Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PERENCANAAN BENDUNG
3.1 UMUM
Dengan maksud memenuhi kebutuhan air bagi pertanian maka diperlukan berbagai
prasarana penyedia dan pengambil airnya natara lain yakni bangunan bendung.
Bendung merupakan bangunan melintang sungai untuk meninggikan taraf muka air
sungai dan atau membendung aliran sungai sehingga aliran sungai bisa disadap dan
dialirkan secara gravitasi ke daerah/areal irigasi.
Pada Daerah Irigasi Komplek Nangakara seluas 2579,41 ha, direncanakan tiga buah
bendung dengan luas layanan masing-masing bendung seperti ditabelkan berikut :
Xt = X + K . sx
dengan ;
Xt = Variate yang diekstrapolasi dari besarnya hujan rancangan
untuk periode ulang T tahun.
X = Harga rerata dari data
n
= 1/n . Xi
1
sx = Standart Deviasi
III - 1
n n
= Xi - Xrt . . Xi
1 1
n-1
= Yt - Yn
sn
diengan ;
Xt = Xrt + ( sx / sn ) . ( Yt - Yn )
Jika :
Xt = b + ( 1/a ) . Yt
III - 2
X =
n . ( n-1 ) .( n-2 ) . ( log x )3
log x = log x - ( log x )rt
Standart Deviasi :
Koefisien asimetri :
n . ( log x - ( log x )rt )3
Cs =
( n-1 ) .( n-2 ) . ( log x )3
Nilai x dibagi setiap tingkat probabilitas dihitung dari persamaan :
Distribusi frekuensi kumulatif akan tergambar sebagai garis lurus pada kertas
log normal jika koefisien asimetri Cs = 0.
Tahapan plotting data dan garis durasi pada kertas probabilitas sebagai berikut :
Data hujan maksimum harian rerata tiap tahun disusun dari kecil ke besar.
Probabilitas dihitung dengan Persamaan Weibul ( Iman Subarkah.Ir,op.
Cit, hal.133 )
100 . m
P = ( % )
n+1
III - 3
dengan :
P = Probabilitas ( %)
m = Nomor urut data dari seri data yang telah disusun
n = Nilai data
( Ef - Of )2
X2 =
Ef
dengan :
X2 = Harga chi-square
Ef = Frekuensi (banyaknya pengamatan) yang diharapkan,
sesuai dengan pembagian kelasnya.
Of = Frekuensi yang terbaca pada kelas yang sama
Nilai X2 yang didapat, harus lebih kecil dari harga X2 kritis untuk suatu derajat
nyata tertentu (level of significance), yang diambil sebesar 5 %.
Derajat kebebasan ini secara umum dapat dihitung dengan persamaan : (Anto
Dayan. Drs,1976, Pengantar Metode Statistik Jilid II, LP3ES, Jakarta, hal 76)
DK = K-(P+1)
dengan :
DK = Derajat kebebasan
K = Banyak kelas
P = Banyaknya keterikatan atau parameter, untuk sebaran chi-square
Disarankan agar banyaknya kelas tidak kurang dari lima dan frekuensi absolut
tiap kelas tidak kurang dari lima pula. Apabila ada kelas yang frekuensinya
kurang dari lima, maka dapat dilakukan penggabungan dengan kelas yang lain.
III - 4
Untuk mengubah curah hujan rancangan menjadi debit banjir rancangan,
diperlukan curah hujan jam-jaman. Pada umumnya data hujan tersedia pada stasiun
meteorologi adalah data hujan harian, artinya data yang tercatat secara kumulatif
selama 24 jam.
Jika tidak terdapat Stasiun Otomatis (ARR), maka distribusi hujan dihitung dengan
menggunakan Metode Rasional, yaitu :
Rt = Ro . (5/T)2/3
dengan :
Rt = Rata-rata hujan awal sampai dengan jam ke T
Ro = R24/5
5 = Hujan terpusat selama 5 jam
T = Waktu hujan dari awal sampai dengan jam ke T
R24 = Jumlah hujan dalam se hari
Koefisien pengaliran adalah suatu variabel yang didasarkan pada kondisi daerah
pengaliran dan karakteristik hujan yang jatuh didaerah tersebut. Adapun kondisi
dan karakteristik tersebut adalah :
1. Keadaan hujan
2. Luas dan bentuk daerah pengaliran
3. Kemiringan daerah aliran dan kemiringan sungai
4. Daya infiltrasi dan perkolasi tanah
5. Kebasahan tanah
6. Suhu udara dan angin serta evaporasi dan
7. Tata guna tanah
III - 5
sebuah rumus yang mengemukakan bahwa untuk sungai tertentu, koefisien ini
tidak tetap, tergantung dari curah hujan.
