi
non farmakologi teknik foot hand massage
- TD:101/72 mmHg, N:109x/i, RR: 27x/i,
III SpO2: 100%
A : Masalah nyeri akut teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi 2.1, 2.2, 2.3, 2.4, 2.5, 2.6

S : Klien mengatakan masih merasa sesak


O : - RR 27 x/menit
- Irama nafas regular
- Tidak ada retrasi dinding dada
- Terpasang oksigen nasal kanul 3 lpm
A: Masalah ketidakefektifan pola nafas belum
teratasi
P : Lanjutkan intervensi 3.1, 3.2, 3.3, 3.4,
3.5,3.6.3.7, 3.8
Rabu, 27 I S : Klien mengatakan sesak nafasnya sudah mulai
Juli 2016 berkurang dan sudah bisa duduk sendiri tanpa
bantuan
O: TD:110/65 mmHg, N:108x/i, RR: 27x/i, SpO2:
100%
- Terpasang O2 Nasal kanul 3 lpm
- Bedrest
- BJ I dan II tunggal, regular.
- Akral hangat, CRT < 2 detik
- Gambaran EKG terdapat T inferted di lead
II dan aVF
A : Masalah penuruna curah jantung teratasi
sebagian
P : Lanjutkan intervensi 1.1, 1.2, 1.3, 1.4, 1.6, 1.8,
1.10, 1.11
II
S : P : saat bergerak dan beraktifitas dan
berkurang saat beristirahat
Q : nyerinya seperti di tekan
R : nyerinya pada dada kiri menjalar kebelakang
dan ulu hati
S: skala nyeri dari 5 menjadi 3
T : Hilang – timbul, durasi dari ±2 menit
menjadi ±10 menit
O : - klien menunjujjan area nyeri
- Klien lebih tenang setealh dilakukan
100

Pasien lebih rileks setelah dilakukan terapi


non farmakologi teknik foot hand massage
- TD:101/72 mmHg, N:109x/i, RR: 27x/i,
SpO2: 100%
A: Masalah Nyeri akut teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi 2.1, 2.2, 2.3, 2.4, 2.5, 2.6
III
S : Klien mengatakan masih sesak mulai
berkurang
O : - RR 27 x/menit
- Irama nafas regular
- Tidak ada retrasi dinding dada
- Terpasang oksigen nasal kanul 3 lpm
A: Masalah ketidakefektifan pola nafas teratasi
sebagian
P : Lanjutkan intervensi 3.1, 3.2, 3.3, 3.4,
3.5,3.6.3.7, 3.8

I S : Klien mengatakan sudah tidak sesak lagi dan


sudah diperbolehkan untuk untuk mandi
dikamar mandi
O: TD:110/75 mmHg, N:109x/i, RR: 25x/i, SpO2:
100%
- Terpasang O2 Nasal kanul 3 lpm
- BJ I dan II tunggal, regular.
- Akral hangat, CRT < 2 detik
- Gambaran EKG terdapat T inferted di lead
II dan aVF
A : Masalah penuruna curah jantung teratasi
sebagian
P : Lanjutkan intervensi 1.1, 1.2, 1.3, 1.4, 1.6, 1.8,
1.10, 1.11
II
S : - sudah tidak nyeri dada lagi, akan tetapi ulu
hatinya tersa penuh
- Klien lebih tenang setealah dilakukan
Pasien lebih rileks setelah dilakukan terapi
non farmakologi teknik foot hand massage
O : ekpresi klien tenang
- TD:110/75 mmHg, N:108x/i, RR: 25x/i,
SpO2: 100%
A: Masalah Nyeri akut teratasi
P : Lanjutkan intervensi 2.1, 2.2, 2.3, 2.4, 2.5, 2.6

S : Klien mengatakan sudah tidak sesak dan sudah


tidak memakai oksigen lagi
O : - RR 25 x/menit
101

- Irama nafas regular


- Tidak ada retrasi dinding dada
- Terpasang oksigen nasal kanul 3 lpm
A: Masalah ketidakefektifan pola nafas teratasi
III
P : Lanjutkan intervensi 3.1, 3.2, 3.3, 3.4,
3.5,3.6.3.7, 3.8
102

BAB IV

ANALISA SITUASI

A. Profil Lahan Praktik

Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie (RSUD AWS)

terletak di jalan Palang Merah Indonesia, Kecamatan Samarinda Ulu.

