Você está na página 1de 16

Museum Sonobudoyo Yogyakarta

Jalan Trikora No. 6 Yogyakarta


Buka: Selasa – Minggu (Senin dan Hari Besar Libur)
Harga Tiket Masuk: perorangan (dewasa) : Rp. 3000

Pertama menuju gapura yang ada di depan. Melewati semacam gapura kecil, kemudian
berada di sebuah pendopo luas. Kanan – kiri lengkap alat gamelan. Dan di sini kiri seorang
bapak yang bertugas menjaga tiket.
Memasuki ruangan pertama, terdapat banyak pajangan di sana. Ada semacam kain, replika
Andong, sampai kain seperti bendera Merah Putih yang di belakangnya terdapat bayangan
Wayang. Dijelaskan pada keterangan di bawah, bahwa ada beberapa tokoh Wayang Purwa
dalam cerita Ramayana. Mereka di antaranya adalah Rama, Lesmana, dan Anoman. Selain
tokoh-tokoh tersebut, tentu kita juga mengenal tokoh lain seperti Sinta dan Rahwana. Cerita
ini akan terus ada jika kita sedang menyaksikan Wayang dengan tema Rama & Sinta.
Ruangan selanjutnya adalah koleksi tentang manusia purba. Di sini ada tengkorak & tulang
Paha manusia. Selain itu terdapat juga alat-alat yang digunakan waktu hidup. Pada masa
Prasejarah, di Indonesia ada dua jenis logam yang digunakan, besi dan perunggu. Dari
keterangan tulisan yang terpampang koleksi Perunggu antara lain; Kapak Corong, Bejana
Perunggu, Nekara, dan Moko. Sedangkan besi untuk Mata Panah dan Mata Tombak.dan ada
semacam galian yang terdapat ditengah-tengah ruangan ini. Kulongokkan kepala, di
dalamnya terdapat semacam tulang manusia. Sebuah replika peti kubur batu. “Kubur yang
berbentuk peti, terdiri atas enam papan batu.
Masih di ruangan yang sama namun tersekat oleh jejeran lemari berisi gerabah. Jejeran guci
dan koleksi dari bahan keramik pun tertata rapi. Di sudut lain, terdapat semacam koleksi
Naskah Kuno.
Lebih dalam memasuki ruangan, sebuah ruangan lebih gelap ini menampilkan berbagai jenis
batik. Tidak hanya hasil batiknya, namum juga terdapat alat dan bahan untuk pembuatan
sebuah batik. Berbagai Canthing (Tembokan, Klowongan, Isen, dan Cecek) terpajang di
samping Parafin, Malam, Tungku, Wajan, dan Kipas yang terbuat dari anyaman Bambu.
Deretan hasil batik pun terpasang pada Maneken. Maneken-maneken tersebut layaknya
patung yang dirias seperti pasangan pengantin memakai gaun batik.
Koleksi lain pun tersaji di dua ruangan lainnya. Ruangan ini lebih terang, setiap sisinya
terdapat berbagai jenis Wayang. Kuamati satu demi satu seraya mencatat beberapa jenis
Wayang yang terpajang. Adapun Wayangnya antara lain; Wayang Kancil (bersumber pada
cerita Kancil dan Buaya), Wayang Wahyu (Karya bapak Sutadi BS Solo Tentang Kelahiran
& Perjalanan Yesus), Wayang Sadat (karya bapak Suryadi B.A Trucuk, Klaten; tentang
perjuangan para wali di tanah Jawa), Wayang Gedhog Solo, Simpingan Wayang Kulit Purwa
Yogyakarta, Wayang Golek Purwa Pasundan, Wayang Golek Menak Yogyakarta, Wayang
Klitik, dan Wayang Dupara. Semua koleksi Wayang aku abadikan dengan kamera.

Beranjak menuju pintu depannya yang hanya disekat dengan sebuah gorden berwana gelap,
ruangan kecil ini berisi berbagai Topeng. Ada Topeng Figura manusia (raut wajah lucu,
seram, cacat mulut, cacat mulut dan mata, & cacar). Tidak ketinggalan Topeng Bali Cerita
Ramayana, Topeng Yogyakarta Cerita Panji, Topeng Cirebon Cerita Mahabarata, berbagai
macam Topeng Barong Bali, bahkan Topeng Sabrangan Madura. Semua koleksi Topeng di
bawahnya tertulis keterangan mengenai jenis topeng dan asalnya.
Perjalanan berlanjut menuju ruangan lainnya yang lebih luas. Di sana terdapat berbagai karya
yang berasal dari Jepara. Seperti Rana (Penyekat Ruangan), atau malah sebuah Meja yang
dikelilingi beberapa Kursi. Meja dan Kursi ini terbalut dengan ukiran khas Jepara.
Langkahku pun mengikuti arahan belok kiri. Di ruangan ini ada berbagai alat yang terbuat
dari logam. Ada Centong Logam dari Masa Klasik, Kendi Kuningan, Ceret/Teko,
Pakinangan & Kacip (tempat untuk menyimpan ramuan Kinang; sirih, tembahau, pinang
muda, dan kapur). Ada juga Vas Kuningan, Blencong (alat penerangan pertunjukan Wayang
masa lampau), juga Perkakas Makan (sendok, piring, garpu, juga ada pisau).

Keluar dari ruangan ini, dihadapkan pada sebuah gapura. Mirip Gapura-gapura yang ada di
Bali. Kucoba melongokkan banguan di balik gapura, di sana ada Bale Gede. Tempat yang
sebenarnya digunakan Upacara Daur Hidup; memandikan Jenasah dan memberi sesaji
disampingnya (di Bali). Namun, tempat ini juga berfungsi untuk tempat bermusyawarah. Di
dalamnya terdapat Patung yang berjejeran dan sepasang dipan.

