Você está na página 1de 23

BAB III

PERENCANAAN BENDUNG

3.1 UMUM

Dengan maksud memenuhi kebutuhan air bagi pertanian maka diperlukan berbagai
prasarana penyedia dan pengambil airnya natara lain yakni bangunan bendung.
Bendung merupakan bangunan melintang sungai untuk meninggikan taraf muka air
sungai dan atau membendung aliran sungai sehingga aliran sungai bisa disadap dan
dialirkan secara gravitasi ke daerah/areal irigasi.

Pada Daerah Irigasi Komplek Nangakara seluas 2579,41 ha, direncanakan tiga buah
bendung dengan luas layanan masing-masing bendung seperti ditabelkan berikut :

Tabel 3.1 Areal Layanan Bendung Pada Irigasi Komplek Nangakara


No. Nama Bendung Areal Layanan Luas Areal
1. Bendung Sorinangka DI. Sorinangka 381,00 ha
2. Bendung Sorinomo DI. Sorinomo Kanan 342,17 ha
DI. Sorinomo Kiri 304,24 ha
3. Bendung Nangakara DI. Nangakara Kanan 382,00 ha
DI. Nangakara Kiri 1170,00 ha
T O TAL 2579,41 ha

3.2 Curah Hujan Rancangan

3.2.1 Analisis Frekuensi

1). Metode EJ Gumbel


(CD. Soemarto, Ir. 1983, Hidrologi Teknik, FT Unibraw hal 155)
Persamaan Metode Gumbel adalah :

Xt = X + K . sx

dengan ;
Xt = Variate yang diekstrapolasi dari besarnya hujan rancangan
untuk periode ulang T tahun.
X = Harga rerata dari data
n
= 1/n .  Xi
1

sx = Standart Deviasi

III - 1
n n
=  Xi - Xrt .  . Xi
1 1

n-1

K = Faktor frekuensi yang merupakan fungsi dari periode ulang


(return periode) dan tipe distribusi frekuensi. Untuk
menghitung faktor frekuensi dipakai persamaan :

= Yt - Yn
sn
diengan ;

Yt = Reduced Variate sebagai fungsi periode ulang T


= - Ln ( - Ln ( T-1)/T )
Yn = Reduced mean sebagai fungsi banyaknya data n
sn = Reduced Standart deviasi sebagai fungsi dari banyaknya data.

Dengan mensubtisusikan persamaan di atas maka diperoleh

Xt = Xrt + ( sx / sn ) . ( Yt - Yn )

Jika :

1/a = sx / sn dan b= Xrt - (sx / sn ) . Yn

Persamaan di atas menjadi :

Xt = b + ( 1/a ) . Yt

Dengan menggunakan persamaan di atas, maka dapat dihitung besarnya curah


hujan dalam suatu daerah pengaliran sungai dengan periode ulang yang
diperlukan.

2) Metode Log Pearson


(CD. Soemarto, Ir. 1983, Hidrologi Teknik, FT Unibraw)

Metode yang dianjurkan dalam pemakaian distribusi Log Pearson adalah


dengan mengkonversikan rangkaian data menjadi bentuk logaritmis.
 log x
Log Xrt = 
n
atau dengan cara :

 (log x)2 - ( log x )2 / n  log x


X = 
n-1
n2 .  (log x)3 - 3 . n( log x )2 + 2 (  log x )3

III - 2
X = 
n . ( n-1 ) .( n-2 ) . (  log x )3
log x = log x - ( log x )rt

Standart Deviasi :

 ( log x - ( log x )rt )2


 log x = 
n -1

Koefisien asimetri :
n . ( log x - ( log x )rt )3
Cs = 
( n-1 ) .( n-2 ) . (  log x )3
Nilai x dibagi setiap tingkat probabilitas dihitung dari persamaan :

log X rt = Log X + K .  log X

Distribusi frekuensi kumulatif akan tergambar sebagai garis lurus pada kertas
log normal jika koefisien asimetri Cs = 0.

3.2.2 Pemeriksaan Uji Kesesuaian Distribusi Frekuensi

a). Metode Smirnov-Kolmogorof

Pemeriksaan uji kesesuaian ini dimaksudkan untuk mengetahui suatu


kebenaran hipotesa distribusi frekuensi.

Dengan pemeriksaan uji ini akan diketahui :


 Kebenaran antara hasil pengamatan dengan model distribusi yang
diharapkan atau yang diperoleh secara teoritis.
 Kebenaran hipotesa (diterima/ditolak)

Hipotesa adalah perumusan sementara terhadap suatu hal untuk menjelaskan


hal tersebut, ke arah penyelidikan selanjutnya. Untuk mengadakan pemeriksaan
uji di awali dengan ploting data dari hasil pengamatan pada kertas probabilitas
dan durasi yang sesuai.