Rumah Sakit Umum Daerah A.Wahab Sjahranie sebagai rumah sakit

rujukan (TopReferal), dan sebagai Rumah Sakit Kelas A satu-satunya di

Kalimantan Timur terhitung mulai bulan Januari 2014. Instalasi Gawat

Darurat (IGD) dan Evakuasi Medik RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda

adalah instalasi yang memberikan pelayanan kepada penderita gawat darurat

dan merupakan rangkaian dari upaya penanggulangan penderita gawat

darurat yang memberikan pelayanan selama 24 jam. Bentuk pelayanan

utama berupa pelayanan penderita yang mengalami keadaan gawat darurat,

tetapi dapat juga melayani penderita tidak gawat darurat dan untuk

selanjutnya dikoordinasikan dengan bagian atau unit lain yang sesuai dengan

kasus penyakitnya, dengan tujuan tercapainya pelayanan kesehatan pada

penderita gawat darurat yang optimal, terarah dan terpadu dengan fokus

utama adalah mencegah kematian dan kecacatan, melakukan sistem rujukan

dan penanggulangan korban bencana.

Ruang ICCU (Intensive Cardiac-Care Unit) merupakan unit khusus

untuk merawat pasien yang mempunyai kelainan pada jantung secara

intensif. Berbagai jenis penyakit yang terdapat di ruang ICCU, antara lain:

CHF (beserta komplikasinya), aneurisma aorta, penyakit jantung konginetal,

kelainan katup, dan penyakit arteri coroner. Sebagai ruang rawat inap

khusus penyakit kardiovaskuler, banyak dari pasien yang dirawat


103

diperiksakan ke RSUD A. Wahab Sjahranie dengan pemeriksaan khusus

seperti echocardiografi, angiography, CT angiography, sampai dilakukannya

tindakan operasi jantung. kelainan katup, dan penyakit arteri coroner.

Sebagai ruang rawat inap khusus penyakit kardiovaskuler, banyak dari

pasien yang dirawat diperiksakan ke RSUD A. Wahab Sjahranie dengan

pemeriksaan khusus seperti echocardiografi, angiography, CT angiography,

sampai dilakukannya tindakan operasi jantung.

Unit (PICU). Selama Praktik Klinik Keperawatan Stase Elektif penulis

memilih ruang ICCU sebagai ruang praktik keperawatan. Ruang ICCU

(Intensive Cardiac Care Unit) merupakan unit khusus untuk merawat pasien

yang mempunyai kelainan pada jantung secara intensif. Gedung baru ICCU

yang letaknya bersebelahan dengan ICU ditempati sejak tahun 2004,

memiliki 11 bed atau tempat tidur dengan dilengkapi peralatan yang

memadai.

B. Analisa Masalah Keperawatan

Dalam tahap ini penulis ingin menguraikan antara landasan teori

dengan dengan hasil praktik klinik keperawatan pada pasien dengan Acute

Coronary Syndrome (ACS) dengan Untasble Angina Pectoris (UAP) diruang

ICCU RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda yang dilakukan pada tgl

26-28 Juli 2016.

Unstable Angina Pectoris (UAP) terjadi karena menurunnya perfusi ke

miokard (akibat disrupsi plak, menyebabkan trombus dan penurunan perfusi)

atau terjadi karena peningkatan kebutuhan oksigen. Miokard akan

mengalami stress tetapi bisa membaik kembali. Ketika suplai tidak adekuat

bagi miokard, maka akan terjadi iskemi miokard. Iskemi yang bersifat
104

sementara akan menyebabkan perubahan reversibel pada tingkat sel dan

jaringan serta menekan fungsi miokard. Oksigen yang menurun memaksa

miokard untuk melakukan metabolisme anaerob. Manifestasi klinis dari ACS

UAP adalah adanya nyeri dada berupa rasa tertekan/berat daerah restroternal

menjalar ke lengan kiri, leher, bahu, atau epigastrium berlangsung intermiten

atau persisten > 20 menit, sering disertai diaphoresis, mual/untah, nyeri

abdomen, sesak nafas, dan sinkop (PERKI, 2015).

Keluhan utama yang dirasakan Tn. T adalah nyeri dada sebelah kiri

yang menjalar ke lengan kiri dan ulu hati. Nyeri diraskan klien hilang timbul

dan bertambah nyeri saat beraktivitas denga skala 6 denga durasi ±15 menit.

Mekanisme nyeri dada pada pasien jantung disebabkan oleh adanya

sumbatan diarteri koroner atau penurunan curah jantung (SV menurun /

kontraktilitas menurun), akibatnya suplai darah yang membawa oksigen dan

nutrisi yang dibutuhkan tubuh untuk metabolisme menurun. Akibat

penurunan suplai oksigen maka terjadi metabolisme anaerob (tidak

menggunakan oksigen), dari metabolisme anaerob tersebut dihasilkan asam

laktat dan ATP (yang seharusnya menghasilkan ATP dan air) sehingga

menyebabkan nyeri (Smeltzer & Bare, 2002).