Selanjutnya Masuk ke dalam ruangan, terjejer rapi pajangan berbagai senjata tajam. Senjata
tajam seperti Pedang, Celurit, Gobang, bahkan Pisau Pengukir. Ada juga koleksi Keris (Keris
Luk 3, Keris Lurus. Keris Luk 13, Keris Luk 9, Keris Luk 5, dan sebagainya). Tak
ketinggalan pula Tombak dan Kujang. Ada banyak koleksi yang ada di dalam ruangan ini.

menyusuri ruangan yang lainnya. Ini seperti hampir ujung bangunan. Di dalamnya ternyata
ada berbagai macam mainan tradisional. Mainan yang tidak pernah kita lupakan (bagi orang
lahir 80-90an). Karena sebagian mainan tersebut pernah kita mainkan. Mainan seperti;
Senapan Kayu, Othok-othok (semacam batang kayu yang direkat dengan karet dan
ditengahnya diberi lidi), Yoyo, Plintheng/Ketapel, Kapal Othok-othok, Bola Kasti &
Pentungan, Suling, Dakon, ataupun Gangsing. Kemudian pintu keluar
Biografi Singkat Panglima Besar Soedirman
Pangsar Soedirman lahir di Dukuh Rembang, desa Bodaskarangjati, Purbalingga pada
tanggal 24 Januari 1916 dari pasangan Karsid Kartawiradji dan Siyem. Namun semenjak
kanak-kanak beliau diasuh oleh ayah angkatnya seorang Camat yang bernama R.
Cokrosunaryo.
Beliau menempuh pendidikan HIS (sekolah Rakyat) tamat tahun 1931, lalu Taman Siswa,
MULO WIWORO, tamat tahun 1934 dan HIK Muhammadiyah Solo, selanjutnya menempuh
militer Daidanco PETA (semasa penjajahan Jepang) angkatan II tahun 1944 di Bogor.
Jasa-jasa beliau bagi negeri ini amatlah besar, beliau pulalah yang memimpin pertempuran
melawan sekutu Inggris di ambarawa pada tanggal 15 Desember 1945. Bersama dengan
pasukan TKR yang dipimpinnya (saat itu beliau masih menjabat sebagai Komandan Resimen
V Purwokerto), berhasil mengusir tentara sekutu dari Magelang, Ambarawa dan Semarang.
Keberhasilannya mengusir tentara sekutu melalui pertempuran Ambarawa yang lebih dikenal
sebagai Palagan Ambarawa, sudah sepantasnya beliau diangkat menjadi Panglima besar
menggantikan Supriyadi, keputusan ini ditetapkan melalui konfrensi TKR yang berlangsung
di Yogyakarta pada tanggal 12 November 1945.
Perjuangan beliau mengusir penjajah dari bumi pertiwi pun terus berlanjut, semasa perang
kemerdekaan II 19 Desember 1948, Pangsar Soedirman memimpin perang Gerilya.
Meskipun dalam kondisi sakit, beliau tak gentar dan menyerah atas penyakit yang
menggerogoti tubuhnya, salah satu semboyan beliau ialah “robek-robeklah badanku,
Potong-potoglah jasadku ini, tetapi jiwaku yang dilindungi benteng sang merah putih
tetap hidup, tetap menuntut bela siapapun lawan yang bakal dihadapi”. Dari rangkaian
kalimat tersebut terlihat jelas sikap nasionalis yang tinggi, loyalitas serta pengabdiannya
terhadap bangsa Indonesia. Kepribadian serta kepemimpianan beliau patut dijadikan contoh
oleh generasi masa kini karna loyalitas beliau terhadap bangsa dan tanah air nya, jujur dalam
setiap perbuatan, mengayomi, sederhana dan tidak menonjolkan diri, disiplin, berpendirian
kuat serta menomorsatukan kepentingan nasional.
Sang Jendral tutup usia pada tanggal 20 Januari 1950 di Pesanggrahan Militer, Jalan Badaan,
Magelang pada usia 34 tahun, Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kusumanegara Yogyakarta.
Sejarah berdirinya Museum Sasmitaloka;
Kata Sasmitaloka berasal dari bahasa Jawa, Sasmita yang
berarti pengeling-eling, megingat, mengenang. sedangkan Loka berarti tempat.
Jadi,Sasmitaloka berarti tempat untuk mengingat atau mengenang. Museum ini merupakan
tempat untuk mengenang pengabdian dan pengorbanan dari Panglima Besar Jenderal
Sudirman. Gedung tua nan usang ini bercerita banyak tentang kehidupan Sang Jendral
sebagai seorang suami dan ayah, serta pemimpin tertinggi kemiliteran. Seorang Jenderal
yang tidak pernah menyerah pada penjajahan, bahkan oleh penyakit yang dideritanya. Ibarat
memasuki sebuah mesin waktu yang memutar mundur ke masa dimana Sang Jendral Besar
hidup, pengunjung benar-benar merasakan atmosfir yang hampir sama, tenggelam ke dalam
kenangan Sang Jendral Besar.
Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Sudirman terletak di Jalan Bintaran Wetan,
no: 3 Yogyakarta dahulunya merupakan kediaman pribadi Sang Jendral.
Gedung ini dibangun pada masa pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1890, arsitektur
bergaya Belanda mendominasi bangunan ini. Museum ini memiliki sejarah yang sangat
panjang. Pada awal berdirinya, diperuntukkan bagi pejabat keuangan Pura Paku Alam VII,
Tuan Winschenk. Pada masa penjajahan Jepang bangunan dikosongkan dan
barang-barangnya disita. Selanjutnya di era kemerdekaan, digunakan sebagai Markas Kompi
Tukul dari batalion Soeharto. Sejak tanggal 18 Desember 1945 hingga 19 Desember 1948,
beralih fungsi menjadi kediaman resmi Jenderal Sudirman setelah menjadi Panglima
Tertinggi TKR. Selanjutnya saat Agresi Belanda II, digunakan sebagai Markas IVG Brigade
T dan setelah kedaulatan Republik Indonesia tanggal 27 Desember 1949, berturut-turut
dipakai sebagai kantor Komando Militer Kota Yogyakarta, kemudian digunakan untuk
asrama Resimen Infantri XIII dan penderita cacat (invalid). Tanggal 17 Juni 1968 dipakai
untuk Museum Pusat Angkatan Darat, sebelum akhirnya diresmikan sebagai Museum
Sasmitaloka Panglima Besar (Pangsar) Jenderal Sudirman pada tanggal 30 Agustus 1982.

Benda-benda Koleksi Museum


Museum Sasmitaloka Pangsar Soedirman memiliki 599 buah benda koleksi, yang terdiri dari
jenis logam, kayu, kulit, kertas dan kain yang dipamerkan dalam 14 ruangan.