Tahapan plotting data dan garis durasi pada kertas probabilitas sebagai berikut :
 Data hujan maksimum harian rerata tiap tahun disusun dari kecil ke besar.
 Probabilitas dihitung dengan Persamaan Weibul ( Iman Subarkah.Ir,op.
Cit, hal.133 )

100 . m
P =  ( % )
n+1

III - 3
dengan :

P = Probabilitas ( %)
m = Nomor urut data dari seri data yang telah disusun
n = Nilai data

 Plot data hujan Xi dan probabilitas


 Plot Persamaan analisis frekuensi yang sesuai

b). Chi - Square

Dari distribusi (sebaran) Chi - Square, dengan penjabaran seperlunya, dapat


diturunkan persamaan : (MMA Shahin, 1976, Statistical Analysis in Hydrology,
Vol .2, Delft Netherlands, hal 186)

( Ef - Of )2
X2 = 
Ef
dengan :

X2 = Harga chi-square
Ef = Frekuensi (banyaknya pengamatan) yang diharapkan,
sesuai dengan pembagian kelasnya.
Of = Frekuensi yang terbaca pada kelas yang sama

Nilai X2 yang didapat, harus lebih kecil dari harga X2 kritis untuk suatu derajat
nyata tertentu (level of significance), yang diambil sebesar 5 %.

Derajat kebebasan ini secara umum dapat dihitung dengan persamaan : (Anto
Dayan. Drs,1976, Pengantar Metode Statistik Jilid II, LP3ES, Jakarta, hal 76)

DK = K-(P+1)

dengan :

DK = Derajat kebebasan
K = Banyak kelas
P = Banyaknya keterikatan atau parameter, untuk sebaran chi-square

Disarankan agar banyaknya kelas tidak kurang dari lima dan frekuensi absolut
tiap kelas tidak kurang dari lima pula. Apabila ada kelas yang frekuensinya
kurang dari lima, maka dapat dilakukan penggabungan dengan kelas yang lain.

3.2.3 Distribusi Hujan

III - 4
Untuk mengubah curah hujan rancangan menjadi debit banjir rancangan,
diperlukan curah hujan jam-jaman. Pada umumnya data hujan tersedia pada stasiun
meteorologi adalah data hujan harian, artinya data yang tercatat secara kumulatif
selama 24 jam.

Jika stasiun hujan merupakan stasiun pencatat otomatis (Automatic Rainfall


Recorder, ARR), maka pola distribusi hujan jam-jaman dapat dibuat dengan
menggunakan metode Mass Curve, untuk tiap kejadian hujan lebat dengan
mengabaikan waktu terjadinya. Setiap kejadian ini diplot untuk mendapatkan
distribusi hujan hariannya ke tiap jam.

Jika tidak terdapat Stasiun Otomatis (ARR), maka distribusi hujan dihitung dengan
menggunakan Metode Rasional, yaitu :
Rt = Ro . (5/T)2/3
dengan :
Rt = Rata-rata hujan awal sampai dengan jam ke T
Ro = R24/5
5 = Hujan terpusat selama 5 jam
T = Waktu hujan dari awal sampai dengan jam ke T
R24 = Jumlah hujan dalam se hari

3.2.4 Koefisien Pengaliran

Koefisien pengaliran adalah suatu variabel yang didasarkan pada kondisi daerah
pengaliran dan karakteristik hujan yang jatuh didaerah tersebut. Adapun kondisi
dan karakteristik tersebut adalah :
1. Keadaan hujan
2. Luas dan bentuk daerah pengaliran
3. Kemiringan daerah aliran dan kemiringan sungai
4. Daya infiltrasi dan perkolasi tanah
5. Kebasahan tanah
6. Suhu udara dan angin serta evaporasi dan
7. Tata guna tanah

Tabel 3.2 Koefisien Pengaliran (Dr. Mononobe)


Kondisi DAS Angka Pengaliran ( C )
Pegunungan Curam 0.75 - 0.90
Pegunungan tersier 0.70 - 0.80
Tanah berelief berat dan berhutan kayu 0.50 - 0.75
Dataran Pertanian 0.45 - 0.60
Dataran Sawah irigasi 0.70 - 0.80
Sungai di Pegunungan 0.75 - 0.85
Sungai di dataran rendah 0.45 - 0.75
Sungai besar dengan aliran di dataran 0.50 - 0.75
rendah
Sumber : Suyono Sosrodarsono, 145 : 1980