Proses terjadinya nyeri menurut Lindamen dan Arthie dalam Judha,

dkk (2012) adalah dimulai ketika bagian tubuh terluka oleh tekanan,

potongan, sayatan, dingin, atau kekurangan oksigen sel, maka akan

mengiritasi nosiseptor. Saraf ini akan merangsang dan bergerak sepanjang

serabut saraf atau neurotransmisi yang akan menghasilakn subtansi yang

disebut neurotransmitter seperti prostaglandin dan epineprin, yang membawa


105

pesan dari medulla spinalis ditransmisikan ke otak dan dipesepsikan sebagai

nyeri.

Dua tipe serabut saraf perifer yang megonduksi stimulus nyeri adalah

serabut A-delta yang bermielinasi dan cepat, dan serabut C yang tidak

bermielinasi dan berukuran sangat kecil serta lambat. Serabut A mengirim

sensasi yang tajam, terlokalisasi, dan jelas yang melokalisasi sumber nyeri

dan mendeteksi intensitas nyeri. Serabut C menyampaikan impuls yang

terlokalisasi buruk, visceral, dan terus-menerus. Ketika serabut C dan serabut

A-delta menstransmisikan impuls dari serabut saraf peerifer, maka akan

melepaskan mediator kimia yang mengaktifkan dan membuat peka akan

respon nyeri (Potter & Perry, 2009).

Sistem yang terlibat dalam trasmisi dan persepsi nyeri disebut sebagai

sistem nosiseptif. Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah ujung saraf bebas dalam

kulityang berespon hanya pada stimulus yang kuat, yang secara potensial

merusak. Serabut saraf ini bercabang sangat dekat dengan asalnya pada kulit

dan mengirimkan cabangnya ke pembuluh darah lokal, sel-sel mast folikel

rambut, dan kelenjar keringat. Stimulus yang kuat pada serabut cabang

visceral dapat mengakibat vasodilatasi dan nyeri pada area tubuh yang

berkaitan dengan serabut tersebut (Brunner & Suddart, 2010).

Sejumlah substansi yang mempengaruhi sensitivitas ujung-ujung saraf

atau reseptor nyeri dilepaskan kejaringan ekstraseluler sebagai akibat dari

kerusakan jarinagan. Zat-zat kimiawi yang meningkatkan trasmisi atau

persepsi nyeri meliputi histamine, bradikin, asetikolin, dan subtansi P.

Prostaglandin adalah zat kimiawi yang diduga dapat meningkatkan efek yang

meningkatkan sensitivitas reseptor nyeri dari bradikinin. Selain itu,


106

endorphin dan enkefalin juga berfungsi sebagai inhibitor terhadap trasmisi

nyeri (Brunner & Suddarth, 2010).

Menurut Tamsuri (2006) tindakan non farmakologi untuk mengatasi

nyeri terdiri dari beberapa tindakan penanganan. Yang pertama berdasarkan

penanganan fisik atau stimulasi fisik meliputi stimulasi kulit, stimulasi

elektrik (TENS), akupuntur, placebo, massage, terapi es dan panas. Yang

kedua berdasarkan intervensi perilaku kognitif meliputi relaksasi, umpan

balik biologis, mengurangi persepsi nyeri, hipnotis, distraksi, guide

imaginary (imajinasi terbimbing).

Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering

dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase dapat membuat pasien lebih

nyaman karena masase membuat relaksasi otot (Brunner dan Suddarth,

2010). Masase kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan ketegangan

otot. Rangsangan masase otot ini dipercaya akan merangsang serabut

berdiameter besar, sehingga mampu memblock atau menurunkan impuls

nyeri (Tamsuri, 2006).

Potter & Perry (2009) menegaskan bahwa pemberian sentuhan

terapeutik dengan menggunakan tangan akan memberikan aliran energi yang

menciptakan tubuh menjadi relaksasi, nyaman, nyeri berkurang, aktif dan

membantu tubuh untuk segar kembali. Apabila titik tekan dipijat atau

disentuh dan diberi aliran energi maka system cerebral akan menekan

besarnya sinyal nyeri yang masuk kedalam sistem saraf yaitu dengan

mengaktifkan sistem nyeri yang disebut analgesia (Guyton & Hall, 2007).

Menurut Stiwell (2011) penekanan pada area spesifik kaki atau tangan

diduga melepaskan hambatan pada area tersebut dan memungkinkan energy


107

mengalir bebas melalui bagian tubuh tersebut sehingga pada titik

yang tepat pada kaki yang di massage dapat mengatasi gejala nyeri.