R’
f = 1 -
= 1 - f’
Rt
(Suyono Sosrodarsono Ir, 1980, Hidrologi untuk Pengairan, Cetakan III, Pradnya
Paramitha, hal 145)
dengan :
f = Koefisien pengaliran
f’ = Laju kehilangan
Rt = Jumlah curah hujan
R’ = Kehilangan curah hujan
Hujan netto merupakan bagian dari hujan total yang menghasilkan limpasan
langsung (direct run off ). Limpasan langsung ini terdiri atas limpasan permukaan
(surface run off ) dan air yang masuk ke dalam lapisan tipis di bawah permukaan
tanah dengan permeabilitas rendah, yang keluar lagi di tempat yang lebih rendah
dan berubah menjadi limpasan permukaan.
Rn = c.R
dengan :
III - 6
Untuk memperkirakan aliran dasar dipergunakan persamaan pendekatan, dengan
melihat bahwa aliran dasar tersebut bersifat tetap, dengan memperhatikan
pendekatan Kraijenhoff van der Leur (1967) tentang hidrograf air tanah. (Sri Harto
Br. Dr. Ir. Dipl. H, 1993, Analisis Hidrologi, Cetakan I, P.T Gramedia, hal 165)
Xm = Xrerata + Km . Sn
dengan :
Xm = Curah hujan maksimum yang mungkin terjadi
Sn = Standart deviasi data
Xrerata = Harga rerata curah hujan
Km = Variabel statistik, yang dipengaruhi distribusi nilai-nilai ekstrim
Data hujan rancangan yang akan digunakan untuk menghitung debit banjir
rancangan adalah hujan rancangan metode Log Pearson III.
Untuk menghitung hidrograf banjir rancangan, terdapat dua metode yang umumnya
digunakan di Indonesia yaitu Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu dan Hidrograf
Satuan Sintetik Gamma I. Dalam perhitungan ini Hidrograf Satuan Sintetik Gamma
I tidak dipakai dikarenakan metode tersebut tidak cocok untuk bentuk DAS
memanjang karena adanya pangsa sungai yang diperhitungkan.
III - 7
perlu diketahui karakteristik atau parameter daerah alirannya. Karakteristik daerah
pengaliran sungai yang perlu diketahui adalah :
1) Tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak hidrograf ( time to peak
magnitude ).
2) Tenggang waktu dari titik berat hujan sampai titik berat hidrograf.
3) Tenggang waktu hidrograf ( time base of hydrograph )
4) Panjang alur sungai utama yang terpanjang ( lenght of the longest channel ).
5) Koefisien Pengaliran.
C . A . Ro
Qp =
3,6 . ( 0,3 Tp + T0,3)
dengan :
Tp = Tg + 0,8 tr
T0,3 = . Tg
Tg adalah time lag, yaitu waktu antara hujan sampai dengan debit puncak banjir
(jam)
Tg = 0,40 + 0,058 L
tg = 0,21 . L0,70
= parameter hidrograf
tr = satuan waktu ( 1 jam )
III - 8
1). Pada kurva naik
0 t Tp
Qt = Q max ( t/Tp)2,4
Dari perhitungan hidrograf satuan maka perhitungan debit banjir dihitung dengan
menggunakan superposisi dan diilustrasikan sebagai berikut.
q.1 q.1 R1 - - - B Q1
q.2 q.2 R1 q.1 R2 - - B Q2
q.3 q.3 R1 q.2 R2 q.1 R3 - B Q3
… … q.3 R2 q.2 R3 q.1 Rn B Q4
qn q.n R1 … q3 R3 q.2 Rn B Q5
q.m R2 … q.3 Rn B Q6
q.m R3 … B ...