Koefisien pengaliran pada tabel di atas, didasarkan pada pertimbangan bahwa


koefisien ini tergantung dari faktor-faktor fisik. Dr. Kawakami menyusun

III - 5
sebuah rumus yang mengemukakan bahwa untuk sungai tertentu, koefisien ini
tidak tetap, tergantung dari curah hujan.
R’
f = 1 - 
= 1 - f’
Rt
(Suyono Sosrodarsono Ir, 1980, Hidrologi untuk Pengairan, Cetakan III, Pradnya
Paramitha, hal 145)

dengan :
f = Koefisien pengaliran
f’ = Laju kehilangan
Rt = Jumlah curah hujan
R’ = Kehilangan curah hujan

Tabel 3.3 Pendekatan Angka Koefisien Pengaliran


Curah Hujan Rumus Koefisien
No Daerah Kondisi Sungai
(Rt) Pengaliran (c)
1 Hulu Sungai Biasa f = 1 - 15,7/Rt3/4
2 Tengah Sungai biasa f = 1 - 5,65/ Rt1/2
3 Tengah Sungai di Zone lava f = 1 - 7,20/ Rt1/2
4 Tengah > 200 mm f = 1 - 3.14/ Rt1/3
5 Hilir < 200 mm f = 1 - 6.60/ Rt1/2
Sumber : Suyono Sosrodarsono,146 : 1980

3.2.5 Hujan Netto

Hujan netto merupakan bagian dari hujan total yang menghasilkan limpasan
langsung (direct run off ). Limpasan langsung ini terdiri atas limpasan permukaan
(surface run off ) dan air yang masuk ke dalam lapisan tipis di bawah permukaan
tanah dengan permeabilitas rendah, yang keluar lagi di tempat yang lebih rendah
dan berubah menjadi limpasan permukaan.

Dengan menganggap bahwa proses perubahan hujan menjadi limpasan langsung


mengikuti proses linier dan tidak berubah oleh waktu, maka hujan netto (Rn)
dinyatakan sebagai berikut :

Rn = c.R

dengan :

Rn = Hujan netto (mm)


c = Koefisien limpasan
R = Intensitas curah hujan

3.2.6 Base Flow (Aliran Dasar)

III - 6
Untuk memperkirakan aliran dasar dipergunakan persamaan pendekatan, dengan
melihat bahwa aliran dasar tersebut bersifat tetap, dengan memperhatikan
pendekatan Kraijenhoff van der Leur (1967) tentang hidrograf air tanah. (Sri Harto
Br. Dr. Ir. Dipl. H, 1993, Analisis Hidrologi, Cetakan I, P.T Gramedia, hal 165)

QB = 0,4751. A0,6444. D0,9430


dengan :

QB = Aliran dasar (m3/dt)


A = Luas DAS (km2)
D = Kerapatan jaringan kuras, yaitu jumlah panjang sungai semua tingkat
tiap satu satuan luas DAS (km-1)

3.2.7 Curah Hujan Maksimum Yang Mungkin Terjadi (PMP)

Untuk memperkirakan besarnya banjir maksimum yang mungkin terjadi, dengan


mempertimbangkan nilai kepentingan dibagian hilir suatu bangunan pengairan.
Dalam menentukan besarnya PMP (Probable Maximum Precipitation) digunakan
metoda statistik yang berdasarkan rumus dari Hershfield. (Hershfield, DM, Methode
for Estimating Probable Maximum Precipitation, 1965, hal 95)

Xm = Xrerata + Km . Sn

dengan :
Xm = Curah hujan maksimum yang mungkin terjadi
Sn = Standart deviasi data
Xrerata = Harga rerata curah hujan
Km = Variabel statistik, yang dipengaruhi distribusi nilai-nilai ekstrim

3.3 Debit Banjir Rancangan

3.3.1 Data Hujan Rancangan Yang Digunakan

Data hujan rancangan yang akan digunakan untuk menghitung debit banjir
rancangan adalah hujan rancangan metode Log Pearson III.

3.3.2 Hidrograf Banjir Rancangan

Untuk menghitung hidrograf banjir rancangan, terdapat dua metode yang umumnya
digunakan di Indonesia yaitu Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu dan Hidrograf
Satuan Sintetik Gamma I. Dalam perhitungan ini Hidrograf Satuan Sintetik Gamma
I tidak dipakai dikarenakan metode tersebut tidak cocok untuk bentuk DAS
memanjang karena adanya pangsa sungai yang diperhitungkan.

 Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu


Dalam perhitungan banjir rencana dengan hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu, maka

III - 7
perlu diketahui karakteristik atau parameter daerah alirannya. Karakteristik daerah
pengaliran sungai yang perlu diketahui adalah :

1) Tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak hidrograf ( time to peak
magnitude ).
2) Tenggang waktu dari titik berat hujan sampai titik berat hidrograf.
3) Tenggang waktu hidrograf ( time base of hydrograph )
4) Panjang alur sungai utama yang terpanjang ( lenght of the longest channel ).
5) Koefisien Pengaliran.

Persamaan dari Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu adalah sebagai berikut :


( CD. Soemarto, Ir. 1983, Hidrologi Teknik, FT Unibraw )

C . A . Ro
Qp = 
3,6 . ( 0,3 Tp + T0,3)

dengan :

Qp = Debit puncak banjir ( m3/dt )


Ro = Hujan Satuan ( mm )
Tp = Tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir ( jam )
T0,3 = Waktu yang diperlukan oleh penuunan debit dari debit puncak sampai
menjadi 30 % dari debit puncak.

Untuk menentukan Tp dan T0,3 digunakan persamaan :

Tp = Tg + 0,8 tr
T0,3 =  . Tg

Tg adalah time lag, yaitu waktu antara hujan sampai dengan debit puncak banjir
(jam)

Tg dihitung berdasarkan atas :

1). Sungai dengan panjang lebih dari 15 km

Tg = 0,40 + 0,058 L

2) Sungai dengan panjang kurang dari 15 km

tg = 0,21 . L0,70
 = parameter hidrograf
tr = satuan waktu ( 1 jam )

Persamaan hidrograf satuan adalah :

III - 8
1). Pada kurva naik
0  t  Tp
Qt = Q max ( t/Tp)2,4

2) Pada Kurva Turun


- Tp  t  ( Tp + T0,3)
Qt = Qmax . 0,3 [ (t-Tp)/T0,3]
- ( Tp + T0,3 )  t  ( Tp + T0,3 + T0,3 2)
Qt = Qmax . 0,3 [ ( t-Tp + 0,5 .T0,3 )/( 1,5.T0,3 ) ]
- t  ( Tp + T0,3 + 1,5 .T0,3 )
Qt = Qmax . 0,3 [ ( t-Tp + 1,5 .T0,3 )/( 2.T0,3 ) ]

aliran sungai harus didahului dengan pemilihan parameter-parameter yang sesuai


yaitu Tp,  dan pola distribusi hujan agar didapatkan suatu pola hidrograf yang
sesuai dengan hidrograf banjir yang diamati.

3.3.3. Hidrograf Superposisi

Dari perhitungan hidrograf satuan maka perhitungan debit banjir dihitung dengan
menggunakan superposisi dan diilustrasikan sebagai berikut.

Tabel 3.4 Hidrograf Superposisi


Q R1 R2 R3 Rn Base Q total
(m3/dt/mm) (mm) (mm) (mm) (mm) Flow (m3/dt)
(m3/dt)

q.1 q.1 R1 - - - B Q1
q.2 q.2 R1 q.1 R2 - - B Q2
q.3 q.3 R1 q.2 R2 q.1 R3 - B Q3
… … q.3 R2 q.2 R3 q.1 Rn B Q4
qn q.n R1 … q3 R3 q.2 Rn B Q5
q.m R2 … q.3 Rn B Q6
q.m R3 … B ...
q.m Rn B Q(n+m)

dengan :

q1,q2,q3 .. qn = Ordinat hidrograf satuan pada jam ke 1, 2, 3, n ( m3/dt/mm)


R1, R2, R3, Rn = Distribusi curah hujan jam-jaman ( mm )
Q1, Q2, Q3, Q4 = Ordinat hidrograf banjir pada jam ( m3/dt )
B = Base flow ( m3/dt )

Perhitungan Curah Hujan Rancangan dan Debit Banjir Rancangan untuk design
irigasi pada Nangakara Komplek disajikan pada Lampiran 2
3.4 Data Perencanaan Bendung

III - 9
Tabel 3.5 Data Perencanaan Bendung
Nama Bendung
Data
No. Bendung Bendung Bendung
Perencaan
Sorinangka Sorinomo Nangakara
1. Q banjir rancangan Q50 96,34 m3/dt 100,92 m /dt 118,23 m3/dt
3