C. Analisa Intervensi Inovasi

Pelaksanaan tindakan keperawatan inovasi memberikan terapi teknik

foot hand massage kepad Tn T yang dilkukan mulai tanggal 26 sampai 28

Juli 2016 di ruangan ICCU RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda

dengan keluhan nyeri dada. Tujuan dilakukannya teknik foot hand massage

untuk mengurangi rasa nyeri yang klien rasakan dan merupakan salah satu

metode pengalihan nyeri yaitu refleksi. Berikut ini adalah hasil dari tindakan

keperawatan inovasi foot hand massage.

Tabel 4.1 implementasi tekhnik foot hand massage


N Hari/ Sebelum Sesudah
o Tgl
.
1 Selasa, Subjektif Subjektif
26 Juli P : “nyeri dada sebelah kiri saat bergerak P : “nyeri dada sebelah kiri saat
2016 dan beraktifitas dan berkurang saat bergerak dan beraktifitas
10.00 beristirahat” dan berkurang saat
Q :” nyerinya seperti di tekan kuat” beristirahat”
R : “nyerinya pada dada kiri menjalar ke Q : “nyerinya seperti di tekan”
lengan kiri dan ulu hati” R : “nyerinya sekitar pada dada
S: “skala nyeri dari 6” kiri dan ulu hati”.
T : “Hilang – timbul, durasi ±10 menit” S: “skala nyeri dari 6 menjadi 5”
T : “Hilang – timbul, durasi ±5
menit”
Objektif Objektif
TD:101/72 mmHg, TD:101/72 mmHg,
N:109x/I, N:106x/I,
RR: 27x/i, RR: 25x/i,
SpO2: 100% SpO2: 100%

27 Juli Subjektif Subjektif


2016 P : “nyeri dada sebelah kiri saat bergerak P : “nyeri dada sebelah kiri saat
10.00 dan beraktifitas dan berkurang saat bergerak dan beraktifitas
beristirahat” dan berkurang saat
Q : “terasa ngilu” beristirahat”
R : “nyerinya pada dada kiri dan ulu Q : “terasa ngilu”
hati”. R : “nyerinya pada dada kiri dan
S: “skala nyeri 5” ulu hati”.
T : “Hilang – timbul, durasi ±5 menit” S: “skala nyeri 3”
T : “Hilang – timbul, durasi ±2
menit”
Objektif Objektif
TD:101/72 mmHg, TD:101/72 mmHg,
108

N:109x/i, N:100x/i,
RR: 27x/i, RR: 25x/i,
SpO2: 100% SpO2: 100%

Kamis, Subjektif Subjektif


28 juli “Sudah tidak nyeri dada lagi, akan tetapi “Lebih tenang setelah dilakukan
2016 ulu hatinya tersa penuh” Pasien lebih rileks setelah
dilakukan terapi non farmakologi
teknik foot hand massage”

Objektif Objektif
TD:110/75 mmHg, TD:102/78 mmHg,
N:108x/i, N:99x/i,
RR: 25x/i, RR: 22x/i,
SpO2: 100% SpO2: 100%

1. Tanggal 26 Juli 2016, sebelum dilakukan tindakan skala nyeri 6 dan

setelah dilakukan tindakan, skala nyeri 5.

2. Tanggal 27 juli 2016, sebelum dilakukan tindakan skala nyeri 5 setelah

dilakukan tindakan skala nyeri 3.

3. Pada tanggal 28 Juli, sebelum dilakukan tindakan skala nyeri 3 setelah

dilakukan tindakan skala nyeri 1.

Dari hasil intervensi inovasi setelah dilakukan tindakan teknik foot

hand massage secara kontinyu menunjukkan bahwa terjadi penurunan

skala nyeri dari 6 menjadi 5 menjadi 3 dari 3 menjadi 2, kemudian hari

ketiga nyeri dada tidak dirasakan lagi, hanya ulu hati yang terasa penuh.

Hal ini mnunjaukkan bahwa ada perubahan dalam pemberian teknik foot

hand massage pada penderita jantung terhadap penurunan skala nyeri.

Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan pada

dua kelompok grup dengan 32 responden di masing-masing grup, yaitu

grup control dan grup intervensi. Didapatkan hasil p-value = 0.000 yang

membuktikan hipotesis bahwa foot hand massage dapat mengurangi

nyeri postoperative jantung (Asadizaker et al., 2011).


