Você está na página 1de 17

menulis akan mendapatkan ilmu pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui (‘allamal-

insana maa lam ya’lam). Ilham dan ilmu belum berakhir. Wahyu Allah berfungsi sebagai
sinyal dan dorongan kepada manusia untuk mendalami pemahaman sehingga mampu
membaca setiap perubahan zaman dan pergantian masa.

PANDANGAN ISLAM TERHADAP ILMU PENGETAHUAN

Jumat, September 16, 2011 ibadah 1 comment

By : Admin www. Lazuardi Birru.org| Friday, 12-08-2011

Di dunia Islam, ilmu pengetahuan modern mulai menjadi tantangan nyata sejak akhir abad
ke-18, terutama sejak Napoleon menduduki Mesir pada 1798 dan semakin meningkat setelah
sebagian besar dunia Islam menjadi wilayah jajahan atau pengaruh Eropa.

PANDANGAN ISLAM TERHADAP ILMU PENGETAHUAN

Sejak akhir abad ke-19 hingga kini, salah satu persoalan besar yang diangkat para pemikir
muslim adalah sikap yang mesti diambil terhadap ilmu pengetahuan modern di dunia Barat.
Perdebatan mereka dilatarbelakangi kesadaran bahwa dunia Islam pernah menjadi pusat ilmu
pengetahuan, tetapi pada zaman modern ini, umat Islam telah jauh tertinggal oleh dunia
Barat. Perbincangan tentang Islam dan ilmu pengetahuan sejak akhir abad ke-19 itu memiliki
dua aspek penting.

Pertama, periode tersebut ditandai banyak perkembangan baru dalam pemikiran Islam.
Penyebab utamanya adalah kontak dan interaksi yang intensif pada beberapa kasus, bahkan
berupa benturan fisik antara dunia Islam dan peradaban Barat. Gagasan seperti
“kemoderenan” serta modernisme, westernisasi atau pembaratan, dan sekularisme menjadi
objek utama perhatian para pemikir muslim. Demikian luasnya penyebaran gagasan baru itu,
sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pemikiran baru Islam lahir dari keinginan
untuk menanggapi fenomena tersebut.

Kedua, sejak awal perkembangan Islam, ilmu yang berdasarkan pengamatan, wahyu, atau
renungan para sufi, sebagai induk ilmu pengetahuan selalu mendapatkan perhatian para
pemikir muslim. Bertolak dari kecenderungan di atas, perhatian tersebut mengambil bentuk
tanggapan terhadap perkembangan pesat ilmu pengetahuan modern di dunia Barat, yang
dianggap tidak berinduk pada suatu ilmu yang benar. Tanggapan itu, pada dasarnya lebih
merupakan reaksi dari beberapa pemikir dan aliran pemikiran yang merupakan penyempitan
wilayah wacana tentang ilmu dan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan periode
sebelumnya, khususnya masa awal perkembangan intelektual Islam.

Sejak abad ke-19, usaha untuk memberi tanggapan tersebut melahirkan sebuah diskursus
pemikiran antara Islam dan ilmu pengetahuan yang amat beragam. Tanggapan tersebut dapat
berarti usaha apologetis untuk menegaskan bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan di
Barat sebenarnya bersifat Islami. Dapat juga merupakan usaha mengakomodasi sebagian nilai
dan gagasan ilmu pengetahuan modern karena dianggap Islami, dengan menolak sebagian
lain. Tidak bisa dipungkiri, usaha Islamisasi berbagai cabang ilmu pengetahuan dan
penciptaan sebuah filsafat ilmu pengetahuan Islam, pada akhirnya adalah upaya untuk
merekonstruksi pandangan dunia serta epistemologi Islam.

Kesemua tanggapan itu dapat dikelompokkan ke dalam dua wacana besar. Pembagian atas
dua wacana ini sebagian bersifat kronologis dan tematis. Wacana pertama, yang berkembang
sejak abad ke-19, terfokus pada penegasan bahwa tidak terdapat pertentangan antara ilmu
pengetahuan dan Islam. Penegasan tersebut didasarkan pada pandangan instrumentalis
tentang ilmu pengetahuan, artinya pandangan bahwa ilmu pengetahuan sekedar alat dan tidak
terikat pada nilai atau agama tertentu. Sementara hingga kini wacana tersebut masih kerap
muncul, ada pula wacana baru yang mendominasi perbincangan tentang ilmu pengetahuan
dan Islam, setidaknya sejak akhir tahun 1960-an, yaitu tentang Islamisasi ilmu pengetahuan.

Pandangan Instrumentalis tentang Ilmu Pengetahuan

Di dunia Islam, ilmu pengetahuan modern mulai menjadi tantangan nyata sejak akhir abad
ke-18, terutama sejak Napoleon menduduki Mesir pada 1798 dan semakin meningkat setelah
sebagian besar dunia Islam menjadi wilayah jajahan atau pengaruh Eropa. Serangkaian
peristiwa kekalahan berjalan hingga mencapai puncaknya dengan jatuhnya Dinasti Usmani di
Turki. Proses ini terutama disebabkan oleh kemajuan teknologi militer Barat.

Setelah pendudukan Napoleon, Muhammad Ali memainkan peran penting dalam kampanye
militer melawan Perancis. Ia diangkat oleh penguasa Utsmani menjadi Pasya pada tahun
1805, dan memerintah Mesir sampai dengan tahun 1848. Percetakan yang pertama didirikan
di Mesir awalnya ditentang para ulama karena salah satu alatnya menggunakan kulit babi.
Buku-buku ilmu pengetahuan dalam bahasa Arab diterbitkan. Muhammad Ali mendirikan
beberapa sekolah teknik dengan guru-guru asing. Ia mengirim lebih dari 400 pelajar ke Eropa
untuk mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan dan teknologi. di beberapa wilayah
Arab lain, seperti Oman dan Aljazair, upaya peng-Islaman informasi sosial serupa tampak di
Turki Usmani.

Dalam situasi seperti ini, ketika teknologi muslim jauh tertinggal dari Eropa dan usaha
mengejar ketertinggalan ini dilakukan muslim memberikan tanggapan dalam dua hal, yaitu
merumuskan sikap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi peradaban Barat
modern, dan terhadap tradisi Islam. Kedua unsur ini sampai kini masih mewarnai pemikiran
muslim hingga kini.

Di Timur maupun Barat, pada hakekatnya mengakui akan adanya hubungan yang spesial
antara Islam dan ilmu pengetahuan. Walaupun latar belakang dari kedua kelompok ini
memiliki pokok persoalan berbeda, yakni yang satu dilandaskan kepada kepercayaan, sedang
yang lain kepada rasio dan akal sehat, namun hubungan antara Islam dan ilmu pengetahuan
tidaklah antagonistik tapi justru saling menguatkan. Sejak dari semula, yaitu ketika wahyu
pertama diturunkan dengan kata-kata yang tidak lain dari: Baca (Iqra’), sampai kepada wahyu
terakhir, ketika Allah telah menyempurnakan Islam itu sebagai agama yang terakhir, sikap
Islam terhadap ilmu sangatlah positif dan konsisten sekali. Tidak ada satu ayat pun dari Al-
Qur’an maupun ucapan Nabi sendiri yang memperlihatkan antagonisme antara iman dan
ilmu.