q.m Rn B Q(n+m)
dengan :
Perhitungan Curah Hujan Rancangan dan Debit Banjir Rancangan untuk design
irigasi pada Nangakara Komplek disajikan pada Lampiran 2
3.4 Data Perencanaan Bendung
III - 9
Tabel 3.5 Data Perencanaan Bendung
Nama Bendung
Data
No. Bendung Bendung Bendung
Perencaan
Sorinangka Sorinomo Nangakara
1. Q banjir rancangan Q50 96,34 m3/dt 100,92 m /dt 118,23 m3/dt
3
Pada umumnya bentuk mercu untuk bendung direncanakan dua tipe yaitu tipe Ogee
dan tipe bulat. Dan untuk bendung pada Irigasi Komplek Nangakara ini dipilih
mercu tipe bulat.
Bendung dengan mercu bulat memiliki harga koefisien debit yang jauh lebih tinggi
(44%) dibandingkan dengan koefisien bendung ambang lebar. Pada sungai, maka
hal ini akan banyak memberikan keuntungan karena bangunan ini akan mengurangi
tinggi muka air hulu selama banjir. Harga koefisien debit menjadi lebih tinggi
karena lengkung streamline dan tekanan negatif pada mercu.
III - 10
Untuk menentukan besarnya debit yang melelui pelimpah dipergunakan rumus :
Q = C . Leff . (H)3/2
dengan;.
Q : debit yang melalui pelimpah, m3/dt
C : koefisien debit
H : tinggi tekan total di atas pelimpah, m
Leff : lebar efektif bendung, m
Koefisien debit (C) dari tipe standart suatu pelimpah diperoleh dengan rumus
Iwasaki (Sosrodarsono, 1989 : 182) yang perumusannya adalah sebagai berikut :
0 , 99
Hd
Cd 2,20 0,0416
P
h
1 2a
C 1,6 Hd
h
1 a
Hd
C : koefisien debit
Cd : koefisien debit pada saat h = Hd
h : tinggi air di atas mercu pelimpah, m
Hd : tinggi tekan rencana di atas pelimpah, m
P : tinggi pelimpah, m
a : konstanta (diperoleh pada saat h = Hd yang berarti C = Cd)
III - 11
Perhitungan tinggi tekan rencana di atas mercu tercapai pada saat h = Hd seperti
yang diuraikan pada rumusan sub bab 3.6.1.
Lebar maksimum bendung hendaknya tidak lebih dari 1.2 kali lebar rata-rata sungai
pada ruas yang stabil.
Agar pembuatan bangunan peredam energi tidak terlalu mahal, maka aliran per
satuan lebar hendaknya dibatasi sampai sekitar 12 – 14 m3/dt.m’. (Lihat Gambar
3.2)
Lebar efektif bendung (Leff) dihubungkan dengan lebar mercu yang sebenarnya (L),
yakni jarak antara pangkal-pangkal bendung dan atau tiang pancang, dengan
persamaan berikut :
III - 12
- Untuk pilar berujung segi empat dengan sudut-sudut yang dibulatkan
0.02
pada jari-jari yang hampir sama dengan 0.1 dari tebal pilar
- Untuk pilar berujung bulat 0.01
- Untuk pilar berujung runcing 0.00
Abutment Ka
- Untuk pangkal tembok segi empat dengan tembok hulu pada 90o ke
0.20
arah aliran.
- Untuk pangkal tembok bulat dengan tembok hulu pada 90o ke arah
0.10
aliran dengan 0.5 H1 r 0.15 H1.
- Untuk pangkal tembok bulat dengan r 0.15 H1 dan tembok hulu
0.00
tidak lebih dari 45o ke arah aliran.
III - 13
Gambar 3.4 memberikan penjelasan mengenai metode perencanaan kolam loncat
air.