2. El.puncak pelimpah + 236,50 m + 168,62 m + 163,80 m


3. El. apron hulu + 234,75 m + 164,00 m + 161,70 m
4. Tinggi pelimpah 1,75 m 2,35 m 2,10 m
5. Lebar bendung 18,5 m 18,50 m 26,90 m
6. Lebar pelimpah 16,00 m 16,00 m 20,00 m
7. Jumlah pilar 1 buah 1 buah 3 buah
8. Jml. pintu penguras 1 buah 1 buah 2 buah
9. Lebar pintu penguras 1,50 m 1,50 m 2 x @ 1,5 m

3.5 Perencanaan Bentuk Mercu Pelimpah

Pada umumnya bentuk mercu untuk bendung direncanakan dua tipe yaitu tipe Ogee
dan tipe bulat. Dan untuk bendung pada Irigasi Komplek Nangakara ini dipilih
mercu tipe bulat.

Bendung dengan mercu bulat memiliki harga koefisien debit yang jauh lebih tinggi
(44%) dibandingkan dengan koefisien bendung ambang lebar. Pada sungai, maka
hal ini akan banyak memberikan keuntungan karena bangunan ini akan mengurangi
tinggi muka air hulu selama banjir. Harga koefisien debit menjadi lebih tinggi
karena lengkung streamline dan tekanan negatif pada mercu.

Gambar 3.1 Mercu Tipe Bulat

3.6 Kapasitas Pengaliran Melalui Pelimpah

III - 10
Untuk menentukan besarnya debit yang melelui pelimpah dipergunakan rumus :
Q = C . Leff . (H)3/2
dengan;.
Q : debit yang melalui pelimpah, m3/dt
C : koefisien debit
H : tinggi tekan total di atas pelimpah, m
Leff : lebar efektif bendung, m

Gambar 3.2 Bendung dengan mercu bulat

3.6.1 Koefisien Debit

Koefisien debit (C) dari tipe standart suatu pelimpah diperoleh dengan rumus
Iwasaki (Sosrodarsono, 1989 : 182) yang perumusannya adalah sebagai berikut :
0 , 99
 Hd 
Cd  2,20  0,0416  
 P 

 h 
1  2a  
C  1,6  Hd 
 h 
1 a  
 Hd 

dalam hal ini ;

C : koefisien debit
Cd : koefisien debit pada saat h = Hd
h : tinggi air di atas mercu pelimpah, m
Hd : tinggi tekan rencana di atas pelimpah, m
P : tinggi pelimpah, m
a : konstanta (diperoleh pada saat h = Hd yang berarti C = Cd)

3.6.2 Tinggi Tekan Rencana Di Atas Mercu (Hd)

III - 11
Perhitungan tinggi tekan rencana di atas mercu tercapai pada saat h = Hd seperti
yang diuraikan pada rumusan sub bab 3.6.1.

3.6.3 Lebar Efektif Pelimpah

Lebar bendung yaitu jarak antara pangkal-pangkalnya (abutment), sebaiknya sama


dengan lebar rata-rata sungai pada bagian yang stabil. Di bagian ruas bawah sungai,
lebar rata-rata ini dapat diambil pada debit penuh. Di bagian ruas atas mungkin sulit
untuk menentukan debit penuh. Dalam hal ini banjir rata-rata tahunan dapat diambil
untuk menentukan lebar rata-rata bendung.

Lebar maksimum bendung hendaknya tidak lebih dari 1.2 kali lebar rata-rata sungai
pada ruas yang stabil.

Untuk sungai-sungai yang mengangkut bahan-bahan sedimen kasar yang berat,


lebar bendung tersebut harus lebih disesuaikan lagi terhadap lebar rata-rata sungai,
yakni jangan diambil 1.2 kali lebar sungai tersebut.

Agar pembuatan bangunan peredam energi tidak terlalu mahal, maka aliran per
satuan lebar hendaknya dibatasi sampai sekitar 12 – 14 m3/dt.m’. (Lihat Gambar
3.2)
Lebar efektif bendung (Leff) dihubungkan dengan lebar mercu yang sebenarnya (L),
yakni jarak antara pangkal-pangkal bendung dan atau tiang pancang, dengan
persamaan berikut :

Leff = L -2 (n.Kp + Ka) Hd


dengan;
n = jumlah pilar
Kp = koefisien kontraksi pilar
Ka = koefisien kontraksi pangkal bendung

Harga-harga koefisien Ka dan Kp diberikan pada tabel berikut :