Al-Qur’an telah menempatkan ilmu pengetahuan dalam kedudukan yang demikian tinggi,
sehingga seperti yang dikemukakan oleh Dr. Muhammad Ijazul Khatib dari Universitas
Damaskus, tidak kurang dari 750 ayat, atau seperdelapan dari seluruh ayat yang menyuruh
orang-orang mukmin untuk berfikir, mempergunakan penalaran dengan sebaik-baiknya,
melakukan intizar (penyelidikan sistematik dan mendalam) tentang rahasia-rahasia alam
semesta ini, dan menjadikan kegiatan-kegiatan ilmiah sebagai bagian tak terpisahkan dari
kehidupan umat. Betapa tingginya penghargaan yang diberikan oleh Al-Qur’an kepada ilmu
dapat dilihat dengan memperbandingkan bahwa ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum
yang mengatur segi-segi kehidupan umat hanyalah sepertiga dari pada ayat-ayat yang
berhubungan dengan ilmu. Rasulullah sendiri telah memberikan julukan “Pewaris para Nabi”
kepada mereka yang berilmu. Al-Qur’an bahkan menekankan keunggulan orang yang
berilmu daripada yang tidak berilmu. Seperti dalam firman Allah dalam surat Az-Zumar ayat
9
Artinya:
(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di
waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan
mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang
dapat menerima pelajaran. (Q. S. Az-Zumar: 9)

Selama sains atau ilmu pengetahuan itu tetap dalam upaya untuk mencari kebenaran dan
ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam alam ini, tidak akan pernah ada masalah. Karena
Islamlah yang pertama-tama akan mengajak dan menggalakkan manusia untuk
mengungkapkan rahasia-rahasia alam itu serta mengambil manfaat dari padanya.
Problematika kita bukanlah antara Islam dan ilmu pengetahuan (karena kaitannya jelas dan
gamblang) tetapi antara muslim atau penganut Islam itu dan ilmu pengetahuan.

Islamisasi Ilmu pengetahuan

Setidaknya sejak dasawarsa 1970-an hingga sekitar awal 1990-an, berkembang sebuah
wacana baru tentang Islam dan ilmu pengetahuan, dengan munculnya gagasan Islamic
science (ilmu pengetahuan Islam) atau Islamization of knowledge (Islamisasi ilmu). Terlepas
dari siapa yang pertama menggunakan istilah ini, dalam kenyataannya cukup beragam
(kelompok) pemikir muslim yang memaknai istilah ini dengan berbeda-beda, bahkan tidak
jarang terdapat pertentangan pendapat. Karena yang lebih populer adalah istilah dalam bahasa
Inggris itu, ada beberapa hal penting dan menarik untuk dicatat dalam kaitanya dengan
penggunaan kata ilmu pengetahuan atau sains, Islamisasi, dan kata Islamic dalam Islamic
science.

Pertama, perkembangan berbagai istilah ini menunjukkan betapa seriusnya tantangan yang
dihadapkan ilmu pengetahuan modern kepada perkembangan intelektual Islam. Seperti telah
dipaparkan di atas, sebetulnya hal ini telah dimulai sejak akhir abad ke-19. Namun, tidak
efektifnya usaha mengejar ketertinggalan muslim dari Barat di masa lalu, pada
perkembanganya hal tersebut mengkerucut dan mengkristal menjadi gerakan dengan orientasi
baru pada beberapa kelompok.

Kedua, munculnya istilah baru, Islamic science dan Islamization of knowledge nyatanya
hanya tampak sebagai baju baru dari usaha yang telah dilakukan oleh beberapa pemikir di
masa sebelumnya.

Istilah sains (science) sendiri baru mendapatkan maknanya yang khas dalam perkembangan
kegiatan ilmiah di dunia Barat sejak beberapa abad. Di sana sains dianggap sebagai model
cabang ilmu yang paling unggul, karena perkembangannya yang paling pesat dibandingkan
cabang-cabang ilmu lain. Adalah anggapan tersebut yang melatar belakangi kebiasaan bahasa
Inggris modern yang berbeda dengan kebanyakan bahasa lain. Untuk membedakan science,
sebagai istilah yang dipakai untuk ilmu pengetahuan alam atau eksakta (pasti), dari berbagai
cabang ilmu pengetahuan lain, terutama ilmu-ilmu sosial dan humaniora.

Perkembangan teknologi sebagai buah dari perkembangan ilmu pengetahuan ini juga amat
memukau banyak orang, tidak terkecuali umat Islam. Sebagai akibat dari fenomena itu,
sebagian ilmuwan muslim hanya berusaha mengejar ketertinggalan umat Islam dengan
mengambil alih secara menyeluruh teknologi dan ilmu pengetahuan Barat modern. Namun,
sebagian lain tidak puas dengan sikap itu dan menuntut Islamisasi ilmu pengetahuan atau
pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Para penggagas ilmu pengetahuan Islam atau
Islamisasi memulai argumennya dari premis bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas nilai.
Karena itulah nilai-nilai sebuah agama dapat masuk dalam pembicaraan tentang ilmu
pengetahuan.

Jelas bahwa ilmu pengetahuan Islam adalah sebuah istilah modern. Kita tak bisa menemukan
padanan istilah ini dalam literatur Islam klasik, termasuk dalam masa yang disebut Zaman
Keemasan Islam. Bahkan, bisa jadi istilah ini digunakan pertama kali oleh kaum orientalis
ketika kajian-kajian orientalisme modern dimulai akhir abad yang lalu. Pada tahun 1920-an,
misalnya, sejarawan ilmu pengetahuan George Sarton dalam karya monumentalnya
menggunakan istilah ini untuk menyebut sebuah periode dalam sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan ketika dengan dukungan penguasa, para ilmuwan muslim (dan sebagian
kecilnya adalah non-muslim) menghasilkan karya-karya besar dalam bidang ilmu
pengetahuan. Orientalis George Anawati bahkan menyebutkan adanya upaya-upaya
“Islamisasi” cabang-cabang ilmu yang diperoleh terutama dari tradisi Yunani itu. Ia juga
menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan alam adalah bidang yang paling sedikit terkena
Islamisasi dibandingkan dengan, misalnya, metafisika.

Jadi, di sini istilah Islami digunakan untuk menyebut dua hal sekaligus: yang pertama adalah
suatu periode sejarah, sebagaimana istilah modern, abad pertengahan, klasik atau Yunani
digunakan; yang kedua, suatu aktivitas yang disusupi nilai-nilai Islam. Kedua makna ini
kerap muncul dalam perbincangan kontemporer tentang ilmu pengetahuan modern dan Islam.

Empat pemikir muslim kontemporer yang dapat mewakili wacana baru ini adalah Syed
Hossein Nasr, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Ismail Raji al-Faruqi, dan Ziauddin Sardar.
Bukanlah suatu kebetulan jika keempatnya terdidik di universitas-universitas Amerika dan
Eropa dan terutama menulis dalam bahasa Inggris. Wacana baru ini memang berkembang
terutama di kalangan komunitas intelektual Islam berbahasa Inggris, yang baru muncul secara
jelas setelah paruh pertama abad ke-20 ini. Wallaahu a’lam bishshawab.