109

Hariyanto (2015) dalam penelitiannya yang dilakukan pada dua

grup control dan intervensi dengan masing-masing responden sebanyak

18 responden. Didapatkan p value = 0,001 yang menunjukkan bahwa

foot hand massage efektif dan dapat digunakan sebagai salah satu

intervensi keperawatan non farmakologis untk mengatasi nyeri infark

miokard akut.

Menurut Mahon (1994) dalam Potter dan Perry (2009) nyeri

merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal yang

disebabkan oleh stimulus tertentu. Stimulus nyeri berupa stimulus yang

bersifat fisik dan mental, sedangkan kerusakan dapat terjadi pada

jaringan aktual atau fungsi ego seorang individu.

Potter & Perry (2009) menegaskan bahwa pemberian sentuhan

terapeutik dengan menggunakan tangan akan memberikan aliran energi

yang menciptakan tubuh menjadi relaksasi, nyaman, nyeri berkurang,

aktif dan membantu tubuh untuk segar kembali.

Massage dapat diartikan sebagai pijat yang telah disempurnakan

dengan ilmu-ilmu tentang tubuh manusia atau gerakan-gerakan

tangan yang mekanis terhadap tubuh manusia dengan mempergunakan

bermacam-macam bentuk pegangan atau tehnik (Trisnowiyanto , 2012).

Menurut Stillwell (2011)Massage disebut juga sebagai refleksologi

Foot and hand massage adalah bentuk massage pada kaki atau tangan

yang didasarkan pada premis bahwa ketidaknyamanan atau nyeri diarea

spesifik kaki atau tangan berhubungan dengan bagian tubuh atau

gangguan.
110

Apabila titik tekan dipijat atau disentuh dan diberi aliran

energi maka system cerebral akan menekan besarnya sinyal nyeri yang

masuk kedalam sistem saraf yaitu dengan mengaktifkan sistem nyeri

yang disebut analgesia (Guyton & Hall, 2007). Ketika pemijatan

menimbulkan sinyal nyeri, maka tubuh akan mengeluarkan morfin yang

disekresikan oleh sistem serebral sehingga menghilangkan nyeri dan

menimbulkan perasaan yang nyaman (euphoria). Reaksi pijat refleksi

terhadap tubuh tersebut akan mengeluarkan neurotransmitter yang

terlibat dalam sistem analgesia khususnya enkafalin dan endorphin yang

berperan menghambat impuls nyeri dengan memblok transmisi impuls

ini di dalam system serebral dan medulla spinalis (Guyton & Hall,

2007).

Rasa sakit yang dirasakan oleh tubuh di atur oleh dua sistem

serabut saraf yaitu serabut A-Delta bermielin dan cepat dan serabut

C tidak bermeilin berukuran sangat kecil dan lambat mengolah sinyal

sebelum dikirim ke sistem saraf pusat atau sistem serebral. Rangsangan

yang masuk ke sistem saraf serabut A-Delta mempunyai efek

menghambat rasa sakit yang menuju ke serabut saraf C, serabut saraf C

bekerja untuk melawan hambatan. Sementara itu, signal dari otak juga

mempengaruhi intensitas rasa sakit yang dihasilkan. Seseorang yang

merasa sakit bila rangsangannya yang datang melebihi ambang rasa

sakitnya, secara reflek orang akan mengusap bagian yang cedera atau

organ tubuh manusia yang berkaitan dengan daerah titik tekan tersebut.

Usaha tubuh untuk merangsang serabut saraf A-Delta menghambat

jalannya sinyal rasa sakit yang menuju ke serabut C menuju ke


111

otak, dampaknya rasa sakit yang diterima otak bisa berkurang

bahkan tidak terasa sama sekali (Guyton & Hall, 2007).

D. Alternatif Pemecahan Masalah

Alternatif pemecahan masalah intensitas nyeri yang dirasakan pasien

dengan ACS UAP adalah dengan memberikan pengetahuan dan

mengajarkan tentang pengelolaan penurunan intensitas nyeri, secara non-

farmakologi. Tenaga kesehatan khususnya perawat yang memberikan asuhan

keperaatan pada pasien dengan keluhan nyeri diharapkan memberikan

asuhan keperawatan pasien tidak selalu hanya beraspek farmakologi, tetapi

juga non-farmakologi seperti teknik foot hand massage pada pasien dan

keluarga. Hal itu dilakukan sebagai upaya mendukung dan kombinasi

pelaksanaan antara kegiatan mandiri perawat dan advice pengobatan medis,

sehingga pengetahuan penatalaksaan manajemen untuk penurunan intensitas

nyeri tidak selalu terfokus pada pengobatan jenis farmakologi saja dan bisa

diterapkan pada pasien saat pulang ke rumah.