Tabel 3.6 Harga – Harga Koefisien Kontraksi


Jenis Pilar Kp

III - 12
- Untuk pilar berujung segi empat dengan sudut-sudut yang dibulatkan
0.02
pada jari-jari yang hampir sama dengan 0.1 dari tebal pilar
- Untuk pilar berujung bulat 0.01
- Untuk pilar berujung runcing 0.00

Abutment Ka
- Untuk pangkal tembok segi empat dengan tembok hulu pada 90o ke
0.20
arah aliran.
- Untuk pangkal tembok bulat dengan tembok hulu pada 90o ke arah
0.10
aliran dengan 0.5 H1  r  0.15 H1.
- Untuk pangkal tembok bulat dengan r  0.15 H1 dan tembok hulu
0.00
tidak lebih dari 45o ke arah aliran.

Dalam memperhitungkan lebar efektif, lebar pembilas yang sebenarnya (dengan


bagian depan terbuka) sebaiknya diambil 80% dari lebar rencana untuk
mengkompensasi perbedaan koefisien debit dibandingkan dengan mercu bendung
itu sendiri. (Lihat Gambar 3.3)

Gambar 3.3 Lebar Efektif Pelimpah/Mercu

3.7 Perencanaan Kolam Loncat Air

III - 13
Gambar 3.4 memberikan penjelasan mengenai metode perencanaan kolam loncat
air.

Gambar 3.4 Perencanaan Kolam Loncat Air

Dari grafik q Vs H1 dan tinggi jatuh 2, kecepatan V1 awal loncatan dapat ditemukan
dari :

V1 = 2 g (1 / 2 H1  z )

dengan;
V1 = kecepatan awal loncatan, m/dt
g = percepatan gravitasi, m/dt² ( 9.8)
H1 = tinggi energi di atas ambang, m
z = tinggi jatuh, m

Dengan q = V1 . yu, dan rumus untuk kedalaman konjugasi dalam loncat air adalah :

y2
= 1/ 2 1  8 Fr 2  1
yu

Fr = V1 / (g . yu)0.5

dengan;

III - 14
y2 = kedalaman air di atas ambang, m
yu = kedalaman air di awal loncatan, m
V1 = kecepatan awal loncatan, m/dt
Fr = bilangan Froude
g = percepatan gravitasi, m/dt² ( 9.8)
Kedalaman konjugasi untuk setiap q dapat ditemukan dan diplot. Untuk menjaga
agar loncatan tetap dekat dengan muka miring bendung dan di atas lantai, maka
lantai harus diturunkan hingga kedalaman air hilir sekurang-kurangnya sama
dengan kedalaman konjugasi.
Untuk aliran tenggelam, yakni jika muka air hilir lebih tinggi dari 2/3 H1 di atas
mercu, tidak diperlukan peredam energi.

3.8 Panjang Kolam


Panjang kolam loncat air di belakang Potongan U (Gambar 3.5) biasanya kurang
dari panjang bebas loncatan tersebut karena adanya ambang ujung (end sill).
Ambang yang berfungsi untuk memantapkan aliran ini umumnya ditempatkan pada
jarak Lj di belakang potongan U.
Lj = 5 (n + y2)
dengan;
Lj = panjang kolam, m
n = tinggi ambang ujung, m
y2 = kedalaman air di atas ambang, m

Gambar 3.5 Parameter-Parameter Loncat Air


Tinggi yang diperlukan ambang ujung ini sebagai fungsi bilangan Froude (Fr),

III - 15
kedalaman air yang masuk yu, dan tinggi muka air hilir, dapat ditentukan dari
Gambar 3.6

Gambar 3.6 Hubungan Percobaan Antara Fr, y2/yu dan n/yu Untuk Ambang
Ujung Pendek (Menurut Forster dan Skrinde, 1950)

3.9 Kolam Olak

Tipe kolam olak yang akan direncanakan bergantung pada energi air yang masuk,
yang dinyatakan dengan Bilangan Froude (Fr).

Adapun pengelompokan dari tipe kolam olak yaitu :

1. Untuk Fr ≤ 1.7, tidak diperlukan kolam olak, pada saluran tanah, bagian hilir
harus dilindungi dari bahaya erosi, saluran pasangan batu atau beton yang tidak
memerlukan lindungan khusus.
2. Untuk 1.7 < Fr ≤ 2.5, menggunakan kolam olak dengan ambang ujung yang
mampu bekerja dengan baik. Untuk penurunan muka air DZ < 1.5 m, dapat
dipakai bangunan terjun tegak.
3. Untuk 2.5 < Fr ≤ 4.5, menggunakan kolam olak yang mampu menimbulkan
olakan (turbulensi) yang tinggi dengan blok halangnya atau menambah
intensitas pusaran dengan pemasangan blok yang berukuran besar di depan
kolam. (USBR Tipe IV)
4. Untuk Fr ≥ 4.5, menggunakan kolam olak yang paling ekonomis karena kolam
ini pendek yang dilengkapi dengan blok depan dan blok halang. (USBR Tipe
III)