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook


http://www.kinantan.com/2011/09/pandangan-islam-terhadap-ilmu.html#.UF_v9lF2hEU

Hadits Tentang Menuntut Ilmu


"Niscaya Allah akan meninggikan beberapa derajat orang-orang yang beriman diantaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat". (Qur’an Al mujadalah
11)
"Menuntut ilmu wajib atas tiap muslim (baik muslimin maupun muslimah)". (HR. Ibnu
Majah)

"Seseorang yang keluar dari rumahnya untuk menuntut ilmu niscaya Allah akan mudahkan
baginya jalan menuju Syurga". (Shahih Al jami)

"Barang siapa berjalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke
syorga". (HR. Muslim).

“Barangsiapa melalui suatu jalan untuk mencari suatu pengetahuan (agama), Allah akan
memudahkan baginya jalan menuju surga.” (Bukhari)

"Siapa yang keluar untuk menuntut ilmu maka dia berada di jalan Alloh sampai dia
kembali". (Shahih Tirmidzi)

"Tuntutlah ilmu dan belajarlah (untuk ilmu) ketenangan dan kehormatan diri, dan
bersikaplah rendah hati kepada orang yang mengajar kamu". (HR. Ath-Thabrani)

"Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Qur’an dan yang mengajarkannya". (HR
bukhari)

"Kelebihan seorang alim (ilmuwan) terhadap seorang ‘abid (ahli ibadah) ibarat bulan
purnama terhadap seluruh bintang". (HR. Abu Dawud )

"Siapa yang Alloh kehendaki menjadi baik maka Alloh akan memberikannya pemahaman
terhadap Agama". (Sahih Ibnu Majah)

"Duduk bersama para ulama adalah ibadah". (HR. Ad-Dailami)

Hadis riwayat Abdullah bin Masud ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:
"Tidak ada hasad (iri) yang dibenarkan kecuali terhadap dua orang, yaitu terhadap orang
yang Allah berikan harta, ia menghabiskannya dalam kebaikan dan terhadap orang yang
Allah berikan ilmu, ia memutuskan dengan ilmu itu dan mengajarkannya kepada orang lain".
(Shahih Muslim No.1352)

Abdullah bin Mas’ud berkata, “Nabi saw bersabda,


"Tidak boleh iri hati kecuali pada dua hal, yaitu seorang laki-laki yang diberi harta oleh
Allah lalu harta itu dikuasakan penggunaannya dalam kebenaran, dan seorang laki-laki
diberi hikmah oleh Allah di mana ia memutuskan perkara dan mengajar dengannya".
(Bukhari)
Termasuk mengagungkan Allah ialah menghormati (memuliakan) ilmu, para ulama, orang
tua yang muslim dan para pengemban Al Qur’an dan ahlinya, serta penguasa yang adil.
(HR. Abu Dawud dan Aththusi)

"Siapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah maka baginya satu kebaikan dan setiap
kebaikan aka dilipat gandakan sepuluh, saya tidak mengatakan ,”Alif,lam,mim” satu huruf ,
tetapi alif satu huruf , lam satu huruf , dan mim satu huruf". (HR Bukhori)

"Janganlah kalian menuntut ilmu untuk membanggakannya terhadap para ulama dan untuk
diperdebatkan di kalangan orang-orang bodoh dan buruk perangainya. Jangan pula
menuntut ilmu untuk penampilan dalam majelis (pertemuan atau rapat) dan untuk menarik
perhatian orang-orang kepadamu. Barangsiapa seperti itu maka baginya neraka … neraka".
(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Hadis riwayat Abu Musa ra.: Dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda:
"Perumpamaan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung dalam mengutusku untuk
menyampaikan petunjuk dan ilmu adalah seperti hujan yang membasahi bumi. Sebagian
tanah bumi tersebut ada yang subur sehingga dapat menyerap air serta menumbuhkan
rerumputan dan sebagian lagi berupa tanah-tanah tandus yang tidak dapat menyerap air
lalu Allah memberikan manfaatnya kepada manusia sehingga mereka dapat meminum
darinya, memberi minum dan menggembalakan ternaknya di tempat itu. Yang lain menimpa
tanah datar yang gundul yang tidak dapat menyerap air dan menumbuhkan rumput. Itulah
perumpamaan orang yang mendalami ilmu agama Allah dan memanfaatkannya sesuai
ajaran yang Allah utus kepadaku di mana dia tahu dan mau mengajarkannya. Dan juga
perumpamaan orang yang keras kepala yang tidak mau menerima petunjuk Allah yang
karenanya aku diutus". (Shahih Muslim No.4232)

Abu Musa mengatakan bahwa Nabi saw bersabda,


“Perumpamaan apa yang diutuskan Allah kepadaku yakni petunjuk dan ilmu adalah seperti
hujan lebat yang mengenai tanah. Dari tanah itu ada yang gembur yang dapat menerima air
(dan dalam riwayat yang mu’allaq disebutkan bahwa di antaranya ada bagian yang dapat
menerima air), lalu tumbuhlah rerumputan yang banyak. Daripadanya ada yang keras dapat
menahan air dan dengannya Allah memberi kemanfaatan kepada manusia lalu mereka
minum, menyiram, dan bertani. Air hujan itu mengenai kelompok lain yaitu tanah licin, tidak
dapat menahan air dan tidak dapat menumbuhkan rumput. Demikian itu perumpamaan
orang yang pandai tentang agama Allah dan apa yang diutuskan kepadaku bermanfaat
baginya. Ia pandai dan mengajar. Juga perumpamaan orang yang tidak menghiraukan hal
itu, dan ia tidak mau menerima petunjuk Allah yang saya diutus dengannya.” (Bukhari)

"Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu lalu dirahasiakannya maka dia akan datang pada
hari kiamat dengan kendali (di mulutnya) dari api neraka".(HR. Abu Dawud)

"Orang yang paling pedih siksaannya pada hari kiamat ialah seorang alim yang Allah
menjadikan ilmunya tidak bermanfaat." (HR. Al-Baihaqi)
"Apabila kamu melihat seorang ulama bergaul erat dengan penguasa maka ketahuilah
bahwa dia adalah pencuri." (HR. Ad-Dailami)

"Sesungguhnya Allah tidak menahan ilmu dari manusia dengan cara merenggut tetapi
dengan mewafatkan para ulama sehingga tidak lagi tersisa seorang alim. Dengan demikian
orang-orang mengangkat pemimpin-pemimpin yang dungu lalu ditanya dan dia memberi
fatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan". (Mutafaq’alaih)

"Saling berlakulah jujur dalam ilmu dan jangan saling merahasiakannya. Sesungguhnya
berkhianat dalam ilmu pengetahuan lebih berat hukumannya daripada berkhianat dalam
harta".(HR. Abu Na’im)

"Sedikit ilmu lebih baik dari banyak ibadah. Cukup bagi seorang pengetahuan fiqihnya jika
dia mampu beribadah kepada Allah (dengan baik) dan cukup bodoh bila seorang merasa
bangga (ujub) dengan pendapatnya sendiri". (HR. Ath-Thabrani)

“Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina”


* Telah berkata al-Baihaqy di kitabnya al-Madkhal (hal. 242) dan di kitabnya Syu’abul Iman
(4/291 dan ini lafadznya), “Hadits ini matannya masyhur sedangkan isnadnya dla’if. Dan
telah diriwayatkan dari beberapa jalan (sanad) yang semuanya dla’if.”