Masalah keperawatan yang timbul pada pasien kelolaan dapat diatasi

bila terjadi hubungan teraupetik perawat dengan klien, termasuk juga

pemberi layanan kesehatan lainnya. Alternatif pemecahan yang dapat

dilakukan yaitu teknik foot hand massage selain itu perawat juga harus

memberikan edukasi tentang penyakit, gaya hidup dan diit bagi klien sangat

penting.

Oleh karena itu, dalam meningkatkan pelayanan rumah sakit salam

intervensi keperawatan berupa penurunan intensitas nyeri, rasa aman dan

nyaman dengan intervensi teknik foot hand massage bagi klien rawat inap di
112

ruang perawatan bisa dibuatkan standar operasional sehingga mempermudah

pelaksanaannya di lapangan.

Bagi perawat, dapat memberikan ,asukan intervensi keperawatan

dengan teknik foot hand massage dalam memberikan asuhan keperawatan

yang komprehensif pada klien ACS UAP di ruamg perawatan rumah sakit.

Selain itu perawat juga perlu mengetahui berbagai teknik distraksi yang ada

yang sudah diteliti.

Bagi klien, klien mampu melakukan dan dapat menerima asuhan

keperawatan yang lebih berkualitas terutama pemenuhan kebutuhan rasa

aman dan nyaman.

Bagi institusi pendidikan, diharapkan dapat menambahkan teknik foot

hand massage dalam terapi komplementer sebagai target kompetensi

intervensi keperawatan secara mandiri dan materi tambahan untuk

penurunan intensitas nyeri, rasa aman dan nyaman.

Peneliti, unutk peneliti selanjutnya dapat dijadikan acuan data guna

melakukan peneritian klien ACS UAP dengan aplikasi latihan teknik foot

hand massage terhadap penurunan nyeri.


113

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kasus kelolaan

Berdasarkan asuhan keperawatan yang dilakukan pada Tn A dengan

diagnosa medis Acute Coronary Syndrome (ACS) dengan Ustable Angina

Pectoris (UAP) sejak tanggal 26 sampai 28 Juli 2016 di Ruang ICCU RSUD

A. Wahab Sjahranie Samarinda dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. Tn.T mengatakan nyeri dada sebelah kiri dengan skala 6, nyeri dirasakan

menjalar ke lengan kiri dan ulu hati , nyeri dirasakan seperti tertekan, nyeri

dirasakan terus-menerus dengan durasi ±10 menit, nyeri bertambah bila

sedang bergerak atau beraktivitas.

b. Masalah keperawatan yang muncul pada Tn T yang sesuai berdasarkan

Diagnosa NANDA yaitu :

1) Penurunan Curah Jantung

2) Nyeri Akut

3) Ketidakefektifan Pola Nafas

c. Intervensi yang diberikan sesuai dengan standar menggunakan Nursing

Outcomes Classification (NOC) dan Nursing Interventions Classification

(NIC).

d. Implementasi dilakukan sejak tanggal 26 sampai 28 Juli 2016, untuk

implementasi inovasi yaitu tekhnik foot hand massage terhadap


114

penurunan nyeri pada pasien ACS UAP Di Ruang ICCU RSUD A.

Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2015 .

2. Intervensi Inovasi

Intervensi Inovasi yang dilakukan pada Tn T dengan diagnosa medis

Acute Coronary Syndrome (ACS) dengan Ustable Angina Pectoris (UAP)

sejak tanggal 26 sampai 28 Juli 2016 di Ruang ICCU RSUD A. Wahab

Sjahranie Samarinda yaitu tekhnik foot hand massage terhadap penurunan

nyeri dan didapatkan hasil terjadi perubahan skala nyeri dari 6 nyeri sedang

menjadi skala nyeri 2 yang tergolong nyeri ringan.

B. Saran

1. Bagi Rumah Sakit

Dalam meningkatkan pelayanan rumah sakit dalam intervensi

keperawatan berupa penanganan nyeri nonfarmakologi, tekhnik relaksasi

otot progresif dapat digunakan untuk mengatasi pengalihan nyeri disamping

pengobatan farmakologi. sehingga perawat di ruang rawat inap dapat

dibuatkan standar prosedur operasional sehingga mempermudah

pelaksanaannnya dilapangan.

2. Bagi Perawat

Dapat memberikan intervensi keperawatan dengan Acute Coronary

Syndrome (ACS) dengan Ustable Angina Pectoris (UAP) di ruang

perawatan rumah sakit dengan berbagai macam terapi. Selain itu perawat

juga harus menerapkan berbagai tehnik meditasi lainnya sesuai traskultural

yang ada.