Ruang Pameran
Memasuki Sasmitaloka dari pintu utara, pengunjung akan melihat prasasti Pangsar
Soedirman, sementara itu dihalaman depan bangunan induk terdapat sebuah monumen Sang
Jendral Besar menunggang kuda dengan gagahnya, yang dikeempat sisinya terpatri tulisan.
Sementara disisi utara monumen terdapat satu senjata mesin dan sebuah meriam disisi
selatannya.
Bangunan induk memiliki tiga pintu dibagian depannya dan sebuah pintu dibagianbelakang
yang menghubungkan dengan aula. Bangunan induk memiliki 6 ruangan yang saling
berhubungan.
a) Ruang Tamu
Terletak di bagian terdepan dari bangunan induk, ruangan ini berfungsi sebagai tempat
menerima tamu, baik keluarga, maupun pejabat. Di ruangan ini terdapat dua set meja dan
kursi, tanda penghargaan berupa bintang R I tingkat II, bintang gerilya, bintang Mahawira,
Satya Lencana perang kemerdekaan kesatu dan kedua. Koleksi lainnya yang dipamerkan
diruang tamu berupa tanda penghargaan medali bintang R I tingkat I.
b) Ruang Santai
Terletak dibagian belakang ruang tamu, ruangan ini tidak hanya digunakan sebagai tempat
untuk membimbing putra-putri beliau tetapi juga tempat beliau
mendiskusikan masalah-masalah yang berkaitan dengan perjuangan bangsa Indonesia.
Pengunjung dapat melihat satu set meja dan kursi, radi merk Philips,foto-foto, lukisan sera
perabot rumah tangga yang pernah beliau gunakan semasa hidup.
c) Ruangan Kerja
Terletak disebelah utara ruang santai, di ruangan ini lah Pak Dirman menyelesaikan
tugas-tugasnya serta mengatur kebijaksanaan perjaungan TNI. Benda-benda koleksi yang
dipamerkan antara lain; pesawat telepon (digunakan sebagai alat komunikasi Pangsar TKR),
satu set meja dan kursi, kursi tamu, lemari arsip, pistolvickers, pistol mitraliursten,
senapan lee enfild, samurai (digunakan sewaktu masih menjadi Daidanco PETA di Kroya
pada tahun 1944-1945), serta piagam penghargaan tanda jasa.
d) Ruang Tidur Tamu
Terletak di sisi timur, terhubung langsung dengan ruang kerja. Ruang tidur ini diperuntukkan
tamu Pak Dirman, baik saudara maupun rekan-rekan seperjuangan. Benda-benda koleksi
yang dipamerkan antara lain; tempat tidur, satu set meja dan kursi, patung Pangsar beserta
Jendral Oerip Soemohardjo dan sebuah lemari pakaian.
e) Ruang Tidur Pangsar
Terletak dibagian selatan ruang santai, ruangan ini merupakan kamar pribadi beliau dan sang
istri Ny Siti Alfiah. Di ruangan ini terdapat; seperangkat meja dan kursi, tempat tidur, mesin
jahit merk singer, patung lilin Sang Jendral yang sedang duduk di kursi malas, Lukisan Bu
Dirman, Lukisan Pak Dirman bersama Bu Dirman, serta Cermin / kapstok.
f) Ruang Tidur Putra-putri Pak Dirman
Terletak di bagian barat bangunan induk, ruangan ini terhubung langsung dengan ruang tidur
Pak Dirman yang terletak di sisi barat. Di ruangan ini terdapat dua buah tempat tidur, satu set
meja dan kursi serta foto-foto keluarga.
Di sayap utara rumah induk terdapat bangunan dengan tiga ruangan; ruang sekretariat di
bagian terdepan, ruang Palagan Ambarawa serta Ruang RS Panti Rapih.
g) Ruang Sekretariat (Ruang Pemilihan Pangsar APRI)
Terletak di sayap utara rumah induk, ruangan ini dipakai sebagai tempat penyimpanan
koleksi sejarah yang erat kaitannya dengan pemilihan Jabatan Panglima Besar TKR.
Ruangan ini terhubung langsung dengan ruang Palagan Ambarawa. Benda-benda koleksi
yang terdapat didalamnya seperti; seperangkat meja dan kursi, yang mana digunakan sewaktu
mengusulkan komandan divisi V / Purwokerto Kol. Soedirman diangkat menjadi Pangsar
TKR dihadapan Oerip Soemohardjo dan Gatot Soebroto, koleksi lainnya adalah sumpah
anggota pimpinan tentara yang diucapkan Pangsar Jendral Soedirman.
h) Ruang Palagan Ambarawa
Ruangan ini menggambarkan tentang pertempuran Ambarawa yang terjadi antara Pasukan
TKR dalam usaha mengusir sekutu Inggris dari Magelang, Ambarawa, dan Semarang.
Pengunjung dapat melihat maket dan peta pertempuran Ambarawa, senjata Juki Jepang (hasil
rampasan di Kido Butai Purwokerto), dan juga senjatawater wantel buatan Inggris (hasil
rampasan Palagan Ambarawa).
i) Ruang RS Panti Rapih
Ruangan ini merupakan replika ruang Maria kamar 8 VIP 8 RS Panti Rapih Yogyakarta,
tempat dimana Pak Dirman dirawat. Beliau menderita sakit paru-paru, sehingga harus
dioperasi. Ditengah situasi yang memanas (saat itu APRI sedang berupaya menumpas
Pemberontakan PKI Madiun 1948), pak Dirman menjalani operasi. Kendati demikian dalam
keadaan sakit sekalipun beliau masih mampu menyusun rencana militer dengan para perwira
lainnya, sekalipun harus duduk di kursi roda. Benda-benda yang terdapat di dalam ruangan
ini berupa replika bangsal lengkap dengan tempat tidur, meja dan kursi, serta kliping koran
yang tergantung di dinding ( berisi artikel Pak Dirman Yang jatuh sakit).
j) Ruang Koleksi Kendaraan
Koleksi dokar yang dipamerkan di ruangan ini merupakan dokar yang pernah dinaiki Pak
Dirman dari Playen menuju Semanu (Gunung Kidul), selanjutnya mobil yang dipamerkan
adalah mobil Chevrolet-styemaster buatan USA (mobil ini digunakan untuk menjemput Pak
Dirman di tepi jembatan kali Oya sekembalinya beliau dari Gerilya, mobil ini juga
merupakan kendaraan pribadi beliau.
Setelah puas menjelajah ke ruang koleksi kendaraan, pengunjung wajib melihat ruangan
Gunung Kidul dan Sobo, terletak di ujung timur bangunan yang terletak di bagian sayap
selatan rumah induk, Ruangan ini terhubung langsung dengan ruang diorama, ruang koleksi
pribadi serta ruang dokumentasi.
k) Ruang Gunung Kidul dan Sobo
Saat akan melangkah masuk ke ruangan ini, tepatnya di depan pintu masuk terdapat
semboyan Pangsar Soedirman yang menggambarkan loyalitas dan dedikasi beliau terhadap
bangsa dan negaranya; “robek-robeklah badanku, Potong-potoglah jasadku ini, tetapi
jiwaku yang dilindungi benteng sang merah putih tetap hidup, tetap menuntut bela
siapapun lawan yang bakal dihadapi”.
Sewaktu perang Gerilya Pak Dirman pernah singgah beberapa hari di Semanu Gunung Kidul
dan Sobo Pacitan. Pada saat beliau di Sobo inilah beliau mulai melaksanakan tugasnya
sebagai Pangsar secara teratur serta memantau perkembanagn situasi ibu kota RI Yogyakarta,
terutama saat akhir serangan Umum 1 Maret. Benda-benda koleksi yang terdapat di ruangan
ini berupa; dua buah dipan, meja dan kursi, padasan (tempat wudlu), peralatan makan dan
minum, maket gerilya di Sobo serta lukisan yang menggambarkan perang Gerilya.
l) Ruang Diorama
Ruangan ini terbagi atas tiga buah diorama yang menggambarkan sebagai berikut;
 Diorama pertama menggambarkan perjuangan Sang Jendral pada saat Agresi Militer
Belanda kedua
 Diorama kedua menggambarkan situasi selama beliau memimpin perang Gerilya.
 Diorama ketiga menggambarkan situasi selama beliau melancarkan gerilya di markas
Gerilya Sobo Pacitan. Disamping koleksi diorama terdapat pula tandu, tongkat dan peta
rute gerilya.