Sumber : http://dmoernie.blogspot.com/2009/11/hadist-menuntut-ilmu.html

Menuntut Ilmu Menurut Pandangan Islam

Hukum Menuntut Ilmu Menurut Pandangan Islam


Apabila kita memperhatikan isi Al-Quran dan Al-Hadist, maka terdapatlah beberapa suruhan
yang mewajibkan bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan, untuk menuntut
ilmu, agar mereka tergolong menjadi umat yang cerdas, jauh dari kabut kejahilan dan
kebodohan. Menuntut ilmu artinya berusaha menghasilkan segala ilmu, baik dengan jalan
menanya, melihat atau mendengar, Perintah kewajiban menuntut ilmu terdapat dalam hadist
Nabi Muhammad saw :
Artinya :
”Menuntut ilmu adalah fardhu bagi tiap-tiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan”.
(HR. Ibn Abdulbari)

Dari hadist ini kita memperoleh pengertian, bahwa Islam mewajibkan pemeluknya agar
menjadi orang yang berilmu, berpengetahuan, mengetahui segala kemashlahatan dan jalan
kemanfaatan; menyelami hakikat alam, dapat meninjau dan menganalisa segala pengalaman
yang didapati oleh umat yang lalu, baik yang berhubungan dangan ‘aqaid dan ibadat, baik
yang berhubungan dengan soal-soal keduniaan dan segala kebutuhan hidup.

Nabi Muhammad saw. bersabda :


Artinya :
“Barang siapa menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia
memiliki ilmunya ; dan barang siapa yang ingin (selamat dan berbahagia) diakhirat,
wajiblah ia mengetahui ilmunya pula; dan barangsiapa yang meginginkan kedua-duanya,
wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula”. (HR. Bukhari dan Muslim).

1. MENUNTUT ILMU SEBAGAI IBADAH.


Dilihat dari segi ibadah, sungguh menuntut ilmu itu sangat tinggi nilai dan pahalanya,
sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. Artinya :
“Sungguh sekiranya engkau melangkahkan kakinya di waktu pagi (maupun petang),
kemudian mempelajari satu ayat dari Kitab Allah (Al-Quran), maka pahalanya lebih baik
daripada ibadat satu tahun”.

Dalam hadist lain dinyatakan :


Artinya :
“Barang siapa yang pergi untuk menuntut ilmu, maka dia telah termasuk golongan sabilillah
(orang yang menegakkan agama Allah) hingga ia sampai pulang kembali”.

Mengapa menuntut ilmu itu sangat tinggi nilainya dilihat dari segi ibadah?. Karena amal
ibadah yang tidak dilandasi dengan ilmu yang berhubungan dengan itu, akan sia-sialah
amalnya. Syaikh Ibnu Ruslan dalam hal ini menyatakan :
Artinya :
“Siapa saja yang beramal (melaksanakan amal ibadat) tanpa ilmu, maka segala amalnya
akan ditolak, yakni tidak diterima”.

2. DERAJAT ORANG YANG BERILMU.


Kalau kita telah mempelajari dan memiliki ilmu-ilmu itu, apakah kewajiban kita yang harus
ditunaikan?. Kewajiban yang harus ditunaikan ialah mengamalkan segala ilmu itu, sehingga
menjadi ilmu yang bermanfaat, baik untuk diri kita sendiri maupun bagi orang lain. Agar
bermanfaat bagi orang lain hendaklah ilmu-ilmu itu kita ajarkan kepada mereka.
Mengajarkan ilmu-ilmu ialah memberi penerangan kepada mereka dengan uraian lisan, atau
dengan melaksanakan sesuatu amal di hadapan mereka, atau dengan jalan menyusun dan
mengarang buku-buku untuk dapat diambil manfaatnya.

Mengajarkan ilmu kecuali memang diperintah oleh agama, sungguh tidak disangkal lagi,
bahwa mengajar adalah suatu pekerjaan yang seutama-utamanya. Nabi diutus ke dunia inipun
dengan tugas mengajar, sebagaimana sabdanya :
Artinya :
“Aku diutus ini, untuk menjadi pengajar”.(HR. Baihaqi)

Sekiranya Allah tidak membangkitkan Rasul untuk menjadi guru manusia, guru dunia,
tentulah manusia tinggal dalam kebodohan sepanjang masa. Walaupun akal dan otak manusia
mungkin menghasilkan berbagai ilmu pengetahuan, namun masih ada juga hal-hal yang tidak
dapat dijangkaunya, yaitu hal-hal yang diluar akal manusia. Untuk itulah Rasul Allah di
bangkitkan di dunia ini. Mengingat pentingnya penyebaran ilmu pengetahuan kepada
manusia/masyarakat secara luas, agar mereka tidak dalam kebodohan dan kegelapan, maka di
perlukan kesadaran bagi para mualim, guru dan ulama, untuk beringan tangan menuntun
mereka menuju kebahagian dunia dan akhirat. Bagi para guru dan ulama yang suka
menyembunyikan ilmunya, mendapat ancaman, sebagaimana sabda Nabi saw.
Artinya :
”Barang siapa ditanya tentang sesuatu ilmu, kemudian menyembunyikan (tidak mau
memberikan jawabannya), maka Allah akan mengekangkan (mulutnya), kelak dihari kiamat
dengan kekangan ( kendali) dari api neraka”. (HR Ahmad)

Marilah kawan kita menuntut Ilmu Pengetahuan, dengan Ikhlas dan tekad mengamalkan dan
menyumbangkan kepada masyarakat, agar kita semua dapat mengenyam hasil dan buahnya...

Sumber : http://ivanseptana05.blogspot.com/2010/12/menuntut-ilmu-menurut-pandangan-
islam.html

PANDANGAN ISLAM TERHADAP ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI


Manusia merupakan mahluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna, yang membedakan
kesempurnaan manusia dengan mahluk-mahluk lainnya adalah akal, Allah SWT membekali
akal bagi manusia untuk keberlangsungan hidupnya, agar tercipta suasana yang kondusif,
sehingga sesuai dengan tujuan diciptakannya manusia yaitu sebagai Khalifah fil-ard ( wakil
Tuhan di bumi), yang membawa misi Rahmatan lil’alamin (kasih sayang bagi seluruh alam).

Dengan akal pikirang yang telah diberikan oleh Allah SWT, manusia dituntut untuk
mengembangkannya, yaitu dengan jalan mencari ilmu pengetahuan. Sebagaimana yang
terdapat dalam sabda-sabda RasulNya, yaitu Muhammad SAW, yang megumandangkan
kewajiban mencari ilmu bagi umat Muslim. Rasulullah SWA memprioritaskan umatnya
untuk mencari ilmu syar’i, yaitu demi pembentukan sikap dan prilaku yang mengandung
unsur Akhlakul Karimah.

Dewasa ini banyak perkembangan-perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, semisal


dalam bidang elektronika ada televisi, radio, komputer. Bidang otomotif ada mobil, pesawat
terbang, kapal. Bidang kedokteran ada bayi tabung, cangkok ginjal, cloning, dan lain
sebagainya. Yang semakin lama semakin berkembang.

Berkenaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan tersebut, maka umat Islam yang
notabennya memprioritaskan pendidikannya dalam lingkup syar’i akan jauh ketinggalan
dibandingkan dengan orang-orang barat yang mayoritas nonMuslim. Dengan pendalaman
ilmu-ilmu syar’i saja, umut Muslim akan terpuruk, dan selalu di jajah dengan adanya
kebutuhan-kubutuhan yang harus dipenuhi dari hasil ciptaan dan karya orang-orang barat.
Maka dari itu, kita akan mencoba mengkaji pandangan Islam tentang ilmu pengetahuan dan
teknologi demi meningkatkan pemahaman Islam yang secara totalitas dan tidak parsial, dan
juga demi kemajuan umat Islam dalam segala bidang ilmu.

Pertanyaan yang sering terlontar dari benak orang-orang adalah:

1. Apa pengertian ilmu pengetahuan dan teknologi?


2. Bagaimana pandangan Islam terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi?

Maka setitik jawaban telah kami dapatkan terhadap pertanyaan di atas. Yakni;

1. Pengertian ilmu pengetahuan


Dalam kehidupan manusia banyak mnedapat pengalaman, dari pengalaman itu didapatkan
sejumlah pengetahuan atau knowledge yang memiliki sifat keajegan tertentu tanpa
kemampuan untuk menjelaskan sebab-sebabnya secara terinci dan rasional. Pengetahuan
demikian banyak macamnya dalam kehidupan ini. Tiap manusia berbeda jumlah dan
macamnya pengalaman yang dimiliki tersebut, tanpa ada kemampuan untuk menjelaskannya.

Kalau ingin mampu memberikan penjelasan maka masih diperlukan kegiatan yang lebih
intens untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih utuh daripada umumnya pengetahuan
yang ada. Untuk itu perlu didukung oleh sejumlah kegiatan berikutnya yang lebih serius guna
mendapatkan intisari pengetahuan tersebut hingga dapat dipedomani untuk perencanaan,
prediksi-prediksi maupun kontrol atas kebenarannya.

Kombinasi usaha mencari pendekatan rasional dan mengumpulkan fakta-fakta empiris inilah
yang bias disebut dengan pendekatan mendapatkan pengetahuan dengan metode keilmuan.
Melalui metode keilmuan akan didapatka “ilmu” dari sejumlah “pengetahuan”, yang
memiliki cirri-ciri tertentu, sebagai pembeda dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya yang
belum teruji. (pengetahuan = knowledge, sedang ilmu = science atau sains). Jadi ilmu adalah
pengetahuan yang memenuhi cirri-ciri tertentu dan disinilah dibakukan menjadi “ilmu
pengetahuan”, yang kedua terminology tersebut digabung menjadi satu kata. Dapat juga
dirumuskan bahwa ilmu ialah sebagai “pengetahuan yang ilmiah”.

Sedangkan teknologi adalah penerapan ilmu-ilmu dasar untuk memecahkan masalah guna
mencapai suatu tujuan tertentu. Adapun tujuan manusia dalam kehidupan ini dapat menjadi
banyak sekali, yang kesemuanya itu ditentukan oleh niatnya, sebagaimana yang disebut
dengan “semua amal itu tergantung pada niatnya”.

Kedudukan ilmu pengetahuan sendiri sebagai ilmu dasar jelas netral. Setelah digunakan
manusia untuk diterapkan guna mencapai suatau tujuan, barulah dapat dinilai apakah
penerapan itu dapat dibenarkan oleh agama atau tidak.

2. Pandangan Islam terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi


Dengan uraian secara deskriptif di atas, maka judul makalah ini dapat didekati agak menjadi
lebih jelas yang menghubungkan antara ajaran agama Islam dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Agama Islam banyak memberikan penegasan mengenai ilmu pengetahuan baik
secara nyata maupun secara tersamar, seperti yang disebut dalam surat Al-Mujadalah ayat
11 yang artinya sebagai berikut :
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan."
Maksudnya sebagai berikut : sama-sama dari kelompok yang beriman, maka Allah SWT
akan masih meninggikan derat bagi mereka, ialah mereka yang berilmu pengetahuan.

Orang berilmu pengetahuan berarti menguasai ilmu dan memilki kemampuan untuk
mendapatkan dan menjelaskannya. Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan diperlukan antara
lain adanya sarana tertentu, yakni yang disebut “berpikir”. Jelasnya berpikir pada dasarnya
merupakan suatu proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.

Oleh karena itu, apabila di dalam Al-Qur’an sering-sering disebut dengan kata-kata
“berpikir” atau “berpikirlah” dan sebagainya. Dalam arti langsung maupun dalam arti
sindiran dapat kita artikan juga sebagai perintah untuk mencari atau menguasai ilmu
pengetahuan.

Dalam Al-qur’an dan Hadist sangat banyak ayat-ayat yang menerangkan hubungan tentang
ajaran Islam dengan ilmu pengetahuan serta pemanfaatannya yang kita sebut Iptek.
Hubungan tersebut dapat berbentuk semacam perintah yang mewajibkan, menyurum
mempelajari, pernyataan-pernyataan, bahkan ada yang berbentuk sindiran. Kesemuanya itu
tidak lain adalah menggambarkan betapa eratnya hubungan antara Islam dan Iptek sebagai
hal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Tegasnya hubungan antara Islam
dan Iptek adalah sangat erat dan menyatu.

Dalam pandangan Islam, Iptek juga di gambarkan sebagai cara mengubah suatu sumber daya
menjadi sumberdaya lain yang lebih tinggi nilainya, hal ini tercoverr dalam surat Ar-Ra’d
syat 11, yaitu :
"Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."

Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa, pada dasarnya Al-Qur’an telah mendorong
manusia untuk berteknologi supaya kehidupan mereka meningkat. Upaya ini harus
merupakan rasa syukur atas keberhasilannya dalam merubah nasibnya. Dengan perkataan
lain, rasa syukur atas keberhasilannya dimanifestasikan dengan mengembangkan terus
keberhasilan itu, sehingga dari waktu kewaktu keberhasilan itu akan selalu maningkat terus.

Pada masa Nabi sudah ada penemuan-penemuan yang bisa dinamakan dengan Iptek,
sepertihalnya Iptek dalam dunia pertanian. Para sahabat Nabi pernah melalukan pembuahan
buatan (penyilangan atau perkawinan) pada pohon kurma. Lalu Nabi menyarankan agar tidak
usah melakukannya. Kemudian ternyata buahnya banyak yang rusak dan setelah itu
dilaporkan kepada Nabi, maka Nabi berpesan :
“Abirruu antum a’lamu biumuuri dunyaakum” (lakukanlah pembuahan buatan! Kalian
lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian).

Di dalam Al-Qur’an disebutkan juga secara garis besar, tentang teknologi. Yaitu tentang
kejadian alam semesta dan berbagai proses kealaman lainnya, tentang penciptaan mahluk
hidup, termasuk manusia yang didorong hasrat ingin tahunya, dipacu akalnya untuk
menyelidiki segala apa yang ada di sekelilingnya, meskipun Al-Qur’an bukan buku
kosmologi, atau biologi, atau sains pada umumnya, namun Al-Qur’an jauh sekali dalam
membicarakan teknologi.