3. Bagi Klien
115

Klien mampu melakukan dan dapat menerima asuhan keperawatan

yang lebih berkualitas terutama pada manajemen nyeri.

4. Bagi Dunia Keperawatan

Mengembangkan intervensi inovasi sebagai tindakan mandiri perawat

yang dapat diunggulkan. Sehingga, seluruh tenaga pelayanan medis dapat

sering mengaplikasikan teknik relaksasi nafas dalam dengan pemberian

aromaterapi lavender ini dalam pemberian intervensi nonfarmakologi

menurunkan nyeri.

5. Peneliti

Untuk peneliti selanjutnya dapat dijadikan acuan data guna melakukan

penelitian yang lebih spesifik terkait penanganan menyeluruh terhadap

pasien jantung.
116

Daftar Pustaka

Andarmoyo, S. (2013). Konsep dan proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta


: Ar – Ruzz

Asadizaker, et, al. (2011). The Effect of Foot and Hand Massage on
Postoperative Cardiac Surgery Pain. International Journal of Nursing and
Midwifery. Diakses tangal 22 Juli 2016

Brunner & Suddart. (2010). Keperawatan Medikal Bedah (edisi 8). Jakarta
: ECG
Coven, D.L. (2009. Acute Coronary Syndrome. Medscape Reference.
http://www.emedecine.medscape.com. Diakses tanggal 22 Juli 2016

Departemen Kesehatan RI (2009). Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta


: Depkes RI. Diperoleh tanggal 23 Juli 2016

Guyton A. C., Hall JE. (2007). Buku Ajar Fisiologis Kedokteran. Jakarta:
EGC

Hamme, et al. (2011). Guideline for management of acute coronary


syndrome in patients presenting without persistent ST-segmene elevasi. The
European Society of Crdiology: Eur Heart Journal. 32, 3004-3022

Hariyanto, Awan. (2011). Efektivitas Foot Hand Massage Terhadap


Respon Fisiologis Intensitas Nyeri Pada Pasien Infark Miokard Akut : Studi di
Ruang ICCU RSUD DR. Iskak Tulungagung. Jurnal Ilmu Keperawatan dan
Kebidanan (JIKK), Vol II. Diakses tanggal 22 Juli 2016
Judha, dkk. (2012). Teori Pengukuran Nyeri & Nyeri Persalina.
Yogyakarta: Nuha Medika

Kasroh. (2011). Buku Ajar Anatomi Fisiologi Kardiovaskuler. Yogyakarta


: Nuha Medika

Kozier, et al. (2009). Buku Ajar Keperawatan Klinis. Jakarta: EGC

Kumar, V.(2007). Buku Ajar Patologi. Jakarta : EGC

Majid, A. (2008). Penyakit Jantung Koroner : Patofisiologi, pencegahan


dan pengobatan terkini. E-Journal USU repository Universitas Sumatra.

Muttaqin, Arif. (2009). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan


Sistem Kardiovaskuler dan Hematologi. Jakarta : Salemba Medika.

Myrtha, Risalina. (2012). Paofisiologi Sindrom Koroner Akut. Jakarta :


ECG
117

Nanda International (2012). Diagnosa Keperawatan. Definisi dan


Klasifikasi 2012-2014

Pamungkas, R. (2010). Dahsyatnya Jari Refleksi Metode Pijat Refleksi


dengan Jari. Jakarta : Pinang Merah

PERKI. (2015). Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut.


www.inheart.org . Diakses tanggal 26 Juli 2016

Potter & Perry. (2009). Buku Ajar Funamental Keperawatan : Konsep,


Proses, dan Praktik. Jakarta : EGC

Prasetyo, S. N. (2010). Konsep & Proses Nyeri. Yogyakarta : Graha Ilmu

Riset Keperawatan Dasar. (2013). Kementerian Republik Indonesia.


www.depkes.go.id. Diakses tanggal 28 Juli 2016

Santoso, M., Setiawan, T. (2005). Penyakit Jantung Koroner. Jakarta :


Cermin Dunia Kedokteran

Sherwood, L. (2001). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC

Smeltzer, S. C., Bare. B.G. (2002). Bulu Ajar Keperawatan Medikal


Bedah.jakarta : EGC

Soeharto. I. (2001). Pencegahan dan Penyembuhan Penyakit Jantung


Koroner. Jakarta : Gramedia Pustaka

Stillwell. (2011). Pedoman Keperawatan Kritis. Jakarta :EGC

Sulistyowatidan, Rini. (2014) Pengaruh Konseling dan Foot Hand Massage


Terhadap Pelaksanaan Mobilisasi Dini pada Pasien Post Sectio Caesar

Tamsuri, A. (2006). Konsep dan Penatalaksanaan nyeri. Jakarta: EGC

Trisnowiyanto. B. (2012). Keterampilan Dasar Massage. Ypgyakarta :