Dari grafik q Vs H1 dan tinggi jatuh 2, kecepatan V1 awal loncatan dapat ditemukan
dari :
V1 = 2 g (1 / 2 H1 z )
dengan;
V1 = kecepatan awal loncatan, m/dt
g = percepatan gravitasi, m/dt² ( 9.8)
H1 = tinggi energi di atas ambang, m
z = tinggi jatuh, m
Dengan q = V1 . yu, dan rumus untuk kedalaman konjugasi dalam loncat air adalah :
y2
= 1/ 2 1 8 Fr 2 1
yu
Fr = V1 / (g . yu)0.5
dengan;
III - 14
y2 = kedalaman air di atas ambang, m
yu = kedalaman air di awal loncatan, m
V1 = kecepatan awal loncatan, m/dt
Fr = bilangan Froude
g = percepatan gravitasi, m/dt² ( 9.8)
Kedalaman konjugasi untuk setiap q dapat ditemukan dan diplot. Untuk menjaga
agar loncatan tetap dekat dengan muka miring bendung dan di atas lantai, maka
lantai harus diturunkan hingga kedalaman air hilir sekurang-kurangnya sama
dengan kedalaman konjugasi.
Untuk aliran tenggelam, yakni jika muka air hilir lebih tinggi dari 2/3 H1 di atas
mercu, tidak diperlukan peredam energi.
III - 15
kedalaman air yang masuk yu, dan tinggi muka air hilir, dapat ditentukan dari
Gambar 3.6
Gambar 3.6 Hubungan Percobaan Antara Fr, y2/yu dan n/yu Untuk Ambang
Ujung Pendek (Menurut Forster dan Skrinde, 1950)
Tipe kolam olak yang akan direncanakan bergantung pada energi air yang masuk,
yang dinyatakan dengan Bilangan Froude (Fr).
1. Untuk Fr ≤ 1.7, tidak diperlukan kolam olak, pada saluran tanah, bagian hilir
harus dilindungi dari bahaya erosi, saluran pasangan batu atau beton yang tidak
memerlukan lindungan khusus.
2. Untuk 1.7 < Fr ≤ 2.5, menggunakan kolam olak dengan ambang ujung yang
mampu bekerja dengan baik. Untuk penurunan muka air DZ < 1.5 m, dapat
dipakai bangunan terjun tegak.
3. Untuk 2.5 < Fr ≤ 4.5, menggunakan kolam olak yang mampu menimbulkan
olakan (turbulensi) yang tinggi dengan blok halangnya atau menambah
intensitas pusaran dengan pemasangan blok yang berukuran besar di depan
kolam. (USBR Tipe IV)
4. Untuk Fr ≥ 4.5, menggunakan kolam olak yang paling ekonomis karena kolam
ini pendek yang dilengkapi dengan blok depan dan blok halang. (USBR Tipe
III)
Untuk perencanaan kolam olak ketiga buah bendung yang terpilih adalah kolam
olak USBR tipe IV. Adapun perhitungannya adalah sebagai berikut :
III - 16
Gambar 3.7 Pintu Aliran Bawah
½
Q = K . . a . B . (2g) . (h1)
dengan;
Q = debit, m3/dt
K = faktor aliran tenggelam, (lihat Gambar 3.15)
= koefisien debit, (lihat Gambar 3.16)
a = bukaan pintu, m
B = lebar pintu, m
g = percepatan gravitasi, m/dt² ( 9.8)
h1 = kedalaman air di depan pintu di atas ambang, m
III - 17
Gambar 3.8 Koefisien K Untuk Debit Tenggelam (dari Scmidt)
Gambar 3.9 Koefisien Debit () Untuk Permukaan Pintu Datar dan Lengkung
Ukuran paretikel sedimen yang terangkut merupakan salah satu parameter untuk
mendisain bangunan kantong lumpur. Partikel sedimen yang ukurannya kurang dari
70 m (70 x 10-6 m) dianggap sedimen layang.
Asumsi yang lain dalam desain kantong lumpur yaitu bahwa air yang dielakkan
mengandung 0.5 ‰ sedimen yang harus diendapkan dalam kantong lumpur.
Volume kantong lumpur (V) hanya bergantung pada jarak waktu (interval)
pembilasan, dan dirumuskan sebagai berikut :
III - 18
V = 0.0005 x Qn x T
dengan :
Kecepatan endap diperoleh dari hubungan antara diameter ayak partikel dengan
faktor suhu air. Dan di Indonesia dipakai suhu air (t) sebesar 20oC.