Dari beragam uraian di atas bahwasanya kita dapat melihat sendiri bagaimana pandangan
Islam terhadap Iptek. Dalam pedoman utamanya (Al-Qur’an), banyak disebutkan sesuatu hal
yang berkaitan dengan Iptek, hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat erat sekali dengan
Iptek. Jadi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini merupakan wujud dari
implikasi Al-Qur’an yang sebenarnya. Banyak seruan-seruan di dalamnya yang
menganjurkan manusia untuk berfikir dan mengembangkan potensinya dalam pengetahuan.
Namun satu hal yang sangat disayangkan, umat muslim sangat rendah dalam bidang Iptek,
sehingga ketinggalan perkembangan dengan orang-orang non muslim. Semoga dengan ini
umat Islam sadar dan mau mengembangkan pengetahuannya dalam berbagia hal, sehingga
menjadi umat yang berkualitas dengan adanya ketakwaan dan pengetahuan yang ditinggi.

Nah, dengan demikian dapatlah kita tarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) adalah keilmuan yang tinggi yang dimiliki
oleh seseorang dan mampu menjadi alat untuk menyelesaikan masalah.
2. Pandangan Islam terhadap Iptek adalah Iptek merupakan suatu hal yang tidak bisa
ditinggalkan oleh seseorang, karena sangat pentingnya Iptek, maka hal tersebut sering
disebut dalam Al-Qur’an. dalam arti Islam sangat menganjurkan pengembangan
Iptek.

Sumber : http://porseni9.blogspot.com/2010/10/pandangan-islam-terhadap-ilmu.html

Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Islam

Islam adalah satu-satunyanya agama samawi yang memberikan perhatian besar terhadap ilmu
pengetahuan. Perhatian ini dibuktikan melalui turunnya wahyu pertama QS al-Alaq 1-5.
Sebagian mufasirin menyatakan bahwa ayat tersebut sebagai proklamasi dan motifasi
terhadap ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, kita harus memberikan skala prioritas yang
tinggi terhadap ilmu pengetahuan. Tanpa itu, kita akan terus daitur, dijajah, dan di dekte oleh
bangsa lain yang lebih tinggi kemajuan ipteknya. Dengan kemajuan iptek kita dapat
menyejahterakan kehidupan umat manusia, dan mengelola alam dengan baik.

Menarik sekali apa yang dinyatakan oleh seorang cendekiawan Muslim, Isma’il Raji Al-
Faruqi dalam bukuya yang berjudul Tauhid yang berbicara ilmu pengetahuan dari sudut
pandang tauhid. Menurutnya, sebagai prinsip metodologi, tauhid terdiri dari tiga prinsip.
Pertama, penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas/kenyataan.
Prinsip ini meniadakan dusta dan penipuan dalam Islam dan menjadikan segala sesuatu dalam
agama terbuka untuk diselidiki. Penyimpangan dari realita sudah cukup untuk membatalkan
suatu item dalam Islam, apakah itu tentang hokum, etika, atau pernyataan tentang dunia.
Prinsip ini melindungi kaum Muslimin dari opini dan pernyataan yang tidak teruji dan tidak
bisa dikonfirmasikan baik dalam segi ilmu pengetahuan maupun yang lainnya. Oleh karena
itu, seorang muslim dapat didefinisikan sebagai orang yang tidak menyatakan apa-apa kecuali
kebenaran sekalipun dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri. Menyembunyikan dan
mencampuradukkan kebenaran dan kesesatan dalam Islam sangat dibenci dan juga dikutuk.

Prinsip kedua adalah penolakan kontradiksi-kontradiksi hakiki. Prinsip ini melindungi kaum
Muslimin dari kontradriksi di satu pihak dan dari paradox di pihak lain. Islam mengajarkan
bahwa pasti ada jalan keluar dari kontradiksi dan sebaik-baik solusi adalah solusi yang
ditawarkan oleh Alloh SWT dalam wahyu-Nya. Hal yang sama berlaku jika terjadi
kontradiksi antara wahyu dan akal. Jika kasusnya demikian, Islam menyatakan bahwa
kontradiksi tersebut tidaklah ultimat. Dalam hal ini Islam menyarankan agar penyelidik
meninjau kembali pemahamannya atas wahyu, atau penemuan-penemuan ilmiyahnya atau
kedua-duanya.

Adapun prinsip yang ketiga adalah tauhid sebagai kesatuan kebenaran, yaitu keterbukaan
bukti yang baru atau yang bertentangan. Prinsip ini mendorong kaum Muslimin kepada sikap
rendah hati intelektual. Ia memaksa untuk menyantumkan dalam penegasan atau
penyangkalannya ungkapan Wallohua’lam (Alloh yang lebih tahu) karena dia yakin bahwa
kebenaran adalah milik Alloh dan lebih besar dari yang dapat dikuasainya. Alloh adalah
pencipta alam yang mana manusia memperoleh pengetahuannya. Obyek pengetahuan adalah
pola-pola alam yang merupakan hasil karya-Nya. Alloh mengetahui secara pasti, sebab Dia-
lah penciptanya dan sumber wahyu. Dia memberikan kepada manusia sebagian dari
pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya adalah mutlak dan universal.

Membahas masalah ilmu pengetahuan dalam Islam berarti kita membicarakan kedudukan
ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam serta pemberdayaan ilmu pengetahuan untuk
kepentingan dakwah Islam. Islam mengajarkan kepada kita memikirkan ayat-ayat Alloh baik
ayat Qouliyah (Al Quran dan Sunnah) maupun ayat-ayat Kauniyah (fenomena alam semesta),
dimana di dalamnya syarat muatan multi iptek. Dalam Al-Quran juga banyak kita jumpai
ayat-ayat yang menyuruh kita untuk mempelajari, meneliti, dan memperhatikan ilmu
pengetahuan. Imam Al Ghazali telah melakukan penelitian terhadap dalil dalil Al-Quran dan
Sunnah sebagai hukum formal, dan sampai pada satu kesimpulan bahwa, dalam kitab Al
Quran terdapat 250 ayat tentang masalah legislatif, dan terdapat 763 ayat atau 12 % dari
jumlah ayat Al Quran yang langsung berhubungan dengan ilmu pengetahuan (Sidi Gazalba:
1970, hlm. 155).Belum lagi tentang Hadits-hadits yang berhubungan dengan ilmu
pengetahuan. Terdapat banyak Hadits yang diriwayatkan dari berbagai sumber tentang
perlunya menuntut ilmu serta manfaat-manfaatnya.