m) Ruang Koleksi Pribadi


Saat akan memasuki ruang koleksi pribadi pengunjung disuguhi dengan koleksi foto-foto
pribadi Pak Dirman, sebuah surat pribadi yang ditujukan kepada beliau, yang ditulis Presiden
Pertama RI “Soekarno”, foto-foto kegiatan Pak Dirman, mantel dan pakaian yang pernah
beliau kenakan, serta foto-foto pemakaman beliau.

Amanat Pangsar Soedirman


“Insyaf, Percaya dan Yakinlah bahwa kemerdekaan suatu bangsa yang didirikan
diatas timbunan ribuan jiwa, harta benda rakyatnya dan bangsanya, Insya Allah tidak
akan dapat dilenyapkan oleh manusia siapapun juga”.
Keraton Yogyakarta mungkin sudah biasa bagi wisatawan Nusantara. Namun, tahukah Anda
makna beberapa sudut di dalamnya.
Bangunan Keraton Yogyakarta seluruhnya seluas 14.000 meter persegi. Di dalamnya
terdapat dari beberapa bangunan dan bangsal. Jika bangsal adalah bangunan terbuka tanpa
pintu dan jendela, lain lagi dengan gedung yang lebih tertutup.
Keraton juga dikelilingi pohon beringin yang berjumlah 64 buah. Jumlahnya menyiratkan
usia Nabi Muhammad saat wafat jika dihitung berdasarkan penanggalan Jawa. Dua buah
pohon beringin yang ada di bagian depan Keraton Yogyakarta merupakan hadiah dari
Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Majapahit. Di antara kedua beringin itulah, pemerintahan
raja pertama hingga ke delapan memberlakukan hukuman kepada para penjahat.
Ketika memasuki Keraton Yogyakarta, Anda akan disambut bangsal pagelaran yang
digunakan untuk menggelar upacara adat keraton. Bangsal ini pernah dipugar 1934 oleh
Sultan Hamengkubuwono VIII.
Motif lantainya berbentuk bintang delapan. Bangsal pagelaran ini juga memiliki tiang
penyangga sebanyak 63 buah yang bertujuan mengingat usia wafat Nabi Muhammad jika
dihitung berdasarkan kalender Masehi.
Tiang-tiang bangsal juga mengandung simbol agama. Misalnya, yang paling atas adalah
bunga lotus yang merupakan lambang agama Hindu, bunga teratai yang merupakan lambang
Budha, dan alat baca Quran yang melambangkan agama Islam.
Peletakan simbol tersebut diurut berdasarkan urutan masuknya agama ke Indonesia.
Sayangnya, lambang Kristen dan Katolik tidak disertakan karena baru masuk ke Indonesia
setelah tiang tersebut dipancangkan. Ini artinya, agama itu seperti tiang kerajaan, jadi apapun
agamanya yang penting tetap damai dan bersatu.

Berjalan ke bagian belakang, Anda akan disambut dua buah bangsal kecil di bagian kiri dan
kanan. Ini adalah bangsal Pacikeran yang digunakan sebagai tempat berdiam diri para abdi
dalem yang bertugas sebagai algojo.
Tugas mereka memang menunggu perintah untuk membunuh penjahat. Bangsal Pacikeran
ini memang sengaja dibuat pendek agar semua algojo hanya dapat duduk di dalam bangsal
dan menghormati para tamu yang datang sehingga mereka tidak akan semena-mena.
Kompleks inti Keraton Yogyakarta
Kompleks Pagelaran
Bangunan utama di keraton adalah Bangsal Pagelaran yang dahulu di kenal dengan
nama Tratag Rambat. Tempat ini dahulunya di gunakan oleh para punggawa kasultanan yang
akan menghadap Sultan pada upacara resmi. Pada saat sekarang ini, selain di gunakan untuk
upacara adat keraton, juga bisa di kunjungi oleh para wisatawan. Di sini juga terdapat
sepasang Bangsal Pemandengan yang letaknya agak jauh di sebelah timur dan barat Bangsal
Pagelaran. Dahulu bangsal ini di gunakan oleah sultan untuk melihat latihan perang di
Alun-alun Ler.

Sepasang Bangsal Pasewakan/Pengapit terletak tepat di sisi luar sayap timur dan sayap barat
Bangsal Pagelaran. Dahulu tempat ini digunakan oleh para Panglima Kesultanan pada saat
menerima pemerintah dari Sultan atau menunggu giliran untuk melaporkan kepada Sultan
dan digunakan juga sebagai tempat jaga Bupati Anom Saba. Pada saat sekarang ini tempat ini
digunakan untuk tempat pariwisata. Bangsal pengrawit yang terletak di sayap timur bagian
selatan Tratag pagelaran, dahulu digunakan oleh Sultan untuk melantik Pepatih Dalem. Dan
saat ini di sisi selatan kompleks ini dihiasi dengan relief perjuangan Sultan
Hamengkubuwono I dan Sultan Hamengkubuwono IX. Komplek ini juga pernah digunakan
oleh Universitas Gadjah Mada sebelum memiliki kampus di bulaksumur.

Siti Hinggil ler

Pada sisi selatan Kompleks Pagelaran terdapat Komplek Siti Hinggil, dimana Komplek Siti
Hinggil secara tradisi digunakan untuk penyelenggaraan upacara resmi kerajaan. Di tempat
ini pada tanggal 19 Desember 1949 digunakan untuk meresmikan Universitas Gadjah Mada.
Kompleks ini dibuat lebih tinggi dari tanah dan sekitarnya dengan jarak 2 jenjang untuk naik.
Di sisi utara dan selatan diantara Komplek pagelaran dan Siti Hinggil juga ditanami dengan
sederetan pohon Gayam.
Di kanan dan kiri bawah anak tangga utara Siti Hinggil terdapat dua bangsal yang di sebut
denganBangsal pacikeran yang digunakan oleh para Abdi dalem Martolutut dan singonegoro
sampai sekitar tahun 1926. Kata Pacikeran berasal dari Ciker yang berarti tangan yang putus.
Bangunan Tarub Agung terletak tepat di ujung atas jenjang Utara. Bangunan ini berbentuk
kanopi persegi panjang dengan empat tiang. Tempat ini dahulu digunakan oleh para
pembesar untuk transit dan menunggu rombongannya masuk ke bagian dalam istana.
Sedangkan di timur laut dan timur laut terdapat bangsal yang dinamakan Bangsal Kori. Di
tempat ini dahulu bertugas AbdiDalem Kori dan Abdi Dalem Jaksa yang bertugas untuk
menyampaikan permohonan maupun pengaduan rakyat kepada Sultan.