Untuk perencanaan kolam olak ketiga buah bendung yang terpilih adalah kolam
olak USBR tipe IV. Adapun perhitungannya adalah sebagai berikut :

Perhitungan hidrolika untuk semua bendung disajikan pada lampiran 3

3.10 Pintu Pengambilan

III - 16
Gambar 3.7 Pintu Aliran Bawah

Rumus debit yang bisa dipakai adalah :

½
Q = K .  . a . B . (2g) . (h1)

dengan;
Q = debit, m3/dt
K = faktor aliran tenggelam, (lihat Gambar 3.15)
 = koefisien debit, (lihat Gambar 3.16)
a = bukaan pintu, m
B = lebar pintu, m
g = percepatan gravitasi, m/dt² ( 9.8)
h1 = kedalaman air di depan pintu di atas ambang, m

III - 17
Gambar 3.8 Koefisien K Untuk Debit Tenggelam (dari Scmidt)

Gambar 3.9 Koefisien Debit () Untuk Permukaan Pintu Datar dan Lengkung

Perhitungan intake bendung disajikan pada Lampiran 3

3.11 Kantong Lumpur

3.11.1 Ukuran Partikel Rencana

Ukuran paretikel sedimen yang terangkut merupakan salah satu parameter untuk
mendisain bangunan kantong lumpur. Partikel sedimen yang ukurannya kurang dari
70 m (70 x 10-6 m) dianggap sedimen layang.

3.11.2 Volume Kantong Lumpur

Asumsi yang lain dalam desain kantong lumpur yaitu bahwa air yang dielakkan
mengandung 0.5 ‰ sedimen yang harus diendapkan dalam kantong lumpur.
Volume kantong lumpur (V) hanya bergantung pada jarak waktu (interval)
pembilasan, dan dirumuskan sebagai berikut :

III - 18
V = 0.0005 x Qn x T

dengan :

V : Volume Kantong Lumpur, m3.


Qn : Debit pengaliran, m3/dt.
T : jarak waktu pembilasan, detik

3.11.3 Kecepatan Endap (w)

Kecepatan endap diperoleh dari hubungan antara diameter ayak partikel dengan
faktor suhu air. Dan di Indonesia dipakai suhu air (t) sebesar 20oC.

3.11.4 Panjang Kantong Lumpur (L)

Dari hasil kecepatan endap maka akan dapat dihitung panjang rencana kantong
lumpur, yang dirumuskan sebagai berikut :

Qn L
LxB  dan  8.00
w B

3.11.5 Eksploitasi Normal (In)  Pada Saat Kantong Sedimen Hampir Penuh

Biasanyan diasumsikan terlebih dahulu nilai Vn = 0.40 m/dt untuk mencegah


tumbuhnya vegetasi dan agar partikel-partikel yang lebih besar tidak langsung
mengendap di hilir pengambilan. In dirumuskan seperti di bawah ini :

Vn 2
In =
( Rn 2 / 3 x ks) 2

dengan :

Rn = An/Pn, dalam m
An = Qn/Vn, dalam m2.
ks = koefisien kekasaran, (diambil 45).

3.11.6 Penentuan Is  Pada Saat Kantong Lumpur Kosong

Karena sedimen di dalam kantong berupa pasir kasar, maka asumsi awal dalam
menentukan Is, kecepatan aliran (Vs) untuk pembilasan diambil 1.5 m/dt.

Rumus Is yang dipakai adalah :

Vs 2
Is =
( Rs 2 / 3 x ks ) 2

III - 19
dengan :

Rs = As/Ps, dalam m
As = Qs/Vs, dalam m2
hs = As/B, dalam m
Qs = 1.2 x Qn, dalam m3/dt.
ks = koefisien kekasaran, (diambil 40).

Agar pembilasan dapat dilakukan dengan baik, maka kecepatan aliran harus dijaga
agar tetap sub kritis (Fr < 1)

Vs
Fr = g x hs

3.11.7 Cek Rencana Muka Air Sungai Q1/5

Berdasarkan potongan memanjang dan melintang serta pengukuran di tempat, dapat


digambar hubungan antara Q Vs h pada lokasi komplek pembilas.