Diantaranya ayat-ayat Al Quran yang membahas ilmu pengetahuan antara lain: QS Al Alaq
1-5, Almujadilah/58:11, Azzumar/39:9, Al Ghasiyah/88:17-20, Ali Imron/3:190-191, dan
lain-lain. Khusus dalam Al Quran surat Al Ghasiyah:17-20, kita diingatkan Alloh, apakah
kita tidak meneliti bagaimana onta diciptakan. Ibrohnya kita diberi tugas untuk mempelajari
dan mengembangkan ilmu biologi. Demikian pula kita diperintahkan untuk mengamati
bagaimana langit ditinggikan. Artinya, kita harus mempelajari ilmu tentang kosmologi, ilmu
alam, astronomi, fisika, dan lain-lain. Kemudian kita juga disuruh memikirkan tentang
bagaimana gunung-gunung ditegakkan. Maknanya kita juga diperintahjkan untuk
mempelajari ilmu bumi, geofisika, geologi, dan lain-lain yang kesemuanya itu termasuk
dalam sains modern.

Di dalam Al-Quran juga disebutkan kata ‘ilm’ dalam berbagai bentuk dan artinya sebanyak
854 kali. Ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan mendapatkan perhatian yang luar biasa
dalam Islam. Sebagai bukti bahwa Al Quran mempunyai muatan ilmu pengetahuan, antara
lain: teori tentang expanding universe (kosmos yang mengembang) Qs. Adz Dzariyat/51:4.
Matahari adalah planet yang bercahaya, sedangkan bulan adalah pantulan dari cahaya
matahari (QS Yunus/10:5). Zat hijau daun (Chlorofil) yang berperan mengubah tenaga radiasi
matahari menjadi tenaga kimia melalui proses fotosintesis, sehingga menghasilkan energy
(Qs Yasin/36:30). Bahwa manusia diciptakan dari sari tanah berupa sperma laki laki dan
setelah fertilisasi (pembuahan) berdempet di dinding rahim (Qs At Thoriq/86:6-7, dan QS Al
Lail/92:2). Disamping itu masih banyak lagi paradigma sains yang diungkap dalam Al Quran
sebagaimana ditulis Prof. Dr. Syeikh Thanthawi Jawhari dalam bukunya Al Quran Wa
Ulumul Asyriyyah ( AlQuran dan ilmu Pengetahuan Modern). Oleh karena itu, Dr Maurice
Bucale dalam bukunya La Bible Le Coran et La Science (Al Quran, Bibel, dan sains Modern)
dalam kesimpulannya menyatakan bahwa Al Quran mempunyai pernyataan-pernyataan
ilmiyah.

Dalam perkembangan sejarah Islam, Al Quran juga mempunyai pengaruh yang luar biasa
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Ini terbukti dengan prestasi spektakuler yang
diraih oleh ilmuwan Islam di masa silam. Disebutkan bahwa selama 3,5 abad berturut-turut
dari abad ke 8 sampai 12 M, para ilmuwan Islam telah berhasil menempati jenjang terhormat
dan menciptakan dasar-dasar ilmu pengetahuan pada masa keemasan Islam, antara lain:
- Jabir bin Hayyan dikenal dnegan nama Gebber adalah ahli kimia dan metalurgi dari Saudi
Arabia.
- Al-Khawarizmi (Muhammad Ibn Musa Al Khawarizmi) ppakar matematika dan astronomi
dari Baghdad.
- Ibnu Khaldun, ahli sosiologi dan sejarah
- Al Razi (Abu BAkar Muhammad Ibn Zakaria atau razes) ahli kedokteran dan filsafat yang
mendapat julukan Hippocrates Islam dan Socrates Islam.
- Al Mas’udi ( Abu Hasan Ali Al Mas’udi) ahli sejarah dan geografi dari Baghdad
- Al Biruni ( Abu Rayyan Muhammad Ibnu ahmad Al Biruni) ilmuwan paripurna mulai
matematika, astrnomi, fisika, kedokteran, hingga sejarah dan Geografi.
- Ibnu Sina ( Abu Ali Ibnu Sina) atau aviciena yang dijuluki prince of physicians.

Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang berdasarkan paradigma Al -


Quran akan memperkaya hasanah ilmu pengetahuan umat manusia. Dengan demikian ketika
menaruh perhatian serius pada ayat-ayat Al-Quran dan Hadits tentang ilmu pengetahuan,
maka kita akan memiliki sejumlah ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal tersebut berarti Al-
Quran telah membuka nuansa berfikir kita untuk menciptakan Iptek. Disinilah kelebihan
manusia, dengan akal dan pikirannya berjihad dan berijtihad untuk kepentingan umat dengan
menggunakan Iptek sebagai mediatornya. Adapun pemberdayaan iptek untuk memperkuat
posisi kita sebagai Khalifah Tuhan di muka bumi dengan tugas utamanya adalah untuk
beribadah kepada Allah, dan untuk kemakmuran ( Qs Hud/11:61). Bukan untuk hal-hal yang
dilarang Alloh (Qs Al Qashash/28:77).

Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Al Quran dan Sains telah menjadi
penggerak utama manusia untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan. Adapun pemberdayaan
Iptek menurut Islam adalah bagaimana mewujudkan kemakmuran bagi umat manusia.
Karena itu pemanfaatan Iptek tidak boleh dipisahkan dari agama. Bahkan harus sejalan
dengan moralitas dan etika Islam.