Bangsal Manguntur Tangkil terletak ditengah-tengah Siti Hinggil tepat berada di bawah atau
di dalam sebuah Hall besar terbuka yang disebut dengan Tratag Siti Singgil. Bangunan ini
merupakan tempat Sultan duduk di atas singgahsananya pada saat acara resmi kerajaan
seperti pelantikan Sultan dan Pisowanan Ageng atau pertemuan besar para petinggi
kesultanan. Di Bangsal ini juga pada tanggal 17 Desember 1949 Insinyur Soekarno dilantik
menjadi Presiden Republik Indonesia. Sedangkan de sebelah selatan Bangsal Manguntur
Tangkil terdapat Bangsal Witono. Lanatai utama yang lebih besar dari Manguntur Tangkil
ini dibuat lebih tinggi. Bangunan ini digunakan untuk meletakkan lambang-lambang kerajaan
maupun pusaka kerajaan pada saat mengadakan acara resmi kerajaan.
Di sisi timur Bangsal Manguntur Tangkil juga terdapat bangunan yang bernaman Bale Bang,
yang pada zaman dahulu digunakan untuk menyimpan perangkat gamelan sekaten KK
Guntur Madu dan KK Naga Wilaga. Sedangkan di sebelah barat Bangsal
MangunturTangkilterdapat bangunan yang di namakan Bale Angun-angun, yang zamannya
merupakan tempat penyimpanan tombak KK Suro Angun-angun.
Istana Kepresidenan Yogyakarta terletak di ujung selatan jalan Akhmad Yani, Kelurahan
Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kotamadya Yogyakarta. Kompleks Istana yang berada
pada ketinggian 120 meter dpl. ini dibangun di atas lahan seluas 43.585 M2. Terletak di pusat
keramaian kota, jantung kota Yogyakarta, menghadap ke timur berseberangan dengan
Museum Benteng Vredeburg, bekas benteng belanda.
Istana kepresidenan Yogyakarta dikenal juga dengan nama Gedung Agung atau Gedung
Negara. Penamaan itu berkaitan dengan salah satu fungsi gedung utama istana, yaitu sebagai
tempat penerimaan tamu-tamu agung. Istana ini merupakan salah satu istana dari keempat
istana kepresidenan lainnya, yang memiliki peran amat penting dalam sejarah perjuangan
kemerdekaan dan kehidupan bangsa Indonesia.
Secara umum, proses pengembangan bagian-bagian Istana Kepresidenan Yogyakarta tidak
banyak berubah, baik dari gedung induknya: Gedung Agung, juga wisma -wismanya seperti
Wisma Negara, Wisma Indraphrasta, Wisma Sawojajar, Wisma Bumiretawu, dan Wisma
Saptapratala.
Selain keempat wisma tersebut, sejak 20 September 1995, kompleks Seni Sono seluas 5.600
meter persegi yang terletak di sebelah selatan, yang semula milik Departemen Penerangan,
kini menjadi bagian dari Istana Kepresidenan Yogyakarta. Cukup lumayan dilakukan
penataan ulang terhadap istana ini; contohnya Ruang Kesenian direnovasi, kursi-kursi dan
lampu hiasnya diganti. Dari segi perabot / perlengkapan tampak kesesuaian antara fungsi
kamar / ruang dengan perabotan / peralatan yang mengisinya, bahkan termasuk benda -
benda seni bernilai tinggi yang ada di dalamnya.
Sejak didirikan dua abad yang lalu hingga kini, Gedung Induk kompleks Istana Kepresidenan
Yogyakarta tidak pernah berubah; bentuknya sama seperti ketika selesai dibangun pada tahun
1869. Ruangan Induknya disebut Ruang Garuda dan berfungsi sebagai ruang resmi
penyambutan tamu negara atau tamu agung yang lain. Di ruangan ini pulalah kabinet
Republik Indonesia dilantik tatkala ibu kota negara pindah ke Yogyakarta. Pada dinding
ruangan yang bersejarah ini tergantung gambar-gambar pahlawan nasional, di antaranya
adalah gambar Pangeran Diponegoro, R.A. Kartini, Dokter Wahidin Soedirohusodo, dan
Tengku Cik Di Tiro.
Di sisi selatan Gedung Induk terdapat Ruangan Tidur Presiden beserta keluarga, sedangkan
di sisi utara terdapat kamar tidur yang disediakan bagi Wakil Presiden beserta keluarga, dan
bagi tamu negara atau tamu agung yang lain beserta keluarga.
Di bagian depan kanan Gedung Induk terdapat ruangan yang diberi nama Ruang Soerdiman
untuk mengenang perjuangan Panglima Besar Soedirman dalam memimpin gerilya melawan
Belanda. Di ruangan inilah dulu Panglima Besar Soedirman mohon diri kepada Presiden
Soekarno, untuk meninggalkan kota dalam rangka memimpin perang gerilya melawan
Belanda. Di bagian kiri gedung utama terdapat ruangan yang diberi nama Ruang Diponegoro,
untuk mengenang perjuangan Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Dalam ruangan ini
tampak pula lukisan / foto beliau sedang berkuda.
Dari Ruang Garuda ke arah belakang terdapat ruangan besar yang lain, yaitu Ruangan
Jamuan Makan, tempat jamuan makan bagi tamu negara atau tamu agung yang lain. Di
belakang ruangan jamuan makan terdapat ruangan luas, yang berfungsi sebagai Ruangan
Pertunjukan Kesenian.
Masih tentang bangunan-bangunan yang ada di Istana Yoyakarta ini, bangunan lain adalah
Wisma Negara; wisma ini dibangun pada tahun 1980. Wisma ini dimaksudkan untuk para
menteri dan rombongan tamu negara. Bangunan ini bertingkat dua dan mempunyai 19 kamar.
Setiap kamarnya dihiasi dengan lukisan serta benda seni lain yang sesuai dengan
fungsi-fungsi kamarnya, terutama untuk beristirahat.
Selain Wisma Negara, terdapat Wisma Indraphrasta. Wisma ini merupakan wujud bangunan
asli kantor Asisten Residen Belanda, penggagas ban