Nuha Medika
Ulfah, A., Tulandi, A. (2001). Buku Ajar Keperawatan Kardiovaskuler
Pusat Kesehatan Jantung dan Pembuluh Darah Nasional “Harapan Kita”. Jakarta :
Bidang Pendidikan & Pelatihan Pusat Kesehatan Jantung dan Pembuluh Darah
Nasional “Harapan Kita
World Health Organization. (2011). Global Status Report : on
noncommunicable disease. Diakses tanggal 23 Juli 2016
Yuniarlina et al. (2007). Prosedur Keterampilan Klinik Keperawatan Dasar.
STIKes Sint Carolus, Jakarta
118

Standar Operasinal Prosedur Teknik Foot Hand Massage

Pengertian Pemberian penekanan atau pijat pada titik tertentu di tangan


dan kaki
Tujuan 1. Meringankan rasa nyeri yang dirasakan karena
berkurangnya oksigen dalam pembuluh darah jantung
karena adanya sumbatan atau plak.
2. Membantu memeringankan rasa tidaknyaman yang
disebabkan oleh nyeri
Diagnose Nyeri akut berhubungan dengan agen injury biologis
keperawatan
Pengkajian 1. Kaji status klien
2. Kaji kesiapan klien
3. Kaji kesiapan perawatan
4. Kaji respon klien terhadap kenyamanan perubahan
intensitas nyeri
Perencanaa 5. Mencuci tangan
6. Menyiapkan alat
a. Lotion atau minyak kayu putih
Tahap pelaksanaan 7. Memberikan salam teraupetik
A. Tahap orientasi 8. Menjelaskan prosedur dan tujuan tindakan foot hand
massage
9. Menanyakan kesipan klien sebelum pelaksanaan
10. Memberi kesemptan klien untuk bertanya
11. Bila klien siap dilakukan tindakan, dekatkan alat-alat
12. Membaca “Basmalah”
B. Tahap kerja 13. Menjaga privasi klien
14. Atur posisi klien dengan posisi semi fowler (senyaman
mungkin)
15. Oleskan lotion atau minyak kayu putih di tangan dan
kaki pasien.
16. Anjurkan tarik nafas pasien untuk menarik nafas secara
lambat dan rileks
17. Kaki
Lakukan pemijatan dibagian di titik telapak kaki kiri dan
kanan klien di titik belakang ibu jari, di sekitar plantar
facia, dan disekitar media plantar farcia. Selama 10
menit.
18. Tangan
Setelah itu lakukan pemijatan di daerah sekitar ibu jari
dan telunjuk, bagian telunjuk, dan telapak tangan.
Lakukan selama 10 menit.
19. Teknik ini dilakukan selama 20 menit
20. Membaca Hamdalah
21. Mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan sesuai
dengan tujuanyang diharapkan (subjektif dan objektif)
22. Beri reinfororcement positif pada klien
23. Kontrak pertemuan selanjutnya
119

24. Menghakhiri pertemuan dengan mengucapkan salam.


25. Mencuci tangan
Evaluasi 26. Mengevaluasi respon klien
27. Mengevaluasi intensitas nyeri
Dokumentasi 28. Tindakan yang diberikan
29. Waktu pemberian tindakan
30. Alat bantu yang digunakan
31. Respon klien

Sumber terkait Sulistyowatidan, Rini. (2014) Pengaruh


Konseling dan Foot Hand Massage Terhadap
Pelaksanaan Mobilisasi Dini pada Pasien Post Sectio
Caesar
Potter & Perry. (2009). Buku Ajar Funamental
Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta :
EGC
Yuniarlina et al. (2007). Prosedur Keterampilan
Klinik Keperawatan Dasar. STIKes Sint Carolus, Jakarta
BIODATA PENELITI

Data Pribadi

Nama : Afriliya Widiaastuti

Tempat, Tanggal Lahir : Loa Janan, 18 April 1993

Alamat Asal : Jl. Cinta Ratu Km 4 RT V No 11

Loa Janan Kutai Kartanegara

Alamat di Samarinda : Jl. Juanda 4 no. 6 Samarinda

Riwayat Pendidikan

Pendidikan Formal

- Tamat SD : SDN 023 Kutai Kartanegara 2005

- Tamat SMP : SMP N 15 Samarinda 2008

- Tamat SMA : SMA N 7 Samarinda 2011

- Tamat Pasca Sarjana : STIKES Muhammadiyah Samarinda 2015

Você também pode gostar