Dari hasil kecepatan endap maka akan dapat dihitung panjang rencana kantong
lumpur, yang dirumuskan sebagai berikut :
Qn L
LxB dan 8.00
w B
3.11.5 Eksploitasi Normal (In) Pada Saat Kantong Sedimen Hampir Penuh
Vn 2
In =
( Rn 2 / 3 x ks) 2
dengan :
Rn = An/Pn, dalam m
An = Qn/Vn, dalam m2.
ks = koefisien kekasaran, (diambil 45).
Karena sedimen di dalam kantong berupa pasir kasar, maka asumsi awal dalam
menentukan Is, kecepatan aliran (Vs) untuk pembilasan diambil 1.5 m/dt.
Vs 2
Is =
( Rs 2 / 3 x ks ) 2
III - 19
dengan :
Rs = As/Ps, dalam m
As = Qs/Vs, dalam m2
hs = As/B, dalam m
Qs = 1.2 x Qn, dalam m3/dt.
ks = koefisien kekasaran, (diambil 40).
Agar pembilasan dapat dilakukan dengan baik, maka kecepatan aliran harus dijaga
agar tetap sub kritis (Fr < 1)
Vs
Fr = g x hs
Kriterianya adalah bahwa pembilasan harus bisa dilakukan pada waktu Q1/5 (debit
banjir dengan periode ulang 5 kali dalam setahun)
III - 20
Agar bangunan stabil perlu dikontrol apakah gaya-gaya yang bekerja tidak
menyebabkan bangunan bergeser, terangkat atau terguling.
FWL +165.73
1.93 W3 W4
W5
+164.15
NWL +163.80 W6
W2 Ge Gf
Pd Gh W7
Gc Gg W8
Gd G12
G11
Gb
G10 G13
2.10
H1 W1 G14
Ga G9
Ps H2
Gi
H3
G8
+161.70 G15
G16
Gj
W9
A G2 G4 G5
+161.10
1.20 UpH1 G3 D E G6
G7
I G17
G18 Gk N 2.00
G1
UpHA UpH3 UpH2 H UpHB Gl
Pp
Pa K UpHC
B C F G J UpH4 G19
L M
0.50 0.50
Up3
Up4 Up6 Up7
Up5 Up8
Up2
Up1
3.673
3.783 3.724
4.046
4.215
4.097
4.376 4.300 4.318
4.470
5.047 5.022
Gaya-gaya yang bekerja pada bangunan yang penting pada perencanaan adalah :
a. Tekanan air yang meliputi: tekanan hidrostatis, tekanan ke atas (up lift)
b. Tekanan sedimen
c. Gaya gempa yang meliputi: gaya horisontal akibat gempa dan gaya
hidrodinamis
d. Berat sendiri bangunan
e. Reaksi pondasi
a. Gaya Hidrostatis
Gaya tekan air atau gaya hidrostatis adalah gaya horisontal akibat air di hulu
dan hilir bendung. Tekanan air merupakan fungsi kedalam di bawah
permukaan air dan bekerja tegak lurus terhadap muka bangunan.
1
P = w H2
2
dengan :
III - 21
Akibat bangunan bendung terendam di air, maka akan mendapatkan gaya
angkat ke atas yang akan mengurangi berat efektif bangunan itu sendiri. Rumus
gaya tekan ke atas untuk bangunan yang didirikan pada pondasi batuan adalah :
Lx
Px = Hx - H
L
dengan :
III - 22
Tekanan sedimen ini akan terjadi setelah bendung beroperasi sehingga didepan
bendung tertutup endapan lumpur atau sedimen setinggi ambang bendung. Tekanan
lumpur atau sedimen yang bekerja dihitung dengan rumus :
1 2
Ps = h s s B
2
dengan :
Ps : Gaya horisontal karena sedimen
s : Berat sedimen (ton)
Lx : Jarak sepanjang bidang kontak dari hulu sampai titik x (m)
H : Beda tinggi energi
Hx : Tinggi energi dihulu bendung (m)
Perhitungan analisa stabilitas untuk ketiga buah bendung disajikan pada Lampiran
3
III - 23