gunan yang kini menjadi istana ini. Di kiri dan kanan belakang bangunan utama, di dekat
Ruang Kesenian, adalah Wisma Sawojajar dan Wisma Bumiretawu. Wisma Sawojajar,di
sebelah utara, disediakan bagi petugas atau rombongan staf Presiden atau tamu negara,
sedangkan Wisma Bumiretawu disediakan bagi ajudan serta dokter pribadi Presiden atau
ajudan dan dokter pribadi tamu negara. Wisma Saptapratala terletak di sebelah selatan,
berseberangan dengan Wisma Bumiretawu . Wisma ini disediakan bagi petugas-petugas dan
para anggota rombongan presiden atau tamu negara.
Kompleks Seni Sono mulai dipugar tahun 1995 dan terdiri dari gedung auditorium, gedung
tempat penyimpanan koleksi benda-benda seni, gedung pameran dan perkantoran.
Auditorium ini semula adalah gedung Seni Sono yang dibangun pada tahun 1915 dan
diperuntukkan sebagai tempat pertunjukkan kesenian terpilih yang berkaitan dengan acara
kenegaraan. Gedung yang diperuntukkan sebagai tempat penyimpanan koleksi benda-benda
seni semula adalah bangunan kuno yang dibangun Belanda pada tahun 1911 dan terakhir
digunakan sebagai kantor PWI / Antara. Bangunan yang diperuntukkan gedung pameran dan
perkantoran semula adalah bangunan Kantor Departemen Penerangan.
Biasanya, Pintu Gerbang Utama Kompleks Istana Yogyakarta "dijaga" oleh dua buah patung
besar Dwarapala yang juga disebut Gupala, masing-masing setinggi dua meter. Kedua patung
ini berasal dari salah satu tempat di sebelah selatan Candi Kalasan. Di halaman istana, di
depan Gedung Induk, tampak sebuah monumen yang terbuat dari batu andesit setinggi 3.5
meter; namanya Dagoba, yang berasal dari Desa Cupuwatu, di dekat Candi Prambanan.
Orang Yogyakarta menyebutnya Tugu Lilin karena Tampak seperti lilin yang senantiasa
menyala, melambangkan kerukunan beragama, yaitu agama Hindu Ciwa dan agama Budha:
agama Hindu Ciwa dilambangkan dengan Lingga, yang menopang stupa sebagai lambang
agama Budha.[am]
Sejarah Museum

Bangunan Benteng Vredeburg dibangun oleh Belanda pada tahun 1765 dengan fungsi untuk
mengawasi Kraton Yogyakarta yang waktu itu didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang
akan bergelar Sultan Hamengkubuwono I.
Pada tahun itu pengaruh Belanda di Pulau Jawa sudah sangat kuat, karena strategi dagang
dan politik uang nya sangat berhasil, puncaknya adalah perselisihan antara Susuhunan
Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi dimanfaatkan oleh Pemerintah Belanda untuk
mengadu domba keduanya dan mempengaruhi agar terjadi perpecahan Kerajaan Mataram
melalui perjanjian Giyanti pada tahun 1765. Hasil dari perjanjian itu adalah terpecahnya
wilayah Kerajaan Mataram menjadi dua yaitu wilayah Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat
di Yogyakarta dengan Rajanya Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan
Hamengkubuwono I dan Wilayah Kerjaan Surakarta dengan Rajanya Susuhunan
Pakubuwono III.
Dengan dalih menjaga perdamaian, setelah berhasil memecah belah kedua pihak, Belanda
masih meminta untuk membangun Benteng di depan Kedua Kerajaan tersebut, yaitu Benteng
Rustenberg di depan Keraton Yogyakarta yang sekarang menjadi Benteng Vredeburg dan
Benteng Vastenberg di depan Kraton Surakarta. Benteng Rustenberg mempunyai arti
Benteng Peristirahatan, kemudian pada tahun 1765-1788 bangunan disempurnakan dengan
bantuan Sultan Hamengku Buwono I selanjutnya diubah namanya menjadi "Benteng
Vredeburg" yang berarti "Benteng Perdamaian", yaitu perdamaian dengan Belanda dan
Kraton Surakarta.
Bangunan Benteng Rustenberg ini menurut catatan sejarah telah mengalami beberapa
perubahan fungsi yaitu :
- Tahun1760-1830 sebagai Benteng Pertahanan dan Pengawasan Belanda.
- Tahun 1830 - 1945 sebagai Markas Militer Belanda yang kemjdian jatuh ke tangan Jepang.
- Tahun 1945 - 1977 sebagai Markas Militer Republik Indonesia
- Tahun 1977 Departemen Pertahanan dan Keamanan mengembalikan Benteng ini kepada
Pemerintah Republik Indonesia, kemudian atas izin Sri Sultan Hamengku Buwono IX
dijadikan sebagai Pusat Informasi dan Pengembangan Budaya Nusantara pada tanggal 9
Agustus 1980.
- Pada Tahun 1985, tepatnya pada tanggal 16 April 1985 Benteng Vredeburg dipugar
menjadi Museum Perjuangan dan dibuka untuk umum pada tahun 1987.聽
- Tahun 1992, tepatnya pada tanggal 23 November 1992, Benteng Vreburg diresmikan
menjadi sebuah museum, yaitu "Museum Khusus Perjuangan Nasional" dengan nama
"Museum Benteng Yogyakarta".

Benda Koleksi

Museum dengan luas kurang lebih 2100 meter persegi ini mempunyai beberapa koleksi
antara lain:
Bangunan-bangunan peninggalan Belanda, yang dipugar sesuai bentuk aslinya.
- Diorama-diorama yang menggambarkan perjuangan sebelum Proklamasi Kemerdekaan
sampai dengan masa Orde Baru.
- Koleksi benda-benda bersejarah, foto-foto, miniatur, replika dan lukisan tentang perjuangan
nasional dalam merintis, mencapai, mempertahankan, serta mengisi kemerdekaan Indonesia.
- Selain itu terdapat pula 4 ruang pameran minirama sejarah perjuangan bangsa Indonesia
- Kendaraan yang biasanya digunakan pada masa perjuangan, yaitu Jeep Willys buatan 1946
yang digunakan Tentara Indonesia saat ibu kota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta.
Kendraai ini juga sempat digunakan Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono
(HB) IX pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan

Taman Sari Yogyakarta atau Taman Sari Keraton


Yogyakarta (Hanacaraka: ꦠꦩꦤ꧀ꦱꦫꦶꦔꦪꦺꦴꦒꦾ ꦏꦂꦡ , Tamansari Ngayogyakarta)
adalah situs bekas taman atau kebun istana Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dapat
dibandingkan dengan Kebun Raya Bogor sebagai kebun Istana Bogor. Kebun ini dibangun
pada zaman Sultan Hamengku Buwono I (HB I) pada tahun 1758-1765/9. Awalnya, taman
yang mendapat sebutan "The Fragrant Garden" ini memiliki luas lebih dari 10 hektare
dengan sekitar 57 bangunan baik berupa gedung, kolam pemandian, jembatan gantung, kanal
air, maupun danau buatan beserta pulau buatan dan lorong bawah air. Kebun yang digunakan
secara efektif antara 1765-1812 ini pada mulanya membentang dari barat daya kompleks
Kedhaton sampai tenggara kompleks Magangan. Namun saat ini, sisa-sisa bagian Taman Sari
yang dapat dilihat hanyalah yang berada di barat daya kompleks Kedhaton saja.