Kriterianya adalah bahwa pembilasan harus bisa dilakukan pada waktu Q1/5 (debit
banjir dengan periode ulang 5 kali dalam setahun)

Perhitungan kantong lumpur untuk masing-masing bendung disajikan pada


Lampiran 3

3.12 Bangunan Pembilas

Bangunan pembilas tidak boleh menjadi gangguan selama pembilasan dilakukan.


Oleh sebab itu aliran pada pintu pembilas harus tidak tenggelam. Dari uraian 3.8.7
dapat disimpulakan bahwa keadaan ini selalu terjadi pada debit sungai di baeah
Q1/5. Penurunan kecepatan aliran akan berarti menurunnya kapasitas angkutan
sedimen. Maka kecepatan pembilasan di depan pintu tidak boleh berkurang.

Perhitungan kantong lumpur dan pembilas untuk masing-masing bendung disajikan


pada Lampiran 3

3.13 Analisa Stabilitas Bendung

III - 20
Agar bangunan stabil perlu dikontrol apakah gaya-gaya yang bekerja tidak
menyebabkan bangunan bergeser, terangkat atau terguling.
FWL +165.73

1.93 W3 W4
W5

+164.15
NWL +163.80 W6

W2 Ge Gf
Pd Gh W7
Gc Gg W8
Gd G12
G11

Gb
G10 G13
2.10
H1 W1 G14
Ga G9
Ps H2
Gi
H3
G8
+161.70 G15
G16
Gj
W9
A G2 G4 G5
+161.10
1.20 UpH1 G3 D E G6
G7
I G17
G18 Gk N 2.00
G1
UpHA UpH3 UpH2 H UpHB Gl
Pp
Pa K UpHC
B C F G J UpH4 G19

L M

8.50 1.50 1.00 1.00 3.00

0.50 0.50

Up3
Up4 Up6 Up7
Up5 Up8
Up2
Up1

3.673
3.783 3.724
4.046
4.215
4.097
4.376 4.300 4.318
4.470

5.047 5.022

Gambar 3.10 Penampang Bendung Rencana

Gaya-gaya yang bekerja pada bangunan yang penting pada perencanaan adalah :

a. Tekanan air yang meliputi: tekanan hidrostatis, tekanan ke atas (up lift)
b. Tekanan sedimen
c. Gaya gempa yang meliputi: gaya horisontal akibat gempa dan gaya
hidrodinamis
d. Berat sendiri bangunan
e. Reaksi pondasi

3.13.1 Tekanan Air

a. Gaya Hidrostatis

Gaya tekan air atau gaya hidrostatis adalah gaya horisontal akibat air di hulu
dan hilir bendung. Tekanan air merupakan fungsi kedalam di bawah
permukaan air dan bekerja tegak lurus terhadap muka bangunan.

1
P =  w H2
2
dengan :

Ph : Tekanan hidrostatis air (t/m2)


w : Berat jenis air = 1.0 t/m3
H : Kedalaman air di hulu (m)

b. Gaya Tekan ke Atas (Uplift)

III - 21
Akibat bangunan bendung terendam di air, maka akan mendapatkan gaya
angkat ke atas yang akan mengurangi berat efektif bangunan itu sendiri. Rumus
gaya tekan ke atas untuk bangunan yang didirikan pada pondasi batuan adalah :
Lx
Px = Hx - H
L
dengan :

Px : Gaya angkat pada titik x (kg/m2)


L : Panjang total bidang kontak bendung dan tanah bawah (m)
Lx : Jarak sepanjang bidang kontak dari hulu sampai titik x (m)
H : Beda tinggi energi
Hx : Tinggi energi dihulu bendung (m)

Gambar 3.18 Gaya Angkat (Uplift) Pada Pondasi Bendung

Gambar 3.11 Gaya Uplift

3.13.2 Tekanan Sedimen

III - 22
Tekanan sedimen ini akan terjadi setelah bendung beroperasi sehingga didepan
bendung tertutup endapan lumpur atau sedimen setinggi ambang bendung. Tekanan
lumpur atau sedimen yang bekerja dihitung dengan rumus :

1 2
Ps = h s s B
2
dengan :
Ps : Gaya horisontal karena sedimen
s : Berat sedimen (ton)
Lx : Jarak sepanjang bidang kontak dari hulu sampai titik x (m)
H : Beda tinggi energi
Hx : Tinggi energi dihulu bendung (m)

Perhitungan analisa stabilitas untuk ketiga buah bendung disajikan pada Lampiran
3

III - 23

Você também pode gostar