http://meyheriadi.blogspot.com/2011/02/menuntut-ilmu-dan-ilmu-pengetahuan.html

Iptek, Islam, dan Kita


OPINI | 30 October 2009 | 20:43 Dibaca: 1649 Komentar: 0 Nihil

Perbincangan seputar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) yang diperhadapkan secara
sinergis maupun diametral dengan Islam (baca=Islamologi) seringkali terjebak menjadi
diskursus yang metabasis. Artinya, selalu saja terjadi justifikasi-justifikasi yang tidak
memiliki hujjah signifikan dan benar.
Justifkasi-justifikasi yang selalu menjadi konklusi sebuah diskursus bertema Iptek dan Islam
seringkali bertajuk, “Tidak ada pertentangan antara Iptek dan Islam.” Ada juga konklusi
yang berbunyi, “Islam mendukung kemajuan Iptek,” dan sebagainya. Semua itu menjadi
fakta betapa kita (=ummat Islam) masih jauh dari semangat untuk dapat berpikir dan
berbuat dengan landasan filosofis yang jelas dan mendasar. Kita masih saja terjebak dengan
persoalan-persoalan kulit tanpa mampu membedah “daging”nya.
Iptek versus Islam, Sebuah Kerancuan Epistemologis
Acapkali ummat Islam berdiri ragu dengan kedua kaki yang berbeda. Satu kaki bertumpu
pada semangat ilahiyat bertauhid, kaki lainnya lagi seolah menjejak di atas energi sains
modern. Kedua kaki tersebut selalu saja tidak dapat dipertukarkan. Dalam kondisi
demikianlah, sesungguhnya wacana yang menyebutkan “tidak ada pertentangan antara Iptek
dan Islam” itu dibangun.
Kita masih saja beranggapan bahwa Iptek yang sekarang berkembang dengan paradigma
Barat itu “berasal” dari khazanah Islam yang “dicuri” peradaban Barat. Terus terang, dengan
semangat yang demikian itu, ummat Islam kehilangan obyektivitas dan kekritisannya.
Apalagi atmosfer wacana yang dikembangkan ummat Islam seputar Iptek masih beraroma
apologia dalam kerangka inferioritas.
Sebagai sebuah sistem pengetahuan, sains (ilmu pengetahuan = scientific knowledge)
memiliki landasan filosofisnya sendiri. Paradigma yang harus dikembangkan menempatkan
ideologi sebagai ibu kandung dari sains, dan bukan sebaliknya. Artinya, ilmu lahir dari
ideologi, bukan ilmu melahirkan ideologi.
Membangun wacana di atas diktum “ilmu lahir dari ideologi”, akan menuntun kita sampai
pada isme Deistis sebagai sebuah kutub ekstrem tempat ilmu berasal. Perjalanan itu bermula
dari Naturalisme yang menderivasikan Natural Science. Sedangkan Natural Science itu
sendiri bertumpu di atas “law of nature”. (Law of nature ini dengan semangat inferioritas oleh
sebagian kalangan ummat Islam terdidik disebut secara keliru sebagai “sunnatullah”).
Naturalisme, sesuai dengan wataknya lebih dekat ke Deistis daripada Theisme dan
Pantheisme.
Seharusnya dengan runutan ke akar paradigma sains modern, secara bening kita dapat
melihat betapa Iptek bukanlah sisi lain yang sinergis dengan Islam. Apalagi jika ditambah
dengan wacana “teknologi” yang semakin disalahartikan itu. Akan semakin jelas terlihat,
betapa iptek menjadi “kendaraan lain” dari hegemoni Barat terhadap dunia Islam.
Ilmu Pengetahuan dan Islam, Mencari Interseksi?
Meminjam trilogi filsafat ilmu, secara analisis kasar seharusnya kita sudah dapat
membedakan Ilmu Pengetahuan dengan Islam. Dalam bahasan yang sangat sederhana,
terminologi ontologi, epistemologi dan aksiologi dapat digunakan untuk membedah Ilmu
Pengetahuan dan Islam (baca=agama) dari kacamata Filsafat Ilmu.
Secara mudah dan bening kita akan menemukan interseksi antara Ilmu Pengetahuan dan
Islam pada aspek ontologi dan aksiologinya. Sementara secara epistemologi secara jujur
harus dikatakan terdapat banyak pertentangan antara Ilmu Pengetahuan dan Islam.
Islam secara ontologis mencakup alam empiris dan metaempiris atau pun supraempiris.
Sedangkan Ilmu Pengetahuan dengan “rendah hati tapi arogan” hanya membatasi diri pada
telaah alam empiris saja. Di sini, terlihat interseksi antara Ilmu Pengetahuan dan Islam ada
pada alam empiris. Dialektika Ilmu Pengetahuan dan Islam pada alam empiris inilah yang
sesungguhnya menjadi ajang pembicaraan dan diskursus kita selama ini.
Ilmu Pengetahuan dan Islam sama-sama mengurusi alam empiris dengan caranya masing-
masing. Artinya, secara epistemologis tidak terdapat interseksi antara Ilmu Pengetahuan dan
Islam. Keduanya bahkan saling berdiametral secara epistemologis satu dengan lainnya. Ada
pun secara aksiologis dapat saja dikatakan terdapat persamaan antara Ilmu Pengetahuan dan
Islam, yakni sama-sama ingin meningkatkan peradaban ummat manusia.
Teknologi, Makhluk Apa Itu?
Ketika AS Hikam oleh Gus Dur (waktu itu) dilantik menjadi Menristek, masih banyak suara
sumbang yang mengiringinya. Pantaskah atau dapatkah seorang peneliti dalam ilmu-ilmu
sosial menangani teknologi? Apa relevansi antara kehidupan sosial dengan teknologi? Masih
banyak pernyataan lain yang senada dapat kita sebutkan. Semakin banyak kita ungkapkan
akan semakin terkuak betapa pemahaman dan apresiasi kita terhadap kata “teknologi” sangat
dangkal dan keliru.
AF Chalmers sampai pada pernyataan lugas dan definitif bahwa “Ilmu Pengetahuan adalah
catatan harian seorang expert di bidangnya” bukanlah sesuatu hal yang mengada-ada. Kita
mungkin patut menyimaknya lebih dalam lagi. Begitu pula dengan apresiasi kita tentang
“teknologi”.
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi itu berbeda. Ilmu Pengetahuan terutama berkaitan dengan
struktur dan domain ilmu, usaha menjelaskan (mengomunikasikan), eksplorasi dan
pemahaman tentang fenomena alam. Teknologi terutama berkaitan dengan fungsi, aplikasi
dan kegunaan konsep-konsep keserasian kehidupan manusia dengan alam, pencarian
penyelesaian masalah kehidupan sehari-hari, penciptaan hasil karya, situasi kehidupan nyata
atau pengamalan yang nyata.
Menyimak definisi tentang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam kaitannya dengan
kenyataan di dalam dunia pendidikan dan masyarakat kita, terdapat kerancuan-kerancuan
yang sangat mendasar. Lihat saja, kata “teknologi” lebih sering dilekatkan pada sesuatu yang
berbau “mesin” atau “instrumen fisik”. Padahal, “rekayasa sosial” dapat juga disebut sebagai
sebuah “teknologi”.
Ilmu Pengetahuan = Islam, Sebuah Pengokohan “Split Personality”
Dalam konstelasi dunia dengan ummat Islam sebagai minoritas dengan lebih banyak
bermental inferior, dialog yang dialektis antara Ilmu Pengetahuan dan Islamologi nyaris tidak
berlangsung. Dalam kondisi seperti itu, yang ada hanyalah defensivitas yang tinggi di
kalangan ummat Islam sambil “memomong” Ilmu Pengetahuan yang Deistik itu. Hasilnya?
Ummat Islam sudah terlalu dalam berkubang dalam lumpur “split personality”.
Hidayat Nataatmadja dengan sangat jitu menggambarkan kondisi ummat Islam yang
berhadapan dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sekarang ini. Meminjam kredo Einstein,
“Ilmu tanpa Agama Buta, dan Agama tanpa Ilmu Lumpuh,” pak Aat–panggilan akrab
Hidayat Nataatmadja–mengatakan, “Sesuatu yang buta dengan sesuatu yang lumpuh bila
dikawinkan atau dikonvergensikan akan melahirkan “sesuatu yang buta dan lumpuh
sekaligus”.
Bumbu aromatik yang biasa ditebarkan oleh sosok “split personality” biasanya penuh dengan
daya pikat historis nostalgik. Selalu saja kita berkutat dengan klaim-klaim betapa begitu
banyaknya temuan-temuan dalam Ilmu Pengetahuan yang dipelopori oleh pakar-pakar dari
komunitas Muslim. Penulis sebutkan sebagai daya pikat historis yang nostalgik karena kita
hanya mampu menyebut sekian nama, sementara kita masih NATO (no action talking only).
Kita tidak mampu meretas jalan agar sampai pada atmosfer kaum pendahulu kita yang
berasal dari komunitas Islam dalam pengabdiannya bagi Ilmu Pengetahuan. Kendala terbesar
yang selalu saja kita hadapi adalah belum mampunya kita memilah antara keinginan dan
realitas yang ada. Keinginan kita menyebutkan tidak terdapat perbedaan antara Ilmu
Pengetahuan dan Islam. Sementara itu, realitas yang ada menunjukkan betapa secara serius
dalam wacana filosofis sulit sekali mempertemukan Ilmu Pengetahuan dengan Islam.

Você também pode gostar