Bagian pertama

Bagian pertama merupakan bagian utama Taman Sari pada masanya. Pada zamannya, tempat
ini merupakan tempat yang paling eksotis. Bagian ini terdiri dari danau buatan yang
disebut "Segaran" (harfiah=laut buatan) serta bangunan yang ada di tengahnya, dan
bangunan serta taman dan kebun yang berada di sekitar danau buatan tersebut. Di samping
untuk memelihara berbagai jenis ikan, danau buatan Segaran juga difungsikan sebagai tempat
bersampan Sultan dan keluarga kerajaan. Sekarang danau buatan ini tidak lagi berisi air
melainkan telah menjadi pemukiman padat yang dikenal dengan kampung Taman.
Bangunan-bangunan yang tersisa dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.
Pulo Kenongo
Di tengah-tengah Segaran terdapat sebuah pulau buatan, "Pulo Kenongo", yang ditanami
pohon Kenanga (Kananga odorantum[?], famili Magnoliaceae[?]). Di atas pulau buatan
tersebut didirikan sebuah gedung berlantai dua, "Gedhong Kenongo". Gedung terbesar di
bagian pertama ini cukup tinggi. Dari anjungan tertingginya orang dapat mengamati
kawasanKeraton Yogyakarta dan sekitarnya sampai ke luar benteng baluwarti. Konon
Gedhong Kenongo terdiri dari beberapa ruangan dengan fungsi berbeda. Dari jauh gedung ini
seperti mengambang di atas air. Oleh karenanya tidak mengherankan jika kemudian Taman
Sari dijuluki dengan nama "Istana Air" (Water Castle). Saat ini (Januari 2008) gedung ini
tinggal puing-puingnya saja.

Di sebelah selatan Pulo Kenongo terdapat deratan bangunan kecil yang disebut
dengan "Tajug". Bangunan ini merupakan menara ventilasi udara bagi terowongan bawah
air. Terowongan ini merupakan jalan masuk menuju Pulo Kenongo selain menggunakan
sampan/perahu mengarungi danau buatan. Dahulu di bagian barat pulau buatan tersebut juga
terdapat terowongan, namun kondisinya sekarang kurang terawat dibandingkan dengan
terowongan selatan.
Pulo Cemethi dan Sumur Gumuling
Di sebelah selatan Pulo Kenongo terdapat sebuah pulau buatan lagi yang disebut
dengan "Pulo Cemethi". Bangunan berlantai dua ini juga disebut sebagai "Pulo
Panembung". Di tempat inilah konon Sultan bermeditasi. Ada juga yang menyebutnya
sebagai "Sumur Gumantung", sebab di sebelah selatannya terdapat sumur yang menggantung
di atas permukaan tanah. Untuk sampai ke tempat ini konon dengan adalah melalui
terowongan bawah air. Saat ini bangunan ini sedang dalam tahap renovasi besar - besaran
yang bertujuan untuk merestorasi bangunan - bangunan yang masih ada.

Sementara itu di sebelah barat Pulo Kenongo terdapat bangunan berbentuk lingkaran seperti
cincin yang disebut "Sumur Gumuling". Bangunan berlantai 2 ini hanya dapat dimasuki
melalui terowongan bawah air saja. Sumur Gumuling pada masanya juga difungsikankan
sebagai Masjid. Di kedua lantainya ditemukan ceruk di dinding yang konon digunakan
sebagai mihrab, tempat imam memimpin salat. Di bagian tengah bangunan yang terbuka,
terdapat empat buah jenjang naik dan bertemu di bagian tengah. Dari pertemuan keempat
jenjang tersebut terdapat satu jenjang lagi yang menuju lantai dua. Di bawah pertemuan
empat jenjang tersebut terdapat kolam kecil yang konon digunakan untuk berwudu.

Bagian kedua yang terletak di sebelah selatan danau buatan segaran merupakan bagian yang
relatif paling utuh dibandingkan dengan bagian lainnya. Bagian yang tetap terpelihara adalah
bangunan sedangkan taman dan kebun di bagian ini tidak tersisa lagi. Sekarang bagian ini
merupakan bagian utama yang banyak dikunjungi wisatawan.

Gedhong Gapura Hageng


"Gedhong Gapura Hageng" merupakan pintu gerbang utama taman raja-raja pada zamannya.
Kala itu Taman Sari menghadap ke arah barat dan memanjang ke arah timur. Gerbang ini
terdapat di bagian paling barat dari situs istana air yang tersisa. Sisi timur dari pintu utama ini
masih dapat disaksikan sementara sisi baratnya tertutup oleh pemukiman padat. Gerbang
yang mempunyai beberapa ruang dan dua jenjang ini berhiaskan relief burung dan
bunga-bungaan yang menunjukkan tahun selesainya pembangunan Taman Sari pada tahun
1691 Jawa (kira-kira tahun 1765 Masehi).
Gedhong Lopak-lopak
Di sebelah timur gerbang utama kuno Taman Sari terdapat halaman bersegi delapan. Dahulu
di tengah halaman ini berdiri sebuah menara berlantai dua yang bernama "Gedhong
Lopak-lopak", versi lain menyebut gopok-gopok. Sekarang (Januari 2008) gedung ini sudah
tidak ada lagi. Di halaman ini hanya tersisa deretan pot bunga raksasa serta pintu-pintu yang
menghubungkan tempat ini dengan tempat lainnya. Pintu di sisi timur halaman bersegi
delapan tersebut merupakan salah satu gerbang menuju Umbul Binangun.
Umbul Pasiraman[

"Umbul Pasiraman" atau ada yang menyebut dengan "Umbul Binangun" (pengucapan
dalam bahasa Jawa "Umbul Winangun") merupakan kolam pemandian bagi Sultan,
permaisuri, para istri (garwo ampil), serta para putri-putri raja. Kompleks ini dikelilingi oleh
tembok yang tinggi. Untuk sampai ke dalam tempat ini disediakan dua buah gerbang, satu di
sisi timur dan satunya di sisi barat. Di dalam gerbang ini terdapat jenjang yang menurun. Di
kompleks Umbul Pasiraman terdapat tiga buah kolam yang dihiasi dengan mata air yang
berbentuk jamur. Di sekeliling kolam terdapat pot bunga raksasa. Selain kolam juga terdapat
bangunan di sisi utara dan di tengah sebelah selatan.

Bangunan di sisi paling utara merupakan tempat istirahat dan berganti pakaian bagi para
puteri dan istri (selir). Di sebelah selatannya terdapat sebuah kolam yang disebut dengan
nama "Umbul Muncar". Sebuah jalan mirip dermaga menjadi batas antara kolam ini dengan
sebuah kolam di selatannya yang disebut dengan "Blumbang Kuras". Di selatan Blumbang
Kuras terdapat bangunan dengan menara di bagian tengahnya. Bangunan sayap barat
merupakan tempat berganti pakaian dan sayap timur untuk istirahat Sultan. Menara di bagian
tengah, konon digunakan Sultan untuk melihat istri dan puterinya yang sedang mandi
kemudian yang tubuh telanjangnya paling mengesankan sultan akan di panggil ke menara. Di
selatan bangunan tersebut terdapat sebuah kolam yang disebut dengan "Umbul Binangun",
sebuah kolam pemandian yang dikhususkan untuk Sultan dan Permaisurinya saja. Pada
zamannya, selain Sultan, hanyalah para perempuan yang diizinkan untuk masuk ke kompleks
ini. Ini di mungkinkan karena semua perempuan (permaisuri, istri ( selir ) dan para putri
sultan) yang masuk ke dalam taman sari ini harus lepas baju (telanjang), sehingga selain
perempuan di larang keras oleh sultan untuk masuk ke Taman Sari.
Gedhong Sekawan
Di timur umbul pasiraman terdapat sebuah halaman bersegi delapan. Di halaman yang dihiasi
dengan deretan pot bunga raksasa ini berdiri 4 buah bangunan yang serupa. Bangunan ini
bernama "Gedhong Sekawan". Tempat ini digunakan untuk istirahat Sultan dan
keluarganya. Di setiap sisi halaman terdapat pintu yang menghubungkannya dengan halaman
lain.
Gedhong Gapuro Panggung
Di sebelah timur halaman bersegi delapan tersebut terdapat bangunan yang disebut
dengan "Gedhong Gapura Panggung". Bangunan ini memiliki empat buah jenjang, dua di
sisi barat dan dua lagi di sisi timur. Dulu di bangunan ini terdapat empat buah patung ular
naga namun sekarang hanya tersisa dua buah saja. Gedhong Gapura Panggung ini
melambangkan tahun dibangunnya Taman Sari yaitu tahun 1684 Jawa (kira-kira
tahun 1758 Masehi). Selain itu di bangunan ini juga terdapat relief ragam hias seperti di
Gedhong Gapura Hageng. Sisi timur bangunan ini sekarang menjadi pintu masuk situs
Taman Sari.
Gedhong Temanten
Di tenggara dan timur laut gerbang Gapuro Panggung terdapat bangunan yang disebut
dengan "Gedhong Temanten". Bangunan ini dulu digunakan sebagai tempat penjaga
keamanan bertugas dan tempat istirahat. Menurut sebuah rekonstruksi Taman Sari di selatan
bangunan ini terdapat sebuah bangunan lagi yang sekarang tidak ada bekasnya sedangkan di
sisi utaranya terdapat kebun yang juga telah berubah menjadi pemukiman penduduk.

Bagian Ketiga

Bagian ini tidak banyak meninggalkan bekas yang dapat dilihat. Oleh karenanya deskripsi di
bagian ini sebagian besar berasal dari rekonstruksi yang ada. Dahulu bagian ini meliputi
Kompleks "Pasarean Dalem Ledok Sari" dan Kompleks kolam "Garjitawati" serta beberapa
bangunan lain dan taman/kebun. Pasarean Dalem Ledok Sari merupakan sisa dari bagian ini
yang tetap terjaga. Pasarean Dalem Ledok Sari konon merupakan tempat peraduan Sultan
bersama Pemaisurinya. Versi lain mengatakan sebagai tempat meditasi. Bangunannya
berbentuk seperti U. Di tengah bangunan terdapat tempat tidur Sultan yang di bawahnya
mengalir aliran air. Sebuah dapur, ruang penjahit, ruang penyimpanan barang, dan dua kolam
untuk pelayan begitu pula kebun rempah-rempah, buah-buahan, dan sayur-sayuran
diperkirakan berada bagian ini. Di sebelah baratnya dulu terdapat kompleks kolam
Garjitawati. Jika hal itu benar maka kompleks ini merupakan sisa pesanggrahan Garjitawati
dan kemungkinan besar juga merupakan Umbul Pacethokan yang pernah digunakan
oleh Panembahan Senopati.

Bagian Keempat

Bagian terakhir ini merupakan bagian Taman Sari yang praktis tidak tersisa lagi kecuali
bekas jembatan gantung dan sisa dermaga. Deskripsi di bagian ini hampir seluruhnya
merupakan sebuah rekonstruksi dari sketsa serangan pasukan Inggris ke Keraton
Yogyakarta pada tahun 1812. Bagian ini terdiri dari sebuah danau buatan beserta bangunan di
tengahnya, taman di sekitar danau buatan, kanal besar yang menghubungkan danau buatan
ini dengan danau buatan di bagian pertama, serta sebuah kebun. Danau buatan terletak di
sebelah tenggara kompleks Magangan sampai timur laut Siti Hinggil Kidul. Di tengahnya
terdapat pulau buatan yang konon disebut "Pulo Kinupeng". Di atas pulau tersebut berdiri
sebuah bangunan yang konon disebut dengan "Gedhong Gading". Bangunan yang menjulang
tinggi ini disebut sebagai menara kota (Cittadel Tower) [?].

Kanal besar terdapat di sisi barat laut dari danau buatan dan memanjang ke arah barat serta
berakhir di sisi tenggara danau buatan di bagian pertama. Di kanal ini terdapat dua
penyempitan yang diduga keras merupakan letak jembatan gantung. Salah satu jembatan
tersebut berada di jalan yang menghubungkan kompleks Magangan dengan Kamandhungan
Kidul. Bekas-bekas dari jembatan ini masih dapat disaksikan, walaupun jembatannya sendiri
telah lenyap. Di sebelah barat jembatan gantung terdapat sebuah dermaga. Dermaga ini
konon digunakan Sultan sebagai titik awal perjalanannya masuk ke Taman Sari. Konon
Sultan masuk ke Taman Sari dengan bersampan. Di sebelah selatan Kanal terdapat kebun.
Kebun ini berlokasi di sebelah barat kompleks Kamandhungan Kidul dan Siti Hinggil Kidul.
Kini semua tempat itu telah menjadi pemukiman penduduk. Kebunnya telah berubah menjadi
kampung Ngadisuryan sedangkan danau buatan berubah menjadi kampung Segaran [?].

Você também pode gostar